Misa Itu

Christ Washing the Feet of the Apostles by Mei...
Christ Washing the Feet of the Apostles by Meister des Hausbuches, 1475 (Gemäldegalerie, Berlin). (Photo credit: Wikipedia)

Siang yang lumayan lembab dan panas setelah hujan ringan di sekitar kawasan bisnis itu. Cuaca menjelang akhir tahun yang labil ini membuat tumbang banyak orang. Cerah di pagi hari, mendung di tengah hari dan akhirnya ditutup dengan hujan di penghujung hari. Macet mendera apalagi lubang-lubang galian sumur resapan di sekitarnya masih menganga lebar. Tanah dan lumpur kecoklatan menyembur dari dalam bumi dan membuat wajah kota semakin tidak karuan tiap hujan turun.
Aliran kendaraan seperti sudah putus asa di depan Fajar. Mereka semua ingin memburu waktu dan hanya ingin maju. Kalau bisa, injak pedal gas terus, tak mau injak pedal rem. Ingin tiba secepatnya di tempat tujuan. Khas cara pikir instan orang sekarang. Muka-muka tegang dan penuh konsentrasi terpampang di kaca jendela depan yang tertimpa sinar matahari pantulan dari gedung bertingkat tertinggi di Indonesia, yang akibatnya membuat kota kembali bermandi cahaya setelah mendung sirna.
Fajar pun memberanikan diri menembus sungai mobil dan sepeda motor itu. Setelan jas di tubuhnya membuat ia sudah siap bertugas di atas sana, di sebuah lantai di gedung pencakar langit yang alamak tingginya bagi orang kampung seperti dia.
“Sudah di mana? Bu Rani sudah menanyakan dokumentasinya,”demikian isi pesan pendek itu. Sejurus kemudian, Fajar pun tergopoh-gopoh sembari menenteng sebuah kamera Sony di tangan. Sebuah kamera yang tergolong mahal, seharga 4 bulan gaji Fajar.
“Bisa mati aku kalau terlambat. Bu Rani sudah sampai lagi di sana. Mampus!” pikirnya dengan panik sambil mengemasi barang dan melesat ke tempat yang dimaksud. Padahal ia sudah berniat datang agak terlambat. Sehari sebelumnya ia sudah menerima surat elektronik itu. Inilah acara penting yang dinanti semua orang. Ia tahu pasti jadwalnya akan molor juga. Dan ia benar.
Tetapi ia tidak seharusnya terlambat karena 3 alasan. Pertama, karena ia bukan pemilik perusahaan. Kedua, karena ia bukan kerabat pemilik perusahaan. Dan ketiga, karena ia bukan jajaran manajerial perusahaan.
Fajar tidak percaya si nyonya rumah itu akan berkutat dengan persiapan acara 1,5 jam sebelum acara itu bahkan dijadwalkan dimulai. Namun toh wanita paruh baya yang gemar memakai flat shoes agar tidak menyaingi tinggi badan suaminya itu tetap terobsesi menyempurnakan segala detil perhelatan akbar itu sendiri. Maksudnya ‘sendiri’, tentu bukan ia mengerjakan semua sendiri. Ia hanya memberikan perintah tetapi semua instruksi itu harus keluar dari otak dan mulutnya sendiri. Karena ia yakin pendelegasian pekerjaan dan tanggung adalah hal terkonyol di dunia ini. Ia mau hanya satu: kesempurnaan. Titik.
Terakhir kali Fajar menyaksikan sang nyonya rumah itu di acara tahun lalu, saat sebelum kue ulang tahun itu keluar ke panggung. Di koridor menuju pintu masuk ruang perayaan yang bertempat di sebuah hotel milik keluarganya, Bu Rani mencegat trolley dengan kue ulang tahun dengan diameter sebesar parabola Indovision. Fajar tak ingat apa yang ia ucapkan pada sang pembawa trolley yang malang itu, tetapi ia bisa menerka kurang lebih apa yang sedang terjadi saat alis dan dahi pria itu agak berkerut.
Dan hari ini mungkin akan jatuh banyak korban lagi, mengikuti sang pembawa trolley yang kejatuhan ‘durian busuk’ sekonyong-konyong, pikir Fajar.
Ia bertemu dengan dua rekan lainnya di dalam gedung, yang terlihat sama tergesa-gesanya ke tempat undangan. Yang satu pria berbusana batik lengan panjang dan yang lain seorang wanita muda dengan blazer hitam. Rambut keduanya kontras. Rambut sang pria meranggas bak pohon di musim kemarau, berguguran entah ke mana. Si wanita masih terlihat lebat bak semak-semak liar di tanah lapang. Mereka bukan suami istri, atau rekan sesama divisi, hanya kebetulan bertemu saja di depan lobi. Jadi dipastikan tidak banyak percakapan yang bisa terjadi di natara keduanya.
Tak mau ketinggalan mereka, Fajar memacu kecepatan langkahnya. Orang tampak lalu lalang di dalam lobi tetapi tak peduli dengan Fajar yang berkeringat dengan rambut kacau diterpa angin jalanan saat menembus lalu lintas sebelumnya. Pendingin ruangan itu mendinginkan kepedulian juga kadang-kadang. Bahkan warna keemasan dan nuansa kayu yang memancarkan kehangatan itu tak berdaya. Fajar tak mau kehilangan jejak orang yang dikenalnya, maka ia terus melesat ke depan tak peduli kepayahan akibat membawa tas punggung berat.
Lift mengantar mereka langsung ke lantai 53. Rasanya lama dan Fajar serasa mau mati karenanya.
Saat lift terbuka di ujung pintu lainnya, seketika ia berlari kesetanan meninggalkan kedua temannya untuk menampakkan diri di depan.
“Harus sampai di sana sekarang juga!!!” jeritnya dalam hati. Ia tahu itu pertaruhan. Mulutnya kering, tetapi hatinya basah dengan doa, agar Bu Rani lupa dengan keterlambatannya yang bisa dikatakan tidak seberapa lama itu. Tetapi terlambat satu menit tidak ada bedanya dengan terlambat sepuluh menit. Terlambat tetaplah terlambat.
Masih terengah-engah, ia memasuki ruangan yang sudah ramai dengan orang, seraya dalam hati memanjatkan doa agar Bu Rani abai terhadap batang hidungnya.
Ini pukul 10 pagi lewat.
“Bagaimana? Sudah mulai?” Fajar bertanya ke kenalannya yang menyambut tepat di depan lift tadi.
“Belum,”jawab orang itu singkat.
Fajar menelan ludah. Muncul sedikit kelegaan.
Doanya terkabul. Ia berhasil mendaratkan pantat ke sebuah tempat duduk tanpa banyak kesulitan.
Fokusnya pada misi “jangan sampai ketahuan terlambat” buyar begitu duduk dan berhasil mengumpulkan kesadarannya sampai seratus persen. Ia agak terkejut karena dirinya menemukan sebuah pohon natal di pojok depan ruangan. Dinding ruangan sekelilingnya masih polos. Lantai belum tertutup ubin marmer, yang menjadi standar baku ubin di gedung ini.
“Apa-apaan ini? Misa?”
Ia muslim dan menyaksikan sebuah seremoni keagamaan semacam itu membuatnya sedikit terhenyak. Ia pernah beberapa kali melintas di depan sebuah gereja saat jemaatnya bernyanyi, mendengar selintas sang pendeta berkhotbah, atau mendengar organ itu berbunyi merdu dan diiringi tarikan suara paduan suara dalam bahasa Latin, Inggris dan Indonesia.
“Selalu ada saat pertama,” batin Fajar. Dan ia mulai menyiapkan diri untuk itu.
Beberapa bulan lalu ia pernah memasuki sebuah gereja saat seorang teman menikah di dalamnya. Tidak ada kecemasan, karena toh ia masuk sebagai tamu undangan pernikahan, bukan untuk beribadah.
Didikan agama sang orang tua begitu mendarah daging sampai ia kadang merasa bersalah kalau melanggarnya.
Semua ritual dilaksanakan. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan semua orang di hadapannya. Ia hanya mengerjakan tugasnya sebagai operator kamera. Bidik sana sini, berjalan ke sana kemari, lalu sejenak duduk beristirahat meluruskan dan meregangkan persendian bahu dan tangan. Nyanyian didendangkan dan ia masih termangu.
Minatnya lalu tertuju pada cerita sang pastur yang sekali lagi membuatnya bersemangat di tengah penat saat bekerja.
Pastur ini dikatakan oleh temannya sebagai yang paling muda di antara ketiga yang diundang di sana. Katanya ia sang badut di antara ketiganya. Sementara satu orang lainnya murah senyum, dan satunya lagi lebih serius dalam pembawaannya. Bisa jadi karena faktor umur.
