Penerjemahan Karya Sastra, Pekerjaan Rumah Berlimpah bagi Indonesia

Ada hal yang menggelitik tatkala Wakil Pimpinan Frankfurt Book Fair Claudia Kaiser menyampaikan kritik transparannya mengenai proses kerjasama dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), yang menurutnya berjalan sangat lamban. Kaiser menyatakan dengan nada kritis, yang segera dihentikan oleh editor John H. McGlynn dari Yayasan Lontar yang tampil bersamanya hari itu (22/3/2015) dalam diskusi “The Role of Literary Translation” dalam rangkaian Asean Literary Festival 2015 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Meskipun interupsi McGlynn itu disampaikan dengan mimik muka bercanda, saya tahu hal yang Kaiser coba untuk sampaikan mungkin bisa disalahartikan oleh sebagian pihak dan berdampak pada kerjasama nantinya.

Desliana Maulipaksi telah menuliskan laporan selayang pandangnya yang berjudul “Pentingnya Program Penerjemahan Karya Sastra Suatu Negara” di Kemdikbud.go.id. Dan kini saya akan melengkapi reportasenya itu, bukan dengan sudut pandang birokrat atau pihak luar/ asing yang bekerjasama dengan birokrat, tetapi lebih sebagai bagian dari kelompok akar rumput alias rakyat yang mencemaskan kemajuan susastra negerinya di tingkat dunia.

Kaiser mengaku pemerintah Indonesia saat itu memiliki minat yang besar dalam berpartisipasi dalam Frankfurt Book Fair. “Tetapi kami katakan dibutuhkanwaktu setidaknya 3 tahun untuk mempersiapkan diri dengan baik,” sarannya pada kementerian. “Kami pun banyak menelepon, bertukar surel, dan kami menunggu selama 2 tahun. Akhirnya kami putuskan kami tak bisa menunggu lebih lama. Saat kami sudah berhenti berharap, nota kesepahaman diteken tiba-tiba. Namun, (persiapannya) sudah terlambat. Akhirnya hanya ada waktu 2 tahun untuk bersiap-siap.”

Masih kata Kaiser, program pendanaan penerjemahan juga menemui aral. Perubahan dari pihak pemerintah Indonesia terjadi terus menerus bahkan setelah jadwal dan linimasa sudah ditetapkan sebelumnya oleh pihak Frankfurt Book Fair.

McGlynn bukannya tidak mengkritik sama sekali. Tinggal di Indonesia puluhan tahun membuatnya tahu bagaimana menyampaikan kritik dengan lebih ‘Indonesia’, lain dari cara Kaiser yang lebih ‘Aryan’. Ia turut memberikan masukan mengenai kurangnya perhatian pemerintah pada perkembangan dunia susastra di sini. “Sudah banyak festival sastra di Indonesia, itu bagus. Akan tetapi untuk menghadiri acara-acara itu pun para penulis dan penerbit masih belum didukung oleh pemerintah. Tidak ada anggaran yang teralokasikan secara khusus untuk mendanai kegiatan para penulis dan penerbit untuk memperkenalkan karya-karya di festival sastra,” ujar McGlynn.

Selama ini, masih kata McGlynn, para penulis harus menggunakan kenalan mereka di dalam lingkaran birokrasi. Mereka yang diberangkatkan biasanya adalah para pegiat sastra yang dikenal kalangan pemerintah juga. Jika tidak dikenal, pupus sudah harapan untuk diajak.

McGlynn menyarankan pemerintah untuk merealisasikan rencana besar (grand plan) khusus bagi pegiat sastra di Indonesia agar mereka makin dimudahkan dalam berkarya dan memperkenalkan karya-karya mereka. Bertahun-tahun lalu saat McGlynn memulai karirnya sebagai penerjemah, digagas sebuah program penerjemahan sastra ke bahasa-bahasa negara Asean. Dan ia menegaskan ini bukan proyek yang bersifat komersial. “Siapapun yang memberikan uangnya untuk proyek ini akan kehilangan uangnya itu,” tegas McGlynn terus terang.

“Karena itulah diperlukan peran pemerintah,” timpal Kaiser dengan gemas sedetik setelah McGlynn berbicara.

Di Indonesia, peran pemerintah memang tidak bisa diabaikan. Namun, sebuah kebodohan untuk menunggu pemerintah mengatasi semua tantangan di lapangan secara otomatis dalam waktu secepatnya.

