Seperti Apa Tubuh Ideal Seorang Yogi agar Dapat Kuasai Semua Asana dengan Mudah?

Setelah membaca sebuah artikel dan data tentang dimensi tubuh rata-rata para pesenam yang berlaga di ajang Olimpiade dan memenangkan medali emas, saya mengetahui mengapa tubuh para pesenam unggulan itu rata-rata pendek. Makin pendek, bisa dikatakan berpeluang makin baik dalam arena kompetisi senam. Dan memang demikian adanya.

“Manlet”: Si Pendek Kekar yang Proporsional

Seorang pesenam pria asal Slovenia bernama Leon Stukelj yang memenangkan medali emas terakhirnya di usia 37 tahun tingginya hanya 5 kaki 5 inci, sebuah ukuran tinggi badan yang tergolong kurang bagi standar ras Kaukasia. Leon memiliki sejarah karir yang panjang di laga Olimpiade dan meninggal 4 hari sebelum ulang tahunnya yang ke 101. Menakjubkan bukan?

Sementara itu, pesenam Kohei Uchimura dari Jepang pemenang medali emas Olimpiade malah tinggi badannya cuma 5 kaki 3 inci. Meskipun secara fisik kedua pesenam pria ini sangat bugar dan baik, masing-masing tampaknya memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Tubuh Leon (di tahun 1924) lebih tinggi 2 inci tetapi bahu dan lengannya kurang berotot. Kohei (tahun 2012) lebih pendek tetapi memiliki bahu dan lengan yang lebih kokoh. Hal itu mungkin karena pengaruh latihan sehari-hari yang berbeda. Menurut pengamatan sekilas saya, Leon lebih mengandalkan ketangkasan dan Kohei lebih banyak menjurus pada kekuatan tubuh bagian atas.
image

Disimpulkan pula bahwa dari pengukuran indeks massa tubuh yang dilakukan pada para atlet senam ini, trennya dari masa ke masa menunjukkan penurunan (sumber: Mag Bodies). Kohei, misalnya, hanya memiliki indeks massa tubuh sekitar 20. Dan sebagai perbandingan, indeks massa tubuh pria Amerika Serikat ialah 32 di era yang sama. Apakah ada hubungannya dengan pola latihan atau pola diet, jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari? Hmm, tampaknya dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang hal itu.

Perihal tinggi badan, para atlet senam secara umum berperawakan pendek. Dengan tubuh yang lebih kecil, gerakan seorang pesenam akan jauh lebih efisien. Masih menurut data yang disusun Mag Bodies, dibandingkan tinggi badan rata-rata atlet pria cabang olahraga lainnya di Olimpiade, tinggi rata-rata atlet senam berada di jajaran terbawah. Mereka lebih kecil dari kebanyakan olahragawan sampai sebagian orang menyebut pesenam laki-laki ini sebagai “manlet” (dengan analogi babi “pig” dan anak babi “piglet”). Tetapi kebugaran dan bentuk tubuh secara keseluruhan atlet-atlet senam ini tidak perlu diragukan lagi. Mereka tampak lebih proporsional dan kokoh meskipun kecil dan pendek.
image

Bagaimana dengan YOGI?

Menilik dari dunia senam, saya pun tergelitik untuk melontarkan pertanyaan yang serupa:”Seperti apa tubuh ideal seorang yogi agar ia mampu berasana demikian lincah, kuat, lentur dan memiliki daya tahan yang tinggi pada saat bersamaan?”

Pernah suatu kali seorang teman bercerita ia mengetahui kelenturan di atas rata-rata seseorang dari caranya duduk saja. Saya pikir, hebat sekali dia! Tetapi apakah mengetahui kepiawaian seseorang beryoga (baca: berasana) bisa dilakukan tanpa harus melihatnya berasana? Entahlah, saya belum pernah mencoba dan memang mustahil untuk memberikan vonis pasti itu. Di saat bertemu teman-teman yoga baru, sering saya mendapati ‘kejutan-kejutan’ yang sebetulnya tidak mengejutkan tetapi terasa mengejutkan karena saya sudah memberikan cap pada seseorang dengan berdasarkan pada penilaian sekilas bentuk dan proporsi tubuhnya. “Ah, dia berpinggul lebar dan besar pasti dia tidak bisa headstand,”batin saya, tetapi orang itu bisa. Di kesempatan lain, saya mencap seseorang,”Wah, lengan, bahu dan telapak tangannya kokoh dan besar, pasti dia bisa handstand dengan mudah!” Begitu gumam saya suatu saat melihat seseorang di kelas tetapi ternyata jangankan handstand, teman tersebut saja kerepotan saat melakukan bakasana (bird pose).

Pengamatan saya pun selama ini menghasilkan satu hipotesis: tinggi badan seorang yogi idealnya tidak lebih dari 170 cm agar bisa bermanuver dengan lebih leluasa. Ambil contoh guru yoga dari AS Kathryn Budig yang memiliki bentuk badan yang lumayan pendek (untuk standar Kaukasia) dan berpinggul besar (saya pernah menonton dan membandingkannya dengan tubuh para muridnya yang lebih tinggi dalam sebuah video yang menunjukkan ia saat mengajar). Tetapi ia mampu mengimbangi besarnya tubuh bagian bawah dengan kekuatan tubuh bagian atas yang membuat Budig cukup lihai di pose-pose arm balance yang membutuhkan tangan, lengan dan bahu yang kuat serta inversi. Sementara itu, Tiffany Cruikshank yang pernah saya temui di Namaste Festival 2013 tidaklah begitu semampai, mungkin maksimal hanya 170 cm atau 5 kaki 5 inci. Dan lain dari Budig, hampir tidak ada lemak di tubuh Cruikshank. Kekuatan ototnya baik tetapi tidak sampai tampak kekar sekali. Pas. Femininely strong. Briohny Smith juga tergolong pendek. Ia lebih pendek dari suaminya Dice, yang membuat saya yakin ia hanya bertinggi badan cuma 160-an cm. Jarang sekali saya menyaksikan guru yoga yang hebat berasana tetapi badannya tinggi besar seperti model catwalk. Bahkan Dice Iida-Klein juga tidak setinggi yang saya bayangkan. Hanya dalam kisaran 5 kaki 6 inci atau 170 cm lebih tetapi tidak sampai 6 kaki atau 180-an cm. Dan ketrampilan berasana Dice patut diapresiasi. Di sisi lain, guru yoga yang berfokus pada nafas Leslie Kaminoff tingginya menjulang sampai lebih dari 6 kaki! Saya tahu karena saya pernah berfoto dengannya dan ia begitu semampai di samping saya. Dan saya amati Kaminoff tidak begitu piawai dalam berasana, tetapi ia memiliki kelebihan sendiri yaitu pranayama dan metode berasana yang lebih aman (baca: tidak bermanuver gila-gilaan dengan menekuk, memelintir atau membalik tubuh). Hipotesis itu pun makin solid saat saya menyaksikan Kaminoff melakukan kayang (urdhva dhanurasana). Struktur tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh yang tipikal pria
Kaukasia usia senja membuatnya kesulitan untuk mencapai posisi kayang yang sepenuhnya.