Ia menceritakan perjuangannya meninggalkan Filipina dengan tubuh masih utuh dan sehat walafiat. Saat itu, cuaca sudah menunjukkan ketidaknormalan, tutur sang pastur.
Fajar bersandar ke kursi dan sesekali mengubah posisi punggung dan pantat yang agak pegal. Ia mencoba menikmati kisah yang naga-naganya akan membuat semua jemaat terkesima dan juga tergelak.
Pastur itu membuka sesi siraman rohaninya dengan:“Saya akan mulai memberikan siraman rohani saya yang serius.” Raut muka sang pastur yang jenaka membuat Fajar merasa agak ragu dengan makna kata “serius” yang baru saja diucapkan dengan penuh penekanan.
“Saat itu tahun 2009…”
Suaranya terdengar mengawang-awang di ruangan yang penuh tamu undangan.
Fajar bertanya-tanya apa yang selanjutnya akan diceritakan pastur itu mengenai tahun 2009.
“Saat itu cuaca sudah buruk sejak pagi hari. Hujan terus menerus. Karena jarak bandara dan apartemen sewaan kami di Manila lumayan jauh, kami memutuskan untuk beberapa jam sebelumnya berangkat sehingga akan lebih tenang jika terjebak macet dan yang paling penting, tidak sampai ketinggalan penerbangan pulang ke Jakarta. Saya dan satu orang teman, pastur Frans, kelimpungan mencari taksi. Penerbangan kami pukul 9 malam dan dari pagi sampai petang sekitar pukul 7 malam kami belum juga mendapatkan taksi. Keringat dingin mulai keluar….”
Ah cukup seru cerita ini sepertinya, pikir Fajar. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati podium tempat sang pastur berdiri. Daun telinganya seolah dua daun telinga seekor hyena yang tegak berdiri dan bergerak-gerak aktif 360 derajat mencari suara mencurigakan di sekitarnya. Tetapi telinga Fajar berbeda. Telinga ini mencari hiburan.
Semua orang diam karena merasa mulai ada konflik dalam cerita sang pastur dan pastur ini melanjutkan kisahnya,“Menjelang pukul 7 malam saya baru sadar bahwa kami sebagai pastur memiliki senjata ampuh untuk meminta bantuan. Sayangnya kami lupa saat itu! Apa senjata itu? Kami bilang saja,’Pari pari! We are priests! We want to go to Indonesia! Please, help us!’ Begitu kata saya kepada sopir taksi yang mendatangi kami.
Masyarakat Filipina yang mayoritas nasrani memang dikenal patuh dengan pemuka agamanya. Dan itu tidak mengenal kebangsaan. Siapa saja yang menjadi pemuka agama dari mana saja patut mendapatkan prioritas bantuan.
“‘Oh father, sorry father!’ kata sang sopir taksi. Langsung saja dia bilang,’Come father, come! I will help you!’ Kami berdua naik taksinya. Dan kami pun terjebak macet yang parah selama perjalanan ke bandara itu. Kami makin tegang. Bisakah kami mengejar pesawat yang akan lepas landas dalam waktu kurang dari 2 jam lagi? Romo Frietz yang berada di sebelah saya juga merasa stres, kami stres! Tetapi dia mengeluarkan rosarionya dan mulai komat-kamit. Saya berpikir apakaha saya akan mengikutinya berdoa atau melakukan sesuatu yang membantu kami mengatasi masalah ini. Tetapi saya meraba dompet dan terpikir untuk mengeluarkan uang. Untuk apa uang itu? Saya terlintas untuk memberikan semua uang peso saya yang tersisa, sebanyak 3000 peso, kepada sang sopir. Tapi ada syaratnya, saya katakan padanya,’Saya akan berikan Anda 3000 peso yang ada di dompet saya sekarang kalau Anda bisa mengantar kami secepat mungkin ke bandara sebelum pesawat kami terbang pada jam 8.10’. Tentu saja kontan sang sopir kegirangan. Ia bersemangat karena ongkos ke bandara normalnya hanya 500 peso untuk jarak tersebut. Mengetahui tantangan berhadiah menggiurkan ini, sopir taksi kami langsung terpacu. Apa yang terjadi? Si sopir langsung berusaha keras menemukan rute tercepat dan terpendek yang bisa ditemukannya untuk mencapai bandara. Tak heran pukul 8.10 kami sampai sudah di bandara. Agak lega lalu kami masuk buru-buru ke counter check-in sembari lari-lari seperti orang kesetanan tetapi ditolak juga. Kami mengaku pastur dan diijinkan masuk. Kami berhasil boarding ke pesawat juga. Dan itulah pesawat terakhir yang bisa keluar dari Manila karena setelah itu badai mulai melanda.”
Jeda sejenak, lalu pastur itu meneruskan,”Saya ingin bertanya pada Anda, apa yang membuat kami sukses sampai ke airport di waktu yang tepat sehingga bisa pulang ke tanah air?”
Fajar yang tadinya agak terkantuk-kantuk mendengarkan kembali berkonsentrasi. Bisa jadi dua-duanya, pikirnya.
“Doanya Romo Frietz atau 3000 peso saya?”tanya sang pastur jenaka. Sejurus kemudian jemaatnya agak riuh, saling berpandangan satu sama lain, menggoyangkan kepala dan badan mereka karena pertanyaan menarik yang memancing diskusi hebat.
Seorang jemaat memberikan jawaban lain,”Pari pari”.
Tampaknya jawabannya tidak sesederhana itu, begitu banyak faktor yang terlibat di dalamnya, batin Fajar.
Si pastur terus memberikan pertanyaan yang ibaratnya mengacau air supaya lebih keruh,”Bagaimana kalau kami mengandalkan salah satunya, kami memberikan uang 3000 peso saja tanpa berdoa, atau kami berdoa semuanya dan masa bodoh dengan sopir yang bisa sampai cepat atau tidak.”
Pastur memberikan sedikit simpulannya,”Banyak dari kita yang ekstrim kiri, selalu mengukur dengan materi. Semuanya diukur dengan kemampuan diri dan melupakan Tuhan. Tetapi sisi ekstrim kanan lebih spiritualistis yang membuat kita menjadi manja. Sedikit-sedikit minta dengan Tuhan sampai kita lupa melakukan tugas dan usaha kita sebagai manusia.”
Ia beralih ke kisah lain yang masih relevan,“Suatu saat kami 3 pastur ingin menonton film ke sebuah mall. Boleh ya pastur nonton film? Boleh lah, masak nggak boleh, sudah kawin nggak boleh, masak nonton film aja dilarang? Boleh boleh…”
Meledaklah tawa di antara jemaat. Cukup lama. Hingga samar-samar menghilang karena sang pastur terus melanjutkan kisahnya.
“Kami ke dalam tempat parkir dan mencari slot yang kosong. Selama beberapa lama kami kesulitan mencarinya. Tidak ada yang tersisa. Teman pastur yang menyopiri sudah berkeluh kesah tetapi ia mengeluh dengan Tuhan. Kami para romo mengakui bahwa pastur sangat saleh, spiritual, dan sangat kenceng doanya. Menoleh ke kiri ke kanan, masih tidak ada, dan kemudian ia berkata,’Tuhan Yesus dan Bunda Maria, di manakah kira-kira tempat parkir di sini?’ Saya menepuk bahunya,’Eh, kalau mau bikin KTP tidak usah telepon Presiden’. Kalau mau bikin KTP cukup minta tolong Pak RT atau Pak RW. “
Tawa kembali meledak.
Jemaat kembali bernyanyi setelah sang pastur menyelesaikan siraman rohaninya yang ‘serius’. Puja-puji dipanjatkan melalui nyanyian rohani dalam berbagai bahasa. Ada bahasa Inggris, Latin dan Indonesia.
Lagunya indah, iramanya merdu, Fajar ingin bersenandung mengikutinya tetapi sesuatu mencegahnya. Ia tidak bisa lalu mencoba mencari lagu dan irama lain.
Suara nyanyian itu menggema, menyeruak dari ruang aula ke seantero lantai. Dinding-dinding putih pucat itu pun ikut bergetar, getarannya meninggi saat chorus dinyanyikan.
Dan Fajar bertanya,”Mengapa aku sampai di sini?” Ia menjejakkan langkah menuju ke sebuah lift. Sedikit debu mengebang saat sepatu beradu dengan permukaan lantai itu.
Ia keluar seolah ada yang membimbingnya menuju ke dunianya yang asli. Bukan yang ini tetapi di luar sana.

Does SBY Tweet by Himself?