Untungnya, pihak swasta juga sudah menunjukkan kepeduliannya. “Ada sebagian kalangan swasta yang sudah menunjukkan kepeduliannya,” katanya. Lagi-lagi, tidak ada skema insentif yang dapat mendorong korporasi swasta Indonesia untuk secara kontinu menjadi penyandang dana proyek-proyek penerjemahan. Buktinya, tidak diberikan pemotongan terhadap jumlah pajak yang dibebankan pada perusahaan-perusahaan yang menyumbang di proyek-proyek penerjemahan karya sastra. McGlynn menjelaskan,”Diperlukan adanya struktur pajak yang memberikan keuntungan bagi korporasi swasta yang bersedia memberikan sumbangsih bagi keberlangsungan institusi-institusi budaya. Anda bisa mendapatkan insentif pajak untuk olahraga di Indonesia, tetapi tidak untuk sastra.” Skema insentif pajak semacam itu sudah terbukti sukses di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita semua.

Jerman juga mengalami tantangan yang sama. Menurut Kaiser, minat korporasi swasta di negerinya untuk mendanai program penerjamahan karya sastra masih rendah karena mereka lebih mengutamakan visibilitas brand. Karenanya, mendukung sebuah acara olahraga akan lebih menguntungkan daripada mendukung program sastra, tandas wanita yang menguasai bahasa Mandarin itu. Kalaupun ada proyek penerbitan yang didanai, lanjutnya, buku hasil pendanaan biasanya bertema sejarah perusahaan yang memberikan pendanaan.

Mengenal Bahasa Korindo

“Ini maksudnya apa sih?” begitu pikir banyak orang saat membaca pengumuman ini. Apa bedanya kata ubin dan lantai sehingga harus dipisahkan untuk pria dan wanita? Lalu setelah kata” jangan”, kata kerja apa yang dipakai untuk menegaskan larangan? Dilarang apa sih ini?

Benar-benar membuat frustrasi kami para penutur asli!

Ternyata si penulis pengumuman bukan orang Indonesia totok. Ia salah seorang penghuni kos kami yang kebetulan terus menerus geram dengan joroknya perilaku orang yang sering meninggalkan kamar mandi dalam kondisi penuh bau menusuk.

Bahasa ibu, alias bahasa pertamanya, bukanlah bahasa Indonesia. Ia lebih fasih berbahasa Korea. ‎Sungguh kasihan kalau melihatnya harus terbata-bata berbicara dalam bahasa kita, sama menyedihkannya saat saya di Seoul ditarik masuk seorang pramuniaga untuk mencoba masker wajah yang satu sachet membuat saya terperangah saking mahalnya.

Diskriminasi Orang Indonesia pada Bahasa Indonesia

Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh seorang penutur bilingual di Ubud Writers Readers Festival Jumat pekan lalu (3/10). Pada para pembicara yang berasal dari negeri kanguru itu, pria itu bertanya seperti ini:”Mengapa dalam pemilu presiden kemarin, penggunaan kata-kata dalam bahasa Inggris lebih jitu jika dibandingkan dengan penggunaan padanan katanya di bahasa Indonesia?” Ia mencontohkan bagaimana penggunaan kata “scan” dan “pindai” yang memiliki makna serupa tetapi dalam kenyataannya di jejaring sosial keduanya memberikan efek dan diperlakukan berbeda oleh para penutur asli bahasa Indonesia sendiri. Orang-orang lebih paham dan langsung ‘sreg’ begitu kata “scan’ dipakai dalam instruksi daripada kata “pindai”. Sungguh ironis bukan? Mengapa hal ini bisa terjadi?

Saya pikir pria itu sudah salah alamat karena bertanya pada penutur bahasa asing. Untuk memahami bagaimana fenomena ini bisa terjadi, rasanya akan lebih akurat untuk menanyai para penutur bahasa Indonesia secara langsung. Pertanyaan itu pun dijawab tanpa adanya poin simpulan yang memuaskan penanya. Hanya mengambang.

Tergelitik mengetahui pertanyaannya itu, saya menemuinya setelah diskusi berakhir. Dan mengatakan argumen saya bahwa semua itu mungkin terjadi karena para early adopter (ah! saya belum menemukan padanan katanya yang tepat) di bidang teknologi biasanya adalah mereka yang piawai berbahasa asing terutama bahasa Inggris dan hal serupa terjadi di dunia jejaring sosial, yang di dalamnya dipenuhi dengan para pemimpin pemikiran (thought leaders) yang rata-rata dicekoki ilmu dan pengetahuan produksi Barat (baca: kebudayaan Anglosaxon – Inggris dan Amerika Utara).

