Manfaat 5 Jenis Asana/ Pose Yoga

image

Sekadar berbagi saja bagi Anda yang suka beryoga tetapi belum mengetahui khasiat kesehatan masing-masing jenis gerakan yoga yang dilakukan. Dan bagi yang belum pernah beryoga dan belum tertarik mencoba, mungkin Anda akan menyukai yoga setelah membaca ini. Silakan menyimak manfaat-manfaat yang kita bisa tuai dengan melakukan 5 jenis asana berikut ini.

1. Asana berdiri: Pose-pose berdiri seperti tadasana atau pose gunung memberikan vitalitas, energi, semangat. Jika ditambah dengan gerakan mengangkat tangan, detak jantung akan makin meningkat dan menambah semangat. Karenanya, pose-pose jenis ini sangat bagus dilakukan di pagi hari, saat kita membutuhkan penambah semangat. Daripada minum kopi atau teh, lakukan saja pose-pose yoga berdiri untuk menambah semangat. Lebih sehat dan tidak menguras air dalam badan.

2. Asana duduk: Pose duduk seperti paschimottanasana (melipat tubuh ke depan), vajrasana, atau sukasana yang mudah dan bisa dilakukan semua orang membuat kita yang melakukan menjadi lebih tenang. Calm, begitu kata orang Barat.

3. Asana memutar: Memutar atau yang disebut twisting sangat bagus untuk membersihkan (cleansing and detox) organ-organ dalam misalnya organ pencernaan yang setiap hari kita kotori terus dengan memasukkan makanan dan minuman yang belum tentu menyehatkan tetapi malah membebani tubuh. Jika Anda suka menderita sembelit misalnya, cobalah melakukan pose-pose memilin torso atau batang tubuh sehingga organ pencernaan terstimulasi dan akhirnya terdorong untuk mengeluarkan material sampah dan racun di dalamnya. Ditambah dengan pola makan yang sehat dan asupan air yang mencukupi, pose memilin tubuh akan mengusir sembelit. Niscaya…

4. Pose melompat: Dalam melakukan yoga, kadang dilakukan lompatan-lompatan, seperti saat kita harus beralih dari downward facing dog (adho mukha svanasana) menuju half forward standing bend (ardha uttanasana). Di sini, ketrampilan dan kelincahan (agility) kita diasah.

5. Pose terbalik / inversi: Melakukan pose yang membuat posisi jantung ada di atas kepala memacu detak jantung lebih cepat dan bagi banyak orang, asana semacam ini relatif menantang karena risiko terjatuh, terbalik, pusing, berkunang-kunang dan sebagainya membuatnya terasa ‘menakutkan’ dan harus dihindari dengan segala cara. Padahal rasa pusing, takut itu jika dihayati dengan sebaik mungkin dan dilakukan dengan tidak berlebihan akan membuat kekuatan mental kita lebih baik daripada sebelumnya dan yang pasti membuat kita menjadi lebih pemberani dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Mencoba sesuatu yang baru akan terasa lebih mudah, terutama bagi mereka yang suka zona nyaman (siapa yang tak suka dengan zona nyaman?).

 

Efektivitas Buzzer dan influencer di Social Media

noteEndorsement (dukungan) dalam dunia komunikasi dan marketing biasa digunakan untuk meyakinkan calon konsumen.  Mereka yang dianggap mampu memberikan endorsement yang efektif ialah sosok yang memiliki reputasi, kredibilitas di bidang tertentu. Dan mereka (influencer/ sosok berpengaruh) inilah yang biasa dimintai bantuan untuk menjadi buzzer alias tukang koar-koar/ promosi. Kita bisa temukan sosok buzzer di social media (contoh yang paling banyak ada di Twitter, seperti Raditya Dika) yang biasanya memiliki jumlah pengikut ratusan ribu atau sudah jutaan (terlepas dari organik tidaknya cara mendapat pengikut).