There’s no doubt someone is tweeting himself if he is a teenager or someone with less tech-challenged nature and looks, and a lot of spare time.  But what if that’s the President of Indonesia? I don’t know what to say but it is very much out of character to him. If you happen to  be  really fond of tweeting , find Susilo Bambang Yudhoyono  on this URL : https://twitter.com/sbyudhoyono. According to Daniel Sparringa on this official web page : http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2013/04/11/8940.html, the Twitter account is for public communication purposes. Could it be Sparringa tweeting for SBY? Needless to say…

So what makes me wonder is: Why now? Isn’t it now much too late to get actively involved on social media? Even if that’s for political reason, this is so left behind. Many politicians have begun this long before 2013.

I’m not this keen on political discussion approaching 2014 general elections. There’s barely anything I like about Indonesian politics and in particular, politicians.

Yoga Membuat Nafas Anda Lebih Panjang

bakasana variationEntah itu berarti dengan beryoga, hidup kita jadi lebih panjang? Sangat asyik berdebat tentang hal itu tetapi terlalu banyak faktor X yang bermain dalam menentukan usia seseorang dan satu pembahasan singkat tidak bisa mengkomodasi itu semua. Yang hanya kita temukan hanyalah debat kusir tanpa ujung.

Tetapi yang satu ini benar adanya. Jika Anda seorang penggemar yoga alias yogi/ yogini, Anda akan menemukan fakta mengejutkan bahwa efisiensi Anda dalam bernafas lebih tinggi daripada orang kebanyakan.

Ini bukan hipotesis atau teori omong kosong belaka yang saya karang di kepala. Seorang teman, Shanti namanya, pernah mengatakan betapa bergunanya latihan yoga yang ia lakukan selama ini dalam membantunya bernafas lebih efisien di dalam air yang notabene sepenuhnya bersandar pada persediaan udara bersih di tabung oksigen yang dibawa di punggung penyelam.

Menurut pengalamannya diving di Bali 2 kali dan di Gili 3 kali, ia sampai pada sebuah kesimpulan: “Sisa udara bersih yang dimiliki yogi/ yogini 2 kali lebih banyak daripada sisa udara para penyelam lain yang bukan yogi/ yogini alias tidak pernah beryoga”.

Dalam satu kali sesi menyelam, Shanti menceritakan seorang penyelam lain dari luar negeri sudah kehabisan udara saat baru di tengah-tengah perjalanan, waktu para penyelam lain masih asyik-asyiknya menelusuri alam bawah permukaan laut. Seorang dive master berbangga diri jumlah memproklamirkan sisa udaranya yang masih 60 (entah apa satuan ukurannya, karena saya sendiri belum pernah menyelam). Sementara itu, Shanti berhasil menyisakan 120. Sang dive master terperangah, mengira Shanti salah membaca tetapi justru ia yang salah.

Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia (Kisah Nyataku -2)

Di sebuah seminar entrepreneurship di UI Depok beberapa hari lalu. Mahasiswa/i adalah spons paling hebat di dunia. Mereka menyerap apapun di sekitar mereka dan itulah yang menarik para brainwasher aliran-aliran sesat datang ke kampus-kampus.

(Sambungan dari Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia bagian 1)

Pikiran saya saat itu masih melayang-layang, memikirkan apakah mereka akan terkesan dengan resume saya atau hanya melemparkan dokumen saya di tong sampah begitu saja. Rasanya tak sanggup lagi kalau harus gagal. Sambil menanti azan dzuhur yang segera bergaung, saya mencoba bersantai setelah beberapa hari sekujur tubuh dan pikiran penat di atas kereta dan merenung tentang masa depan.

Saya bukan orang yang mudah akrab dengan orang. Dan saya diajarkan untuk tidak menerima keramahan yang tanpa alasan jelas oleh orang asing. There’s no free lunch, literally. And I take the advice without question. Ayah saya selalu mengingatkan jangan minum atau makan apapun yang diberikan orang selama perjalanan. Meski pada akhirnya saya juga sadar, tidak semua orang bermaksud buruk, toh kewaspadaan itu perlu. Apalagi di tengah Jakarta. Dan saya saat itu sedang di Depok, di luar wilayah ibukota, jadi nasihat ayah bisa sedikit  saya abaikan. Demi Tuhan, ini kan lingkungan terpelajar! Universitas Indonesia! Sulit sekali membayangkan ada tindak kriminal terjadi di sini atau penjahat mengintai di balik tembok kampus yang penuh muda-mudi berwajah, yang menurut istilah sekarang, unyu.

Si pemuda berbadan gelap (sebut saja si A) ini menyapa saya yang terlihat termangu di hadapannya. “Assalamualaikum, lagi apa di sini?” Saya pun menjelaskan alasan saya di sini dengan nada setengah hati. Sungguh, berbincang-bincang dengan orang asing adalah hal terakhir yang terpikir ingin saya lakukan di hari itu. Saya cuma ingin sendiri, makan dan tidur di sebuah ruangan gelap tanpa goncangan dan bau pesing  a la gerbong kereta bisnis karena lelah luar biasa. Obrolan dengan orang asing juga menjadi semacam rentetan interogasi karena banyak yang harus saya jelaskan dan pada saat yang sama saya tidak atau kurang ingin bertanya pada mereka. Saya tidak ingin terlalu mengurusi kehidupan orang lain, itu pikiran saya.

Dia menyebutkan nama sepintas lalu. Saya tak berusaha mengingat. Toh saya tidak akan bertemu dengan mereka lagi, batin saya. Tetapi saya mencoba bersikap ramah, apalagi dengan saudara seiman.

Pertama si  A menanyakan asal saya, saya jawab apa adanya. “Di mana kuliah?” si A bertanya lagi. Saya tak ingat pertanyaan apa lagi yang ia ajukan tetapi ia memberondong saya sedemikian rupa sehingga saya tidak terpikir untuk bertanya balik.

Sejurus kemudian, mereka mengaku sedang menunggu temannya. Katanya si teman yang ditunggu ini (sebut saja si B) bekerja di sebuah rumah produksi, yang seolah menyiratkan bahwa ia dekat dengan kalangan selebritas. Si A juga berceloteh bahwa si B ini tinggal di sebuah studio yang bisa saya tinggali sementara karena saya mungkin harus tinggal di sebuah penginapan atau kos malam itu untuk menunggu hasil tes wawancara kerja yang baru usai.

Benar saja. Si A pun mengutak-atik ponselnya. Ponsel murahan Esia dengan layar super sempit itu ia angkat dan tempelkan ke telinga sejenak, berkata-kata sebentar pada orang yang ada di ujung sambungan seluler lain. Tampaknya si B hanya beberapa langkah saja dari tempat kami berada.

Si B pun tiba. Penampilannya sungguh perlente. Kemeja lengan pendek rapi. Kumis dan jenggot bersih mulus. Celana berikat pinggang rapi dengan panjang yang wajar menurut standar fashion terkini, tak terlalu pendek lah.

Sekali saya mendengarnya berkata, tak diragukan lagi ia jenis orang yang pandai bersilat lidah. Bahkan si B ini bisa jadi senior si A dan si C (yang sama sekali pasif sepanjang bersama saya, bisa jadi ia baru seorang ‘anak magang’).

Kami pun berbincang. “Damnation, mau rehat malah terjebak dalam pembicaraan yang tidak jelas juntrungannya begini,” keluh saya dalam hati. Ia terus meracau. Si A mengulang beberapa potongan informasi yang sudah saya berikan tentang diri saya pada si B.

Azan berkumandang. Kami bergegas ke musholla kampus terdekat yang mengharuskan kami menyeberangi jembatan merah dia atas danau artifisial nan indah dan resik itu. Asri kampus UI memang.

Musholla kampus itu penuh sesak dengan mahasiswa dan mahasiswi. Inilah kelemahan memiliki area kampus yang begitu luas dan lapang, susah mengontrol keluar masuknya orang terutama yang bukan mahasiswa dan staf kampus.

Saya ingin menunggu hingga musholla agak lega, tetapi si A dan B tampak tak sabar. Mereka seolah menggiring saya ke masjid lain yang lebih besar. Jelas mereka tidak sekali baru ke kampus UI. Mereka tampak sudah familiar dengan tata letak kampus.

Tema obrolan pun makin ‘berat’. Dari sekadar penawaran untuk menginap di studio tempat si B konon tinggal makin lama makin bergeser ke masalah agama, sosial, politik dan kenegaraan. Intinya mereka ingin saya merasakan adanya ketidakpuasan dari kondisi yang ada sekarang dan mengapa harus memberontak melawan status quo: pemerintah Indonesia yang menurut mereka sudah zolim dan KAFIR. Nah!

