Menganyam Persatuan Pasca Pilpres dengan Musik

Sebelum saya menekuni yoga seperti sekarang, saya saban akhir pekan menghabiskan waktu dengan belajar menggesek biola di Taman Suropati Chamber yang digagas bung Ages (nama populernya AE Sugeng Dwiharso). Lucunya saya menghabiskan waktu dengan anak-anak SD yang kemampuan menggeseknya sudah lebih mumpuni dibanding saya yang sudah ‘uzur’. Karena tidak mampu mengimbangi permainan mereka dan pelajaran yang makin susah dikejar dan ketiadaan waktu berlatih, akhirnya saya menyerah. Biola itu teronggok dalam keadaan menyedihkan di pojok kamar. Senarnya putus dan belum diperbaiki hingga sekarang.

Kemarin (5 Mei 2019), Taman Suropati Chamber yang saya pernah ikuti itu mengadakan konser pemecahan rekor yang dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai konser yang memainkan lagu “Indonesia Raya” dengan jumlah pemain biola terbanyak. Rekor ini tidak cuma di Indonesia tapi juga di dunia.

Sejak pukul 7 saya sampai di Taman Suropati ini, saya sudah menyaksikan sejumlah pemusik lalu-lalang dan anggota Chamber hilir mudik mengatur berbagai keperluan acara yang sedianya juga akan dihadiri menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Untungnya memang beliau hadir sendiri, tidak diwakilkan pada bawahannya.

Sebelum orkestra memainkan lagu kebangsaan, kami semua yang hadir di Taman Suropati dimohon berdiri dalam sikap sempurna sebagai bentuk penghormatan pada bangsa dan negara. Saya sendiri melakukannya meski sedang di barisan paling belakang, dengan bertelanjang kaki di atas matras yoga dan tertimpa sinar matahari siang yang terik tapi tertangkal teduhnya dahan dan dedaunan pohon di sini. Sejuk tapi juga hangat.

Di panggung banyak sekali anak-anak pelajar yang ikut serta. Mereka berasal dari sejumlah sekolah dan lembaga di Jakarta. Ada sekolah-sekolah swasta dan juga ada beberapa pebiola dari Kompas Gramedia yang menurut pembawa acara sudah ‘senior’ dibanding pebiola-pebiola di sekeliling mereka. Menurut pernyataan Ages, ada 326 pebiola, cellist/ pemain cello dan pemain musik lain di sini.

Sejurus kemudian datanglah pemilik Museum Rekor Indonesia, Jaya Suprana, yang mengendarai skuter mini miliknya. Konon kondisi fisiknya kurang bugar tetapi kehadirannya menunjukkan komitmen serius pada upaya untuk menggugah persatuan bangsa di tengah perpecahan bangsa akibat konflik Pilpres 2019 yang belum berhenti juga. Perlu diketahui, kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dikelilingi mobil-mobil awak media dan dijaga ketat oleh satuan Dalmas dari Kepolisian RI dan dipagari kawat berduri itu cuma berjarak 500-an meter dari Taman Suropati yang terbuka, rindang, semilir dan penuh kegiatan kemanusiaan ini.

Menurut Jaya Suprana, ia sudah menyaksikan banyak orkes tunggal di dunia, dari New York, Berlin, Munich, London, Moskow, tetapi baru di Jakarta-lah ia merasa benar-benar tergugah. “Saya tahu benar-benar bahwa Anda semua tumbuh dari nol. Betul-betul akar rumput yang menjadi suatu pohon beringin yang besar sekali dan anggun sekali. Jadi ini luar biasa!” ia menyampaikan dalam sekapur sirihnya sebagai ketua MURI.

“Orang Indonesia sangat rendah hati. Maka rekor ini diajukan sebagai rekor Indonesia, sebagai rekor MURI. Dengan segala hormat, dengan berat hati, saya terpaksa menolak!!!” ungkapnya dengan nada dramatis yang menyentak kami yang hadir di Taman Suropati pagi hari yang terik itu. “Saya menolak pengajuan rekor ini sebagai rekor Indonesia. Tapi rekor dunia!!!”

