Sosok Para Editor di Serial Netflix: Dari Narsisitik Sampai Peragu

PERNAH nggak kalian nonton sesuatu dan pekerjaan si tokoh utama atau tokoh protagonisnya sama persis dengan pekerjaan yang kamu lakoni sehari-hari?

Pastinya kita jadi lebih sadar dengan detail-detail yang remeh tapi penting dalam profesi kita yang sedang digambarkan di situ. Detail-detail ini mungkin terlewatkan bagi banyak orang awam yang ada di luar dunia profesi tersebut tapi buat mereka ‘orang dalam’ pasti tahu sedikit banyak. Kalau tokoh itu pekerjaannya digambarkan agak kurang akurat, kita kadang protes dalam hati: “Kok gitu sih?”

Setelah beberapa kali menonton serial-serial yang bertema dunia penerbitan dan media di Netflix beberapa pekan ini, saya sendiri menemukan sejumlah sosok editor yang bikin gemas karena … agak lebay dan well, ya ini kan memang tontonan yang mesti dibuat sedramatik mungkin. Kalau biasa-biasa saja ya mana ada yang mau menonton?! Haha.

Tapi kadang merasa tersindir karena memang ada deskripsinya yang akurat. Nah, seperti apa tuh yang akurat dan menohok?

Jacqueline Carlyle sang editor yang sempurna (duduk kanan) bersama Jane Sloane (duduk tengah). (Foto: Freeform)

Karakter editor pertama yang saya temukan di gudang kontennya Netflix adalah Jacqueline Carlyle, sang editor in-chief majalah perempuan Scarlet di serial “The Bold Type”. Kebetulan di sini protagonis utamanya adalah seorang penulis junior bernama Jean Sloan yang berada di bawah bimbingan si Jacqueline. Karena Jacqueline ini seorang pekerja media yang sudah malang melintang, Jane memandangnya sebagai seorang panutan, ikon, dan sosok inspiratif.

Penggambaran sosok Jacqueline sebagai editor di sini sungguh kuat. Salut banget sih buat Sarah Watson yang menggagas serial ini. Di sini, Jac tuh sosok editor idaman banget. Dia punya pengalaman segudang, kenalan banyak, keluarga yang harmonis (padahal dia gila kerja), dan yang terpenting dedikasi dan kematangan pribadi yang diperlukan untuk bisa menahkodai redaksi majalah yang sedang bertransformasi dari media lama (cetak) ke media baru (digital).

Sebagai seorang editor, dia selalu punya kalimat-kalimat yang cetar sebagai wejangan, pengusir kegundahan saat anak-anak buahnya lagi ragu dengan diri mereka sendiri, overthinking, atau harus mengambil keputusan penting dalam kerjaan atau kehidupan pribadi. Mereka udah kayak anak-anak Jac sendiri. Akting Melora Hardyn yang memerankan Jac sungguh mantap, setidaknya di mata saya sebagai penonton. Bener-bener Jac menjadi standar sih tentang bagaimana seorang editor seharusnya.

Tapi yang agak membuat aneh adalah kedekatan Jac yang sampai melebihi batas sih. Sampai masalah keretakan rumah tangga dengan suaminya saja bisa dia bahas dengan Joan yang notabene bawahannya pada saat mereka di kantor. Ya aneh aja sih, kalau kita bandingkan dengan kultur kerja di Indonesia yang mengharuskan atasan untuk menjaga kewibawaan di depan bawahan. Nggak kebayang sih kalau kita sebagai atasan dengan terbuka bisa membahas masalah pribadi dan keluarga dengan bawahan seleluasa itu. Atau apakah karena Jac dan Jane adalah sama-sama wanita? Entahlah, bisa saja ada faktor sisterhood yang memang konon sangat kuat.

Olivia yang diperankan dengan sempurna oleh Marla Mindelle. (Foto: Screen Rant)

Sosok kedua yang saya temukan adalah editor blog Eggwoke bernama Olivia di serial “Special” yang protagonisnya ialah Ryan Hayes yang diperankan Ryan O’Connel. Aktor ini memang benar-benar menderita cerebral palsy dan ia sepertinya menggunakan pengalaman-pengalaman pribadinya sebagai seorang pria muda gay dan memiliki kondisi khusus yang abu-abu (dibilang cacat tidak, dibilang normal juga tidak).

Olivia adalah perempuan yang sangat…ugh, narsisistik, arogan, kasar secara verbal, sarkastis, dan culas. Ia mempekerjakan Ryan sebagai tenaga magang secara tak manusiawi. Lalu mengolok-olok kepincangannya, dan merisaknya di depan orang lain di tempat kerja. Dan Olivia tak pernah merasa bersalah atas itu. Ia gambaran atasan atau editor yang suka menyiksa batin dan pikiran para bawahan dengan kata-kata yang menusuk dan tajam layaknya silet anyar. Bahkan ia memanggil Ryan sebagai “diva” hanya karena ia dianggapnya cari perhatian dengan kondisi cerebral palsy-nya itu. Untung saja serial ini genrenya komedi jadi perilaku karakter Olivia ini bisa disikapi dengan senyuman meski kecut.

