SAAT saya dahulu bekerja di Grup Ciputra, ada semacam kampanye yang digaungkan terus-menerus oleh mendiang alm. Ir. Ciputra saat itu. Sebagaimana kita tahu, beliau sangat terpanggil untuk menyebarkan semangat entrepreneurship di sisa usianya.
Kampanye Ciputra ini intinya adalah mengajak generasi muda untuk menciptakan lapangan kerja mereka sendiri daripada mencari lapangan kerja yang makin terbatas jumlahnya dan tingkat persaingannya semakin tidak wajar.
Dalam penjelasannya, ia terus mengatakan bahwa bangsa ini punya banyak potensi berupa melimpah ruahnya penduduk usia muda yang bakal bisa jadi motor penggerak bangsa.
Tapi mereka akan menjadi penggerak jika diberi bekal dan mindset yang tepat. Jika salah bekal, mereka ini justru malah nantinya jadi beban bangsa dan negara.
Bagaimana bisa?
Karena jika nantinya populasi meledak, penduduk dunia makin banyak, lapangan kerja global makin sedikit dan persaingan makin sengit (akibat pasar bebas), akhirnya mereka harus belajar bertahan hidup sendiri. Tidak bisa mengandalkan ketersediaan lapangan kerja dari para pemberi kerja (perusahaan-perusahaan swasta dalam berbagai skala dan badan usaha milik negara).
Dan ramalan Ir. Ciputra soal “bonus demografis” yang bisa jadi “bencana demografis” ini terbukti.
Sekarang saat ekonomi dunia menurun akibat efek pandemi 2020 dan akibat perang Rusia-Ukraina, lapangan kerja dalam negeri kita juga menyusut. Dunia startup teknologi yang saat pandemi digadang-gadang bisa menyelamatkan orang dari jurang pengangguran malah justru mengalami tech winter alias masa lesu investasi teknologi. Para investor yang sebelumnya mengguyur startup-startup teknologi Indonesia baik yang berstatus decacorn maupun unicorn macam GoTo, Bukalapak, dsb. menjauh dari sektor bisnis teknologi itu karena sejumlah disrupsi besar semacam penurunan daya beli konsumen, dan kemunculan berbagai alat yang berbasis kecerdasan buatan yang membuat tenaga kerja manusia mulai tidak dibutuhkan.
Dan ketimpangan di lapangan makin lebar saja rasanya kalau Anda naik kommuter untuk menjauh dari Jakarta. Cuma kurang dari 1 jam saja perjalanan dari jantung Jakarta, kita sudah disuguhi ketimpangan dalam segala hal. Mulai dari ekonomi tentu saja, hingga pengetahuan, keterampilan, mutu sumber daya manusia, dan lain-lain yang secara struktural dan sistematis membuat Indonesia stagnan begini. Terjebak dalam posisi negara berkembang yang meski sudah diramal bakal tinggal landas sejak masa orde baru tapi sampai sekarang 30 tahun setelahnya juga begini-begini saja. Terus berada di level negara berkembang yang berpotensi menjadi ekonomi besar dunia, terbukti masuknya kita ke G20 dan sempat menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi G20 di Bali tahun lalu.
Meski secara ekonomi kita besar, Indonesia adalah bangsa konsumen, bangsa pekerja, bukan bangsa inovator dan pemikir. Maka tidak heran jika seruan presiden ke rakyat agar ekonomi bangkit pasca pandemi ialah “ayo berbelanja, ke konser, beli ini itu”. Bukannya “ayo membuat sesuatu untuk bisa dijual ke bangsa lain yuk”.
Tapi memang susah jika DNA bangsa buruh itu sudah terpatri sedemikian rupa. Apalagi jika kita sudah berganti penjajah. Dahulu dijajah bangsa Eropa dan Asia Timur, sekarang kita dijajah sekelompok orang dari bangsa sendiri yang korup dan tak tahu malu. Merekalah kroni-kroni, elit, di lingkaran penguasa-penguasa pusat dan daerah yang membangun kerajaan-kerajaan mininya sendiri. Dan sisanya hanyalah rakyat yang kembali terjajah dan tertindas dalm berbagai lini. (*/)