Indonesia Kekurangan 4,8 Juta Entrepreneur

GLOBAL Entrepreneurship Week (GEW) 2014 yang digelar serentak di berbagai kota di Ciputra Artpreneur Theater, Jaksel, kemarin (21/11). Rangkaian pekan entrepreneur itu menjadi bagian gerakan yang dilakukan Ir Ciputra di tanah air.

Kegiatan itu menghadirkan puluhan entrepreneur sukses yang berdiskusi di hadapan audiens di ruang theater tersebut. “GEW menjadi perhatian dunia dan digerakkan serentak di belahan dunia termasuk Indonesia. Anak-anak muda, mahasiswa dan pelaku usaha turut berpartisipasi menggerakkan GEW,”terang Pak Ci- sapaan Ciputra.

Dia juga mengatakan jumlah entrepreneur di Indonesia masih di bawah negara-negara Asia. Misalnya, dari Tiongkok da Jepang yang diperkirakan lebih dari 10% dari total populasinya, Bahkan untuk wilayah Asia Tenggara, entrepreneur di Indonesia masih ketinggalan dari Malaysia dan Singapura.

Padahal ahli sosiologi, David McClelland mengatakan sebuah negara membutuhkan setidaknya 2% entrepreneur dari total populasi untuk mempertahankan pertumbuhan optimal perekonomiannya. “Ini berarti bahwa Indonesia masih membutuhkan setidaknya 4,8 juta entrepreneur lagi. Sementara itu, bisnis yang tercipta di Indonesia di Indonesia kebanyakan termausk kategori mikro dan skala kecil yang memperkerjakan hanya sejumlah orang,”katanya.

Bisnis-bisnis itu kebanyakan gagal berkembang menjadi skala medium atau bahkan menjadi bisnis berskala lebih besar. Salah satu penyebabnya karena pendirinya kurang kreativitas dan inovasi. Masalah ini mengilhami Pak Ci untuk mempromosikan entrepreneurship di Indonesia,

Hal ini termausk dukungan terhadap acara-acar seperti Global Entrepreneurship Week di tanah air. 

Kemajuan negara yang cakap berentrepreneurship tentunya didukung pemerintah, akademisi, bisnis dan organisasi sosial.

“Masih kurangnya koordinasi yang mampu mempersatukan seluruh pemegang kepentingan entrepreneurship di Indonesia, karena itu mari bersama-sama mengupayakan terciptanya ekosistem startup yang lebih matang di Indonesia,”ujarnya.

Ia juga menjelaskan orang-orang Indonesia memiliki kemampuan mendirikan startup. Kendalanya adalah bagaimana menjangkau pasar dunia dengan inovasi-inovasi yang merupakan tantangan terbesar. Karena itu, Ciputra meminta akademisi, komunitas bisnis, dan pemerintah butuh kerjasama untuk menciptakan entrepreneur baru.

Dengan membangun ekosistem yang dapat merangsang pertumbuhan para entrepreneur terutama menjelang diimplementasikannya ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015. Memahami kebutuhan menjembatani berbagai pemegang kepentingan itu, Ciputra Foundation menggandeng Global Entrepreneurship Program Indonesia.

Sejumlah pihak digandeng untuk terlibat dalam penyelenggaraan event ini, di antaranya Endeavor Indonesia, Startup Lokal, Sinar Foundation, KKMK, Pukat, Perkantas dan freelancer.com.

Sebagai informasi, GEW merupakan perayaan terbesar dunia yang menghadirkan para inovator dan pencipta lapangan kerja yang telah meluncurkan startup yang membawa ide-ide segar. (*/)

When Teaching Entrepreneurship is Not Enough

In 2012, after educating lecturers and trainers of trainers for 5 years, Indonesian entrepreneur Ir. Ciputra planned to set up a business incubator. He likened this business incubator to a maternity ward, where mothers can give labor to babies. These babies though are startups. He wanted this incubator set up in every part of Indonesia so as to boost the growth of entrepreneurship. Because teaching is not enough, he reasoned. Training these younger generation in business incubator centers would be more concrete and efficient, to him.