Buzzer bisa digunakan untuk membangun viral awareness, yang sangat didambakan oleh para pemilik brand saat ini, entah itu personal brand atau corporate brand. Personal brand berupa sosok seorang manusia yang dianggap sebagai sebuah merek, seperti seorang seniman, pemusik, politikus, dan sebagainya. Sementara corporate brand ialah perusahaan yang ingin mereknya makin dikenal dan akhirnya digunakan masyarakat.

Syarat menjadi buzzer ialah memiliki pemahaman mengenai produk dan target audiens yang dibidik, target campaign (makin dalam engagement yang diharapkan maka pemilihannya akan semakin detil). Syarat lain yang lebih detil pernah saya tulis di “Nukman Luthfie Tentang Nge-Tweet Dapet Duit“.

Namun, penggunaan buzzer jangan dijadikan satu-satunya kanal/ saluran marketing, meski harus diakui kehadirannya sangat penting untuk menggenjot kesadaran publik. Hal lain yang harus dimiliki juga ialah konten yang relevan dengan tema kampanye social media. Konten itu harus diorganisir dalam wadah blog.

Penggunaan buzzer dari sisi brand harus bijak karena belum tentu investasi yang tinggi dalam menyewa jasa buzzer efektif dalam menjaring hasil yang tinggi. Setelah kita membayar si buzzer, jangan lupa perlunya penentuan parameter kesuksesan yang harus dicapai. Jika mau hitungan mudah, bisa diukur melalui kenaikan jumlah pengikut. Tapi itu terlalu dangkal jika dijadikan ukuran satu-satunya, just my two cents.

Perlakuan penggunaan buzzer bisa disamakan dengan divisi komunikasi. Salah satu fungsi digital adalah untuk mendengar konsumen.

Tidak boleh diabaikan pula jenis tujuan kampanye karena ia menentukan perlu tidaknya menggunakan jasa seorang buzzer. Untuk itu, mintalah pertimbangan ke beberapa pihak yang lebih berpengalaman dan yang berkepentingan dalam kampanye ini.

Pemeriksaan latar belakang dilaksanakan oleh pihak brand untuk mengetahui jika si buzzer adalah salah satu pengguna produk yang hendak dikampanyekan atau tidak. Ini untuk mengurangi risiko.

Pendekatan legal (kontrak) atau personal bisa dilakukan oleh agensi untuk menggunakan buzzer. Anda bisa mengajukan semacam surat kontrak kerja pada mereka. Sekali lagi, agar ini menjadi lebih profesional dan jelas sehingga jika ada sesuatu terjadi di kemudian hari akan lebih mudah diantisipasi dan dipecahkan.

Usahakan sebagai pemilik brand, jangan menggunakan jasa buzzer yang tidak pernah membicarakan pesan kunci yang diharapkan. Sederhana saja, karena itu percuma. Pesan kunci itu juga harus disesuaikan dengan bidang kepakaran si buzzer. Inilah seninya memilih buzzer.

Pesan utama yang ingin disebarluaskan harus disampaikan dengan jelas sebelum kampanye oleh si agensi pada pihak buzzer. Jangan sampai ada kesalahpahaman.

Buzzer sebenarnya bisa berkampanye dengan membagikan pengalaman dalam menggunakan produk/ brand yang dimaksud. Sehingga kesan hard selling tidak kentara. Ini masih berkaitan dengan kejelian brand memilih buzzer. Dan cukup susah untuk menemukan sosok buzzer yang klop seperti itu. Kadang ada yang pesan dan temanya konsisten di satu bidang tetapi pengikutnya tidak signifikan, dan di sisi lain ada yang banyak pengikut tetapi kurang sesuai dengan pesan utama tema kampanye yang akan dilontarkan.

Hingga saat ini belum ada aturan khusus yang berlaku untuk sangkalan/ disclaimer dan itu bergantung pada perjanjian kedua belah pihak. Dan itulah kendala sekaligus celah peluang berbisnis di dunia social media, menurut hemat saya. Di sini, standarnya sangat kabur, atau fleksibel. Semuanya tergantung negosiasi. Jadi kalau suka sama suka, ayo. Kalau tidak, ya tidak. Itulah mengapa kadang sangat susah menentukan tarif jasa buzzer.