Obrolan ini terhenti karena solat zuhur. Saya solat agak terpisah dari mereka tetapi setelah solat pun mereka kembali menghampiri saya. Mereka masih tertarik mengobrol dengan saya. “Sial!”

Perut sudah sangat meronta. Gesekan dinding usus yang kosong melompong ini sangat menyiksa. Dan 3 keparat itu masih mencoba mengajak saya mengobrol. “Dasar orang-orang ini tidak peka, jamnya makan siang diajak diskusi berat,” pikir saya. Makin tidak bersimpati saya pada gerombolan ini.

Mulailah tampak tujuan asli mereka.

Sebuah mushaf (naskah) Al Qur’an diambil si A dari rak buku masjid atas perintah si B. Jelas ada hubungan hirarkis vertikal antara keduanya. Sementara si C cuma tidur-tiduran.

To be continued…

Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia (Kisah Nyataku-1)

Februari 2010 yang tidak akan terlupa. Sudah berbulan-bulan mencari pekerjaan dan mendapat tawaran di ibukota setelah beberapa bulan juga pernah mengadu untung melamar kerja di sana.

Orang bilang bersabar saja karena kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Ah, tidak juga. Itu namanya menyepelekan kegagalan. Kegagalan harus dihindari sebisa mungkin dan jikalau tak bisa terhindarkan pun, gunakan kegagalan itu untuk menghindari yang serupa di masa datang.

Kemiskinan finansial sering dianggap sebagai objek permakluman. Tak mengapa miskin harta, asalkan kaya hati. Itu lebih terdengar sebagai suatu apologi seorang pecundang. Mentalitas yang menjauhkan diri seseorang dari kepantasan mendapatkan rejeki yang sejati.

Saya pernah mendengar bagaimana seseorang berpendapat tentang ini. Katanya,”Uang memang bukan segalanya. Uang tak bisa menjamin kebahagiaan. Itu betul. Tetapi dengan tidak memiliki uang, niscaya ketidakbahagiaan juga sebuah takdir yang pasti dijelang. Uang bisa digunakan untuk melakukan banyak hal, termasuk menolong orang di sekitar kita.” Ada benarnya.

Kemiskinan dan ketiadaan pekerjaan juga membuat manusia lebih rawan dengan berbagai eksploitasi. Mereka yang miskin dan menganggur cenderung rela melakukan apa saja untuk mendaki tangga menuju sukses. Jangankan yang tidak terdidik, yang terdidik saja jika menganggur bisa putus asa dan melakukan kenekatan yang sama sekali tidak masuk akal karena tidak mencerminkan kematangan intelejensianya. Saya masih ingat dengan berita seorang lulusan universitas luar negeri di surat kabar tetapi tanpa pikir panjang ia melakukan tindak kriminal yang mencoreng muka sendiri.

Saya pernah merasakan sendiri bagaimana rapuhnya menjadi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan. Tidak banyak yang tahu, saya pernah hampir menjadi sasaran agen perekrutan anggota baru Negara Islam Indonesia, atau “Negara Islam Kurnia” (demikian si agen rahasia menyebutnya).

Sebenarnya ini sudah berlangsung Februari 2010 lalu. Sudah lumayan lama. Saya hampir lupa detilnya tetapi tidak akan pernah lupa bagaimana sulitnya melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Betul, seolah-olah saya tergiring selama beberapa jam dalam diskusi yang mereka rekayasa.

Saya kembali teringat pengalaman tersebut tatkala berkunjung ke kampus Universitas Indonesia di Depok Selasa kemarin saat meliput seminar di sana. Di sinilah peristiwa  itu menimpa saya 2,5 tahun lalu.

Begini ceritanya…

Karena panggilan sebuah wawancara dan tes pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi dari negeri tirai bambu, saya pun ke kampus UI. Jika tak salah ingat itu di sekitar danau buatan dan jembatan merah. Mungkin itu fakultas Ilmu Budaya atau Teknik. Hmm, mungkin Teknik. Ya betul…Teknik.

Posisi yang saya lamar, saya masih ingat, ialah editor bahasa Inggris. Tes pertama yang berupa tes tertulis berhasil dilalui dengan relatif mudah. Cuma menulis. Sayangnya, saya hanya memiliki pengalaman menulis blog dalam bahasa Inggris, yang menurut si pewawancara belum memadai untuk kualifikasi editor yang mereka inginkan. Saya bisa baca pikiran 2 wanita muda Cina yang berada di hadapan saya setelah mereka menanyakan apakah saya sudah pernah menerbitkan sebuah buku. Saya langsung berpikir, “That’s obviously the end of me here.”

Cerita bergulir saat saya menemukan sebuah pohon rindang dengan bangku nyaman di bawahnya. Pohon itu berada di dekat sebuah ruangan yang tampaknya sebuah gym center. Aneh sekali ada kampus punya pusat kebugaran, pikir saya.

Siang itu terik. Tubuh capek setelah semalaman berada di gerbong kereta yang sama sekali tidak nyaman untuk tertidur. Perut lapar pula. Pukul 11 siang saat itu mungkin, belum waktunya makan siang. Akhirnya saya memutuskan duduk di sana sambil menenggak air mineral. Mungkin saya akan salat lalu temukan warung makan di sekitar sini dan mencari kos yang murah untuk tinggal barang semalam karena kemungkinan saya akan dipanggil lagi di hari berikutnya (yang ternyata salah besar).

Tiba-tiba ada dua orang pemuda turut duduk bersama saya di bawah pohon besar dekat danau buatan dan jembatan bercat merah itu. Yang satu lebih tinggi dari saya, kulitnya kuning. Ia lebih hening dibandingkan rekannya yang lebih pendek dan berkulit lebih gelap. Yang kedua ini rupa dan perawakannya mirip seorang mantan mahasiswa saya di kota asal.

To be continued…

(Selanjutnya: Nyaris Menjadi Agen Negara Islam Kurnia Bag 2 dan Nyaris Menjadi Agen Negara Islam Kurnia bagian 3)

Pusat Penerjemahan Sastra: Impian Eliza Vitri Handayani, Penerjemah dan Masyarakat Sastra Indonesia

Dari kiri ke kanan: Penerjemah David Colmer, penggagas InisiatifPenerjemahanSastra.org Eliza Vitri Handayani, penerjemah Kari Dickson dan penerjemah bahasa Inggris-Norwegia Kate Griffin

Saat saya masuki aula besar di atas galeri seni di Erasmus Huis Sabtu pukul 7 lewat 15 menit malam kemarin (13/10/2012), suasana khidmat terasa. Ruangan yang besar tersebut tidak terisi penuh. Kursi di bagian depan cuma terisi satu dua orang. Hampir setahun lalu saya juga pernah berada di sini, untuk menonton film pemenang ajang SBM Golden Lens Award di bulan November 2011. Sangat berkesan.

Malam kemarin juga tak kalah berkesan. Saya bertemu teman yang selama ini hanya bersua secara virtual di Facebook dan blog, Dina Begum. Teman-teman baru sesama penerjemah juga banyak bertebaran di seantero ruangan sampai saya bingung harus memilih meredam gesekan usus yang masih kosong atau berkenalan dengan sebanyak mungkin orang di kesempatan langka malam itu. Cuma sempat berkenalan dengan Budi Suryadi yang membuat kami tergelak dengan lelucon angsa dan kuda nil di tengah danau dan Asep Gunawan yang mengira saya masih lulusan  baru.

Eliza Vitri Handayani malam itu membuka acara pembacaan hasil penerjemahan karya sastra penulis Gustaaf Peek dari Belanda dan Kjesrti A. Skomsvold dari Norwegia. Wanita muda penggagas InisiatifPenerjemahanSastra.org itu menyampaikan pidato pembukaan dengan fasih di hadapan peserta lokakarya penerjemahan sastra yang telah berlangsung selama 5 hari sebelumnya, para pembicara dan sejumlah pemerhati dunia penerjemahan di tanah air. Kalangan penerbit dan badan lain yang menaruh minat pada penerjemahan juga menyempatkan hadir.

Eliza tampak sibuk melayani percakapan dengan tamu lain sehingga saya harus berpikir beberapa kali untuk menemukan cara menyela obrolannya dengan orang lain. Terus terang saya bukan orang yang suka menyela. Itu salah satu hal yang paling tidak berbudaya menurut saya.  Dan sekonyong-konyong, saya terkejut saat Eliza menghampiri saat saya menundukkan pandangan untuk berfokus pada makanan di piring yang sudah hampir tandas. Mungkin ia dengan sengaja menghampiri semua orang di ruangan ini. Peluang emas, pikir saya. Saya bombardir saja dengan pertanyaan-pertanyaan spontan. Inilah cuplikan singkat wawancara impromptu saya dengan Eliza.