He stated this 2 years ago in the middle of the room in Ciputra Marketing Gallery, where Ciputra World 2 Jakarta is now being built. And now his plan comes true. He’s got CGI, Ciputra-GEPI Incubator. This is why I – one of Ciputra’s reporters – saw him and Mark Wang who was then the Director of Global Entrepreneurship Program for Indonesia (GEPI) – often having a warm discussion on how to realize this grand plan. Wang is now moving somewhere, and as a successor we once had Fung Fuk Lestario and now they have another latest leader I haven’t been introduced to.

CGI, which is located in DBS Tower, Jl. Prof. Dr. Satrio Kav 3-5 South Jakarta, is always teemed with young entrepreneurs. They rent the space to work here. With eyes glued to their screens’ laptops, they are seriously working on something. Something that later on will prove that they’re something. There’s so much passion here in the room. Some workshops are also overflowing with participants. I’ve seen it directly how this space can get too small when 50-60 people gathering with I-want-to-learn-something spirit.

Ciputra GEPI Incubator is trategically located in the heart of business district in the capital which means it’ll be much easier for these entrepreneurs to reach but on the other hand, they also have to be ready for the traffic congestion once in while. It’s Jakarta after all. The city where even the paid high way is often clogged, to be perfectly honest.

Ironically, no matter how great Jakartan entrepreneurs can become, none of them is up to now able to conquer this traffic congestion problem. And Gojek (go-jek.com), a unique startup I once heard, now seems to vanish. Either they don’t pay too much attention to their PR campaign or they’re pivoting or even worse falling down.

I’m glad Indonesia now has been advancing a lot in terms of
entrepreneurship. More and more youngsters are very interested in setting up their own business right after graduation, so I heard from a public speaker.

Whether it’s true or just a false claim of his, I know Indonesia is aiming to the right direction. In the meantime, we expect more business or startup incubators like CGI in more cities and towns throughout the country. But for now, this is a great first move.

Prabowo Subianto di Mata Lee Kuan Yew (1)

20140711-220608-79568283.jpg

Siapa tak kenal negarawan satu ini? Arsitek pembangunan Singapura tersebut tampak masih sehat untuk ukuran orang seusianya. Pikirannya masih tajam, jauh dari kesan pikun. Ucapannya lancar tak peduli usianya sudah 90 tahun.

Saya bukan orang Singapura jadi saya hanya mengenalnya lewat buku dan cerita orang. Ir. Ciputra, pendiri perusahaan tempat saya bekerja, pernah dalam suatu kesempatan menceritakan kekagumannya terhadap Lee yang katanya sangat brilian dalam membangun negeri pulau sekecil Temasek menjadi Singapura yang super makmur. Beliau selalu menjadikan Lee sebagai contoh seorang politisi dan birokrat yang memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi. Terakhir kali sepengetahuan saya Ciputra hendak menemui Lee saat bertandang ke Singapura untuk menerima penghargaan dari stasiun TV Channel News Asia di Maret tahun 2013, tetapi sayang Lee sedang didera sakit lutut. Kata Ciputra yang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-83 24 Agustus nanti, “Jangan terlalu banyak olahraga naik sepeda statis.” Ia menyarankan renang saja yang lebih aman untuk persendian karena minim hentakan.

Sebagai negarawan top yang bertetangga dengan kita, Lee sering bertemu dengan sosok-sosok penting dalam percaturan politik Indonesia. Salah satunya yang ia turut bahas dalam memoarnya “From Third World to First- The Singapore Story (1965-2000)” adalah calon presiden kita sekarang yang bernomor urut 1, Prabowo Subianto.