Lalu apakah simpulan dari penelitian di dunia senam bisa diterapkan juga di yoga? Menurut hemat saya, bisa. Dalam aspek tinggi badan, seorang yogi atau yogini akan lebih mudah melakukan berbagai asana jika ia berpostur sedang atau pendek. Terlalu semampai, sekitar 180 cm lebih, akan menyulitkan karena efisiensi tenaga akan jauh lebih sukar dan menantang. Secara kasar, tinggi badan antara 150-170 cm mungkin lebih ideal karena berada di kategori sedang, tidak terlalu pendek dan tidak juga sangat tinggi.

Untuk berat badan akan sangat relatif, karena berat seseorang bisa berarti lemak (baca: kendala yang memberatkan badan dalam berasana) atau otot (baca: faktor penting dalam melakukan sejumlah asana yang menantang dan membutuhkan kekuatan luar biasa). Seseorang dengan berat badan yang sama bisa memiliki tinggi badan yang berbeda dan perawakan yang berbeda pula.

Menghakimi apakah seseorang yogi yang hebat dari dimensi fisik memang agak dangkal rasanya. Tetapi karena yang diukur adalah aspek fisik yoga (penguasaan asana), kita tidak bisa menghindarinya.

Kompensasi 1001 Kekurangan Kita dengan Menjadi yang Terbaik di 1-2 Bidang

Bahasa dan yoga: Dua spesialisasi saya

 

Saya masih ingat betapa saya bersedih dan tertekan saat nilai matematika hanya 54. Saat itu saya kelas 4 SD, dan rasanya sudah seperti the end of the world alias kiamat bagi anak 10 tahun. Apa yang harus saya lakukan? Saya butuh keajaiban untuk bisa membuat nilai saya terdongkrak agar orang tua saya yang guru tidak malu. Ahhh!

 

Begitu tertekannya saya sehingga saya lupa bahwa penguasaan saya di IPS lebih tinggi dibandingkan teman-teman sekelas. Saya suka membayangkan berkeliling dunia dan karenanya saya suka membuka-buka atlas, mengetahui nama-nama ibukota setiap negara di dunia. Itu sangat mengasyikkan. Saya bisa lepas dan bersantai di pelajaran IPS.

 

Tetapi begitu pelajaran matematika dimulai saya tercekam. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kecepatan berhitung saya lumayan payah. Guru yang semula netral di mata saya, begitu saya tersadar saya tidak bisa berhitung sebaik teman-teman lain, saya seolah merasa terongrong, seperti hewan buruan yang senantiasa curiga dengan gerak-gerik hewan buas yang bisa jadi tidak bermaksud memangsanya. Saya merasa tiba-tiba semua perkataannya adalah lecutan cambuk yang melukai. Dan naluri saya adalah bertahan di sepanjang pelajaran. Saya harus tahu  bagaimana caranya ‘selamat’ dari siksaan ini. Siksaan yang datangnya beberapa jam seminggu.

 

Seiring dengan berjalannya waktu, saya kemudian bertanya: Apakah begitu wajibnya bagi saya dan setiap orang di dunia untuk menjadi sempurna dalam segala hal? Apakah tidak cukup saya pandai di satu dan dua hal yang saya sangat sukai dan menjadikannya sebagai permakluman atas ketidakmampuan saya di bidang atau pelajaran lain?

 

Terus terang saya muak untuk memenuhi semua tuntutan menjadi sempurna. Dan saya pikir itulah sumber keruwetan hidup manusia: keinginan untuk menjadi paling sempurna di dalam semua hal. Itu karena kita memang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Manusia selalu punya keterbatasan dan terimalah itu!

 

Sebagai konsekuensi logis, manusia harus menerima kenyataan bahwa dia boleh saja ‘sempurna’ di beberapa aspek dan payah atau sangat payah di aspek-aspek lain dalam kehidupannya. Itu sangat wajar. Menjadi payah, buruk, tidak kompeten, goblok, suck, adalah hak bagi setiap manusia sepanjang ia masih memiliki spesialisasi yang ia benar-benar kuasai. Saya rasa wajar bila kita temui tukang bangunan yang tidak bisa memasak, atau penari balet yang gagap teknologi, atau mahasiswa teladan Fisika yang tidak tahu menahu tentang anatomi tubuh manusia.

 

Saya biasa-biasa saja, standar… So what?