Tapi kalau ada di kehidupan nyata, Olivia ini mungkin ada sih. Meski memang harus diakui Olivia adalah versi ekstrim dari sosok-sosok editor yang mulutnya tajam di lapangan. Ugh, tapi inilah yang membuat saya ngeri juga sih: kebanyakan editor sepertinya memang bermulut tajam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Entah kenapa, apakah mereka terlalu pandai dan piawai dalam memilih kata yang paling mengena di hati??

Untungnya Ryan yang nrimo ini punya teman Kim, yang berdarah India dan bersikap tegas di depan Olivia untuk membela Ryan yang kerap dijadikan bulan-bulanan. Untuk ini, penggambaran Kim juga lumayan akurat sih. Seperti tipikal orang India, Kim juga suka menentang hal-hal yang menurutnya kurang adil dan memuaskan. Ia berani-beraninya minta naik gaji ke Olivia padahal dua bulan sebelumnya sudah dinaikkan gajinya. Alasannya? Karena terjerat utang kartu kredit akibat belanja baju bermerek. Duh! Tapi tentu saja Olivia menampik dingin.

Diperankan Tom Basden, karakter Matt Braden bukan sosok editor panutan. (Foto: RadioTimes)

Lalu sosok editor ketiga adalah Matt Braden, editor yang menjalankan surat kabar lokal bernama “Tambury Gazette” di kota kecil bernama Tambury di serial “After Life”. Matt adalah saudara ipar Tony, sang protagonis yang baru saja kehilangan istrinya Lisa akibat kanker payudara. Tony bekerja sebagai penulis artikel feature di surat kabar gratis itu. Pribadinya ceria dan suka bercanda mendadak menjadi muram dan suicidal begitu Lisa meninggal tragis.

Di sini, Matt digambarkan sebagai seorang pimred/ editor yang lemah dalam mengambil keputusan. Ia terlalu peduli pada kesulitan yang dihadapi Tony secara pribadi. Mungkin saja karena perannya bercampur antara saudara ipar dan atasan Tony di kantor.

Tak terhitung upaya Matt untuk membuat Tony lebih bersemangat menjalani sisa hidupnya tanpa Lisa. Dan bahkan di sini Matt begitu peduli pada Tony sampai dirinya harus rela rumah tangganya retak.

Sebagai seorang editor, Matt sungguh menyedihkan karena seharusnya ia karakter yang kuat. Bukan lembek dan mudah diteror. Kebetulan karena masalah rumah tangga itu, ia harus menemui seorang terapis/ psikiater yang nggak becus, punya mentalitas toksik, suka berteman dengan orang-orang yang berkata kotor, bahkan bertingkah konyol di bar. Pokoknya terapis ini bukan tipe terapis ideal. Tapi anehnya Matt mempercayai nasihat-nasihatnya. Dan meski diteror dan diintimidasi, Matt malah terdorong ke sisi buruk maskulinisme.

Dan yang menyedihkan, Matt ini digambarkan tak punya inisiatif untuk menyelematkan surat kabar itu saat pemiliknya memutuskan ingin menjualnya karena tak ada laba dari situ. Justru Tony yang nekat menemui si pemilik dan bernegosiasi dengannya agar menunda penutupan itu. Mengecewakan sih. Karena sebagai seorang pucuk pimpinan sebuah media, editor adalah nahkoda. Jadi tidak seharusnya mudah terombang-ambing. Baik boleh, peduli orang lain boleh tapi bukan berarti menjadi tidak tegas dan tak berprinsip.

Satu lagi yang saya ingin protes dari penggambaran editor adalah meski sekarang sudah jamak menggunakan email dan piranti lunak pengolah kata tapi penulis-penulis di serial-serial ini masih menyerahkan draft mereka dalam bentuk cetakan di kertas. Haha! Paham sih kalau memang mengedit di layar laptop itu sering selip membetulkan typo tapi mana semangat go green-nya?!! (*/)

Yawatahama Sinbun’s Obituary

Yawatahama as seen from bird’s view (Photo credit: Wikipedia)

A Japanese newspaper was dying and it left legacies.

It was Yawatahama Sinbun, a local newspaper in Ehime Prefecture that got a lot of readership back in its heyday.

The dying newspaper was a sign of a dying small town as well.

The town of Yawatahama has become a lot quieter with fewer inhabitants (34,951 only as per 2015 census).

Shopping malls are closed.