Tidak heran jika kita menemukan para penutur bahasa Indonesia yang malah ‘memandang rendah’ bahasa mereka sendiri. Bahasa Inggris dirasa lebih bergengsi dan prestisius. Saya katakan memandang rendah karena sikap mereka pada penggunaan bahasa Indonesia sebagai ganti kata-kata asing yang masih dianggap tidak berkelas dan malah membuat geli karena dianggap aneh dan menyulitkan pemahaman. Lebih jitu pakai bahasa Inggris, kata seorang teman saya. Ia mengejek saya yang memakai bahasa Indonesia untuk peramban (browser) Google Chrome. Ia kesulitan saat harus menjelajahi menu di peramban saya karena dia – yang orang Indonesia totok – lebih akrab dengan istilah-istilah seperti “setting”, “view”, “help”, dan sebagainya daripada “pengaturan”, “lihat”, “bantuan”, dan seterusnya.

Apakah Anda juga merasakan hal yang sama? Karena sepertinya, saya juga merasakan nuansa yang berbeda saat memakai kata dari bahasa Inggris dan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, yang masih dirasa asing bagi orang Indonesia sendiri.

Orang-orang di Balai Bahasa atau pemerhati bahasa Indonesia mungkin sudah mengetahui ini. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan? Dan yang paling penting, apa yang bisa kita lakukan untuk membuat orang Indonesia seperti saya dan Anda merasa bangga menggunakan bahasanya?

Alasan Menyukai Oktober

Dulu di kampus, Oktober diperingati setiap tahun sebagai bulan bahasa. Saya tidak tahu mengapa. Mengapa harus Oktober? Apakah karena ada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang mendeklarasikan bahwa bangsa ini memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia?

Apapun alasan memilih Oktober menjadi bulan bahasa, yang penting Oktober merupakan saatnya kami mahasiswa jurusan bahasa berpesta. Dulu, tahun 2001, saya masuk ke jurusan Sastra Inggris. Sebelumnya saya ingin sekali masuk ke Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tetapi itu masih belum pasti karena harus menempuh UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sementara untuk masuk ke UNNES (Universitas Negeri Semarang), jalan saya sudah terbuka lebar. Saya tak perlu mengeluarkan upaya apapun. Tinggal daftar ulang saja dan saya menunggu kuliah dimulai di bulan September 2001. Saya kubur impian menjadi diplomat dan memilih bahasa Inggris yang sudah saya sukai sejak kecil. Sekarang saya bersyukur karena ternyata saya tidak harus menjadi diplomat yang pusing-pusing bernegosiasi menghadapi diplomat negara lain.

Saya masih ingat warna resmi fakultas saya, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, adalah ungu. Ungu? Dan entah kenapa saya juga mengenakan kemeja ungu saat ini. Ungu bukan warna kesukaan saya, tetapi toh saya tiba-tiba pagi ini memakainya. Sebuah dorongan bawah sadarkah?

Ungu kalau ditelaah dari sudut pandang yoga (ya, saya suka yoga) memiliki makna yang bagus. Warna yang sering dikatakan warna janda ini menyimbolkan chakra ketujuh, yang paling atas. Anda bisa menemukan warna ungu ini (bila bisa melihat aura/ chakra) di puncak kepala manusia. Chakra mahkota atau yang namanya Sahasrara itu memiliki fungsi yang penting sekali sebagai jati diri kita sebagai manusia. Chakra ini membedakan kita dari hewan karena di sinilah seorang manusia menyimpan pemahaman spiritualnya, pengetahuan ilahiah, estetika/ keindahan dalam hidup. Di anatomi, organ yang berkaitan dengan chakra mahkota adalah otak yang menjadi pusat koordinasi semua aktivitas dalam badan kita dan kelenjar pineal (antara otak sebelah kiri dan kanan). Ungu juga memiliki kesan magis. Entah apakah semua ini kebetulan atau bagaimana, tetapi rata-rata penggemar bahasa memang suka berpikir dalam, cenderung spiritual (meski tidak selalu relijius). Atau apakah ini juga ada pengaruhnya dari Pluto, planet yang menaungi mereka yang berzodiak Scorpio yang lahir di bulan Oktober?

Di bulan bahasa, kampus kami mengadakan sejumlah acara lomba. Saya tidak ingat persisnya, tetapi banyak sekali hal yang mengasyikkan yang diselenggarakan seperti lomba menulis cerpen, puisi atau semacamnya. Saya tidak pernah mengirimkan karya saya. Saya tidak merasa cukup ‘sastrawan’. Pakaian saya sangat mainstream. Gaya hidup saya biasa saja. Rambut saya juga tidak gondrong sekali. Saya tidak suka merokok, minum kopi dan begadang untuk menulis cerpen, atau puisi atau sekadar membaca karya sastra. Saya merasa risih tampil di depan umum untuk pertunjukan drama dan bersajak. Saya sangat tidak mencerminkan mahasiswa sastra ‘sebenarnya’.