 

Apa tujuan utama diadakannya lokakarya ini?

Tujuannya sebagai alat pengembangan kompetensi penerjemah. Berdasarkan wawancara dengan penerjemah, editor dan penerbit, saya temukan 3 kendala utama dalam dunia penerjemahan di tanah air yakni: kompetensi penerjemah, kondisi kerja di penerbitan, dan rendahnya apresiasi terhadap karya terjemahan. Dan tahun ini tujuan acara ini (lokakarya penerjemahan di Erasmus Huis) adalah untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Pertama, meningkatkan kompetensi penerjemah dengan mengadakan lokakarya, seminar, membahas kondisi kerja dan acara umum seperti ini untuk mengangkat profil penerjemah. Apalagi mereka jarang diundang. Jika diundang pun, penerjemah jarang diberikan kesempatan berbicara di depan. Di sini, mereka diwawancarai dan diberikan kesempatan berbicara.

Orang juga perlu menyadari bahwa proses penerjemahan karya sastra itu tidak hanya baca karyanya lalu mengetik, atau menbuka kamus dan tinggal memasukkan arti kata. Prosesnya sangat rumit.

Ada alasan khusus mengapa memilih karya sastra dari Norwegia dan Belanda untuk lokakarya tahun ini?

Sebenarnya bisa dari mana saja karena kebetulan saya tinggal di Norwegia separuh tahun dan (kita memilih) Belanda karena kita memiliki hubungan sejarah yang kuat dan dukungan praktisnya juga karena mereka juga memiliki lembaga tersendiri untuk mendukung penerjemahan karya-karya sastra mereka.

Apakah benar apresiasi terhadap hasil penerjemahan karya sastra lebih rendah dibandingkan terhadap karya aslinya?

Saya pikir tidak. Hanya banyak yang kurang percaya dengan terjemahan bahasa Indonesia sebab banyak orang berpikir dengan kemampuan berbahasa Inggris sedikit, orang sudah bisa menerjemahkan, banyak buku yang tidak diedit, penerbit cuma mengejar tenggat waktu untuk merilis buku, dan banyak pembaca yang bisa membaca bahasa Inggris. Jadi mereka tidak percaya dengan hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Mengapa memilih karya Gustaaf Peek?

Ada berbagai pertimbangan yang tidak hanya dari kita tetapi juga dari donor. Gustaaf belum menerjemahkan karyanya ke bahasa Inggris, kita ingin karyanya bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris dan lainnya. Dan karena karyanya menarik.

Dalam lokakarya dilakukan penerjemahan secara relay (dari bahasa Norwegia –> Inggris –> Indonesia). Apakah dengan cara ini risiko kesalahan justru akan makin tinggi?

Betul, biasanya memang demikian. Tapi kita berusaha mengatasi itu dengan mendatangkan penulis aslinya dan penerjemah asal. Saya dengan berat hati mengadakan penerjemahan relay tetapi tidak merekomendasikan relay translation tanpa partisipasi penerjemah pertama.

Apakah nanti jika penerjemah Indonesia membutuhkan bantuan untuk menghubungi penulis atau penerjemah pertama, apakah akan dibantu?

Ya, jika kami nanti sudah menjadi sebuah pusat penerjemahan sastra di Indonesia. Sekarang pun jika kami bisa membantu, akan kami bantu.

Seberapa perlu penerjemah karya sastra memahami konteks sosial budaya yang menjadi latar belakang karya sastra?

Itu juga perlu, seperti tadi saat membahas keadaan cuaca di Norwegia yang tidak bisa ditemui di Indonesia. Unsur pakaian juga. Dengan menghadirkan penulis, kita bisa mengetahui semua itu, bagaimana rasanya memakai pakaian itu.

Itu kalau penulisnya masih ada, jadi proses penerjemahan lebih lancar karena masih bisa berdiskusi. Bagaimana jika penulisnya sudah meninggal?

Tujuan lokakarya ini bukan supaya kita menjadi lebih tergantung pada penulis. Kita tidak selalu memiliki kesempatan untuk bertukar pikiran dengan penulis. Ini hanya sebagai cara untuk membaca teks lebih dekat. Karena penulis juga sebisa mungkin ingin memasukkan semua yang ingin ia sampaikan ke dalam teks.

Untuk tahun-tahun mendatang, apa yang akan dilakukan setelah penyelenggaraan lokakarya penerjemahan karya sastra ini?

Kita memiliki ide untuk memberikan penghargaan bagi buku terjemahan karya sastra terbaik karena belum ada yang khusus mengapresiasi terjemahan sastra sampai sekarang. Padahal itu ada prosesnya dan seninya sendiri.

Kira-kira kapan realisasinya?

Pinginnya tahun depan.

Sudah melobi pihak apa saja untuk realisasi ini?

Rahasia dulu deh. Haha.

Tapi secara umum, apakah antusiasmenya sudah ada terhadap apresiasi terjemahan karya sastra?

Sudah. Secara umum saja, dari Festival Sastra. Sebab itu pesta, kita memberi anugerah untuk merayakan pencapaian jadi alangkah baiknya kalau di Festival Sastra. Jadi akan ada banyak penonton sehingga suasananya meriah. Pihak lain ialah organisasi yang tertarik dalam bidang penerjemahan, media yang banyak bergerak di bidang penerjemahan.

Apakah tahun depan diadakan lagi lokakarya seperti ini?

Sedang direncanakan. Kalau bisa dari bahasa-bahasa Asia.

Apakah ada rencana untuk memberikan lokakarya tetapi yang melibatkan bahasa-bahasa lain yang tidak sepopuler bahasa Inggris?

Ada. Tantangannya akan lebih sulit mencari pesertanya. Tetapi itu memang harus ditumbuhkan seperti misalnya yang sekarang di lokakarya yang langsung dari bahasa Belanda, kan kebanyakan dosen atau pengajar bahasa dan itu memiliki kesulitan sendiri karena mereka belum tentu memiliki kemampuan menulis yang baik tapi di sisi lain kita harus tumbuhkan minat mereka untuk menerjemahkan karya sastra Belanda.

Bagaimana dengan kualitas para penerjemah kita?

Banyak yang sudah hebat seperti para pembicara di lokakarya tadi. Tapi banyak juga yang lain yang masih perlu ditingkatkan.

Wawancara pun harus berhenti karena dua teman Elisa menghampiri dan mengajak mengobrol sejenak untuk berpamitan dan mengucapkan dukungan terhadap inisiatifnya mendirikan pusat penerjemahan sastra pertama di Indonesia. Saya pun mempersilakan padanya untuk menyantap makanan yang sudah diambil sebelum saya memberondongnya dengan pertanyaan.

Semoga impian Eliza, yang juga impian kita semua, akan terwujud dengan lancar segera!

 

 

Snapshots of #Jakarta (Taken from My Instagram Collection)

That disgraceful moustache : It was printed on the wall calendar hung in the nearby mosque I frequent.

Despite the shameless rampant  racist black campaign, the incumbent lost to the new younger challenger Mr. Joko Widodo and Basuki Purnama a.k.a. Ahok, as indicated by some quick count results:
1. Quick Count LSI-TV One: Jokowi-Ahok 53,68%, Foke-Nara 46,32%.
2. Indo Barometer-Metro TV: Jokowi-Ahok 54,11%, Foke-Nara 45,89%.
3. LSI-SCTV: Jokowi-Ahok: 53,81%, Foke-Nara 46,19%.
4. Kompas: Jokowi-Ahok: 52,97 %, Foke-Nara 47,03%
5. MNC Media-SMRC: Jokowi-Ahok 52,63, Foke-Nara 47,37%.

 

After the incumbent, will the new administration be the next scapegoat of the traffic jam?
Some don’t even give it a damn, sadly.
What they call “development” is actually “demolition”. I still remember the government promised to move or replant the trees from these areas before the flyover project began. Can they tell me where those trees are now? Oh I forget how busy they are all with these political craps.
Not a slave,not yet a boss: You are most likely to find the middle class faces in Sudirman Central Business District in #jakarta . They are caught somewhere between the bottom of the food chain in the ecosystem (e.g. construction, manual workers) and the jetset. They might afford to buy an iPhone 5 in cash but need to save first before purchase.
Modern slavery: Construction workers in #jakarta start working. These men are mostly peasants in various rural poverty-ridden areas around Java. Once the project they work for is done, they go home and plant the paddy fields as the rainy season approaches in the end of year.