(Sebagian ide disarikan dari akun Twitter Obrolan Langsat : @obsat)

Anak-anak di Keluarga Besar Dijatah Lebih Sedikit tapi Berprestasi Lebih

Makin besar urutan seorang anak dalam sebuah keluarga ternyata berhubungan erat pula dengan skor kemampuan membaca yang lebih tinggi, bahkan meski makin banyak jumlah anak yang dilahirkan orang tua yang pada akhirnya mengurangi jumlah investasi mereka untuk masa depan anak-anaknya.

Dalam sebuah studi yang dilaksanakan oleh Marc Frenette dari Social Research and Demonstration Corporation di Kanada, jumlah komputer per anak di rumah tangga Kanada dengan 6 anak 64% lebih rendah dari rumah tangga yang hanya memiliki 2 orang anak. Dan orang tua dalam rumah tangga dengan anak 6 orang memliki kemungkinan 54% lebih rendah untuk dapat menabung demi biaya kuliah anak daripada orang tua dalam rumah tangga dengan 2 anak saja.

Orang tua dalam keluarga yang lebih besar mungkin berpeluang lebih tinggi untuk meninggalkan pekerjaan dan kehadiran mereka dalam rumah mungkin mendorong kemampuan anak-anak itu. Kemungkinan lainnya ialah bahwa investasi dari orang tua pada anak-anaknya akhirnya tidak membuahkan hasil apapun, kata Frenette. (Sumber: Why do larger families reduce parental investments in child quality but not child quality per se?)

Pusat Penerjemahan Sastra: Impian Eliza Vitri Handayani, Penerjemah dan Masyarakat Sastra Indonesia

Dari kiri ke kanan: Penerjemah David Colmer, penggagas InisiatifPenerjemahanSastra.org Eliza Vitri Handayani, penerjemah Kari Dickson dan penerjemah bahasa Inggris-Norwegia Kate Griffin

Saat saya masuki aula besar di atas galeri seni di Erasmus Huis Sabtu pukul 7 lewat 15 menit malam kemarin (13/10/2012), suasana khidmat terasa. Ruangan yang besar tersebut tidak terisi penuh. Kursi di bagian depan cuma terisi satu dua orang. Hampir setahun lalu saya juga pernah berada di sini, untuk menonton film pemenang ajang SBM Golden Lens Award di bulan November 2011. Sangat berkesan.

Malam kemarin juga tak kalah berkesan. Saya bertemu teman yang selama ini hanya bersua secara virtual di Facebook dan blog, Dina Begum. Teman-teman baru sesama penerjemah juga banyak bertebaran di seantero ruangan sampai saya bingung harus memilih meredam gesekan usus yang masih kosong atau berkenalan dengan sebanyak mungkin orang di kesempatan langka malam itu. Cuma sempat berkenalan dengan Budi Suryadi yang membuat kami tergelak dengan lelucon angsa dan kuda nil di tengah danau dan Asep Gunawan yang mengira saya masih lulusan  baru.

Eliza Vitri Handayani malam itu membuka acara pembacaan hasil penerjemahan karya sastra penulis Gustaaf Peek dari Belanda dan Kjesrti A. Skomsvold dari Norwegia. Wanita muda penggagas InisiatifPenerjemahanSastra.org itu menyampaikan pidato pembukaan dengan fasih di hadapan peserta lokakarya penerjemahan sastra yang telah berlangsung selama 5 hari sebelumnya, para pembicara dan sejumlah pemerhati dunia penerjemahan di tanah air. Kalangan penerbit dan badan lain yang menaruh minat pada penerjemahan juga menyempatkan hadir.