Dalam memoarnya yang tebal itu, Lee mendedikasikan satu bab berjudul “Indonesia: From Foe to Friend” dengan 3 halaman yang menyebut Prabowo. Pertama di halaman 312, Lee menyebut Prabowo sebagai “komandan Kopassus”. Tak banyak cerita di sini karena Lee lebih menyorot Titiek, mantan istri Prabowo, yang menemui Lee pada tanggal 9 Januari 1998 dengan misi mendapatkan bantuan dari Singapura dalam upaya mengumpulkan dana melalui surat utang atau bond dalam mata uang dollar AS di Singapura. Lee menolak karena meski ia mau melakukannya pun, langkah itu tak akan efektif selamatkan rupiah yang jeblok. Terdesak, Titiek berdalih ada isu dari Singapura yang melemahkan rupiah tahun 1998 dan menuduh bankir-bankir Singapura mendorong orang Indonesia menyimpan uang di negeri seberang. Lee menyarankan Titiek dan Suharto berkonsultasi dengan Paul Volcker, mantan pimpinan Bank Sentral AS (Federal Reserve) tetapi ujungnya, nasihatnya tak digubris. Volcker diundang ke Jakarta untuk bertemu Suharto tetapi tak diangkat sebagai penasihat.

Barulah di halaman 316 dan 317, Lee menuliskan kesannya yang lebih mendalam tentang Prabowo…

(Bersambung: Prabowo Subianto di Mata Lee Kuan Yew -2)

In Memoriam Abun Sanda

image
Ciputra (kiri), pengusaha properti Indonesia, bersama dengan Abun Sanda (kanan) berfoto bersama dengan latar belakang pohon baobab (pohon botol) di Gardens by the Bay, Singapura (27/3/2013).

Dunia jurnalisme bisa dikatakan baru untuk saya. Saya baru memulai profesi ini dan masih merasa terlalu hijau untuk mengaku sebagai jurnalis, pewarta, dan sejenisnya. Beban moral dan profesionalnya berat. Saya lebih suka menyebut diri sebagai blogger saja karena saya selalu menulis di media online, bukan old media alias media konvensional seperti koran, majalah, tabloid, dan sejenisnya.

Saya memang masih harus banyak belajar. Apalagi jika dibandingkan Abun Sanda yang Senin siang tanggal 18 Maret 2013 itu tawanya riuh mengisi ruang tamu kediaman Ciputra di Pondok Indah yang demikian teduh. Dikenal sebagai pembangun rumah mewah dan gedung pencakar langit, Ciputra yang sudah berumur lebih dari 8 dasawarsa itu menghuni rumah ‘mungil’ bernuansa kayu yang hangat dan keemasan.

Saya ketuk pintu depan dan Syaiful, si perawat pribadi, muncul segera dan membukakan pintu untuk saya. Saya menengokkan kepala ke kanan dan bertanya singkat pada Syaiful, “Di mana?” Suara percakapan itu ada di arah kiri, dari arah ruang tamu yang sama seperti ruang makan, juga dipenuhi lukisan Hendra Gunawan dan benda seni rupa. Dan saya kemudian ketahui dari si empunya langsung bahwa semua benda seni yang dipajang di sana adalah replika semata. Taktik pengamanan yang cerdas karena tidak ada yang tahu di mana ia menyimpan yang asli.

Saya datang agak terlambat memenuhi panggilan atasan saya siang itu karena taksi yang sempat salah rute.  Abun, yang saya belum tahu nama dan reputasinya saat itu, menumpukan kedua tangannya ke sofa empuk tempat Ciputra duduk. Keduanya terlibat percakapan intens. Sesekali tawa meledak di antara keduanya. Turut mengobrol pula Sujadi Siswo dari Channel NewsAsia Singapura yang saat itu hendak melakukan syuting wawancara singkat untuk melengkapi tayangan acara anugerah Lifetime Achievement Luminary Award 2013 di Singapura tanggal 26 Maret 2013.  Abun diundang sebagai jurnalis yang mewakili Kompas. Sementara di sisi lain sofa, tak terlalu jauh dari Ciputra, duduk dengan sesekali tersenyum lebar Bayu Widagdo, jurnalis Bisnis Indonesia. Wartawan dari Tempo belum hadir, dan memang hingga pertemuan berakhir ia tak sempat menunjukkan batang hidungnya. Sesaat setelah saya duduk, muncul Yeri Vlorida dari Indopos, surat kabar pimpinan menteri BUMN Dahlan Iskan.