And approaching its last edition, the local newspaper highlighted the spirit of the local awakening.

It’s hard to relate to such a story because Japan whose population is aging and shrinking is so different from Indonesia which is enjoying its demographic bonus.

Japanese sees fewer children, and as a consequence many elementary schools are closed. No students came in and studied.

Though the newspaper is now non-existent, it gives profound impact on the locals.

How It All Began

Their grandfather founded the newspaper in 1926. Its missions was to respond to its readers.

A lot of its news was about the locals’ happenings and incidents, which seemed trivial, such as fights between drunk men, girls who ran away from home, a cancelled wedding.

Kazuhiro who previously working in the male clothing industry began working for the newspaper 34 years ago after his marriage with Junko, his classmate.

He got used to the journalism industry gradually as he learned by running Yawatahama Sinbun.

He admitted that the gratitude that people gave him for publishing their news was amazing to him. The appreciation kept him moving forward.

How It Went

We are existent to support locals and offer hope for them, said Kazuhiro.

Kazuhiro wrote perhaps millions of articles for 33 years of working at the newspaper.

He was quite persevere as an old man. A job of a reporter is not easy but he did it fabulously till the end.

The newspaper was run by a couple of local old journalists. They are not certified or by any means, trained ones or graduated from a journalism program at a university. They are just third generation of the previous owner of the newspaper.

Junko, the wife, and Kazuhiro, the husband, literally ran Yawatahama Sinbun on their own every single day.

Journalism is hard and unforgiving. The couple must work hard from 8 am to midnight if necessary.

They had to stop operating the newspaper because Junko is not as fit any longer. She was ill and unfit for such toil.

How It All Ended

But sadly in 2017 Junko fell ill and had to undergo a major heart surgery, making her unable to do any strenuous work. That included working for Yawatahama Sinbun, which involved working for long hours every day.

They managed to find a replacement for Junko if necessary. But Kazuhiro realized it wouldn’t last long. Junko had to retire soon.

November 2019 saw their final decision to permanently stop the publication.

But what to do after the newspaper is gone?

The couple were clueless. Running a newspaper business was what they knew and did for many years.

The readership of Yawatahama Sinbun was quite large and constant for a local newspaper, achieving 3,000 copies for 3 decades.

The newspaper left legacies. Many readers still remember their first writeups and essays being published in the newspaper, and how it felt to read news that showed their names.

A sake business owner could not contain his regret. The business had placed ads in the newspaper for 80 years.

Yawatahama Sinbun was officially closed on December 27th, 2019.

It marked the end of its partnership with Yawatahama people for 94 years through thick and thin.

At the end of the publication, Kazuhiro stated that they wouldn’t bid farewell. They just ended the publication. That’s because an end is a new beginning, he wrote in his last column.

A month after the last publication, they worked on a new project: curating noteworthy articles from the newspaper for a book.

They intend to put the legacy to the hands of youths. (*/NHK)

Kenapa Makin Malas Mengonsumsi Berita

blur bokeh business connection
Photo by Markus Spiske temporausch.com on Pexels.com

Pernah saya menerima hadiah televisi, saya terima tetapi saya berikan pada anggota keluarga. Bukan karena sok gaya. Cuma buat apa? Semua berita bisa diakses lebih cepat melalui internet. Dan saya juga ingin menghindari menonton berita dan konten televisi yang destruktif bagi pikiran dan jiwa.

Sebagai pelaku industri konten, saya tahu sedikit banyak betapa murahnya konten sekarang diproduksi. Hampir semua situs berita bahkan media cetak dan televisi menjelma sebagai pabrik konten yang terus berlomba dalam meraup laba. Idealisme tersisih.

Dari pengalaman saya memproduksi konten daring dan buku, jelas memproduksi konten daring seperti artikel blog seperti yang Anda baca sekarang adalah amat murah. Tinggal pakai modal waktu, gawai, koneksi internet dan klik ‘publish’.

Membuat buku, sebaliknya, sangat panjang dan melelahkan prosesnya. Satu buku saja bisa hampir setahun mengerjakannya sampai tuntas benar, dari perumusan ide awal, penggodokan, penyusunan anggaran dan tetek bengek, wawancara, transkripsi, penyuntingan‎, fact checking, percetakan, penerbitan, sampai promosi dan penjualan. Itu garis besarnya saja. Belum hal-hal lain yang lebih rinci.

Menjelang perhelatan politik seperti sekarang, saya juga makin malas baca berita atau mengunjungi situs berita daring. Semuanya punya kepentingan. Bahkan yang terlihat idealis dulunya sekalipun sudah mulai ditunggangi. Kesal memang rasanya.