Eliza tampak sibuk melayani percakapan dengan tamu lain sehingga saya harus berpikir beberapa kali untuk menemukan cara menyela obrolannya dengan orang lain. Terus terang saya bukan orang yang suka menyela. Itu salah satu hal yang paling tidak berbudaya menurut saya.  Dan sekonyong-konyong, saya terkejut saat Eliza menghampiri saat saya menundukkan pandangan untuk berfokus pada makanan di piring yang sudah hampir tandas. Mungkin ia dengan sengaja menghampiri semua orang di ruangan ini. Peluang emas, pikir saya. Saya bombardir saja dengan pertanyaan-pertanyaan spontan. Inilah cuplikan singkat wawancara impromptu saya dengan Eliza.

 

Apa tujuan utama diadakannya lokakarya ini?

Tujuannya sebagai alat pengembangan kompetensi penerjemah. Berdasarkan wawancara dengan penerjemah, editor dan penerbit, saya temukan 3 kendala utama dalam dunia penerjemahan di tanah air yakni: kompetensi penerjemah, kondisi kerja di penerbitan, dan rendahnya apresiasi terhadap karya terjemahan. Dan tahun ini tujuan acara ini (lokakarya penerjemahan di Erasmus Huis) adalah untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Pertama, meningkatkan kompetensi penerjemah dengan mengadakan lokakarya, seminar, membahas kondisi kerja dan acara umum seperti ini untuk mengangkat profil penerjemah. Apalagi mereka jarang diundang. Jika diundang pun, penerjemah jarang diberikan kesempatan berbicara di depan. Di sini, mereka diwawancarai dan diberikan kesempatan berbicara.

Orang juga perlu menyadari bahwa proses penerjemahan karya sastra itu tidak hanya baca karyanya lalu mengetik, atau menbuka kamus dan tinggal memasukkan arti kata. Prosesnya sangat rumit.

Ada alasan khusus mengapa memilih karya sastra dari Norwegia dan Belanda untuk lokakarya tahun ini?

Sebenarnya bisa dari mana saja karena kebetulan saya tinggal di Norwegia separuh tahun dan (kita memilih) Belanda karena kita memiliki hubungan sejarah yang kuat dan dukungan praktisnya juga karena mereka juga memiliki lembaga tersendiri untuk mendukung penerjemahan karya-karya sastra mereka.

Apakah benar apresiasi terhadap hasil penerjemahan karya sastra lebih rendah dibandingkan terhadap karya aslinya?

Saya pikir tidak. Hanya banyak yang kurang percaya dengan terjemahan bahasa Indonesia sebab banyak orang berpikir dengan kemampuan berbahasa Inggris sedikit, orang sudah bisa menerjemahkan, banyak buku yang tidak diedit, penerbit cuma mengejar tenggat waktu untuk merilis buku, dan banyak pembaca yang bisa membaca bahasa Inggris. Jadi mereka tidak percaya dengan hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Mengapa memilih karya Gustaaf Peek?

Ada berbagai pertimbangan yang tidak hanya dari kita tetapi juga dari donor. Gustaaf belum menerjemahkan karyanya ke bahasa Inggris, kita ingin karyanya bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris dan lainnya. Dan karena karyanya menarik.

Dalam lokakarya dilakukan penerjemahan secara relay (dari bahasa Norwegia –> Inggris –> Indonesia). Apakah dengan cara ini risiko kesalahan justru akan makin tinggi?

Betul, biasanya memang demikian. Tapi kita berusaha mengatasi itu dengan mendatangkan penulis aslinya dan penerjemah asal. Saya dengan berat hati mengadakan penerjemahan relay tetapi tidak merekomendasikan relay translation tanpa partisipasi penerjemah pertama.

Apakah nanti jika penerjemah Indonesia membutuhkan bantuan untuk menghubungi penulis atau penerjemah pertama, apakah akan dibantu?

Ya, jika kami nanti sudah menjadi sebuah pusat penerjemahan sastra di Indonesia. Sekarang pun jika kami bisa membantu, akan kami bantu.

Seberapa perlu penerjemah karya sastra memahami konteks sosial budaya yang menjadi latar belakang karya sastra?