Ia beralasan lebih lanjut bahwa belum ada orkes swadaya masyarakat yang tumbuh dari nol dan tumbuh berkembang hingga mampu menampilkan lagu “Indonesia Raya” dengan indah.

Di sini jika Anda mau bangun pagi, Anda bisa menemukan banyak komunitas berkegiatan. Ada komunitas Yoga Gembira yang saya ikuti, ada juga Taman Suropati Chamber yang mewadahi mereka yang berminat dengan biola, cello, dan alat musik lain. Kemudian ada juga komunitas Taichi, bahkan sesekali ada perpustakaan keliling yang juga digagas oleh pihak pemuda-pemudi yang peduli dengan literasi. Sesekali ada juga anak-anak usia tanggung komunitas merek pakaian distro Smitty datang berkerumun dan membagi-bagikan barang.

Pokoknya di sini seperti oasis bagi manusia-manusia urban yang haus interaksi yang tulus, non-politis, non-relijius (dulu ada sekelompok pemuda-pemudi berpakaian rapi dan sopan yang duduk-duduk, rupanya mereka pengabar aliran Saksi Yehova di sini tapi sejak ada isu kristenisasi dihembuskan tatkala mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama memerintah, mereka kemudian menghilang).

Yang lucu, karena konser ini diikuti oleh anak-anak sekolah dan orang tuanya, suasana sempat semrawut. Saya terkekeh tatkala mendengar Yasmin, pasangan Ages di Taman Suropati Chamber, yang menyerukan orang tua agar tidak ikut ke panggung bersama anak-anak mereka yang akan bermain. Dan begitu mendekati waktu konser, semua peserta dipersilakan untuk segera menjepret swafoto (selfie) lalu menyimpan dan kalau perlu mematikan ponsel agar tidak tiba-tiba berbunyi di tengah konser.

Dan kagumnya, saya sepanjang konser tidak mendengar ada bunyi ponsel berdering! Ini tentu sangat membanggakan mengingat masyarakat Indonesia belum memiliki budaya mematikan ponsel di acara-acara kebudayaan seperti konser dan pertunjukan musik yang digelar di dalam gedung tertutup. Tapi di ruang terbuka hijau seperti taman ini justru mereka menaati himbauan untuk tetap tenang.

Yang cukup menyentuh ialah saat penyampaian sambutan ketua panitia Basty Sulistyanto setelah lagu “Indonesia Raya” dimainkan untuk pertama kali, dikatakan bahwa konser ini memang ditujukan untuk merekatkan kembali bangsa yang sudah terbagi dua akibat pemilihan presiden dan caleg yang begitu mengerikan dampaknya pada kondisi masyarakat kita.

Saya sempat menangkap getaran haru di suaranya. Mungkin ia sedang berkaca-kaca, menahan lelehan air mata. Mungkin karena sudah lelah dan capek dengan semua perseteruan di media sosial, menyaksikan banyaknya teman dan keluarga menjadi musuh bebuyutan selama ini demi membela capres yang bahkan tidak mengenal mereka satu persatu. Siapa yang tidak?

Meskipun saya awam terhadap permainan biola, saya masih bisa menangkap nada sumbang (fals) dan tempo permainan yang kurang pas antara satu kelompok sekolah dan yang lain. Saya duga karena mereka belum begitu sinkron. Dibutuhkan waktu lebih banyak untuk berlatih bersama-sama sehingga bisa serasi bermain tapi apa daya kesibukan sebagai pelajar zaman sekarang sangatlah padat. Saya paham sekali.

Kemudian menjelang pukul 11 siang, Ages menyatakan akan ada acara lelang lagu yang sedianya memainkan sejumlah lagu untuk dimainkan asalkan ada pihak yang menyumbang. Dari “Bangun Pemudi Pemuda”, “Satu Nusa Satu Bangsa”, “Rayuan Pulau Kelapa”, hingga “Meraih Bintang” yang menurut Ages bisa merepresentasikan sepak terjang generasi muda zaman sekarang. Dengan kata lain, mereka ‘mengamen’ secara kreatif. (*/)

Tips dari Ahok Jika Capek Kerja

Kalau Ahok kerja, ia enggan melihat jadwalnya besok. Kelelahan besok ya untuk besok. “Hari ini susah hari ini. Besok susah tersendiri,” ujarnya.