Saat itu saya baru sadar bahwa Ciputra tak hanya pantas menyandang sebutan “Begawan Properti” tetapi juga “Begawan Pers” di negeri ini. Mungkin ia bukan satu-satunya pemilik atau pendiri media-media massa besar Indonesia tetapi setidaknya ia memiliki andil yang signifikan dalam membesarkan sejumlah media.

Satu hal yang saya tangkap dari lelucon santai tetapi serius dari Ciputra dan Abun siang itu ialah kesediaan dan kemampuan mereka untuk tetap bertukar pendapat, mengkritik opini lainnya sembari berkelakar dan tak meninggalkan rasa sakit hati. Terlihat menyenangkan dan terbuka bagi saya yang lebih suka mengamati cara mereka berkomunikasi. Ciputra yang berpandangan lebih idealis bersikukuh membela Tempo yang ia turut dirikan. Menurutnya, tak banyak jurnalis yang mau menempuh jalan menguak kebenaran yang disembunyikan banyak orang yang memunculkan risiko dan bahaya bagi diri dan orang-orang yang mereka kasihi. “Tapi bukan berarti saya mau jadi wartawan Tempo,” canda Ciputra. Memang setuju dan menyatakan dukungan bukan berarti harus terjun dan menjalani jalan kehidupan yang sama.

Abun menanggapinya dengan lebih pragmatis. Saya ingat ia berkata sebagai respon atas dugaan penyebab Tempo begitu banyak dirongrong banyak pihak dari dulu hingga sekarang (ditambah dengan aksi kekerasan yang menimpa kantor mereka),” Kalau hanya satu dua yang merasa tersinggung dan protes, itu wajar. Tapi kalau semua orang merasa begitu, itu tidak wajar.” Namun, sekali lagi Abun menganggap perdebatan itu sebagai sebuah intermezzo dalam negeri yang menganut asas kebebasan berpendapat. Sifat keras kepala yang sangat khas wartawan. Penuh sindiran, ironi, satir dan lelucon yang saling bercampur kental hingga tak diketahui lagi batasnya. Dan ia menertawakan ucapan Ciputra yang mendukung Tempo tetapi tidak mau menjalani kehidupan seperti wartawan Tempo yang riskan. Kini ia membuat Ciputra sama pragmatisnya dengan dirinya.

Sebagai pewarta yang sudah tergolong senior dan mendekati masa pensiun, Abun selalu disindir Ciputra untuk segera memulai berwirausaha. “Ayo Abun. Semua orang bisa, tinggal kemauan dan tekad saja. Tidak ada kata terlambat,” saran Ciputra pada pria yang pernah menjabat sebagai wartawan kolom ekonomi, Wakil Kepala Desk Metropolitan, Wakil Editor Desk Hukum Kompas, dan Direktur Bisnis Kompas. Abun tersenyum simpul.

Berkali-kali bentuk tubuh Abun yang tambun menjadi sasaran empuk Ciputra. Ciputra memang dikenal sangat memperhatikan kesehatan, dan merasa berkewajiban mengingatkan dengan segala cara bahwa kelebihan berat badan adalah sumber penyakit yang harus diberantas.