Itu juga perlu, seperti tadi saat membahas keadaan cuaca di Norwegia yang tidak bisa ditemui di Indonesia. Unsur pakaian juga. Dengan menghadirkan penulis, kita bisa mengetahui semua itu, bagaimana rasanya memakai pakaian itu.

Itu kalau penulisnya masih ada, jadi proses penerjemahan lebih lancar karena masih bisa berdiskusi. Bagaimana jika penulisnya sudah meninggal?

Tujuan lokakarya ini bukan supaya kita menjadi lebih tergantung pada penulis. Kita tidak selalu memiliki kesempatan untuk bertukar pikiran dengan penulis. Ini hanya sebagai cara untuk membaca teks lebih dekat. Karena penulis juga sebisa mungkin ingin memasukkan semua yang ingin ia sampaikan ke dalam teks.

Untuk tahun-tahun mendatang, apa yang akan dilakukan setelah penyelenggaraan lokakarya penerjemahan karya sastra ini?

Kita memiliki ide untuk memberikan penghargaan bagi buku terjemahan karya sastra terbaik karena belum ada yang khusus mengapresiasi terjemahan sastra sampai sekarang. Padahal itu ada prosesnya dan seninya sendiri.

Kira-kira kapan realisasinya?

Pinginnya tahun depan.

Sudah melobi pihak apa saja untuk realisasi ini?

Rahasia dulu deh. Haha.

Tapi secara umum, apakah antusiasmenya sudah ada terhadap apresiasi terjemahan karya sastra?

Sudah. Secara umum saja, dari Festival Sastra. Sebab itu pesta, kita memberi anugerah untuk merayakan pencapaian jadi alangkah baiknya kalau di Festival Sastra. Jadi akan ada banyak penonton sehingga suasananya meriah. Pihak lain ialah organisasi yang tertarik dalam bidang penerjemahan, media yang banyak bergerak di bidang penerjemahan.

Apakah tahun depan diadakan lagi lokakarya seperti ini?

Sedang direncanakan. Kalau bisa dari bahasa-bahasa Asia.

Apakah ada rencana untuk memberikan lokakarya tetapi yang melibatkan bahasa-bahasa lain yang tidak sepopuler bahasa Inggris?

Ada. Tantangannya akan lebih sulit mencari pesertanya. Tetapi itu memang harus ditumbuhkan seperti misalnya yang sekarang di lokakarya yang langsung dari bahasa Belanda, kan kebanyakan dosen atau pengajar bahasa dan itu memiliki kesulitan sendiri karena mereka belum tentu memiliki kemampuan menulis yang baik tapi di sisi lain kita harus tumbuhkan minat mereka untuk menerjemahkan karya sastra Belanda.

Bagaimana dengan kualitas para penerjemah kita?

Banyak yang sudah hebat seperti para pembicara di lokakarya tadi. Tapi banyak juga yang lain yang masih perlu ditingkatkan.

Wawancara pun harus berhenti karena dua teman Elisa menghampiri dan mengajak mengobrol sejenak untuk berpamitan dan mengucapkan dukungan terhadap inisiatifnya mendirikan pusat penerjemahan sastra pertama di Indonesia. Saya pun mempersilakan padanya untuk menyantap makanan yang sudah diambil sebelum saya memberondongnya dengan pertanyaan.

Semoga impian Eliza, yang juga impian kita semua, akan terwujud dengan lancar segera!

 

 

Menjaga Kesehatan Mental dengan Beryoga

Perkembangan teknologi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membawa banyak manfaat. Dan di sisi lain, ia membuka celah masalah baru. Salah satu masalah yang paling menonjol dalam  kehidupan manusia yang diakibatkan paparan dengan teknologi ialah kesehatan mental yang tak lagi seimbang. “Begitu banyak orang depresi sekarang. Itu karena kita terlalu banyak terfokus pada hal-hal di luar diri kita, termasuk di dalamnya adalah TV, smartphone, dan lain-lain,” kata Rustika Thamrin pagi tadi (14/10/2012) di sesi berbagi Yoga Gembira, Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Topik ini berkaitan erat dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober 2012 yang baru saja berlalu minggu ini.