 

2 days before the gubernatorial election in #Jakarta

 

Approaching the gubernatorial election in #jakarta, I get so dumbfounded by all the debates, arguments and psywars. I am no Jakartan before the law so I have no right to cast a vote. But if I really have to vote, i will vote for both. Just for the sake of balance. and everyone’s happy.
Monas: The 51-year-old monument was officiated in 1975. It took 14 years to erect the 132 meter high landmark of Jakarta. Frederich Silaban and R. M. Soedarsono are the architects in charge of its one-of-a-kind design,which resembles a torch and flame. The golden flame at the top symbolizes the struggle of the opressed nation against the Dutch Colonial Regime. #landmarked

 

It is estimated that #Jakarta will have thousands more new inhabitants every year after Idul Fitri. These new comers are mostly those without adequate skills and knowledge, not to mention their lack of educational background. A trusted friend of mine recently went back from her hometown and told me some of the people she knew at home went to the capital to find jobs. And they are not alone. Each of these job seekers brings his own motorbike as well. Why am i not surprised to find these streets are always not wide enough to hold the maddening traffic???

 

“Toko Merah” (Red Store): A culturally preserved old building in #KotaTua #jakarta ,erected in 1730 in the initiative of General Governor of VOC 1743-1750, Gustaaf Willem Baron van Imhoff.

 

 

 

In Protest against Lame Food Policy, Agricultural Department Site Got Hacked

Packs of tempeh, fermented soybean bars that is considered the next staple food after rice. (Credit : Wikipedia.org)

There are too many ironies in this country. Indonesia is a country well known for its abundant natural resources and dubbed as “Ring of Fire”, where two lines of volcanoes meet with each other. Merapi, Krakatau are a few that I guess the most widely known by modern, historic humanity. And in the past, we had Tambora. With a lot of volcanoes here, the soil fertility is naturally undoubtable. You can grow literally almost any plants on Indonesia’s earth.

 

But the reality is quite different. We Indonesians are importing too many commodities, including foods that we can grow on our own. Some can’t get the point why the government doesn’t react on the twisted, logically faulty policies in food defense. And combined with proper computer science, they took a bold, somehow illegal and reckless action: hacking the agricultural department official site.

 

A local online site (Surya Online) published a ridiculously titled article: “Situs Deptan Dihack Pecinta Tempe” (Agricultural Dept Site Hacked by Tempeh Lovers). Now I know that one cannot look down on these tempeh lovers with “tempeh mentality” ( tempeh is unjustly associated with weak spirit, low enthusiasm or passion here). Sure if they managed to hack a govt site, that simply showed how shrewd they’ve become, mostly because of tempeh regular consumption.

 

The hacking itself happened with good, even noble, reason. If you’re not aware of what has been a custom in Indonesia market, I tell you that every Ramadhan, Idul Fitri and Christmas, the prices (especially the basic necessities) are always soaring high. Market operation, which is frequently used as the last resort, clearly doesn’t solve any issues.

 

And as I heard from my landlady tonight, she just bought a certain pack of tempeh from her favorite seller. “So it’s true those tempeh and tahu (tofu) sellers are on strike??” I asked her while she was ironing clothes. “Yes, it’s been 2 days without tempeh and tahu, and I’m kinda missing them,” Erna, my landlady, replied. She detailed later, the tempeh and tahu sellers were on strike, they simply left their stalls at Mencos (it’s a local low class traditional market located near where she and I live now) occupied by other sellers. And tonight the tempeh and tahu seller came over, selling the same pack of tempeh IDR 6000. Two days ago before the strike, it was usually sold IDR 5000. “Let’s look at the bright side, to say the least. We only have to pay one more thousand rupiahs. Everyone I think still can afford to get themselves one piece of tempeh on the plate.” While I was saying that, I was praying there’d be more money those marginalized folks can make on daily basis. It’s saddening to be perfectly honest to say such a thing. I knew it was not ok for the families with very low income, but really how can I do about this? 😦
And as you can read below (this is the screenshot of the homepage of the hacked site), the hacker wrote some annoying sentences in purpose. This is what the hacker stated:

SILENCE!! Cuk (*slang Javanese word widely used by speakers around East Java)

Sir, this country has a lot of agricultural experts. Erudite scholars and professors at universities and IPB (=Bogor Agricultural and Farming Institute) are many. The president (= Susilo Bambang Yudhoyono) himself is a graduate of IPB, better we don’t rely too much on import. (*We) can’t figure out the reason why we have to import soybean, cassava, fruits, rice, and salt (*Indonesia has too long coastal lines and too much sea water to waste just like that). Don’t we just change the name of this department into “Importing Ministry of Indonesian Republic“. Is it now the time to get your money back?  (*This is very much relevant to the prevalent political system that resembles trading and commerce, and dirty intrigues in the authority circle)
Sucks to be grassroots, the last time chilli price hiked, we didn’t mind. Every commodity price is being raised, and still we’re OK. We only have tempeh and tahu left , and what now? It does suck.. what to eat then?

 

But the root of the problem, as I figure it out, doesn’t only lie in the government side. People in this country need also to learn they’re contributing as well to this calamity. Just don’t let this happen by picking that more pricey domestic fruit that tastes so-so over imported, cheaper fruit that makes you want more and more. Or start sending our sons and daughters to agricultural and farming schools

As Creative Industry Thrives, More Indonesian Translators are Needed

The Indonesian creative industry is blooming, and gaming is one of the most  promising.  As more and more games with foreign languages on the interface should be localized, translators’ service is needed.

“International social media sites targetting Indonesia require translators’ service. Hence the demand of such a profession is high,” stated Indra Blanquita Danudiningrat, a sworn translator and a linguist to Hilda Sabri Sulistyo, a journalist of Bisnis Indonesia.

Recently there are more variations of games played on social media, Internet-based media, or even other celular devices.

The increasingly numerous number of players in the Indonesian gaming market triggers higher demand of games with Bahasa Indonesia on the interface. This explains why there are pools of opportunities for translators in Indonesia to focus on games translation niche.

“Aside from games translation opportunities, the development of creative industry also taps another stream of opportunities due to the higher demand in Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions business (MICE business),” added Indra.

Linguists or interpreters are required in almost every international conferences and seminars. Last year after Indonesia served as the ASEAN leader and host to various international conferences, it is revealed that there are high prospects in this MICE industry.

Sadly, translator as a profession has not received wide acknowledgment  of people yet so translators need to work hard on getting this. It is such an anomaly as the profession started to come into existence since the country regained independence.

“Translators’ service is badly needed but it is not admitted as one of profession types here. That’s why we translators find it difficult to apply for credit to banks,” Indra reasoned.(Translated from the Bisnis.com)

Kebun Raya Bogor dan 2 Orang Jerman

Dari KRB ketemu dua orang pemuda Jerman yg belajar Marine biology. Namanya ga tau. Mereka seolah ga mau kasih tau. Well, it’s ok.

 Pertama karena aku diusir dari gerbong wanita aku pun pindah gerbong. Dan sekilas kulihat ada wajah kaukasia. Yup. Aku duduk di sebelah mereka.

Seorang pria setengah baya di depan mereka mengajak berbicara dalam bahasa inggris. Ternyata dia lulusan IPB jadi tidak heran ia lumayan lancar.

Di tengah pembicaraan, lulusan IPB itu menanyakan tempat mereka menginap dan keduanya menjawab “bandara”. Pria IPB itu berseloroh,”You both are bule gila”. Whatta? Aku cukup terkejut tapi aku pahami maksudnya yang menginginkan mereka agar lebih berhati-hati di tanah asing. Keduanya tak menggubris dan berargumen bahaya ada di mana-mana. Di Jerman

Mereka berbicara panjang lebar sementara aku membaca Eat Pray Love. Sebenarnya aku juga kurang konsen karena gatal dg percakapan mereka  yang lumayan asik. Tapi rasanya sungkan untuk nimbrung hingga satu saat mereka mengatakan ingin menuju mall ambassador. Aku pun bertanya untuk memastikan, ternyata memang tidak salah dengar. Akhirnya aku bilang mereka harus turun tebet dan mereka bilang akan mengikutiku saja.

Setelah beberapa saat diam, aku pun beranikan bertanya apakah mereka kali pertama ini mengunjungi bali dan tanah air.

Mungkin karena hari sudah gelap dan kecapaian, kami tak tahu Tebet sudah lewat. Saat aku katakan kami sudah melewati Tebet, si Jerman bertopi malah bertanya, “Tebet? Is it T E B E T?” Oh, kenapa dia tidak bilang! Damn… dulu aku juga tidak tahu sudah sampai Tebet hingga akhirnya turun Gondangdia dan berjalan kaki! Kampret…sekarang kejadian lagi.