 

Tidak ada yang perlu diperolok atau dibanggakan jika kita memang tidak sebaik orang lain dalam banyak hal dalam hidup ini. Kepayahan (keadaan payah) yang artinya bisa “pas-pasan”, “biasa”, “standar”, “rata-rata”, bagi banyak orang harus dihindari dengan segala cara. Tampaknya kondisi ini memang mengerikan. Saya juga berpikir saya bersumpah tidak mau menjadi orang-orang kebanyakan yang biasa-biasa saja. Mediocre itu mengerikan! Saya mau menjadi achiever. Apalagi akhir-akhir ini marak berbagai jenis motivator a la Mario Teguh, atau Bong Chandra. Semua orang terpacu untuk menjadi lebih sukses, kaya, bijaksana dengan menuruti semua nasihat dan kata mutiara yang digelontorkan di berbagai media. Tidak ada yang salah. Saya bukan anti motivator. Dan saya sadar kadang kita membutuhkan figur-figur luar biasa seperti mereka yang bisa melejitkan semangat di kala lesu darah. Namun, apa yang saya kurang sukai adalah bagaimana kita terlena dengan menganggap semua itu adalah manual kehidupan. Tidak ada buku petunjuk untuk menjalani kehidupan yang sejelas manual produk elektronik. Kitab-kitab suci pun masih menyimpan banyak gagasan yang multiinterpretatif di dalamnya. Setiap orang bisa memiliki penafsiran sendiri, dan memang kita berhak untuk itu.

 

Kembali ke topik mediocrity (keadaan rata-rata, biasa saja), saya pikir waktu kita di dunia ini adalah aset yang terbatas. Semua yang manusia ‘miliki’ juga terbatas karena pada dasarnya semua adalah pinjaman. Kita bisa bekerja begitu lama dan keras sepanjang hari 24 jam. Namun, sayangnya waktu, energi dan pikiran adalah sumber daya yang sangat terbatas. Kita tidak bisa bekerja terus menerus sepanjang hari dengan tingkat produktivitas yang stabil. Dalam jangka panjang, bekerja terus menerus juga tidak mungkin kecuali kita sudah bosan hidup.

 

Keterbatasan semua hal ini menjadi faktor penting karena itu berarti kita tidak bisa sempurna dalam semua hal. Kita tidak memiliki banyak waktu untuk menjadi koki kelas dunia, pasangan hidup yang hebat, teman yang hangat, pekerja yang sangat produktif, pemain golf yang menjuarai turnamen-turnamen bergengsi dunia dalam sekali waktu. Bahkan kita bisa simpulkan seorang manusia hanya bisa sangat piawai dan menguasai keahlian di 1 hingga 2 bidang saja. Selebih itu hanyalah mitos.

 

Menurut Malcolm Gladwell, pakar psikologi populer, seorang ahli membutuhkan setidaknya 10.000 jam untuk benar-benar menguasai satu bidang. [1] Meski ini bukan acuan yang akurat tetapi intinya adalah untuk menjadi seorang pakar/ ahli dalam sebuah bidang, seseorang perlu bekerja sangat keras dan menghabiskan waktu yang panjang sekali. Dan kita juga masih harus melakukan berbagai kegiatan rutin seperti makan, tidur, menikmati hidup, dan sebagainya. Dengan fokus pada bidang-bidang spesialisasi kita saja, kita tidak perlu mengalami banyak stres dan frustrasi. Semua akan menjadi lebih mudah.

 

Dan untuk menemukan spesialisasi itu, kita perlu banyak bereksperimen dan mendengarkan kata hati. Saya banyak menemukan mahasiswa yang saya ajar berkeluh kesah mengapa kuliah sangat sulit, skripsi sangat susah diselesaikan. Ternyata usut punya usut keluhan itu datang dari motivasi yang rendah, dan pangkalnya adalah karena mereka hanya mendengarkan ‘saran’ koersif orang tua untuk mengambil jurusan itu. Mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka sukai dan mereka hanya mengekor orang tua atau malah teman-teman.

 

Untuk orang yang introverted tetapi lumayan asertif dan beruntung memiliki orang tua yang demokratis seperti saya, menemukan minat yang menjadi spesialisasi adalah sebuah perjalanan yang cenderung mulus. Sebagian lainnya menemukan jalan yang lebih terjal dan mereka bisa menaklukkannya. Sebenarnya mudah saja: lihat ke dalam diri sendiri dan temukan prinsip-prinsip, passion (gairah) dan tujuan hidup kita. Terlalu filosofis mungkin bagi anak-anak muda. Tetapi mudahnya, lakukan saja apa yang kita senangi dan nikmati. Jangan ada keterpaksaan. Meski ada keterpaksaan pun kadarnya tidaklah besar dan masih jauh lebih besar passion kita.

 

Dan kita perlu menyerasikan tujuan hidup kita dengan apa yang kita kejar dan ingin sempurnakan. Habiskan waktu dan tenaga untuk memperbaiki hal-hal yang bermakna paling besar bagi diri kita. Misalnya, jika kita memiliki passion di bidang seni dan gembira serta menikmati bekerja menjadi seniman, pada saat yang sama kita tidak perlu memaksa diri menjadi pesenam yang andal, pebisnis unggul dan pemain game berpengalaman. Mengapa? Karena semua itu tidak selaras dengan tujuan hidup kita: seni. Bolehlah menjadi selingan, tetapi sangat tipis kemungkinan Anda bisa memiliki kepakaran yang sama dengan profesi seniman yang menjadi fokus Anda.

 

Karena itu takutlah kita pada mediocrity di bidang yang menjadi fokus kita saja dan terima saja kenyataan bahwa kita payah di bidang-bidang lain.

Nah karena saya ingin menjadi penulis (sekarang baru menulis di dunia online saja), saya ingin mengutip satu penulis buku yang cukup menarik meski saya belum pernah membaca karya-karyanya. Kutipan di bawah ini adalah kalimat Eric Brown, seorang penulis, yang mengatakan dirinya menulis sekitar 5000 kata per hari saat mengerjakan sebuah proyek buku. Sungguh seperti sebuah lomba lari marathon. Untuk cerpen ia hanya menulis 3000 kata per hari (artikel ini saja baru sekitar 1200 kata). Brown juga menyisihkan waktu libur antara proyek menulisnya dengan membaca, berkebun dan mencari inspirasi untuk buku atau kisah berikutnya. Dan satu lagi resepnya untuk mencari inspirasi ialah dengan melancong. Brown sendiri melakukan perjalanan ke Yunani dan sejumlah negara Asia  hingga sekarang. Ah, betapa mengasyikkannya melancong bagi seorang penulis!