Kadang-kadang alih-alih membaca berita murahan dengan judul clickbait, saya membaca komentar-komentar di bawahnya. Ada yang berkata,”Berita nggak mutu. Gini aja jadi berita!” Yang lain menimpali:”Ya kan konten ginian yang didemenin masyarakat.” Konteksnya adalah video anak muda yang mempreteli kendaraan roda dua pacarnya di depan polisi gara-gara tak punya surat-surat. Uniknya ada netizen ‎waras yang berkomentar,”Bukan demen, tapi banyakan kontennya emang ga mutu.” Lalu yang satunya menyampaikan pendapat:”Ya kalau nggak mutu jangan diklik. Itu satu-satunya cara supaya situs-situs itu nggak bikin konten nggak mutu.”

Saya sepakat.

Tapi netizen edan lain berkata,”Ya namanya manusia, penasaran lah liat judul aneh, merangsang, sinting!”

Jawaban itu menyiratkan ketakutan yang bernama FOMO, Fear of Missing Out. Ketakutan jika dianggap ketinggalan, begitu lugasnya. Takut dianggap dungu saat ditanya rekan kerja saat berbicara soal topik terbaru atau video viral terkini atau foto terkeren selebgram di saat berlibur.

Saya suka dengan kutipan dari fs.blog ini:
“Apa yang kau baca di dunia maya saat ini tidak ada gunanya. Semua itu tidak berguna bagi hidupmu. Tidak juga bisa membantumu membuat keputusan yang lebih baik. Tak juga akan membantumu memahami dunia. Tidak pula membantumu mengembangkan hubungan yang mendalam dan bermakna dengan orang-orang di sekitar‎mu. Yang cuma bisa terjadi ialah perubahan suasana hati dan mungkin perilaku.”

Saya menganalogikan mengonsumsi berita saat ini sebagai seorang penikmat nasi padang yang tanpa sadar dikurung di restoran padang. Ia terus melahap nasi padang siang malam sampai tidak tahu ada jenis makanan lain yang tak kalah lezat di dunia ini.‎ Ia merasa sudah menjelajahi dunia kuliner hanya dengan mencicipi semua yang ada di daftar menu restoran.

Satu-satunya cara bisa keluar dari lingkaran setan ini ialah dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh mereka yang terbukti memberikan kontribusi pada peradaban. Bukan artikel-artikel clickbait atau konten media sosial yang viral ‎bukan main itu. Atau lakukan hal-hal yang signifikan bagi perkembangan diri kita di dunia nyata.

Karena kualitas ‎hidup kita ditentukan sedikit banyak oleh cara kita menghabiskan waktu luang. (*/)

Sent from my BlackBerry 10 smartphone.

Tanggulangi Peredaran Konten Negatif dengan Cara Ini

Konten bernuansa negatif seakan tiada habisnya diciptakan dan diedarkan di jagad maya. Biasanya konten negatif dikeluarkan dengan agenda tertentu. Misalnya, di tahun politik ini (di Indonesia setiap tahun terasa sebagai tahun politik) rasanya konten negatif bertema pemilihan presiden akan merebak. Konten politik ternyata tak memonopoli, karena konten hoax soal kesehatan juga turut meramaikan kesemerawutan dunia maya kita.

Yang terbaru adalah beredarnya berita palsu mengenai dipukulinya seorang pembicara perempuan setelah berceramah soal sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diangkat lagi menjelang peringatan G30S/ PKI. Di masa rezim Joko Widodo, isu PKI kerap sekali dipakai lawan-lawan politik. Diduga karena Joko Widodo dibekingi oleh PDI Perjuangan yang didirikan Megawati Soekarnoputri. Di masa Orde Lama tatkala ayah Megawati berkuasa, kaum Nasionalis memang dianggap dekat dengan para penyokong Komunisme. Paham Nasakom (nasionalis, agama, komunis) yang diangkat Presiden Soekarno dipandang memberi celah bagi kaum komunis untuk melakukan kudeta di negeri ini. Selanjutnya Anda bisa baca di tempat lain.

Nah, berita soal pemukulan seorang perempuan berjilbab yang berceramah soal sejarah PKI di Bekasi itu kemudian diketahui sebagai kebohongan karena diketahui dari pelacakan foto yang menunjukkan bahwa foto tersebut berasal dari akun Instagram seorang perias Malaysia. Alih-alih dipukuli, wanita di foto itu sengaja dirias agar tampak babak belur dipukuli hingga matanya lebam dan bibirnya berdarah-darah. Padahal itu hanya makeup dengan bahan gelatine prosthetic.
Untuk menanggulangi sirkulasi konten tipu muslihat sejenis ini, ada caranya sendiri. Dan yang penting, siapa saja bisa melakukannya. Ini penting sebab menjadikan kita bisa lebih merasa terlibat dengan dunia maya yang setiap saat kita geluti.