Oktober memang berbeda. Oktober adalah saat musim menjadi lebih basah (terlepas dari kacaunya iklim saat ini). Dan saya suka hujan. Lebih menyenangkan hujan dan kedinginan daripada kepanasan. Karena telanjang pun tidak akan membuat Anda dingin. Kalau kedinginan, solusinya lebih mudah. Tinggal pakai pakaian yang lebih banyak dan lebih tebal.

Oktober juga menjadi bulan sebelum Nanowrimo (National Novel Writing Month) diadakan. Bulan ini menjadi semacam persiapan bagi orang-orang yang ingin menulis novel untuk ‘memanaskan mesin’ dan mulai mencanangkan target yang ambisius untuk menulis ribuan kata menjadi sebuah karya. Soal edit itu urusan belakang. Yang penting menulis dulu. Penulis The Fault in Our Stars John Green juga mengatakan tidak mungkin menulis novel yang bagus dalam sebulan saja, tetapi kalau untuk menulis draft pertama memang bisa dan masuk akal.

Saya suka Oktober juga karena ini menjadi bulan ulang tahun bagi banyak orang di keluarga saya. Ibu saya, saudara-saudara saya. Mereka merayakan ulang tahun di bulan ini. Dan tentunya saya sendiri!

Alasan lainnya adalah menemukan banyak event bahasa dan menulis menarik yang saya bisa ikuti di bulan Oktober. Salah satunya yakni Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2014 yang akan saya ikuti besok hingga Minggu (5/9/2014). Saya akan banyak menuliskan event itu di blog ini nanti.

Tolok Ukur atau Tolak Ukur?

Seseorang bertanya, bukan kepada saya, tetapi dengan menanyakan validitas judul yang saya pakai hari ini dalam sebuah artikel yang saya unggah. “Tolok ukur” adalah frase yang saya gunakan untuk merujuk pada metrics yang digunakan sebagai pengukur kinerja sebuah kegiatan. Sementara si penanya itu menyangkal, bahwa “tolak ukur” adalah frase yang tepat.

Sempat saya ragu, tetapi kemudian saya kembali dengan bukti. Inilah salah satunya : http://www.kamusbesar.com/59017/tolok-ukur. Dan tautan laman web lain juga mendukung penggunaan frase saya: http://andixjelek.blogspot.com/2011/03/tolak-ukur-atau-tolok.html. Tolak, yang berarti “pendorong”, kurang tepat di konteks ini karena di kalimat ini dibutuhkan makna “sesuatu yang berguna sebagai pembanding”.

Satu artikel (http://arif.widarto.net/2010/10/tolok-ukur-atau-tolak-ukur-penggunaan.html) bahkan menekankan keprihatinan atas kesalahan dalam penggunaan ini. Lebih banyak orang yang menggunakan “tolak ukur” padahal yang lebih tepat adalah “tolok ukur”. Dan banyak pengguna bahasa Indonesia kurang memahami ini yang diperparah dengan sebuah kesalahan yang justru dianggap dan diterima sebagai sebuah kelaziman dan akhirnya kebenaran.

Jadi, saya tidak salah bukan?

As Creative Industry Thrives, More Indonesian Translators are Needed

The Indonesian creative industry is blooming, and gaming is one of the most  promising.  As more and more games with foreign languages on the interface should be localized, translators’ service is needed.

“International social media sites targetting Indonesia require translators’ service. Hence the demand of such a profession is high,” stated Indra Blanquita Danudiningrat, a sworn translator and a linguist to Hilda Sabri Sulistyo, a journalist of Bisnis Indonesia.

Recently there are more variations of games played on social media, Internet-based media, or even other celular devices.

The increasingly numerous number of players in the Indonesian gaming market triggers higher demand of games with Bahasa Indonesia on the interface. This explains why there are pools of opportunities for translators in Indonesia to focus on games translation niche.

“Aside from games translation opportunities, the development of creative industry also taps another stream of opportunities due to the higher demand in Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions business (MICE business),” added Indra.

Linguists or interpreters are required in almost every international conferences and seminars. Last year after Indonesia served as the ASEAN leader and host to various international conferences, it is revealed that there are high prospects in this MICE industry.

Sadly, translator as a profession has not received wide acknowledgment  of people yet so translators need to work hard on getting this. It is such an anomaly as the profession started to come into existence since the country regained independence.