 

 

 

Pusat Penerjemahan Sastra: Impian Eliza Vitri Handayani, Penerjemah dan Masyarakat Sastra Indonesia

Dari kiri ke kanan: Penerjemah David Colmer, penggagas InisiatifPenerjemahanSastra.org Eliza Vitri Handayani, penerjemah Kari Dickson dan penerjemah bahasa Inggris-Norwegia Kate Griffin

Saat saya masuki aula besar di atas galeri seni di Erasmus Huis Sabtu pukul 7 lewat 15 menit malam kemarin (13/10/2012), suasana khidmat terasa. Ruangan yang besar tersebut tidak terisi penuh. Kursi di bagian depan cuma terisi satu dua orang. Hampir setahun lalu saya juga pernah berada di sini, untuk menonton film pemenang ajang SBM Golden Lens Award di bulan November 2011. Sangat berkesan.

Malam kemarin juga tak kalah berkesan. Saya bertemu teman yang selama ini hanya bersua secara virtual di Facebook dan blog, Dina Begum. Teman-teman baru sesama penerjemah juga banyak bertebaran di seantero ruangan sampai saya bingung harus memilih meredam gesekan usus yang masih kosong atau berkenalan dengan sebanyak mungkin orang di kesempatan langka malam itu. Cuma sempat berkenalan dengan Budi Suryadi yang membuat kami tergelak dengan lelucon angsa dan kuda nil di tengah danau dan Asep Gunawan yang mengira saya masih lulusan  baru.

Eliza Vitri Handayani malam itu membuka acara pembacaan hasil penerjemahan karya sastra penulis Gustaaf Peek dari Belanda dan Kjesrti A. Skomsvold dari Norwegia. Wanita muda penggagas InisiatifPenerjemahanSastra.org itu menyampaikan pidato pembukaan dengan fasih di hadapan peserta lokakarya penerjemahan sastra yang telah berlangsung selama 5 hari sebelumnya, para pembicara dan sejumlah pemerhati dunia penerjemahan di tanah air. Kalangan penerbit dan badan lain yang menaruh minat pada penerjemahan juga menyempatkan hadir.

Eliza tampak sibuk melayani percakapan dengan tamu lain sehingga saya harus berpikir beberapa kali untuk menemukan cara menyela obrolannya dengan orang lain. Terus terang saya bukan orang yang suka menyela. Itu salah satu hal yang paling tidak berbudaya menurut saya.  Dan sekonyong-konyong, saya terkejut saat Eliza menghampiri saat saya menundukkan pandangan untuk berfokus pada makanan di piring yang sudah hampir tandas. Mungkin ia dengan sengaja menghampiri semua orang di ruangan ini. Peluang emas, pikir saya. Saya bombardir saja dengan pertanyaan-pertanyaan spontan. Inilah cuplikan singkat wawancara impromptu saya dengan Eliza.

 

Apa tujuan utama diadakannya lokakarya ini?

Tujuannya sebagai alat pengembangan kompetensi penerjemah. Berdasarkan wawancara dengan penerjemah, editor dan penerbit, saya temukan 3 kendala utama dalam dunia penerjemahan di tanah air yakni: kompetensi penerjemah, kondisi kerja di penerbitan, dan rendahnya apresiasi terhadap karya terjemahan. Dan tahun ini tujuan acara ini (lokakarya penerjemahan di Erasmus Huis) adalah untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Pertama, meningkatkan kompetensi penerjemah dengan mengadakan lokakarya, seminar, membahas kondisi kerja dan acara umum seperti ini untuk mengangkat profil penerjemah. Apalagi mereka jarang diundang. Jika diundang pun, penerjemah jarang diberikan kesempatan berbicara di depan. Di sini, mereka diwawancarai dan diberikan kesempatan berbicara.

Orang juga perlu menyadari bahwa proses penerjemahan karya sastra itu tidak hanya baca karyanya lalu mengetik, atau menbuka kamus dan tinggal memasukkan arti kata. Prosesnya sangat rumit.

Ada alasan khusus mengapa memilih karya sastra dari Norwegia dan Belanda untuk lokakarya tahun ini?

Sebenarnya bisa dari mana saja karena kebetulan saya tinggal di Norwegia separuh tahun dan (kita memilih) Belanda karena kita memiliki hubungan sejarah yang kuat dan dukungan praktisnya juga karena mereka juga memiliki lembaga tersendiri untuk mendukung penerjemahan karya-karya sastra mereka.

Apakah benar apresiasi terhadap hasil penerjemahan karya sastra lebih rendah dibandingkan terhadap karya aslinya?

Saya pikir tidak. Hanya banyak yang kurang percaya dengan terjemahan bahasa Indonesia sebab banyak orang berpikir dengan kemampuan berbahasa Inggris sedikit, orang sudah bisa menerjemahkan, banyak buku yang tidak diedit, penerbit cuma mengejar tenggat waktu untuk merilis buku, dan banyak pembaca yang bisa membaca bahasa Inggris. Jadi mereka tidak percaya dengan hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Mengapa memilih karya Gustaaf Peek?

Ada berbagai pertimbangan yang tidak hanya dari kita tetapi juga dari donor. Gustaaf belum menerjemahkan karyanya ke bahasa Inggris, kita ingin karyanya bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris dan lainnya. Dan karena karyanya menarik.

Dalam lokakarya dilakukan penerjemahan secara relay (dari bahasa Norwegia –> Inggris –> Indonesia). Apakah dengan cara ini risiko kesalahan justru akan makin tinggi?

Betul, biasanya memang demikian. Tapi kita berusaha mengatasi itu dengan mendatangkan penulis aslinya dan penerjemah asal. Saya dengan berat hati mengadakan penerjemahan relay tetapi tidak merekomendasikan relay translation tanpa partisipasi penerjemah pertama.

Apakah nanti jika penerjemah Indonesia membutuhkan bantuan untuk menghubungi penulis atau penerjemah pertama, apakah akan dibantu?

Ya, jika kami nanti sudah menjadi sebuah pusat penerjemahan sastra di Indonesia. Sekarang pun jika kami bisa membantu, akan kami bantu.

Seberapa perlu penerjemah karya sastra memahami konteks sosial budaya yang menjadi latar belakang karya sastra?