Begini caranya:

  • Simpan hasil tangkapan layar (screenshot)
  • Laporkan ke pengaduan konten http://aduankonten.id/
  • Atau kirimkan hasil tangkapan layar tadi ke email aduankonten@mail.kominfo.go.id
  • Atau laporkan konten negatif itu ke nomor WhatsApp 08119224545

To Be a Good Entrepreneurship Reporter, Don’t Be an Entrepreneur

So here’s the rule of thumb for entrepreneurship and business reporters out there: Don’t be the person you want to interview and write about. In other words, don’t be an entrepreneur or business person. This piece of advice sounds a little bit counter-intuitive as I thought it’d be much easier to understand the subject matters by being in their shoes, seeing things the way these people do so I can write better about them and their companies.

It turns out I’m wrong…

Reporters need to stay away from being an entrepreneur themselves. They can’t be a top-notch reporter and a great entrepreneur at the very same time. They have to relinquish one of the two.

That’s probably the gist of Sarah Lacy’s statements. The founder of media company Pando.com was asked whether being an entrepreneur herself changed her way of writing as a tech reporter. As we all know, Lacy has worked for almost 15 years writing about the tech industry, the people and the whole dynamics in it. She answered it bluntly,”I’m a way worse reporter now…”

Asking hard questions to other entrepreneurs as an entrepreneur cum reporter is relatively easy, claimed Lacy. Yet, she stated that what bothered her to do her best job she always wanted is the OVEREMPATHY on the answers. “So particularly when it comes to things I’ve gone through…like having the ousted board member (she might be reminded of Mike Arrington ousted from TechCrunch or?) or even like a cash crunch or hiring a sales guy that didn’t work out[…]”

She further said she didn’t write as much as she used to and she felt for these pitiful entrepreneurs. “Because I see every side to it and I feel for them,”explained the mother of two.

Thank God, I’m not an entrepreneur because if I have to be one, I would certainly lose my best job ever. And I would never trade being a writer to any job on earth. This is very much the best. At least for now.

The Success Catalyst of Journalism Businesses

At Galeri Nasional

Mark Briggs of Poynter Institute claims his course would tell you – aspiring entrepreneurial journalists – what to do before plunging to the business world. After the huge success of BuzzFeed and The Huffington Post, every journalist seems enchanted to give this a try. Who knows it’ll be a fruitful business undertaking that’ll lead you to a life full of fortune?

But if you’re like me, you know it takes more than writing and reporting skills to do great in journalism industry. There’re so many factors we need to take into account to be successful. And yet, the meaning of success itself is blurred. What I mean by success may be entirely different from what you mean, and what any other journalists mean.

Briggs couldn’t be as popular and wealthy as Kara Swisher, Sarah Lacy, Jakoeb Oetama or Jonah Peretti but he is for sure quite experienced in his own way. He stated his course “aims to give participants the knowledge and tools needed to launch content-driven news/information websites. We’ll take you from idea to implementation and, when necessary, help you retool or replace ideas with better versions.” In complete, he writes:

If you’re considering starting a news or information-oriented website, this course will help you decide whether an entrepreneurial path is the right one for you. And if you’re looking for a crash course on starting a business, it will show you the ropes, point you to the right resources and help you formulate the questions you most need answers to.

WHAT YOU WILL LEARN:

After completing this course, you’ll have newfound knowledge about creating a business and bringing your specific idea to fruition.

You’ll be able to:

  • Explain the difference between an idea and a product.
  • List the basic elements of a business plan.
  • Define basic business and marketing terms, including ROI and CPC.
  • List and summarize the legal structures available when establishing a business, and identify their strengths and weaknesses.
  • List popular technological platforms and cite strengths and weaknesses of each.
  • List available analytics tools and identify what to track and how to analyze the numbers.
  • Summarize the primary options when forming a business as a legal entity, getting legal and accounting help and finding software to help run the business.
  • List and describe major ad networks (e.g., BlogHer, Federated Media)

For your specific business, you’ll be able to:

  • Define your market, approximate its size and identify your audience
  • Write an executive summary.
  • Define the current work that needs to be done and identify the people who can do it.
  • Determine whether funding is needed and, if so, how much.
  • Decide whether the business can be bootstrapped and, if not, identify options for securing funding.
  • Estimate how many users/customers/viewers/readers will be “enough” to make the business work.
  • Identify qualities that distinguish your business from your competitors.
  • Perform a basic assessment of potential adjacent markets.
  • List questions that need to be answered about your product, market and/or business.
WHO SHOULD TAKE THIS COURSE:
  • Journalists working at legacy operations interested in founding a start-up venture
  • Recent journalism graduates interested in working in journalism, but not for a “traditional” journalistic business
  • Anyone passionate about a community, topic or cause who has a desire to start a publication-based business with journalistic values

For a moment, I let the words seep into my mind. Is it going to work? Can all these topics cover what it takes to be a successful entrepreneur in journalism industry?