“Translators’ service is badly needed but it is not admitted as one of profession types here. That’s why we translators find it difficult to apply for credit to banks,” Indra reasoned.(Translated from the Bisnis.com)

“Where” dan “Di Mana”: Cermin Pengaruh Bahasa Inggris terhadap Bahasa Indonesia

Salah satu faktor terjadinya kesalahan berbahasa Indonesia ialah pengaruh bahasa asing pada bahasa Indonesia dalam berbagai aspek. Menurut seorang profesor yang juga pakar bahasa Indonesia di sebuah universitas di Australia, sebagian pengguna bahasa Indonesia akhir-akhir ini amat dipengaruhi bahasa Inggris. Salah satunya adalah penggunaan kata “adalah” yang kadang tidak perlu tetapi dipaksakan untuk ada karena dianggap sebagai keharusan untuk bisa sesuai dengan pola kalimat  bahasa Inggris yang mewajibkan adanya verba “be”. Misalnya, “I am a man” diterjemahkan sebagai “Saya adalah laki-laki”, padahal dalam bahasa Indonesia yang wajar kata “adalah” bisa dihilangkan. Dengan kata lain, tidak ada yang salah untuk menerjemahkannya menjadi “Saya laki-laki”.  Hal ini memang tidak salah tetapi tidak wajar dalam bahasa Indonesia.

Hal lain yang profesor tersebut soroti pula ialah penggunaan kata “di mana” yang sering digunakan sebagai konjungsi (kata sambung) , bukan sebagai kata tanya (yang menjadi fungsi yang sepatutnya). Ini menunjukkan pengaruh penggunaan konjungsi  “where” dan “which”. Parahnya lagi, penulisan “di mana” sebagai konjungsi (yang tidak disarankan) juga mengalami dua variasi: “di mana” dan “dimana”. Yang kedua jelas-jelas salah.

Menurut Ivan Lanin, sebagai penyunting yang berpatokan pada tata bahasa yang sudah tertulis di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) IV dan EyD (Ejaan yang Disempurnakan), kata “di mana” harus dihindari. Alasannya ialah kata “di mana” dalam bahasa Indonesia tidak dikenal sebagai konjungsi tetapi sebagai kata tanya.

Misal:

  1. Di mana buku saya? (Penggunaan yang benar karena “di mana” digunakan sebagai kata tanya)
  2. Ia meninggalkan kota di mana ia lahir. (Penggunaan yang salah karena “di mana” digunakan sebagai konjungsi)

 

Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kalimat yang menggunakan “di mana” sebagai konjungsi? Menurut Sofia Mansoor, ada dua opsi yang bisa dipilih. Pertama ialah dengan menggantinya dengan kata “tempat”. Dengan demikian, kalimat (2) bisa diperbaiki menjadi “Ia meninggalkan kota tempat ia lahir.” Kedua ialah dengan merombak kalimat tersebut menjadi lebih wajar dan berterima dalam kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Seorang rekan peserta pelatihan lain juga sempat menanyakan bahwa ia mengamati banyaknya penggunaan “di mana” justru bukan sebagai konjungsi yang menerangkan tempat atau lokasi. Saya sendiri juga sempat membenarkan dalam hati karena pertanyaannya itu belum sempat dibahas tuntas oleh Sofia Mansoor dan Ivan Lanin. Contohnya mudah saja, kita bisa temui penggunaan “di mana” yang tidak berfungsi sebagai konjungsi dalam berbagai pidato impromptu para pejabat. Kita bisa amati seorang pejabat yang ditanyai oleh nyamuk pers dalam berbagai kesempatan. Kemungkinan besar ia akan menggunakan kata “di mana” bukan sebagai konjungsi tetapi menurut saya hanya sebagai kata untuk mengisi jeda saat berbicara sehingga terkesan lebih lancar. Dalam bahasa Inggris kita bisa sebut sebagai “filler”. “Filler” ini tidak memiliki makna tetapi hanya untuk memberikan kesempatan bagi si pembicara untuk berpikir mengenai kata yang akan ia ucapkan berikutnya. Tidak mutlak salah mungkin tetapi penggunaan “filler” ini membuat kalimat kita kurang efisien dan ringkas. Lagipula “filler” adalah sesuatu yang mungkin masih bisa dimaklumi dalam taraf tertentu dalam ragam percakapan, tetapi tidak begitu mudah ditolerir dalam ragam tulisan.

(URL Gambar: http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSrlTIj2XW2eps42CzT2SbK7eYGf9rGod6-H2L6Kjr4nn7jrV6bueJexj6GKg)