Itu juga perlu, seperti tadi saat membahas keadaan cuaca di Norwegia yang tidak bisa ditemui di Indonesia. Unsur pakaian juga. Dengan menghadirkan penulis, kita bisa mengetahui semua itu, bagaimana rasanya memakai pakaian itu.

Itu kalau penulisnya masih ada, jadi proses penerjemahan lebih lancar karena masih bisa berdiskusi. Bagaimana jika penulisnya sudah meninggal?

Tujuan lokakarya ini bukan supaya kita menjadi lebih tergantung pada penulis. Kita tidak selalu memiliki kesempatan untuk bertukar pikiran dengan penulis. Ini hanya sebagai cara untuk membaca teks lebih dekat. Karena penulis juga sebisa mungkin ingin memasukkan semua yang ingin ia sampaikan ke dalam teks.

Untuk tahun-tahun mendatang, apa yang akan dilakukan setelah penyelenggaraan lokakarya penerjemahan karya sastra ini?

Kita memiliki ide untuk memberikan penghargaan bagi buku terjemahan karya sastra terbaik karena belum ada yang khusus mengapresiasi terjemahan sastra sampai sekarang. Padahal itu ada prosesnya dan seninya sendiri.

Kira-kira kapan realisasinya?

Pinginnya tahun depan.

Sudah melobi pihak apa saja untuk realisasi ini?

Rahasia dulu deh. Haha.

Tapi secara umum, apakah antusiasmenya sudah ada terhadap apresiasi terjemahan karya sastra?

Sudah. Secara umum saja, dari Festival Sastra. Sebab itu pesta, kita memberi anugerah untuk merayakan pencapaian jadi alangkah baiknya kalau di Festival Sastra. Jadi akan ada banyak penonton sehingga suasananya meriah. Pihak lain ialah organisasi yang tertarik dalam bidang penerjemahan, media yang banyak bergerak di bidang penerjemahan.

Apakah tahun depan diadakan lagi lokakarya seperti ini?

Sedang direncanakan. Kalau bisa dari bahasa-bahasa Asia.

Apakah ada rencana untuk memberikan lokakarya tetapi yang melibatkan bahasa-bahasa lain yang tidak sepopuler bahasa Inggris?

Ada. Tantangannya akan lebih sulit mencari pesertanya. Tetapi itu memang harus ditumbuhkan seperti misalnya yang sekarang di lokakarya yang langsung dari bahasa Belanda, kan kebanyakan dosen atau pengajar bahasa dan itu memiliki kesulitan sendiri karena mereka belum tentu memiliki kemampuan menulis yang baik tapi di sisi lain kita harus tumbuhkan minat mereka untuk menerjemahkan karya sastra Belanda.

Bagaimana dengan kualitas para penerjemah kita?

Banyak yang sudah hebat seperti para pembicara di lokakarya tadi. Tapi banyak juga yang lain yang masih perlu ditingkatkan.

Wawancara pun harus berhenti karena dua teman Elisa menghampiri dan mengajak mengobrol sejenak untuk berpamitan dan mengucapkan dukungan terhadap inisiatifnya mendirikan pusat penerjemahan sastra pertama di Indonesia. Saya pun mempersilakan padanya untuk menyantap makanan yang sudah diambil sebelum saya memberondongnya dengan pertanyaan.

Semoga impian Eliza, yang juga impian kita semua, akan terwujud dengan lancar segera!

 

 

Menjaga Kesehatan Mental dengan Beryoga

Perkembangan teknologi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membawa banyak manfaat. Dan di sisi lain, ia membuka celah masalah baru. Salah satu masalah yang paling menonjol dalam  kehidupan manusia yang diakibatkan paparan dengan teknologi ialah kesehatan mental yang tak lagi seimbang. “Begitu banyak orang depresi sekarang. Itu karena kita terlalu banyak terfokus pada hal-hal di luar diri kita, termasuk di dalamnya adalah TV, smartphone, dan lain-lain,” kata Rustika Thamrin pagi tadi (14/10/2012) di sesi berbagi Yoga Gembira, Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Topik ini berkaitan erat dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober 2012 yang baru saja berlalu minggu ini.

Menurut Rustika yang pakar psikologi itu, tak heran kita menjadi melupakan eksistensi atau keberadaan diri kita sebenarnya. Self-awareness atau kesadaran diri menurun. Sebagai konsekuensinya, orang makin sibuk untuk mengisi kekosongan dalam jiwa mereka dengan memburu ‘kebahagiaan’ di luar diri mereka. Sayangnya kebahagiaan eksternal itu tidaklah sejati. Semu dan temporer belaka.

Yoga dapat menjadi satu solusi bagi manusia modern yang telah kehilangan jati diri dan keseimbangan hidup dengan mengajak kembali melihat ke dalam diri. Yoga memberikan jalan bagi kita untuk melihat ke tubuh kita sendiri dan mengamati emosi-emosi yang muncul dan untuk kemudian membiarkan semua itu pergi karena kita tidak perlu menganalisisnya atau menghakiminya, ujar Yudhi Widdyantoro, pendiri Social Yoga Club atau Yoga Gembira. Menelisik kembali ke dalam diri juga menjadi bagian penting dalam mindfulness therapy yang kata Rustika selaras dengan prinsip yoga.

Satu pembahasan yang menarik oleh Rustika ialah ciri utama orang yang bermental sehat yang bisa kita gunakan untuk mengukur kesehatan mental kita masing-masing. Orang yang bermental sehat umumnya memiliki kemampuan untuk menertawakan dirinya sendiri. Mereka yang defensif (yang kurang sehat mentalnya), kurang mampu menertawakan diri sendiri tetapi justru melimpahkan ketidakberesan atau masalah dalam dirinya pada orang lain.

