Beberapa waktu lalu kita tahu ada fenomena maraknya “prank” di media sosial, terutama YouTube. Bagi saya sendiri, konten semacam ini sebetulnya bukan barang baru. Cuma medianya saja yang berbeda.
Kalau dulu, acara-acara berformat prank juga sudah ada. Sebut saja “Spontan” yang dikenal di SCTV dengan dikomandoi Komeng. Acara setengah jam itu cukup populer dan menghibur.
Hanya saja yang cukup berbeda dari format prank zaman Spontan dan zama digital sekarang adalah sasaran dan cara mengerjainya.
Saya sendiri mengamati bahwa dalam format prank ala Spontan, saya lebih sedikit menemukan unsur bahaya atau merugikan yang teramat sangat bagi si korban prank. Dengan kata lain, memang korban dikerjai tapi tidak sampai habis-habisan atau membuat dia jadi menangis atau kecewa atau benci dengan si oknum.
Kita juga menemukan ada fenomena budaya April Mop yang akarnya sudah ada sejak zaman dulu. Dan ini bagian dari humor yang berkembang dalam kebudayaan manusia di mana saja. Humor menjadi bagian dari alat untuk membangun ikatan sosial di antara para anggotanya sehingga ada semacam solidaritas.
Prank sendiri bisa dibagi menjadi tiga jenis utama: “positive prank”, “neutral prank”, dan “negative prank”. Di era media sosial yang ‘kebablasan’ akhir-akhir ini, kita menyaksikan bagaimana negative prank menjadi fenomena dan merugikan orang lain baik secara material maupun psikologis.
Lalu bagaimana dengan positive prank? Prank yang positif juga ada yakni prank yang bertujuan baik, misalnya prank yang bertujuan untuk memastikan apakah seseorang memang mudah tertipu atau tidak.
Hanya saja, harus ada batasan. Apalagi di tengah attention economy seperti sekarang saat semua orang seolah sangat haus perhatian berkat media sosial, humor termasuk prank menjadi komoditas yang seksi untuk dijual. Pada gilirannya, orang-orang yang haus perhatian ini menghendaki konten yang melampaui batas agar bisa menarik perhatian khalayak ramai. Supaya viral mana bisa cuma membuat konten yang standar? Harus lebih ini, lebih itu! Inovatif dan ‘out of the box’!!! Tanpa peduli bahwa prank atau lelucon ini harus mengorbankan keselamatan orang lain.
Yang memprihatinkan lagi ialah makin banyak orang yang haus perhatian demi kepentingan ekonomi. Ini bisa ditemukan di kalangan YouTuber yang sangat mengutamakan ‘pageviews’ konten video mereka demi mendapatkan jumlah pelanggan yang lebih banyak yang pada gilirannya memperbanyak pundi-pundi mereka.
Di sisi para pemilik situs media sosial, hal ini memang juga menguntungkan karena situs-situs mereka dikunjungi makin banyak orang. Namun, di sisi kemaslahatan masyarakat, makin banyak orang yang dirugikan juga. Jadi, kalau ditilik dari motivasi, kemunculan prank di media sosial juga mirip dengan hoaks atau kabar bohong yang beredar di masyarakat kita.
Lalu kenapa kita suka meski kita tahu prank yang keterlaluan itu jelek? Psikolog berargumen bahwa hal itu tidak bisa dihindari karena prank adalah bentuk humor dan kehidupan manusia juga tidak bisa dipisahkan dari humor. Humor memberikan kita bentuk hiburan dan rekreasi yang murah dan terjangkau oleh siapa saja, tanpa harus membayar mahal akses atau tiket masuk menuju ke tempat-tempat hiburan seperti taman bermain, bioskop, dan sebagainya.
Dan kenapa juga orang tidak keberatan terlibat dalam prank? Psikolog berpendapat keterlibatan dalam prank memberikan kita sebuah tempat di dalam masyarakat atau lingkaran sosial di mana kita hidup. Dan ini sangat penting. Adanya pengakuan tersebut bagi sebagian orang sangatlah penting bagi mereka. Dengan ini, mereka percaya diri dan bangga.Dengan menjadi target prank, seseorang juga mungkin bisa dianggap sebagai bagian penting dalam sebuah kelompok.
Akan tetapi, saat prank sudah dilakukan di luar motivasi untuk membangun ikatan sosial yang positif dan sudah melanggar norma dan batasan kewajaran tentu kita harus segera mengambil tindakan tegas agar tidak terulang lagi. Prank yang membahayakan ini misalnya prank bunuh diri yang tentunya selain membahayakan si pelaku sendiri juga merugikan pihak-pihak lain yang ada di sekitar mereka. Atau kasus prank di Inggris yang sampai mengharuskan korbannya mengungkap riwayat medis yang seharusnya dijaga kerahasiaannya. Atau kasus prank di tanah air yang menyasar para pengemudi aplikasi online yang dikerjai sedemikian rupa yang membuat mereka kerepotan akibat pesanan fiktif.
Mereka yang membuat prank demi konten dan tujuan komersial mestinya sadar terhadap adanya batasan-batasan pidana dan etika yang ada dalam masyarakat kita ini sehingga tidak sembarangan membuat konten bertema prank yang malah merugikan pihak lain demi keuntungan pribadinya semata.
Di sinilah masyarakat kita perlu dididik soal literasi digital yang di dalamnya juga ada aspek etika digital. Bahwa masyarakat seharusnya sadar bahwa di dalam dunia maya juga berlaku aturan sebagaimana dalam dunia nyata.
Kala video-video prank ini marak, kita seharusnya menggunakannya sebagai momentum untuk menilik ke dalam lingkungan keluarga, sekolah dan sekitarnya serta menanyakan pada kita sendiri apakah kita sudah memberikan edukasi perihal penanaman etika.
Terlebih lagi ialah pemerintah termasuka instansi sekolah kita agar mengambil peran yang lebih aktif dalam menanamkan etika ke dalam pribadi anak-anak dan remaja usia sekolah agar tidak terseret arus tren bernama prank ini.
Pemerintah kita juga seharusnya bisa menggunakan kekuatannya untuk menekan dan mendesak para pengelola dan pemilik situs-situs media sosial seperti YouTube yang menjadi wadah konten semacam ini untuk mengambil tindakan tegas misalnya dengan menghapus konten prank yang melanggar etika. Dengan demikian, kita bisa menekan kemunculan konten-konten prank negatif dan mencegah para pembuatnya menangguk untung dalam bentuk apapun dari konten tersebut.
Solusinya tentu bukan dengan pemblokiran akses terhadap layanan media sosial seperti YouTube karena patut diakui manfaat yang didapatkan dari YouTube juga tidak sedikit bagi masyarakat kita. (*/)