It doesn’t seem that easy. Mastering all these things might be leading us closer to the goal but definitely not instantly.

We need a CATALYST.

What could that be? The mysterious catalyst that we’re searching for…

I remember several juniors asking me if they could just stay in the comfort of their hometowns while doing their journalism gigs. I told them, if they can be in Jakarta, it’d be much better.

The reason is because they need NETWORKS, people. They must see and talk to people, not only sitting and typing at home. Journalism businesses do NOT work that way. You have to go out, see more and more people, talk to them, dig tons of information from these folks you may not find at the smaller social circle in hometown.

Only Churnalists — Not Journalists — will Get Replaced by Robots

Of all jobs, there are 8 that digital media futurist Amy Webb predicted would eventually vanish at some point in the future: toll booth operators and cashiers, marketers, customers, factory workers, financial middle men, journalists, lawyers, and phone workers.

I frowned and continued reading on. This might be a joke. Utter disbelief.

Webb argued journalists will be wiped out as the new technology could replace their functions as news gatherers. Webb, who used to work as a journalist at Newsweek and The Wall Street Journal, stated:”[…] the next culprit will be algorithms that allow news outlets to
automatically create stories and place them on websites without human interaction. Robot journalists (fedora optional) are already writing thousands of articles a quarter at The Associated Press.”

That, if it really happens, will be a calamity for us journalists.

But what we can do to prevent this from happening to us?

No worries. For versatile, professional and competent journalists, being fired and getting replaced by algorithms certainly never happens. Obviously algorithms have no creativity a human journalist has.

So be as indispensable as you can be, journos! Or else, you’ll perish.

Tentang Wawancara, Mewawancarai, Diwawancarai dan Membaca Wawancara

Wawancara. Bisa dianggap mudah saja atau tantangan luar biasa. Mewawancarai secara alami lebih dituntun oleh keingintahuan lalu terkumpullah serangkai fakta atau apapun yang diasumsikan seperti fakta. Klaim dan simpulan tak berdasar kadang menyelip di sana sini yang terpaksa muncul karena ingin hasil wawancara lebih bombastis dan menarik dibaca orang. ‎Dan mungkin, karena pemeriksaan fakta (fact checking) sudah harus mengalah oleh tenggat waktu. Maklum, pembaca makin tak sabaran. Dunia (merasa) makin tak sabaran. Ini sungguh membingungkan dan sejatinya mengibakan. Karena pewarta makin lama makin seperti budak saja. Upah tak seberapa, tetapi mesti bekerja menata kata dari berbagai fakta yang ditemuinya, tanpa kenal penat yang meraja dan redaktur yang semena-mena.

‎Wawancara kerap dilakukan secara impromptu. Alhasil pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkan sekenanya. Tak tersusun baik, teracak, tanpa alur. Kalaupun tersusun sebelumnya, hanya dilakukan di sela rangkaian aktivitas yang padat luar biasa. Bahkan karena otak beku, pertanyaan sering mengabaikan logika. Norma juga bukan kendala, etika juga. Lalu bagaimana? Ini semua sungguh membuat gila! Bagaimana bisa mencapai hasil sempurna?!

Tetapi mendapatkan kesempatan wawancara pun sudah beruntung kadang. Bukan sekali dua kali pertanyaan sudah tertuang rapi di lembaran dan ternyata harus dibuang ke keranjang karena ‎sang narasumber yang (berpikir dirinya) terlampau terkenal sulit ditemui langsung dan begitu sibuk, atau memilih menyibukkan diri dengan jurnalis-jurnalis media besar dan melupakan pewarta-pewarta media maya.

Sementara itu, ada sebagian mereka yang mati-matian menjerat wartawan. Membuatnya terpaku di suatu waktu dan bangku, mendengarkan perkataan narasumber gila publisitas tanpa‎ jeda lalu menyajikan berbagai suguhan menggoda. Dari voucher makan tanpa biaya, jamuan makan cuma-cuma, memiliki kesempatan mencicipi kemewahan yang tak terjangkau anggaran dari upah bulanan.

Pewarta mewawancara sering karena tak ada pilihan lain di mata. Ya sudah, apa adanya saja, gumamnya.‎ Tenggat waktu toh makin dekat. Jadi daripada hari ini kena damprat, kenapa harus kesempatan ini dibiarkan lewat? Tinggal rekam atau catat. Sisanya bisa dikembangkan dari fantasi atau hasil menjelajahi hasil yang disuguhkan mesin pencari.

Kecewa kadang mendera kalau narasumber incaran menolak menjawab pertanyaan yang merangsang perbincangan intens. Seolah ia menutup pintu. Terkunci di situ dan tak bisa melangkah lebih jauh. Yang hanya bisa dilanjutkan hanya isu-isu yang membuat jemu. Itu itu melulu. Rasanya sudah buntu.