Sempat Ciputra membandingkan bentuk badan Abun dengan saya. “Saya masih ingat. Dulu saat kamu masih baru (*pen – sebagai wartawan), badan kamu masih seperti dia,” ujar Ciputra sembari menunjuk saya. Kami semua tergelak. Saya setengah tak percaya: rasa setengah tak percaya yang pertama bahwa Abun pernah sekurus saya yang hanya 46 kilogram dan setengah tidak percaya sisanya bahwa bentuk badan saya suatu saat nanti bisa saja berubah seperti beliau. Buru-buru saya hapus yang kedua sambil berdoa,” Jangan ya Tuhan. Terlalu berat.” Usia Abun hampir dua kali umur saya. Begitu pula berat badannya.

Abun pertama kali keluar negeri bersama Ciputra di Hawaii. Entah tahun berapa, saya kurang tahu. Namun, yang jelas keduanya tampak sangat mengenal sejak lama. Karakter Abun yang percaya diri dan banyak cakap membuatnya tak terlihat seperti wartawan baru yang pertama kali diajak ke luar negeri, kata Ciputra.

Abun pribadi yang usil tetapi menyenangkan. Saya masih ingat saat saya buru-buru menyusuri jalan sempit di antara deretan kursi pesawat kelas ekonomi yang kami sama-sama tumpangi Rabu pagi tanggal 26 Maret 2013, ia berpura-pura tertidur pulas dan menjulurkan tangannya menutup jalan. Hampir saja saya meledak emosi melihat ada lengan besar seseorang menghalangi saya untuk segera melampiaskan ‘panggilan alam’. Sebelum saya sempat menyentuh lengan itu, si empunya terbangun, menampakkan mukanya, menyeringai dan segera mengangkat lengan yang diameternya lebih besar dari betis saya. Karena saya pikir orang asing, saya sudah siap-siap pasang muka serius dan kencang, tetapi begitu tahu itu Abun, saya ikut terkekeh. Hanya 1-2 detik, dan saya kembali fokus melesat ke toilet untuk menumpahkan isi kandung kemih.

Percakapan saya dengan Abun yang paling berkesan ialah saat kami bersantap pagi di beranda samping Hotel Fullerton yang menghadap sungai dan diapit 2 jembatan. Burung-burung gagak berbulu hitam dan berparuh panjang dan runcing terbang ke sana kemari mencari kesempatan mematuki makanan sisa di piring-piring keramik putih yang lebar dan mangkuk penuh biskuit dan buah-buahan kering atau makanan lain yang tak kalah mengundang selera. Pagi itu seperti biasa saya mencari-cari tempat yang bagus untuk berfoto sebentar. Dan pemandangan di sungai yang disirami sinar matahari begitu memukau dan sayang untuk dilewatkan. Sekonyong-konyong, gerimis turun saat makan pagi itu. Kami panik mencari tempat bernaung. Dan akhirnya aku menyingkir ke meja yang sama tempat Abun sedang bersantap. Pilihan menunya cukup berat, berupa roti, crackers, daging, mentega dan lainnya yang terlihat sedikit menggunung. Punya saya juga menggunung, tetapi terdiri dari buah-buahan segar dan kering, salad, dan sejenisnya. Begitu ‘tamaknya’ saya dengan buah sampai saya sisihkan 3-4 buah berupa pir, jeruk dan apel untuk dimakan saat siang.

Berfoto dengan pose normal terlalu membosankan lalu saya memutuskan sedikit menambahkan unsur yoga dalam pose saya. Saya angkat satu kaki hingga mendekati kepala lalu tersenyum ke kamera ponsel yang dioperasikan teman lain. Setelah puas, saya kembali ke meja makan. Abun masih asyik dengan santapannya.

Ia menyaksikan saya berpose gila dari tadi dan memuji, “Hebat…kamu hebat.” Saya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya sambil masih berdiri di samping meja makan.

“Dulu istri saya juga latihan yoga lho,” ungkap Abun.

“Oh ya pak? Berapa lama? ” tanyaku antusias, menundukkan kepala sedikit siap mendengar kisah istrinya. Cerita yang  keluar dari mulut seorang pewarta pasti terkesan lebih seru.

