SUDAH sejak lama saya mengikuti kanal YouTube satu ini. Dari saat masih jumlah pengikutnya sedikit sampai sebanyak sekarang ini (128 k).
Yang saya sukai dari vlog Sorekara Melancholy ini adalah fokusnya ke hal-hal kecil. Tidak ada omongan manusia. Suara-suara sih ada tapi bukan dari mulut manusia.
Bahkan naik kereta juga sedikit sekali manusia di dalam gerbongnya. Heran memang.
Dilahirkan di Indonesia memang sebuah anugerah. Sebuah negara yang punya wilayah yang begitu luas sampai dijelajahi pun tak bisa dalam setahun.
Tapi satu yang bikin eneg dari Indonesia adalah kebiasaan buang sampah sembarangan.
Saya sangat menyayangkan hal itu karena seolah kita jadi menyia-nyiakan keindahan alam kita sendiri. Sedih.
Kalau saya naik kereta komuter, trenyuh rasanya kalau di antara sawah hijau dan ladang rimbun, terselip spot-spot penimbunan dan pembakaran sampah plastik milik warga kampung.
Ini sangat amat berbeda dari pengalaman naik kereta di Jepang yang disuguhkan Sorekara Melancholy yang sepanjang jalannya resik tanpa sampah. Ya ada sih daun kering bertebaran tapi itu kan sampah organik. Bisa dimaklumi lah…
Yang saya makin eneg lagi adalah kebiasaan bakar sampah orang Indonesia itu lho. Bahkan ortu saya saja lihat sampah sedikit maunya dibakar. Lho ini tuh di tengah permukiman lho. Masak iya mau meracuni diri sendiri dengan bakar sampah plastik di dekat rumah??? Saya nggak paham bener nalar kebanyakan orang +62. Pusing deh.
Setidaknya kalau nggak bisa mengolah atau daur ulang ya dikumpulkan dengan baik. Jangan dibakar dong!
Kenyataan tragis ini seolah tidak digubris pemerintah juga. Saya pernah baca Maudy Ayunda mengusulkan penanganan sampah yang harusnya makin serius karena Indonesia sudah jadi pencemar lautan dengan sampah plastik kedua terparah di dunia. Tapi Jokowi adem ayem aja tuh. Malah mengalihkan isu.
Menteri Lingkungan Hidup juga kontroversial dengan kebijakan-kebijakannya yang malah merugikan lingkungan. Soal penanganan sampah malah ia menuding pemda gagal (sumber: cnnindonesia). Bukannya beri solusi, malah saling tuding.
Dan secara umum, masyarakat dan pemerintah gagal total sih soal satu ini (sumber: natgeo). Berton-ton sampah plastik itu masuk ke laut juga dan kita disuruh makan ikan yang di perutnya ada mikroplastiknya. Garam apalagi. Jadi tak heran kalau di dalam badan kita juga bakal ada plastik juga sih (Sumber: natgeo).
Ulama-ulama juga mana sih ada yang pernah bahas soal isu lingkungan di khotbah jumat mereka? Nggak ada kayaknya. Kalau ada isu soal selakangan aja baru bereaksi cepat. Capek banget. MiChat jadi aplikasi pelacuran, langsung diharamkan. Tapi isu-isu yang lebih penting soal kemanusiaan malah seolah tenggelam dan diabaikan. Kalaupun ada respon ya paling normatif, lip service belaka. Duh!
Makanya kalau saya diberi pilihan negara tempat saya dilahirkan, mungkin saya akan meminta; “Negara manapun yang nggak jorok dan goblok plis, ya Allah...”
Hush jangan gitu ngatain negara sendiri. Tapi ya buktinya sampe ada yang ngemis halus pakai mandi lumpur di TikTok dan bahkan nggak malu-malu meminta duit 200 juta saat diminta berhenti ngemis. (*/)