Hati berubah gembira jika berhadapan dengan narasumber yang dermawan bukan kepalang. Satu pertanyaan sentilan membuka sekaligus banyak jawaban, bahkan yang tidak terlintas sebelumnya untuk ditanyakan. Terus, terus, terus gali saja sampai habis. Tandas hingga puas.

‎Sial, ada hal bagus untuk diberitakan yang keceplosan diucapkannya tapi ia beberapa detik kemudian baru sadar dan minta dirahasiakan. “Off the record ya…” Mungkin akan lebih mudah jika diabaikan saja dan tetap memuatnya dalam berita lalu menikmati pujian dari redaktur dan pembaca tetapi bagaimana kalau narasumber murka dan mencap tak bisa dipercaya? Susah juga ya.

Mendapat masukan tentang kesalahan padahal sudah menulis sesuai pernyataan? Bukan anomali. Bahkan frekuensi terjadinya bisa tinggi. Karena itu, jangan menggores pena tetapi rekamlah suara. Jari tak bisa bersuara, tetapi suara manusia yang bisa.

‎Diwawancarai apalagi. Tak kalah pelik. Apa yang harus dipersiapkan? Duh, nanti kalau tidak tahu harus menjawabnya bagaimana? Baiklah, jawab sebisanya. Ini bukan ujian. Rileks saja. Berpakaian terbaik, supaya kalau difoto tak akan mengecewakan orang tua dan kerabat serta sobat yang akan menjadi sasaran pameran. Percuma, karena si pewawancara tak bawa kamera. Punyanya Blackberry semata. Di hari mendung saja, hasilnya sudah kabur. Ia tak pernah meminta foto, jadi mungkin memang tak memerlukannya. Lalu setelah terbit, muncullah foto-foto di jejaring sosial. Sial! Baiklah, fotonya tak terlalu buruk tetapi bagaimanapun juga tak ada permintaan izin yang terlontar.

Spekulasi usia narasumber bukannya masalah raksasa. Bahkan bisa dikatakan propaganda biasa agar semua percaya itulah seharusnya usia berdasarkan tampilan di netra. Tak ada keberatan‎ karena kesalahan dari ketidaktahuan itu kadang sebuah kenikmatan. Namun, lain kali, akan lebih baik menulis yang benar-benar diketahui saja. Agar sang narasumber tak terkesan berbohong memudakan usia. Padahal ia tak juga berupaya menutupinya.

Waspada juga membaca hasil wawancara. ‎Mungkin yang berlebihan si pewawancara. Kadang juga si terwawancara. Acap kali dua-duanya. Atau kekurangtajaman pendengaran dan pemikiran yang perlu dimaafkan, bukan diperkarakan. Sepanjang tak ada yang merasa dirugikan atau disudutkan.

A Hotel with Newsroom Flavor; Hot or Not?

The Press Hotel is like no other hotels on earth. Probably designed for overly dedicated journalists who don’t mind at all spending their life days and nights, being chained at their working desk, the hotel is located in Portland, the US. It was not a brand new building though. Previously the hotel was a number of offices of Portland Press Herald but in 2010 was left unoccupied as the journos moved to another office building.

There are so many lifestyle facilities guests can enjoy right here. The Press Hotel has its integrated art gallery full of past remnants like archaic typewriters. It is not going to excite overworked journalists who in dire need of total break from their highly demanding jobs. ‎
If you want to get drunk, go drink some booze at “The Inkwell”. It is a bar with newsy taste in every inch of it. You’ll find artworks that look like things you’re likely to find at a typical newsroom back then.

(image credit : poynter)

Hadiri ASEAN Literary Festival 2015 19 Maret Nanti!

Setelah menghadiri ASEAN Literary Festival tahun kemarin di Taman Ismail Marzuki, dua pekan lagi ajang yang sama akn digelar masih di tempat yang sama. Tema besarnya adalah mengenang sastrawan Indonesia yang beberapa waktu lalu baru saja berpulang ke Sang Pencipta, alm. Sitor Situmorang.

Berikut keseluruhan pernyataan pers dari pihak ASEAN Literary Festival 2015:

“Memasuki tahun kedua, ASEAN Literary Festival (ALF) 2015 akan dibuka pada Kamis, 19 Maret 2015, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, dan akan menjadi persembahan khusus bagi sastrawan Sitor Situmorang. Karya-karya Sitor akan ditafsir ke dalam komposisi musik, tari, dan berbagai pertunjukan. Di antaranya akan tampil pianis Ananda Sukarlan, yang akan membawakan puisi panjang Sitor Situmorang yang ditulis tahun 1955 berjudul “La Ronde”. Malam pembukaan ALF 2015 akan menjadi pementasan pertama komposisi tersebut. Ananda Sukarlan memilih penyanyi muda bersuara emas dari Surabaya bernama Nikodemus Lukas untuk menyanyikannya. Selain “La Ronde”, Nikodemus juga akan membawakan karya-karya Ananda yang lain, yang juga berangkat dari puisi Sitor Situmorang, seperti “Surat Kertas Hijau” dan “Malam Kebumen.”