Kalau sudah sampai maghrib, ia berlega hati. “Lumayan sudah lewat satu hari.” Besok mulai lagi.

Kegiatan sehari-hari Ahok dimulai dari pukul setengah 5 pagi. Tidur bisa pukul setengah 12 atau pukul 1 pagi tetapi tetap bangun pukul 5 pagi.

“Sudah seperti robot, tetapi tidak apa-apa karena bagi saya nama baik lebih berharga daripada harta,” katanya.

Ahok berkata dirinya terobsesi untuk ingin dicatat dan dikenang sebagaimana Ali Sadikin dikenang.

“Kalau saya bisa memecahkan masalah kemacetan dan banijir Jakarta, orang akan boleh bilang, ‘Ini gara-gara Ahok, semua jadi ada,’” katanya. Inilah yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Ahok, “The Mad Man” of Jakarta, Tells Us More about His Views on Entrepreneurship and Jakarta (2- end)

ahokAhok previously touched on plurality and creativity as the nation’s potential.

He was again pissed off as he found out a shocking fact. Upon knowing it took several days for a letter to reach his working desk, he casually went curious and questioned his subordinates. “I want all of the letters for me came to me right away no matter what. How many people in charge of letters are there?,”Ahok recounted. Twenty five people were known to be in charge of it. We all can imagine how ineffective the bureaucracy of Jakarta has been and we somehow don’t think it’s too surprising but having 25 people to handle letters in an office for a governor is undoubtedly a waste of resources.

Needless to say, he was enraged at the inefficient approach. Ahok later opened a single desk for all letters written for him as the governor. He wants to read these letters as soon as they arrive. “I want no one from my staff filters any letters for me,”Ahok firmly stated.

He fervently wishes there will be more entrepreneurs a.k.a. job creators in town. And to attract more entrepreneurs and encourage them to set up businesses in Jakarta, Ahok conveyed a message of change to all of business folks: Jakarta is changing.

Ahok is deeply concerned about the low sense of trust grassroots give nowadays to public officials like him. And he knows to well he has to work hard to change it.

“All we (Jakarta) have is location, to be frank,” he spoke. If people have a creative idea, are trained, permitted to operate, they might as well get funded by the government. “We also subsidize fledgling entrepreneurs who need to exhibit their products or services.”

Under Ahok’s command, the government of DKI Jakarta has begun a local, culinary-focused business incubator at Monumen Nasional (Monas), Central Jakarta. There are 339 people (micro businessmen, street vendors) trained in the incubator. They were trained to cook and serve foods more hygienically and professionally. Once they have funds and want to expand, they should move out of the location.

Ahok can’t be fooled so easily. Some of the street vendors tried to take advantage of this facility generously provided for them. Ahok found out that these dishonest people sold their kiosks at Monas for 200 million rupiahs. They sold the space to others instead of truly running their culinary business there to come back to their hometown only to remarry women and build a decent house. And what happens next? These people come back to Jakarta and sell foods like what they did before the government trained and funded them.

“That’s why we now are really really stringent!” Ahok explained. Knowing Indonesian law enforcement is too weak to prevent such cases from recurring in the future, Ahok had an idea. A brilliant one, I should say. All these street vendors are to have ATM cards issued officially by Bank DKI as their identity cards. That way, any violations can be taken to court, only this time with more severe, more serious punishment. Ahok knows it’s against the law to
counterfeit ATM cards and if these street vendors – who have been trained, funded and provided a strategic space to run businesses – forge the cards, they should get prepared of being put behind bars for at least 12 years. “They said I’m so cruel. I said,’Now you all know!'”

He later emphasized Jakarta is the best opportunity for entrepreneurs. They provide one-stop service for handling the business permits. “No need to bribe. You can tell me if you’re told you must bribe,” he said. “I work for this, to have fights against all these violations. For the sake of you all.”