 Akhirnya kami turun di Gambir. Sebenarnya aku malu karena aku tinggal di sini tapi tak begitu mengenal rute. Maklum tak terlalu sering keluar kota. Kami naik kereta lagi. Aku ajak mereka jalan kaki tapi menolak. Ya sudah.
Saat berada di angkutan umum menuju Ambassador Mall, kami berbincang. Entah kenapa aku memberitahukan informasi yang tolol. Karena lokasi hotel Marriott sudah dekat, aku pun membuatnya sebagai bahan obrolan. Aku katakan di sini pernah terjadi pemboman oleh teroris. Dan itulah alasannya mengapa seorang pria di kereta tadi menyarankan mereka berhati-hati, karena muka mereka Kaukasia sekali jadi sering dianggap orang Amerika. Tanggapan mereka hanya datar saja. Mereka bilang dalam bahasa Inggris , bahaya ada di aman-mana, jadi konyol sekali kalau tidak bepergian cuma karena takut teroris.
Sebenarnya aku merasa bodoh sekali mengatakan itu. Ada orang yang sudah mau susah payah berkunjung ke negeri ini tapi kami malah sodori hal-hal yang tak menyenangkan. Malu sekali. Harusnya aku bisa menjelaskan lebih banyak tempat-tempat menyenangkan di Jakarta dan sekitarnya sini. Namun apa daya, mereka penyuka tempat wisata alam. Apa yang bisa ditawarkan alam Jakarta?? Hampir NOL mungkin. Hampir semua sudah tertutup hutan beton dan aspal dan …sampah. Aku hanya bisa sarankan Kemang untuk hangout dan Ragunan untuk menikmati ruang terbuka.

Rose Lee: “Indonesia is the Heaven for Married Women”

This chic 51-year-young woman was my tour leader, Lee Kye-suk (이계숙). She has an endless supply of story on her mother land, Korea. Along the tour, she narrated various real-life stories. She may tell us about her two sons who just finished military service today, her late mother another night, her 84-year-old father the morning after, and so forth. She spoke so much in Bahasa Indonesia.

Rose Lee, that’s how she introduced herself to us, said Indonesia is the heaven of married women like her. That said, she meant no exaggeration. In Korea, it takes a fortune to pay full-time household assistants, drivers, or gardeners. In Indonesia, she found it really easy to find affordable household assistants,drivers and gardeners long time ago before the 98 crisis hit Indonesian economy so badly. She lived in Geger Kalong, Bandung.

Having so many helpers ready to assist, however, doesn’t necessarily mean she can wash her hands off of the most vital household chore of Korean women: preparing foods for the family. Korean mothers, she said, can’t just let others cook for their family. Food eaten is a decisive factor to maintain family’s health and well being and putting health at stake is too risky. That’s why Korean mothers keep cooking for their family in spite of employing several domestic asisstants in their houses. It is quite the contrary once you see Indonesian (urban) mothers . Most of them prefer their foods prepared by helpers.

 In terms of gender equality, Korea might be one of the most men-centered societies throughout the globe. Korean patriarchal way of life is easily noticed in any aspect.  And that naturally translates to the notion that women are assumed to be lower than men. Ladies are  strongly expected to take great care of family. It’s a full time job, and they can’t complain about it whatsoever. Korean women after marriage are to be held responsible for being the domestic helpers of their family (and the husbands’ too). The labor cost is surprisingly high in Korea, which makes women think a thousand times before working and climbing corporate carrier ladders. Hiring a baby sitter or domestic helper can be half or almost the entire sum of one’s current salary. Rose Lee said these manual workers make money 1.5 million won every month. At the same time, a career woman in Korea (with college degree) in average may earn around 2.9 million won. Women without college degree earn considerably lower than that. Thus, hiring helpers seems very much like a waste of money.

While here in Indonesia, career women can comfortably rely on the service of maids and baby sitters and their parents, Korean women have to struggle more as their parents have no intention to help them raise children. It’s not because they hate their own grandchildren but they want to take a rest. Raising children is way too energy consuming and the elderly shun such an idea.

Rose Lee later explained why we hardly find Korean spouses with 3 children. “One child is the most reasonable. Two tops!” she emphasized several times. “The ratio of children number in a typical Korean family recently is 1.1,” she added.

And because raising children is considered burden here, Korean people are currently facing a new problem. Like the neighboring Japan and our neighbor Singapore, Korea is also worried as day by day they have more seniors and fewer babies.

The aging population needed a handysolution. The innovative Korean government came up with one: subsidy. The government launched a subsidy campaign to boost more babies around Korea. The subsidy worth 500K won is aimed only at families having more than 3 children.

Episode 4: Kota Tua Jakarta

Patung Mercury / Hermes , si pembawa berita dan dewa perniagaan dalam mitologi Romawi yang dipajang di museum Mandiri.

Cuaca mungkin adalah salah satu topik pembicaraan yang paling klise dan memuakkan untuk membuka percakapan. Dan untuk membuka tulisan, saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, membicarakan cuaca juga bisa jadi sebuah cara jitu untuk melemaskan alur penuturan cerita dalam benak.

Cuaca di langit Jakarta tanggal 12 April 2012 yang lalu terasa membakar. Setelah menonton kunjungan Andy Noya ke berbagai sudut kota Jakarta yang masih menampakkan masa lalu, terdorong pula aku untuk mengetahui apa itu Kota Tua.

Sebenarnya kunjungan ke Kota Tua yang legendaris di ibukota itu sudah aku lakukan 10 hari lalu. Tetapi karena kesibukan yang tidak mengijinkan untuk menghela napas dan duduk sebentar untuk menuliskan pengalaman tersebut, akhirnya tertunda hingga sekarang.

Kota Tua ini ternyata terletak tepat di sebelah utara kawasan Glodok yang dahulu terkenal dengan kasus penjarahan saat krisis moneter di republik ini tahun 1997-1998. Banyak pusat perdagangan elektronika di sana bahkan hingga sekarang.

Menuju Kota Tua ternyata juga tak sesulit yang kubayangkan. Cuma naik bus Trans Jakarta satu kali saja dari halte Karet dan mengikuti arah utara terus hingga menemukan  stasiun Kota alias Beos. Turunlah di halte transit tempat semua busway berputar arah ke selatan. Sebenarnya ini bukan pertama kali aku melihat kawasan itu. Secara sekilas dulu aku juga pernah lewat saat hendak ke Jakarta International Expo Kemayoran untuk pelatihan blogging dengan Kompasiana. Sudah demikian lama.

Hari itu baru aku sadarai bahwa  gedung tua yang pernah kulihat itu bernama Museum Mandiri. Museum ini seolah menjadi pintu gerbang bagi mereka yang ingin menjelajahi Kota Tua lebih dalam.

Hal bernuansa jaman kolonial yang pertama kali kulihat di sekitar kawasan Kota Tua adalah tugu kecil dengan penunjuk waktu di atas. Jam dinding yang dipasang itu cukup akurat. Aku baru tiba sekitar pukul 10.35 WIB, yang berarti membutuhkan 30 menit perjalanan dari halte busway Karet di Jakarta Selatan. Satu hal yang aneh adalah Kota Tua ini sepertinya termasuk Jakarta Barat. Jujur saja aku bingung dengan pembagian wilayah Jakarta ini.

Satu hal yang langsung kulakukan ialah memotret berbagai macam benda antik yang kujumpai. Entahlah, rasanya ingin sekali memahami bagaimana orang jaman kolonial dulu hidup di Jakarta. Terlepas dari semua aspek lainnya, aku lebih suka dengan Jakarta yang lebih tertata kala itu. Lebih manusiawi, itu saja. “Liveable” , begitu kata yang dipilih Marco Kusumawijaya, seorang arsitek dan urbanis kampiun untuk menggambarkan sebuah kota yang ideal untuk kehidupan manusia.

Memasuki Museum Mandiri yang sebelumnya bagiku hanya gedung kuno tanpa makna, aku terkejut melihat sebuah patung dengan senapan. Tampak jelas itu sebuah patung serdadu Indonesia. Mengerikan.