Menurut Rustika yang pakar psikologi itu, tak heran kita menjadi melupakan eksistensi atau keberadaan diri kita sebenarnya. Self-awareness atau kesadaran diri menurun. Sebagai konsekuensinya, orang makin sibuk untuk mengisi kekosongan dalam jiwa mereka dengan memburu ‘kebahagiaan’ di luar diri mereka. Sayangnya kebahagiaan eksternal itu tidaklah sejati. Semu dan temporer belaka.

Yoga dapat menjadi satu solusi bagi manusia modern yang telah kehilangan jati diri dan keseimbangan hidup dengan mengajak kembali melihat ke dalam diri. Yoga memberikan jalan bagi kita untuk melihat ke tubuh kita sendiri dan mengamati emosi-emosi yang muncul dan untuk kemudian membiarkan semua itu pergi karena kita tidak perlu menganalisisnya atau menghakiminya, ujar Yudhi Widdyantoro, pendiri Social Yoga Club atau Yoga Gembira. Menelisik kembali ke dalam diri juga menjadi bagian penting dalam mindfulness therapy yang kata Rustika selaras dengan prinsip yoga.

Satu pembahasan yang menarik oleh Rustika ialah ciri utama orang yang bermental sehat yang bisa kita gunakan untuk mengukur kesehatan mental kita masing-masing. Orang yang bermental sehat umumnya memiliki kemampuan untuk menertawakan dirinya sendiri. Mereka yang defensif (yang kurang sehat mentalnya), kurang mampu menertawakan diri sendiri tetapi justru melimpahkan ketidakberesan atau masalah dalam dirinya pada orang lain.

Kita juga diajak untuk tersenyum lebih banyak demi meningkatkan kesehatan mental. Mengapa harus tersenyum? Saat seseorang tersenyum kemungkinan besar ia merasa senang, terang Rustika. Dan saat seseorang merasa gembira tanpa ada tekanan, limbic system dalam tubuh akan terbuka dan saat itulah,informasi akan masuk dan terolah dengan lebih baik. “Pada gilirannya daya ingat jangka panjang kita akan membaik pula. Ini akan mencegah kita lebih mudah lupa dalam kegiatan sehari-hari akibat kebiasaan multi-tasking,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Rustika juga menambahkan perlunya biodansa (dansa kehidupan) yang bisa menghubungkan diri kita dengan mereka yang ada di sekitar kita. Digabungkan dengan yoga yang menekankan pengenalan diri sendiri, biodansa menjadi langkah penyempurna berikutnya untuk mengenal dan terhubung dengan lingkungan sosial. Keduanya memungkinkan kita menjaga keseimbangan dan kesehatan mental baik dari sisi internal dan eksternal.

Broga, Yoga untuk Kaum Pria

Apa yang terlintas di benak Anda saat disebutkan kata “yoga”? Sehat, langsing, lentur, atau lembut?  Jarang mungkin yang mengatakan kuat, berotot, atau semacamnya? Sukar memang untuk menunjukkan bahwa yoga tidak cuma untuk para wanita.

Sebenarnya isu ini juga sudah terpikir sejak dulu mulai berlatih. Saat saya berlatih tidak banyak teman pria yang demikian rutin mengikuti latihan. Ada memang beberapa yang hadir, tetapi perlahan menghilang. Sementara yang bertahan bisa dihitung dengan jari-jari di satu tangan.

Pertanyaan ini kembali mengusik setelah saya membaca artikel tulisan Mary Austin di Kykernel.com yang menanyakan pertanyaan yang sama persis meski settingnya berbeda: “Why is yoga more popular among women in the U.S.?” Dan menurut pengamatan saya, memang lebih banyak pegiat yoga wanita (yogini) daripada pegiat yoga pria (yogi). Di sejumlah kelas yoga di studio di sejumlah negara, seperti di Hong Kong, Jepang, dan sebagainya, biasanya peserta pria hanyalah minoritas. Bisa jadi mereka adalah pasangan atau teman pria yang diajak oleh peserta wanita yang sudah lebih dulu masuk dan menekuni yoga.