 “Cukup lama. Dia latihan teratur,”ceritanya singkat. Saya mengerjapkan mata, masih mengharap kelanjutannya.

Penasaran dan tak sabar karena jeda yang aneh dan membuat kikuk ini, saya bertanya, “Istrinya kerja di mana, pak?”

Raut muka Abun pun mendadak serius. Saya ikut tegang. “Istri saya sudah meninggal,” katanya mengenang peristiwa kematian alm. Anita bulan Maret 2009. Jika saya tak salah ingat perkataan Abun, almarhumah istrinya meninggal karena keganasan kanker ovarium yang sudah menjalar ke berbagai organ tubuh lain.

Kuberanikan diri bertanya,”Apakah karena (faktor) keturunan, pak?”

“Tidak juga. Tidak ada anggota keluarganya yang begitu setahu saya,” jawabnya.

Pandangan matanya kosong. Jiwanya seperti terserap ke alam lain. Kedua bola matanya diam, tetapi tidak mengamati secara khusus apapun yang terhampar di depannya. Sungai nan bersih, pepohonan yang lebat dan hijau dan langit Singapura yang bersih dan cerah di depannya seperti tak sanggup menghiburnya. Pun makanan lezat yang baru saja ia telan dan sebagian masih tersisa di piring lebarnya. Mulutnya berhenti mengunyah.

Saya cuma bisa berdiri di depannya, mengamatinya. Gamang untuk berkata-kata. Saya tak mau salah ucap.

Waktu serasa berhenti, sampai ia kembali berucap, “Orangnya baik sekali…”

Saya tetap berdiri tegak dan diam mempertahankan ekspresi muka netral tetapi tetap simpatik padahal sebenarnya emosi mulai bergetar dan runtuh di dalam. Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan kalau sampai Abun terisak-isak di sini? Dan yang tak kalah penting, bagaimana kalau saya juga larut dan ikut mengharu biru di depan sejumlah pengunjung hotel yang masih makan pagi? Ah, siapa peduli! Mungkin itu tak lebih penting daripada menemani dan mendengarkan apa yang ingin  ia curahkan.

Ingin memeluknya atau sekadar menjabat tangan besarnya itu. Saya takut baginya itu terlalu overacting. Di saat kritis seperti ini saya agak membenci diri saya yang bahkan begitu pemikir dan banyak pertimbangan. Saya bukan orang yang terlalu ekspresif dan spontan. Apalagi kami baru beberapa hari mengenal.

Pembicaraan kami berhenti begitu saja. Pelayan hotel mengumumkan ditutupnya buffet beberapa menit lagi dan semua harus dibereskan. Gerimis berhenti. Namun awan tipis masih menggantung rendah. Entah sampai kapan. Lalu kami masuk hotel, berkemas untuk kegiatan berikutnya.

Satu kejadian lucu saat mengunjungi “Gardens by the Bay” di Singapura terjadi saat Ciputra yang terkesima dengan bentuk pohon baobab tiba-tiba menarik tangan Abun yang masih kelelahan mengitari taman buatan yang luas itu dan mengajaknya berfoto dengan latar belakang pohon  langka itu. Bentuknya memang persis bentuk tubuh Abun, menggembung di bagian tengah. Kami tertawa bersama dan mengambil gambar keduanya.

Sampai di Indonesia, kami belum pernah menghubungi satu sama lain kembali. Dan baru Senin kemarin (8/3) saya dari teman kerja mengetahui kabar bahwa beliau meninggal Kamis sebelumnya (4/3).  Siapa yang tak kaget?

Selamat jalan Pak Abun Sanda. Semoga semua kerabat dan teman yang kautinggalkan tabah terutama kedua anakmu yang sudah jadi yatim piatu di usia belia.

 

Angel Investing in Indonesia: Could It Be The Answer?