Di bagian tiket, kujumpai sekelompok anak-anak Taman Kanak-Kanak dengan beberapa guru mereka. Riuh rendah mengisi ruang museum yang demikian besar dan lapang. Ternyata harga tiketnya begitu murah, cuma 2000 perak. Aku hanya menjumpai lebih sedikit pengunjung dewasa di sini. Semoga saja anak-anak ini tetap ingat apa yang mereka pelajari dari sejarah yang terkandung di museum ini, dan tentunya tetap mengunjungi museum. Bagi banyak orang dewasa di Indonesia, mengunjungi museum bukan sebuah kegiatan yang dilakukan atas insiatif sendiri, tetapi lebih pada memperkenalkan sejarah pada anak-anak. Dan orang dewasa merasa tak perlu lagi mengunjungi museum. Mengapa? Karena mereka yang merasa sudah tua dan lebih dewasa, merasa sudah pernah mempelajarinya saat sekolah dan kini tak perlu lagi mengingat semua itu. Seorang pengunjung juga berceletuk mengomentari koleksi mesin kasir museum Mandiri, “Kok tidak menarik begini ya?”

Gambar di atas aku ambil di sebelah bagian penjualan tiket. Tampaknya mereka adalah sekelompok pejabat penting Belanda dan istri-istrinya yang sedang berdiri saat peresmian gedung yang dulu menjadi kantor bank Belannda yang namanya sungguh rumit hingga tak bisa kuingat. Ah untunglah aku sempat membawa pulang sebuah pamflet berisi informasi museum itu. Begini katanya:

Museum of Bank Mandiri: Menempati area 22,176 meter persegi di gedung eks Nederlandsche Handel Maatschappij NV (1929) , inilah museum perbankan pertama di Indonesia. Museum bergaya Art Deco Klasik di kawasan Kota Tua Jakarta ini menawarkan pengalaman perjalanan menembus waktu ke bank tempo dulu. Suguhan pemandangan dari berbagai koleksi buku besar, mesin hitung, serta berbagai koleksi uang koin, uang kertas kuno maupun surat-surat berharga dapat dinikmati di ruang-ruang bank yang lengkap dengan perabotan antik ini. Ruang penyimpanan uang bawah tanah berukuran besar dan kecil dapat juga kita temui di museum yang megah ini.

Ini merupakan sebuah kalender jaman dulu yang menyatakan tanggal pendirian Bank Mandiri yang sebelumnya adalah  Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan sebagainya yang urutan silsilahnya membuatku pusing.

Foto ini aku ambil dengan efek Instagram dan sebagai fotografer amatir aku berusaha mengambil komposisi dan simetri serta perspektif yang terbaik. Sebenarnya tanpa efek pun, beginilah suasana dalam museum itu. Aku tak akan menyebutnya “suram” tetapi sangat berbeda dari aura gedung yang lebih modern dan baru.

Sembari terus menelusuri museum, kutemukan sebuah lorong menuju lantai dasar yang berada satu lantai di bawah lantai 1 yang menjadi pintu utama bangunan. Rupanya itu ruangan untuk kluis. Entah kosakata bahasa Indonesiaku yang tak cukup bagus atau memang ini sebuah kata yang baru ditemukan, tetapi baru pertama kali aku menemukan kata “kluis”. Ternyata inilah penyimpanan berbagai macam benda berharga karena kulihat berbagai jenis brankas, kotak deposit, dan lain sebagainya.

Dan tiba-tiba aku merinding begitu mendengar sebuah lantunan instrumentalia yang sangat seram dari ruangan yang dipenuhi patung peraga aktivitas dan brankas kuno itu. Ternyata itu berasal dari sebuah video yang diputar di TV layar datar modern dengan volume speaker yang maksimal.

Sejenak mengamati isi video, aku merasa video itu sangat unik karena mungkin diambil oleh seseorang dari kalangan pejabat Belanda yang mendokumentasikan kehidupan saat itu.  Beberapa video kuambil sebagai koleksi karena ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Semuanya aku bagikan di kanal YouTube ini: Akhlispur.  Silakan cari video yang berjudul “tur kota tua”.

Inilah salah satu safe deposit box yang disimpan dalam ruangan itu. Uniknya, baru aku ketahui kalau pemerintah Hindia Belanda kala itu mempekerjakan kalangan etnis Tionghoa dalam lingkungan bank mereka. Ini baru kuketahui saat berada dalam ruang kluis yang patung peraganya menunjukkan seorang perempuan berbaju cheongsam. Dan tak hanya itu, beberapa inlander alias pribumi juga direkrut, meski aku tak yakin mereka menduduki jabatan kunci.

Gambar di atas adalah gambaran meja kerja seorang pegawai di ruang kluis yang  lumayan sumpek karena tidak tersentuh cahaya matahari sama sekali.

Banyak sekali kotak penyimpanan yang ada dalam tembok ruangan itu. Warnanya hijau lumut dan setiap kotak diberi tanda angka dengan warna cetakan emas seperti di atas.

Aku habiskan sebagian waktu untuk menelusuri beberapa koridor museum yang tidak dibuka untuk pengunjung, mencari apa yang tersembunyi. Gedung ini benar-benar besar dan waktu sehari penuh jika ingin benar-benar mengetahui isinya secara lengkap. Foto di atas aku ambil di lantai 3 di sayap kanan gedung, yang penuh dengan barang-barang tak tertata. Seperti foto di bawah ini.

Satu objek kekaguman yang kutemui ialah mozaik kaca warna-warni di bagian depan museum. Setelah naik satu lantai dari tangga depan, pengunjung bisa menjumpai satu suguhan seni yang demikian elok. Kamera ponsel kudekatkan dan satu jepretan berhasil mengabadikannya. Entah apa arti kata-kata dalam bahasa Belanda ini. Sebenarnya mozaik ini sangat besar, isinya menceritakan 4 musim di Belanda dan secuil sejarah sampainya Belanda di negeri ini.

Lorong menuju ruang kluis. Lumayan seram yah.

Foto di bawah adalah ruangan rapat yang bisa ditemui setelah menikmati keindahan mozaik tadi. Modelnya seperti meja bundar. Di sini nuansa kuno terhapus dengan dipajangnya berbagai foto direktur Bank Mandiri dari berbagai periode.

Bangunan putih ini seperti sebuah bangunan di Eropa, hanya sedikit kusam dan tak terawat. Ini bukan bagian Museum Mandiri tetapi sebuah bangunan yang kujumpai di ruas jalan lokasi yang sama berdirinya Toko Merah. Sayang sekali ya.

Aku ambil foto ini dari sebuah jalan di sebelah utara (jalan Kunir) Museum Fatahillah. Agak penasaran mengapa ada banyak batu-batu berbentuk bulat. Sebagai pengaman supaya tidak ada kendaraan bermotor masuk? Entahlah.

Semua kendaraan bermotor tidak diperbolehkan masuk lapangan Museum Fatahillah. Dan susah sekali  menyeberang di sini jika sudah memasuki pukul 5 sore. Fiuh!

Cuaca hari itu memang sangat cerah dan aku dehidrasi karena saat itu juga puasa tanpa sahur. Bisa dibayangkan….

Satu sudut Kota Tua yang sangat memilukan. Kupotret dari jalan Kunir

Masuk ke Museum Wayang, kutemui berbagai koleksi wayang golek. Salah satunya ini, wayang Hanuman.

Sekitar pukul 2 menuju Museum Wayang dan sinar matahari begitu menyengat. Pohon besar di depan Museum Fatahillah pun meranggas masuk musim pancaroba di Jakarta. Banyak sepeda berjajar untuk disewa di sini. Entah berapa sekali sewa.

Sisi lain gedung yang kupotret dari jalan Kunir tadi. Sebenarnya gedung-gedung ini milik perusahaan atau instansi tertentu, tetapi mengapa mereka tidak melakukan upaya apapun untuk merawatnya? Apakah karena sudah terlalu parah kerusakannya?

Kapan bangsa ini bisa dengan ksatria mengkritik dirinya sendiri dan mendisiplinkan diri untuk lebih baik dalam menyikapi sampah? Dan ini bukan hanya sekadar penanganan sampah tetapi sikap mental kita sebagai orang Indonesia. Kentara sekali bahwa musuh terbesar bukan Belanda sebenarnya, tetapi diri kita sendiri yang lemah. Pemandangan menjijikkan ini kutemui di depan Museum Fatahillah, tempat banyak turis manca juga ‘berkeliaran’. Serius saja, apa kita tidak malu melihat ini di tempat umum? Indonesians, what is wrong with you all???  Aku pikir merajalelanya sampah adalah sebuah gejala ketimpangan budaya, orang sudah mampu menikmati teknologi modern (plastik) tetapi gaya hidup dan pola pikir masih seperti dahulu.  Apakah kita akan terus berpikir sampah plastik akan membusuk dengan sendirinya dan melebur dengan tanah dan air seperti halnya dedaunan? Give me a break.

Inilah Toko Merah yang terkenal itu. Terawat baik karena sudah ditetapkan pemerintah DKI sebagai cagar budaya. Mengapa cuma sebagian saja ya? Tolong jangan jawab karena dana terbatas.