Ahok promised for entrepreneurs to give space to ‘show off’ products at Monas, which he assumes to be the most commercially attractive landmark of all. He is committed to help entrepreneurs who can produce something. To fund potential entrepreneurs, Ahok will push Bank DKI to provide more capitals for them.

Speaking of the traffic jam issue and city plan, Ahok likened Jakarta to Chicago in 1920’s. It was all chaotic and messy with buildings and properties erected with no certain guidance. To add to the mess, the traffic was worsening from time to time. Not to mention, the Chicago goverment was as corrupt as we all are now.

He also challenges all of Indonesian public officials to implement and ratify the United Nations advice on combatting corruption in the public government. He strongly advocates this idea to be applied in Indonesia. “But there needs to be raises in salaries at first,” he said in an understanding tone.

Thus far Ahok, apart from his being a minority, has managed to show his capability of working as a competent public official. Yes, he is blatant, overly outspoken most of the time, so outspoken he annoy and offend some. But as we all realize we really need this type of man to drag our people forward. This donkey needs to wake up and work his way up, stop complaining and start achieving. And Ahok is ready with his whip so the donkey stand up and start to run, to become a stallion, or even better, a unicorn flying to the sky.

Mengapa Ahok Naikkan Gaji PNS Pemprov DKI Jakarta

Dari pengamatannya selama ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sangat yakin bahwa akar permasalahan buruknya kinerja PNS di lingkungan pemerintah DKI Jakarta dan tingginya tingkat korupsi di dalamnya adalah rendahnya gaji para pegawai. Pendapatan yang jauh dari memadai itu memaksa oknum-oknum untuk korupsi.

“Ini ada hubungannya dengan gaji kita,”tegas pria berkacamata itu dengan mantap di podium, dengan banyak anak-anak muda menyaksikannya. Mereka hadir dalam rangka Global Entrepreneurship Week Summit 2014, di Jakarta, tanggal 21 November lalu. Generasi muda inilah yang menjadi alasan mengapa Ahok tidak segan menghadiri acara di tengah jam kerja.

Alasan kedua ialah karena keserakahan, ujar Ahok lagi. “Yang kecil nyolong untuk hidup,”Ahok berkata. Sementara yang sudah berkecukupan, menjadi korup karena keserakahan, ingin menjadi lebih makmur lagi secara finansial.

Ahok memaparkan panjang lebar bahwa gaji PNS di lingkungan pemerintah DKI Jakarta yang cuma Rp2,4 juta (tahun depan Rp2,7 juta) itu sangat kurang, apalagi jika istri tidak bekerja dan anak-anak berjumlah 2-3 orang. Beban ekonomi itu teramat berat dan implikasinya sangat luas dalam kehidupan keluarga tersebut.

Implikasi rendahnya gaji orang tua dalam tingkat pendidikan anak-anak keluarga PNS juga tidak bisa disepelekan. Bagi anak yang kurang beruntung karena gagal lulus ujian masuk sekolah negeri, akibatnya bisa sangat destruktif. Ahok mendeksripsikan bagaimana anak-anak PNS yang gagal masuk ke sekolah-sekolah negeri harus berpuas diri di sekolah-sekolah swasta dengan kualitas guru yang jauh dari memadai. “Kadang masuk, kadang nggak, misalnya,”tutur Ahok tentang frekuensi presensi guru-guru sekolah swasta, yang memang ada hubungannya dengan gaji mereka yang rendah pula.

Anak-anak PNS semacam ini juga kadang harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk bisa ke sekolah mereka setiap hari. Dan tentunya itu membutuhkan dana transportasi yang tidak sedikit. Jumlahnya bisa mencapai Rp800.000 per bulan, menurut Ahok. Dengan 2-3 anak yang bersekolah dalam satu keluarga dan sang ayah hanya bergaji Rp2,4 juta, Ahok berasumsi gaji itu sudah ludes hanya untuk biaya transportasi sehari-hari. Itu belum mencakup kebutuhan dasar lainnya.

