Pandemic Diary: Indonesia Is in a Mess

Just a thoughtless young man with a sickening attitude and miserable discipline. Yuck!

The best thing about living in Indonesia is the amount of freedom you can have. Do whatever you want, as long as you don’t get noticed by the law enforcement, you’ll be fine.

You are so free because the government has too many affairs to handle, too. They work inefficiently and slowly and pathetically.

But this freedom is also the factor that allows coronavirus to spread massively and uncontrollably here.

It is certainly more about education and mindset.

You can see the above photo where a young man sits with his foot on the seat. Disgusting and impolite.

On top of that, he drops the mask down in a couch where other people are around.

This kind of shitty people are just so easy to find. Some are just afraid of security officers so they put on masks and act politely. But some others don’t even bother.

Sometimes I want to speak up and make them obey. But I feel too tired to take care of other people. (*/)

COVID dan Infeksi Paru

Jika Anda pernah menderita infeksi paru-paru, apakah risiko Anda tertular Coronavirus juga semakin tinggi?

Jawabannya tergantung. Tergantung pada tipe infeksi paru yang Anda derita itu.

Infeksi paru bisa dibagi menjadi dua kelompok utama. Yang pertama ialah infeksi paru yang meninggalkan bekas. Infeksi ini misalnya yang disebabkan oleh penyakit tubercolosis (TB). Mereka yang pernah menderita TB biasanya memiliki paru yang lebih lemah akibat infeksi yang pernah mendera sebelumnya meskipun memang sudah sembuh.

Kemudian tipe kedua adalah infeksi yang tidak meninggalkan bekas pada paru-paru. Dengan kata lain, paru-paru masih relatif berfungsi baik sebagaimana sebelumnya. Fungsi paru-parunya bisa kembali ke normal.

Tentu mereka yang pernah menderita infeksi paru jenis pertama akan lebih berisiko saat terkena Coronavirus daripada jenis kedua. (*/)

Hidup di Tengah Terpaan Coronavirus

Siapa sih yang tidak tahu dengan keriuhan isu Coronavirus alias COVID-19?

Saya sendiri yang tinggal di Jakarta semula mengganggap enteng virus mutan terbaru dari keluarga corona itu. Saya masih ingat seorang teman yang bekerja di Mega Kuningan termakan berita bohong soal ekspatriat dari negeri bambu yang konon demam dan masukm kerja dan sontak mereka yang kerja di gedung yang sama menjadi paranoid dan mengenakan masker setiap saat. Kemudian baru diketahui bahwa kabar tersebut tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya.

Di bulan Januari 2020, kami di Jakarta masih menganggap virus ini jauh dari jangkauan. Memang ada tetapi hanya di China sana. Wuhan tepatnya. Dan dengan tindakan pencegahan dan penangkalan masuknya warga China ke teritori Indonesia, kami pun agak bisa bernafas lega. Kami juga lega dengan tindakan pemerintah menghentikan impor dari China sementara waktu ini hingga isu Coronavirus mereda.

Tapi kemudian kondisi ini mengalami ekskalasi. Perlahan namun pasti, kecemasan menggerayangi kami semua. Bagaimana tidak? Setiap hari kami dibombardir dengan kabar terbaru soal korban. Memang ada yang meninggal akibat komplikasi paru dan kegagalan organ penting. Tetapi juga ada yang berhasil sembuh dan bertahan hidup. Dan anehnya, korban anak-anak tidak ditemukan.

Begitu memasuki Maret 2020, Indonesia terutama Jakarta makin tercekam setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Coronavirus. Dan sejak itu jumlah penderita yang terdeteksi makin banyak.

Saya sendiri semula agak menganggap enteng. Ah, masih banyak penyebab kematian selain Coronavirus yang juga tidak kalah ganas dan mendadak, seperti serangan jantung yang diderita Ashraf Sinclair, kecelakaan lalu lintas akibat perilaku yang sembrono.

Tetapi makin lama, kecemasan saya makin tak bisa dibendung juga. Apalagi setelah dikabarkan ada penderita yang pernah bekerja di lingkungan saya dan kini ia masuk ke daftar pengidap Coronavirus.

Lalu krisis makin memburuk begitu jumlah korban yang terdeteksi (entah berapa yang tidak terdeteksi) makin banyak. Akal sehat mulai ditunggangi oleh ketakutan juga akhirnya.

Saya sendiri berusaha untuk menjaga kesehatan dan kekekbalan tubuh dengan makan dan minum sesehat mungkin, tidur cukup dan berolahraga dan menjemur diri tatkala matahari sedang bersinar.

Itu karena menurut saya sinar matahari sangat penting dalam menjaga kesehatan. Apalagi menurut studi ilmiah dari BYU, sinar matahari berguna meningkatkan kesehatan emosional dan mental kita di tengah andemi Coronavirus seerti sekarang saat kita diharap mengisolasi diri. Dengan suasana yang tak mengizinkan untuk berkerumun, rasanya memang sangat menyedihkan dan muram tetapi berkat sinar matahari stres dan depresi bisa lebih mudah dikendalikan sebetulnya.

Apapun yang terjadi di sekitar kita, jika kita masih bisa mendapatkan asupan sinar Matahari yang mencukupi maka tingkat stress emosional kita akan relatif bisa dikontrol. Begitu kita kekurangan sinar Matahari, tingkat stress ini akan meninggi. (*/)