Kita juga diajak untuk tersenyum lebih banyak demi meningkatkan kesehatan mental. Mengapa harus tersenyum? Saat seseorang tersenyum kemungkinan besar ia merasa senang, terang Rustika. Dan saat seseorang merasa gembira tanpa ada tekanan, limbic system dalam tubuh akan terbuka dan saat itulah,informasi akan masuk dan terolah dengan lebih baik. “Pada gilirannya daya ingat jangka panjang kita akan membaik pula. Ini akan mencegah kita lebih mudah lupa dalam kegiatan sehari-hari akibat kebiasaan multi-tasking,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Rustika juga menambahkan perlunya biodansa (dansa kehidupan) yang bisa menghubungkan diri kita dengan mereka yang ada di sekitar kita. Digabungkan dengan yoga yang menekankan pengenalan diri sendiri, biodansa menjadi langkah penyempurna berikutnya untuk mengenal dan terhubung dengan lingkungan sosial. Keduanya memungkinkan kita menjaga keseimbangan dan kesehatan mental baik dari sisi internal dan eksternal.

Perbandingan Fakta Penggunaan Energi yang Belum Anda Ketahui

English: Spectrum of a Compact fluorescent lamp.
Lampu LED paling hemat energi, bahkan dibandingkan lampu jenis CFL atau Compact Fluorescent Lamp. (Photo credit: Wikipedia)

Perbandingan 1

Jika setiap rumah di Amerika Serikat mengganti 1 bohlam lampu dengan lampu Energy Star yang hemat energi, jumlah energi yang dihemat dapat menerangi lebih dari 3 juta rumah tangga per tahun. (energystar.gov)

Perbandingan 2

Cahaya alami yang optimal di dalam kantor dapat mengurangi tingkat absensi karyawan sebesar 15% dan meningkatkan produktivitas sebanyak 15%. (National Renewable Energy Laboratory)

Perbandingan 3

Sepeda adalah alat transportasi paling efisien. Pengendara sepeda dengan berat 64 kg yang bersepeda dengan kecepatan 16 km/ jam memerlukan energi sebanyak 27 kcal (kalori),, yakni sama dengan 311 km/liter. (wikipedia)

Perbandingan 4

Dibandingkan dengan bohlam lampu tradisinal, bohlam CFL (Compact Fluorescent Lamp – tipe bohlam lampu pengganti lampu pijar tradisional, bersifat lebih efisien dan tahan lama) membutuhkan energi 3-5 kali lebh sedikit dan tahan lama 8 -15 kali lipat.(eartheasy.com)

Perbandingan 5

Perkantoran dan bisnis di AS membuang 20 metrik ton kertas tiap tahunnya, atau sama dengan 80 kg kertas per karyawan, atau lebih dari 350 juta pohon.(University of St. Thomas)

Perbandingan 6

Produksi 1 kg daging sapi menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca dibandingkan mengemudi lebih dari 250 km.(Animal Science Journal)

Perbandingan 7

Selain menyelematkan pohon, proses daur ulang kertas memerlukan 64% lebih sedikit energi dibandingkan menghasilkan kertas dari kayu alami.(goinggreentoday.com)

Perbandingan 8

Untuk pencahayaan lebih dari 50.000 jam, Anda akan membutuhkan 42 lampu pijar, 5 lampu CFL atau hanya 1 lampu LED. Jelas sudah mana yang paling hemat kan? (greenliving.about.com)

Perbandingan 9

Sebuah monitor komputer yang dimatikan pada malam hari dapat menghemat  energi setara dengan 6 kali menghangatkan makanan di microwave.(University of East London)

Perbandingan 10

Mesin fotokopi yang lupa dimatikan dalam 1 malam membuang energi listrik yang cukup untuk memfotokopi 5.300 lembar kertas.(Queens University, Belfast)

Perbandingan 11

Diperlukan 20.000 liter air untuk memproduksi 1 kaos dan 1 celana jeans. (WWF)

Perbandingan 12

Energi yang dihabiskan oleh seluruh pencarian di “Google Search” selama 1 bulan dapat menjalankan 1 sepeda selama 5.000 tahun.(wellhome.com)

Perbandingan 13

Umumnya AC mengkonsumsi lebih dari 50% biaya listrik di rumah. (michaelbluejay.com)

 

 

 

12 Langkah Mudah untuk Hemat Energi

Hemat energi itu mudah! “Ah, siapa bilang?” sanggah sebagian orang. Saat dihadapkan dengan isu hemat energi, dahi orang banyak yang berkerut karena berpikir bahwa itu adalah urusan para pembuat kebijakan di level atas. Semuanya bergantung pada sosok pimpinan, begitu paradigma lama yang masih juga bercokol dalam benak rakyat Indonesia sekarang ini. Padahal sudah bukan jamannya lagi menyerahkan masih kita pada segelintir orang saja. Kalau mereka yang harusnya peduli tetap menunjukkan ketidakpedulian, mengapa kita harus ikut-ikutan tidak peduli?

Akan tetapi sekali lagi, yang paling mudah sekalipun jika tidak dilandasi dengan tekad yang tulus dan sepenuh hati untuk melakukannya pastinya akan terasa sulit bukan main. Akan muncul banyak alasan untuk tidak melakukan yang harus dilakukan.

Nah, sudah saatnya kita melepaskan pola pikir seperti itu.  Itu semua diawali dengan langkah-langkah kecil yang dilakukan oleh banyak orang. Mungkin remeh kelihatannya tetapi jika dilakukan secara bersamaan, dampaknya akan luas dan masif.

Langkah 1: Matikan lampu jika tidak diperlukan

Tidak cuma memangkas biaya rekening listrik bulanan kita, mematikan lampu akan memperpanjang umur lampu yang kita pakai di rumah, kantor dan sebagainya.

Langkah 2: Pilih kipas angin daripada AC

Saat memungkinkan (yang semua itu tergantung pada si pemilik), penggunaan kipas angin akan terasa lebih bijak dibandingkan dengan pendingin udara alias AC yang jumlah penggunaan energinya lebih besar. Menurut EECCHI, kipas angin hanya menghabiskan energi sepersepuluh dari AC. Selain menggunakan freon yang berbahaya untuk lapisan ozon di atmosfer kita, AC juga lebih merepotkan pemasangannya. Agar efektif dan terasa, kita harus melakukan penyekatan di sekeliling ruangan yang dipasangi AC. Untuk pemasangan kipas angin, kerepotannya lebih rendah.