“Sitor Situmorang diangkat menjadi tema pada malam pembukaan karena pengaruhnya yang sangat besar bagi kesusastraan Indonesia. Ini sebuah upaya memperkenalkan Sitor pada generasi muda,” ujar Abdul Khalik, Direktur ALF, di Jakarta, Jumat (27/2). Selain itu, tampil pula Nabilla Rasul, penari muda peraih hibah Seni Yayasan Kelola 2013 yang pernah tampil di pagelaran musikal Onrop, Dance Generation, dan Heart Records. Nabilla akan menafsirkan puisi Sitor berjudul “Dia dan Aku” dalam komposisi gerak tarian.

Ada pula special performance dari Signmark (Finlandia), musisi tuna rungu pertama di dunia yang berhasil mendapatkan kontrak rekaman dengan label major dunia. “Penampilan Signmark menunjukkan komitmen ALF untuk menjunjung inklusivitas, memberikan hak-hak yang sama bagi kaum diffable,” kata Abdul Khalik. “Selain itu, ini juga bagian dari perayaan keragaman bahasa yang menjadi jantung dari sebuah festival sastra.” Orasi budaya akan disampaikan oleh dr. Ma Thida, sastrawan asal Myanmar.
ALF 2015 diikuti lebih dari 20 negara (baik ASEAN maupun non-ASEAN) dan akan berlangsung hingga 22 Maret 2015, dengan rangkaian acara seperti pemutaran film, seminar, jumpa penulis, workshop menulis, tur sastra, dan berbagai pertunjukan berbasis karya sastra. Informasi lengkap mengenai ASEAN Literary Festival 2015 dapat diperoleh di situs resmi http://www.aseanliteraryfestival.com.

Informasi lebih jauh dapat menghubungi:
Ruth Stephanie (Project Officer ASEAN Literary Festival 2015) 082120646147, 082215898935
aseanliteraryfest@gmail.com”

How to Get the New Generation of Journalists TOTALLY SCREWED

Technology is never guilty. But still most people claim it’s a double-edged sword. I crack a smile. These people are mostly as f*cked up as the problem they’re talking about.

As ridiculous as it may sound, we might need to recall how all this mess in journalism currently is blamed on the surge of information technology. To me, it sounds like a fool trying to blame his own foolishness. Human race is just looking for a scapegoat, naturally. Because technology can’t avenge! Or at least talk to the creator back.

No one can rephrase the whole chaos in journalism industry any better like Jason Calacanis, a media entrepreneur cum seasoned journalist, does. And yes, nowadays journalism is also a field of industry. Like any other industries, it must generate profits, which at times sacrifices its then-highly-valued principles.

Here’s what I can sum up from Calacanis’ thought about the mess that the fresh, newer generation of journalists have to work and live with.

First of all, to screw new journalists’ work ethics and lives in general, you as an employer have to put too much pressure on these budding journos. Put the pressure with no mercy AT ALL.

Calacanis points out that more than 75% of the new generation of journalists out there are under pressure. Geez, he’s wrong in that almost all journalists are always under pressure, so are the churnalists (you know what churnalism means, I suppose). Pressure free is almost always impossible, except if a journalist writes for sheer fun. Yet, I agree with his idea that new journalists are now even more and more miserable under the inhumane demand of their employers.

“We know that a simple headline, factually correct, factually stated, accurate, does NOT drive traffic. But deception, lying, playing with words, bending the truth raises the number of tweets. What’s the impact on active journalism? Is this sending us in the wrong direction?!!” he questioned.

Another thing to make these new journalists screwed is leave them work days and nights without mentors. By mentors, I mean people who have the know-how, real experiences and time and resources to share with these poor young journalists.

Next, once they have no appropriate mentors, you can also strip them off their editorial assistance. That means they’re allowed to publish whatever they want to publish without any substantial copy editing done and rigorous fact checking the way old school journalists used to do.

Also, you have to push them. Like really really PUSH them to publish MORE content FASTER than their predecessors and at the same time remind them of maintaining VERY HIGH quality standard of journalism. Calacanis said they all are “a recipe for disaster”.

That way, if our new journalists make mistakes, offend people, or spread bogus news all over the world, they have no choice but take the blame.

That said, a mini apocalypse is on the way. To say the least, maybe democracy is falling apart.

But who cares?

(Image credit: Wikimedia)