Mark Wang, executive director of GEPI, is standing on the podium. GEPI is a part of a wider global initiative called GEP (Global Entrepreneurship Program) growing from an initiative of President Obama and is now a core program at the US State Department guided by Hillary Rodham Clinton, Secretary of State.

Metaphorically saying, Indonesia is, let’s say, a remote jungle. It is wild, exotic in some way. No established housing is built, too many lice and mosquitoes are around yet some mavericks are still coming and coming.

Indonesia, unlike the US, has no established entrepreneurial ecosystem. The online payment gateway isn’t there yet. Shortcomings as well as challenges are everywhere to see. But that’s what makes it hot to the foreign investors and entrepreneurs.

In building their businesses, new budding Indonesian entrepreneurs have to mostly rely upon their own hard work due to the lack of solid, conducive ‘habitat’. Although entrepreneurship-themed seminars and contests are regularly and sporadically held in the country, almost all of them are mainly focusing on conceptual issues. On the other hand, banks in Indonesia tend to welcome entrepreneurs with more stable, established, profitable, and proven enterprises over startups.

So this just in: GEPI (Global Entrepreneurship Program Indonesia) just launched a brand new program like nothing before. ANGIN, an acronym resembling the Indonesian word for “wind”,  is meant to foster the development of entrepreneurial ecosystem in Indonesia.

With Ir. Ciputra and Jakob Oetama as the honorary chairmen, GEPI seemed ready to be the first formal institution serving as a bridge between entrepreneur in need of funding and a variety of domestic and foreign angel investors.


Ciputra stated in his welcome speech of ANGIN (Angel Investor Indonesia) launch that what he has witnessed so far led him to forming a formal institution which serves as a melting pot and bridge betwen entrepreneurs in need funding for their startups and angel investors wanting to invest their money in promising new enterprises in Indonesian emerging market. As we all learn, not many parties are interested in becoming angel investors in Indonesia thus far and this has been a great challenge for entrepreneurs in the country to thrive at their best.

“I started my own business around 50 years ago without considerable amount of capital, not to mention external funding. To add to my challenges list was the fact that I had to earn a living for my wife and my first child. At last I began asking for assistance of the government to set up a business with trust and hard work as its main capital. And because of this, my stock ownership in the business I was working for was extremely low, much lower than I actually deserved. I remembered possessed a mere 3 percent of the company ownership as I  started as a novice. I assumed the story would be totally different, much better even if back then I had an angel investor by my side,” the property tycoon related his own experience as an entrepreneur.

 

Chris Kanter, who serves as GEPI Chairman, stated in his welcome speech that ANGIN is aimed at becoming a bridge connecting funding parties, mentors and connections as well as startups from every sector and improves startup ecosystem in which entrepreneurs get funded by angel investors to create benefits, values and growth, and at the same time provides investment capital apprecation.

 

ANGIN would focus on startups in need of funds. Startups from all sectors are welcomed though it is said that entrepreneur references and angel investors’ preferences may play role in ANGIN. Investors are encouraged to focus the investment on certain sectors deemed more promising and apt. ANGIN will also provide opportunities of investment in various startups.

 

Aside from the property legend, the opening workshop themed “The Power of Angel Investing” at Ritz Carlton Hotel, Pacific Place (12/7/2012). John May of New Vantage Group (Active Angel Venture Funds) was on stage to elaborate the overall description of angel investing. A panel discussion was also presenting  Michael Cain, Jaka A. Singgih as a member of GEPI Board and Selina Limman (CEO of Urbanesia.com, a startup acquired by Kompas Business Group) who happened to be the rep of new budding entrepreneurs in the country.

Sarah Lacy on the Emerging World (a.k.a. Indonesia) -part2

The Oprah of Indonesia who empowers women with her company, Puri Ayu Martha Tilaar.