Hipotesis saya ini juga dikukuhkan oleh Austin, yang mengatakan, “Often urged by their wives, men have started coming to class“. Jadi kisah para pria yang bersentuhan dengan dunia yoga karena mulanya dipaksa pasangannya bukan hanya terjadi di sekitar saya saja. Di tempat saya berlatih, memang terlihat beberapa pria yang masuk dan ikut karena istri, pacar atau teman wanita mereka ingin mereka menemani dan ikut berolahraga dan sehat bersama mereka.

Mungkin ada yang salah hingga tercipta sebuah citra feminin seperti ini pada dunia yoga. Yoga bukan dunianya wanita. Bahkan sebenarnya di negeri asalnya, India, mereka yang piawai beryoga dari jaman kuno bukanlah para wanita yang selalu diasumsikan lebih lentur. Para yogi justru lebih mendominasi dahulu kala. Patanjali, sosok yogi yang juga orang bijak, adalah pria tulen. Dan dari karyanya yang sistematis mengenai yoga dan konsep ashtanga (8 tangga) dalam yoga ini makin banyak orang yang bisa mengenal dan mempelajari serta mempraktikkan yoga.

Yang patut dikritisi kemudian ialah pengemasan yoga itu setelah dunia Barat mengenalnya di pertengahan abad ke 20. Kira-kira dekade 1960-an, B. K. S. Iyengar memperkenalkan yoga ke masyarakat Barat. Yoga yang berasal dari Timur pun dianggap sebagai praktik yang eksotis dan perlu lebih banyak digali dan dipraktikkan. Untuk menarik lebih banyak penggemar untuk memasuki kelas yoga, akhirnya dibuatlah pakaian-pakaian serta aksesoris yoga yang semenarik mungkin. Muncullah kemudian mat yoga yang warna-warni, celana yoga yang ketat.

Yoga di benak banyak orang juga masih dikenal sebagai olahraga meditatif belaka. Ada benarnya tetapi tidak seluruhnya demikian. Yoga lebih kompleks dari sekadar bermeditasi, atau memperagakan asana alias pose-pose yang terlihat ‘menyakitkan’ karena membutuhkan kelenturan dan kekuatan. Saya sendiri hampir selalu menemukan orang awam di sekitar saya yang mengira bahwa ikut yoga adalah membuang waktu dengan duduk bersila dalam posisi lotus. Tak bisa disalahkan juga karena itu yang mereka baca dan lihat di media mainstream.

Yang patut diperhatikan ialah bahwa para guru dan instruktur yoga malah umumnya berjenis kelamin pria.  Guru saya yang pertama juga kebetulan pria, meskipun kemudian terjadi rotasi temporer yang menghadirkan pengajar wanita yang kualitasnya juga tak kalah bagus. Namun, tetap saja guru pertama saya yang pria ini lebih terasa mantap, mungkin juga karena pengalaman dan pengetahuan yang sudah mendalam.

Sebagian pria merasa terintimidasi saat masuk kelas yoga jaman sekarang karena dominasi para wanita di dalamnya. Apa pasal? Karena mereka merasa kalah lentur. Padahal dalam yoga, kelenturan bukan segalanya. Kekuatan otot juga diperlukan! Lagipula, kelenturan bisa dilatih.

Praktisi dan guru yoga Devi Asmarani mengatakan dalam bukunya “Yoga untuk Semua” bahwa kaum Adam tak perlu menolak melakukan yoga karena sebenarnya banyak manfaat yang bisa dituai. Dengan banyaknya pria yang suka olahraga angkat beban dan berintensitas tinggi, yoga makin dibutuhkan karena peregangan dalam yoga penting untuk memelihara otot agar tidak memendek karena berulang kali dipakai angkat beban. Intinya yoga menyeimbangkan tubuh kita, apapun jenis kelamin kita.