Langkah 3: Gunakan kembali botol minum plastik

Membeli air mineral bukan pilihan paling bijak memang, tetapi kita tidak bisa hindai 100%. Namun jika memang terpaksa membeli, jangan buang begitu saja setelah satu kali digunakan. Isi kembali botol air mineral yang sudah kita beli jika membutuhkan saat di perjalanan. Ini memang bukan cara paling sehat karena saya pernah baca menggunakan air di botol plastik seperti itu secara berulang kali akan mengikis lapisan plastiknya dan kandungan plastik itu sedikit demi sedikit bisa terminum oleh kita.   Namun, di sisi lain kita juga perlu mempertimbangkan bahwa 90% dari seluruh botol plastik itu tak didaur ulang dan hanya dibiarkan terserak di tempat penampungan sampah yang akhirnya akan mencemari tanah dan air dan laut kita.

Langkah 4; Cintai produk lokal

Belilah produk lokal saat memugkinkan. Nabi Muhammad juga menyarankan memakan makanan yang jaraknya hanya perjalanan semalam dengan unta, jika tak salah. Kita akan mendukung perekonomian masyarakat lokal sambil berhemat energi dan membantu mengurangi emisi karbon. Masalahnya saat ini masih banyak produk Indonesia yang harus ditingkatkan kualitasnya agar konsumen dalam negeri mau memakai dan meninggalkan produk impor. Ini PR besar untuk pengusaha Indonesia dari yang mikro sampai kelas paus. Bukan hal yang mengherankan jika konsumen lebih memilih produk yang lebih murah atau memiliki selisih harga yang tipis dan lebih berkualitas karena pengusaha kita pun masih banyak yang abai dengan kebersihan, kualitas dan sebagainya. Saya mendengar teman yang lebih memilih berbelanja sayur mayur di supermarket modern yang harganya lebih mahal daripada di pasar tradisional yang lebih murah. Alasannya karena pedagang sayur kita jorok. Bahan makanan ditambah zat-zat yang berbahaya. Siapa yang tidak takut kalau begitu? Urusan makanan kan urusan kesehatan taruhannya. Inilah masalah yang masih perlu dipikirkan solusinya. Bolehlah kampanyekan cintai produk dalam negeri tapi apakah produk dalam negeri itu sudah pantas dicintai atau belum?

Langkah 5: Gunakan tas belanja bukan tas plastik sekali pakai

Ini termasuk yang agak susah dilakukan. Apalagi kalau belanja itu dilakukan secara tak terencana. Tapi untuk ibu-ibu yang biasa berbelanja bulanan, agak keterlaluan rasanya kalau setiap barang yang dibeli di supermarket harus dibungkus plastik, padahal untuk membawanya saja pakai kereta dorong dan langsung dibawa ke mobil. Apa perlunya pakai plastik coba? Yang lebih peduli lingkungan pasti akan lebih memilih menggunakan tas belanja dengan bahan kain atau kertas yang lebih mudah terurai.

Langkah 6: Matikan kran saat menyikat gigi

Dengan mematikan kran air saat menyikat gigi, akan dihemat air bersih tak kurang dari 5 liter per hari. Sama juga halnya dengan mematikan pancuran air saat kita sedang menggosokkan sabun ke badan. Air akan terbuang percuma, di saat kita tidak membutuhkannya. Mubazir!

Langkah 7: Insulasi wajib!

Pastikan pintu dan jendela tertutup rapat saat AC digunakan dalam ruangan apapun. Tak cuma itu, membuka pintu dan jendela terlalu lama juga akan membuat udara dingin keluar dan sia-sia saja energi yang dihabiskan AC untuk mendinginkan udara di dalam. Dan afdolnya, penyekatan ruangan yang menyeluruh harus dilakukan agar udara dingin menyebar lebih efektif tanpa menyalakan AC hingga ke suhu terendah. Jika penyekatan maksimal, dengan dipasang di suhu 23-25 derajat Celcius pun, udara sudah terasa nyaman dan sejuk.

Langkah 8: Naik kendaraan umum

Gunakan transportasi umum (tidak termasuk ojek atau taksi) atau gunakan mobil bersama dengan orang lain.

Langkah 9: Gunakan 2 sisi kertas

Pakai selembar kertas di kedua sisinya untuk menulis dan mencetak. Jika ada kertas bekas yang masih kosong, pakai saja untuk mencetak dokumen tak resmi atau untuk corat-coret.

Langkah 10: Gunakan tisu dengan bijak

Gunakan kertas tisu dengan bijak dan gunakan handuk yang dapat digunakan berulang kali jika memungkinkan.

Langkah 11: Pilih laptop daripada desktop

Energi yang dihabiskan untuk laptop lebih hemat 80% jika dibandingkan dengan desktop. Tentu tidak semua orang harus menggunakan laptop. Jika sangat diperlukan, menggunakan desktop boleh saja.

Langkah 12: Jaga suhu AC di 24-26 derajat

Pastikan suhu AC diatur di antara 24-26 derajat celcius. Ini suhu yang paling sehat. Terlalu dingin akan membuat jari jemari susah mengetik dengan cepat dan benar.

Tentang Damai

Berikut adalah ringkasan dari apa yang disampaikan oleh Mala dari Brahma Kumaris, organisasi spiritualis yang diundang ke Yoga Gembira, Taman Suropati hari Minggu tanggal 11 September 2011. Temanya ialah perdamaian.

Mala yang berasal dari Australia ini mengutip sebuah kalimat inspiratif dari Mahatma Gandhi di awal pertemuan: “Be the change you want to see the world”. Kemudian ia berkata dalam bahasa Indonesia yang tergolong amat lancar bagi ekspatriat, “Dalam konteks perdamaian maka bisa diubah menjadi: “Be the wave of peace you want to see the world””.

Mala kemudian bertutur panjang lebar tentang bagaimana mencapai kedamaian batin dalam diri kita. Kedamaian batin, menurutnya, tercermin dalam:

-Stabilitas/keseimbangan emosi

Dalam hidup pasti ada naik turun, fluktuasi, tetapi jika seseorang damai dalam batinnya, ia bisa stabil, menyeimbangkan diri. Pikiran berfluktuasi karena emosi karena itulah emosi perlu dikendalikan.