Previously on my last post, we read how Lacy compared Martha Tilaar to Oprah Winfrey. It tickles me a bit to spot this line:

[…] Heavily perfumed and air-conditioned, it’s an estrogen oasis in this hot, humid country. […] (BCC, p 191)

The word ‘estrogen’ serves pretty well to mark the transition from the manly world of erecting skyscrapers represented by Ciputra to a ladylike industry of cosmetics portrayed by Tilaar.  Lacy relates how Martha Tilaar has been taking part in female empowerment, something that goes beyond making money from natural makeups, grooming and pampering.

The proud Javanese woman entrepreneur also teaches women how proudly revealing one’s chronological age is NOT a shame as in:

[…] “I’m 74 years old,” she says proudly. “No facelift and no Botox! Can you imagine if I didn’t look good? Who would buy my products?” She exudes a confident, yet appropriately self-deprecating, charm that any finishing school student could learn from. […] (BCC, p 191)

I myself have hardly ever encountered a woman ‘voluntarily’ confessed her age in public. Tilaar is perhaps a totally different case considering how much time she’s devoted to maintaining her looks. But the grandma’s just not a pretty face. She’s reached the ultimate level of confidence as a business owner since 1960s. Tilaar has the ‘it’ factor an astounding entrepreneur should possess; i.e. idealism (which occasionally leads to a head-to-head battle with the male CEO Hartanto Santosa).

In spite of the differences, it turns out Ciputra and Martha Tilaar share the similar childhood lesson: don’t let anyone, even your parents, say you’re a failure for good! Ciputra was the last born kid in the family. He was the least expected offspring of all to excel in life. Even his dad, as long as I can remember, once said the young Ciputra was the blacksheep of the family. While Ciputra’s peers were already moving on to the higher education, Ciputra (at 12 then) still stayed in elementary school as a second grader. The young boy was wayward, difficult in any possible way.

Martha Tilaar grew as a fragile little girl, lacking health and vitality. A doctor’s verdict stated she was only going to be a not-so-brainy grownup, which she managed to prove wrong later on (Really, how can you call someone whose company’s revenue is worth US$100 million dumb?). Like Ciputra who was looked down by the father, even Tilaar’s mother wasn’t quite impressed by what Tilaar thought of as the acme of her academic achievement (she was the third from the last in class). So the desperate mom saw entrepreneurship as an ‘exit strategy’. She simply wanted Tilaar to lead a better life with entrepreneurial skills because to her the young girl seemed to lack academic skills.

Sarah Lacy’s Latest Book on Entrepreneurship and Indonesia

To look a lot cockier, the 'cocky' book should be in red. Blue's too humble. Just saying...

Having read the sneak peek of the book on Amazon.com, Michael Arrington’s review and its 20-page excerpt on Lacy’s blog , my first impression was she’s a natural story teller. She can’t help being a ‘rock star’. Lacy’s got what it takes to

For now, what I can tell to you is I totally AGREE with Arrington on this:

“To try to understand how entrepreneurs are reshaping their worlds in those places, and how America is sometimes being left behind.

What I’ve seen so far in here, Indonesia, is we look on the US as the mecca for entrepreneurs throughout the globe. All the current trends in the US are considered to be the future trends in Indonesia. I might be wrong but that’s what most (not all) entrepreneurs in Indonesia think of the US and its legendary Silicon Valley. That’s why it stunned me to read Arrington’s words, which to me implicitly conveys the idea that entrepreneurship is found almost any where on the planet, not only in North America (in spite of the fact that entrepreneurship thrives at a higher rate and more commonplace there). George Miller, Carl Schramm’s staff I once interviewed, said they Americans are still in search of their ideals. They’re not settled yet.

That’s all I can say for now as I’m still awaiting the book from Amazon next week or next two weeks or I don’t know exactly. But it’s going to be interesting for Indonesian entrepreneurs because Mr. Ciputra, one of the country’s most influential entrepreneurship evangelists is discussed in this very book.

P. S.:

I do look forward to translating her book into Indonesian, considering how invaluable this book is to Indonesian entrepreneurs. Let’s hope! (cross my fingers for this)