“Yang banyak terjadi adalah:’Kamu sudah SMP, kamu sudah SMA, biar adik-adikmu menyelesaikan SD’,”tukasnya dengan nada prihatin karena ia tahu anak-anak ini harus menghadapi persaingan global nantinya. Namun, apa daya mereka harus menerima kenyataan bahwa orang tua tidak lagi sanggup membiayai pendidikan mereka hingga ke jenjang sarjana.

Maka dari itu bisa dipahami, selain isu kesejahteraan PNS di lingkungannya, Ahok sangat menaruh perhatian pada masalah pendidikan pula. Ia pun menggagas bantuan pendidikan yang lebih intensif. Cakupannya akan sampai jenjang pendidikan tinggi.

Untuk merealisasikan bantuan pendidikan untuk anak-anak itu, pejabat yang pernah menjadi pebisnis di daerah asalnya ini terganjal satu problem dan harus memutar otak lagi. Masalahnya kali ini adalah definisi “miskin dan rentan miskin”. Ia mengkritik definisi yang dipakai pemerintah saat ini salah besar. Ahok mengatakan pemerintah mengklaim hanya ada 3,7% warga DKI yang miskin dan rentan miskin dan tiap tahun dikatakan terus menurun jumlahnya.

Ia menampik klaim tersebut. “Saya bilang kalau melihat PKL begitu banyak, orang-orang makan di pinggir jalan begitu banyak, separuh warga Jakarta itu miskin!,”kritik Ahok lagi mengenai definisi tersebut. Pernyataan Ahok yang tajam itu membuat sebagian pihak bereaksi keras tentu saja.

Di depan mantan Wapres Budiono dan sejumlah gubernur lainnya di Yogyakarta dalam sebuah kesempatan, Ahok tidak segan menjelaskan bahwa standar garis kemiskinan yang dibuat pemerintah itu salah. Ia tidak menyerang Budiono sebagai pribadi. Ahok bahkan mengatakan Budiono sebagai “orang baik”.

Kesalahan definisi “miskin dan rentan miskin” itu ada pada standar 2500 kkal per hari, terang Ahok. Jika diubah ke rupiah, 2500 kkal itu setara dengan Rp347.000. Dengan pemasukan di atas Rp347.000, seseorang sudah dianggap di atas garis kemiskinan. Bagi Ahok itu tidak masuk akal dan “lucu”. Padahal untuk bisa berkehidupan layak seorang lajang di Jakarta membutuhkan Rp2,4 juta per bulan. “Bagaimana bisa digunakan standar Rp347.000 tadi??!”

Pemerintah DKI Jakarta pun bekerjasama dengan BPS untuk mengadakan survei KHC (Kebutuhan Hidup Cukup) agar bisa memiliki bukti kuat sehingga garis kemiskinan ini bisa dinaikkan segera.

Ahok, “The Mad Man” of Jakarta, Tells Us More about His Views on Entrepreneurship and Jakarta (1)

ahokBasuki Tjahaja Purnama – the complete name of Ahok – never tries to please everyone. Especially those haters. The relatively young, amazingly blatant and straight-to-the point leader of Jakarta seems to be undismayed even by the agressiveness of Front Pembela Islam (FPI). But he has really strong reasons to support what he does now as the man in charge of the capital.

In front of the youthful audience of Global Entrepreneurship Week Summit Indonesia yesterday (21/11), Ahok stunned us, again. He mentioned several STRONG words that any other public officials are likely to say, even when they’re most aggravated in public. Truly, he sets a new trend of how someone should work as a public official. You can’t be as lazy and sluggish as a donkey and just work as usual.

During his 40-ish minute speech, Ahok told us his insights about just everything. From his interest in entrepreneurship to the recently launched BPJS program. His extent of knowledge might amaze you all.

The current era is very much different from the industrialization era, he said. These days, a nation’s comparative strength lies on its creativity. This proves to be the issue for Indonesia.

“With the plurality of this nation, we may generate more creativity,”Ahok remarked. Indonesia is hugely remarkable in terms and if you see any other nations seem so amazing when it comes to ideas and products, you’re wrong. Indonesia can do it much better. Only if we want to do better with our potentials though.

(To be continued)