-Ketenangan sehingga tidak mudah terpancing.

Pause button dalam diri seseorang. Ia tidak bereaksi secara langsung. Mengheningkan diri sebelum bereaksi, mengambil keputusan, berbicara.berpikir lebih pelan, untuk melihat lebih jelas dan ambil tindakan yang lebih bijak. Terlalu cepat ambil keputusan, bisa berbuah petaka.

– Kesabaran

Kesabaran dalam menerima dan memahami sesama, suatu wujud kedamaian karena tak merasa terancam. Saat tak nyaman, kita cenderung hostile.

-Kesukarelaan

Saat terpaksa melakukan sesuatu, hati tidak damai karena merasa terkekang. Berpikir jernih dan damai kita bisa melakukan semua hal dengan sukarela, datang dari diri kita sendiri, bukan karena situasi.

-Harga diri yang bisa dipertahankan

Orang sakit merasa tidak bisa mempertahankan harga dirinya karena tidak bisa bermakna pada orang lain. Pertahankan harga diri dalam sakit, musibah itu adalah wujud kedamaian batin.

-Kemampuan merelakan

Ketenangan batin tercapai saat kita bisa melepaskan pengalaman buruk dari pikiran.

Kedamaian harus dimulai dari diri kita. Saat kita terus menuntut dunia eksternal di sekitar kita untuk damai sebagai prasyarat agar diri kita bisa merasa damai, maka kita tak akan merasa damai. Dengan meditasi dan yoga, kedamaian ini bisa dicapai.

Bagaimana kita bisa menerima orang yang berbeda?

Pahami bahwa setiap orang itu unik, karena memiliki misi hidup yang berbeda dari kita. Sebab lain kita sulit menerima orang lain ialah karena kita selalu punya harapan/ tuntutan terhadap orang lain. Saat orang lain tidak bisa memenuhi harapan kita, kita menolak kehadiran mereka. Meskipun tujuan sama, cara untuk meraih bisa berbeda.

Saat memaksa orang menuruti kemauan/ tuntutan kita, kita pada dasarnya belum paham akan drama kehidupan ini.

Perjalanan hidup mereka juga berbeda dari kita. Ibarat kita tengah menumpang kereta, kita tidak bisa memaksa penumpang lain untuk menempuh rute yang sama dan turun di stasiun yang persis dengan kita. Kita tak bisa memaksa orang lain untuk selalu ada di samping kita.

Ada hikmah/ pelajaran dalam segala kejadian dalam hidup ini

Segala sesuatu di alam ini terjadi untuk alasan tertentu. Tidak ada kebetulan, tidak ada yang salah (kata “salah” hanya label dari manusia, karena suatu hal tidak sesuai keinginannya). Dengan menggunakan cara pandang seperti itu dalam memaknai semua peristiwa dalam kehidupan, kedamaian dalam batin akan lebih mudah dicapai. Dama itu juga berarti kita bisa menerima sesuatu apa adanya.

Segala sesuatu yang terjadi di alam sudah tercatat dan kita hanya menjalani yang sudah ditakdirkan. Perlu waktu untuk memahaminya, “Apa maknanya bagi saya? Bagaimana ini memperkaya saya?”

Pengalaman pahit atau manis akan bisa digunakan sebagai bekal hidup dan ditularkan ke orang lain.

 

Bagaimana saya harus bereaksi terhadap tuntutan dari suatu situasi yang saya belum mengerti?

Pertanyaan reflektif ini perlu kita tanyakan pada diri sendiri saat berkata, “Saya punya satu pengalaman buruk, sangat buruk, tak ada hal positif di dalamnya”.

Kita perlu menganggap setiap hal dalam hidup, termasuk peristiwa/hal terburuk , sebagai sebuah hadiah indah yang terbungkus rapat oleh kertas rombeng. Kita perlu membukanya dengan perlahan.

Kedamaian memang tercapai saat tidak ada gangguan tetapi gangguan justru bisa menunjukkan seberapa baiknya kita dalam memelihara ketenangan batin. Setiap gangguan membawa kita ke tingkatan kedamaian yang lebih dalam. Jadi kalau kita masih merasa terganggu, kedamaian batin kita belum begitu dalam. Maka kita perlu memperdalam kembali.

 

Saat kita menghadapi orang yang marah, apa yang sebaiknya dilakukan?

Menghadapi kemarahan sebaiknya dengan memahami alasan mengapa ia marah. Seseorang tidak akan marah tanpa sebab yang  jelas. Saat kita berusaha memahaminya, perasaan marah kita sebagai balasan kepadanya akan teredam.

Orang yang marah itu bak seorang pengemis. Orang yang tengah marah adalah pengemis dalam pengertian emosional dan psikologis. Ia perlu empati, kasih, solusi, perhatian dari orang-orang yang mereka marahi. Tanyakan pada diri kita, “Apa yang orang ini butuhkan dari saya?”  Posisikan diri kita sebagai pemberi agar kita tidak larut dalam kemarahannya. Saat kita berada dalam posisi memberi, kita akan terlindung dari serangan emosi negatif orang lain. Ini bisa diterapkan di masa modern saat banyak manusia bertindak tanduk layaknya penyedot debu yang suka mencari untung tanpa memberi. Mereka terus menuntut tanpa memenuhi kewajibannya.

Apa yang bisa dilakukan saat kita tidak bisa menemukan sisi positif seseorang?

Kadang kita begitu benci dengan seseorang hingga kita menjadi buta dengan sisi-sisi baik yang mereka miliki. Adalah sebuah kemalangan bagi kita sendiri jika kita tak bisa menemukan sisi baik seseorang. Ego kita membutakan kita, menganggap orang lain lebih rendah. Kita lupa bahwa seseorang itu buruk di mata kita bukan karena orang lain itu tidak punya sisi baik sama sekali. Justru yang patut dikasihani ialah kita yang tidak bisa menemukan kebaikan dalam diri orang lain.

Dunia nan damai terwujud dari diri sendiri.

Namaste!