Austin juga menyebut istilah “broga” yang berakar pada kata “brother” dan “yoga”.  Bisa dikatakan ini merupakan gaya baru dalam beryoga karena digagas untuk mengajak lebih banyak pria melakukan yoga. Dan uniknya, kelas broga ini ditujukan hanya untuk pria. Robert Sidotti yang turut mendirikan aliran broga ini berpendapat makin banyak dijumpai pria pertengahan 30-an yang merasa kurang bugar tetapi enggan mengikuti kelas yoga yang didominasi perempuan. Kondisi ini melatarbelakangi munculnya broga, yang menurut Sidotti , gerakannya telah didesain khusus untuk badan kaum pria yang lebih suka fokus pada kekuatan alias strength.

Jadi, apakah masih segan beryoga, tuan-tuan?

(Juga dipublikasikan di Kompasiana.com)

Setelah Facebook, Apakah Twitter ‘Mendiskriminasi’ Konten yang Diposting dari Aplikasi Pihak Ketiga?

Jelas sudah diskriminasi itu. Setelah beberapa waktu lalu mengetahui bahwa mempublikasikan konten via aplikasi pihak ketiga (seperti Hootsuite, Tweetdeck) membuat peluang konten di Facebook terlihat oleh fans lebih rendah jika dibandingkan langsung di laman Facebook.com, kini saya juga menduga bahwa diskriminasi yang sama juga diberlakukan oleh Twitter. Konten yang diunggah melalui Twitter client applications alias aplikasi pihak ketiga tidak semoncer yang diunggah langsung dengan versi webnya atau aplikasi resminya di masing-masing platform. Dan kabarnya mengunggah gambar via aplikasi pihak ketiga kini juga dihentikan. Itulah yang saya dapati saat berusaha berulang kali mengunggah via Hootsuite. Gagal terus sampai saya jengkel sendiri! Hingga akhirnya saya mencapai simpulan ini meski masih terlalu prematur. Tetapi saya juga mendasarkan itu atas tulisan yang saya baca (entah di mana saya lupa situsnya).

Dan bukti empiris lainnya ialah statistik yang mengungkapkan bahwa metode tradisonal dan manual (yakni dengan mempublikasikan konten di halaman situs jejaring sosial secara langsung tanpa perantara) adalah yang paling efektif mengantarkan konten ke hadapan audiens. Memang agak gegabah jika saya menyimpulkan ini semua karena faktor ini saja. Banyak faktor yang terlibat dalam viral tidaknya sebuah konten, misalnya timing atau pemilihan waktu publikasi konten di jejaring sosial, frekuensi, wording alias penyusunan dan pemilihan kata-kata, menarik tidaknya topik yang diangkat dan sebagainya.

Sebenarnya semuanya berawal saat ditemukan tren penurunan jumlah hits dalam konten situs yang saya ikut kelola. Semuanya menulis, rata-rata dengan headline atau judul yang sama, penyusunan kata dalam tweet atau posting yang sama pula, tetapi pertanyaannya mengapa bisa berbeda jumlah hitsnya?

Saya pun akhirnya menduga bahwa teman saya yang jauh lebih tinggi frekuensi postingnya melalui aplikasi Tweetdeck jumlah hitsnya lebih rendah. Memang aplikasi ini praktis sekali karena bisa satu kali publish agar muncul di Twitter dan Facebook sekaligus. Tetapi akibat yang harus ditanggung ialah konten yang dipublikasikan melaluinya menjadi kurang populer.

Sementara rekan saya yang lain (masih baru) berhasil membuat konten lebih viral alias dibaca banyak orang setelah ia dengan polosnya mempublikasikan setiap konten satu per satu tanpa menggunakan aplikasi perantara apapun untuk memudahkan pekerjaannya. Really, hard work does pay!

Bagaimana dengan Anda? Apakah merasakan hal yang sama? Atau sama saja?