“Janji Toba” Ingatkan Indonesia untuk Tetap Satu Asa

Janji itu berat. Dan sekali terucap, tidak akan bisa ditarik kembali.

Itulah beratnya beban janji yang ditanggung Toba, seorang pria muda yang tak kunjung mendapat jodoh. Didesak terus oleh seorang sahabat, ia pun akhirnya menikah. ‎Tetapi ini bukan pernikahan biasa antarmanusia. Dan di samping janji suci pernikahan, ada janji lain yang tak kalah besarnya: janji untuk menjaga lidahnya agar tak menghardik anaknya nanti dengan sebutan anak ikan. Toba memang menikahi seorang perempuan molek yang jelmaan ikan, Tiomasna. Ikan cantik itu berhasil ia dapat setelah beberapa waktu tak mendapat tangkapan. Mereka berdua pun memiliki Samosir — seorang anak laki-laki yang nafsu makannya begitu besar, sampai-sampai saat makan ia begitu lahap tetapi tak pernah kenyang, mirip seekor ikan yang terus meminum air di sekelilingnya tetapi tak pernah merasa kembung. Kulminasi kemarahan Toba memuncak tatkala Samosir menghabiskan makanan yang semestinya untuk jatah makan siang selepas si ayah bekerja keras di ladang. Kalimat terlarang itu pun terlontar begitu saja. Dan musnahlah mereka semua seisi desa karena pelanggaran janji oleh Toba. Hanya Samosir yang dikisahkan selamat dari gempuran air bah.

Begitu kira-kira ringkasnya kisah Janji Toba ini dalam satu alinea. Kekayaan kisah rakyat atau folklore dari Sumatra Utara itu memukau kami yang menonton selama 90 menit tanpa putus.

Legenda Danau Toba yang turun temurun dituturkan dalam masyarakat Batak berhasil dikemas dengan apik oleh Banyu Wening Production dengan diperkuat oleh Anggiyat Tobing (yang menggantikan Bams Samson yang jatuh sakit), Cindy, dan para aktor yang salah satu di antaranya ialah Indro Warkop sore kemarin (29/8).

Di sela konferensi pers sehari sebelum pertunjukan musikal di Ciputra Theatre, Indro yang dituakan para pemeran lainnya itu menjawab pertanyaan para nyamuk pers dengan bijak bahwa meskipun pertunjukan musikal itu diangkat dari kisah rakyat Batak, tak semua pemeran/ aktor atau kru di dalamnya merupakan‎ orang Batak. Dan itulah yang ingin dikemukakan Indro, bahwa kekayaan budaya Batak juga harus didukung oleh segenap bangsa, bukan suku Batak saja. “Dulu Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Java dan lainnya sepakat mendukung berdirinya Indonesia, tetapi sekarang malah justru semangat kedaerahan itu menguat. Itu membuat kita harus prihatin,” pelawak itu berujar.

‎Secara teknis, pertunjukan sudah harus dimulai pukul 3 sore tetapi tertunda entah karena alasan apa. Sekitar 15-20 menit kemudian barulah tirai panggung tersibak.

Yang menyita perhatian penonton di panggung pertama-tama ialah sajian apik aerialis perempuan yang menggambarkan gerak gerik ikan bersisik keemasan nan ajaib dari kahyangan. Inilah perlambang Tiomasna. ‎Tanpa tali pengaman, si aerialis meliuk-liuk dengan kain-kain panjang. Suatu keahlian yang membuat kami berdecak kagum.

Agar tidak membosankan, dialog-dialog jenaka disisipkan. Karakter sahabat Toba, Marihot, dan saudara perempuannya Lisda membuat perut terkocok. Bergantian mereka membuat kami terpingkal. Gerak tubuh teman setia Toba itu juga cukup merangsang tawa, terutama saat ia mengiming-imingi Toba soal nikmatnya berumah tangga. Sementara Li‎sda yang bertubuh subur tetapi genit dan kelewat percaya diri itu bisa membuat perempuan-perempuan lajang bertubuh ekstra di samping saya juga ikut tertawa lepas. Itulah salah satu tujuan seni, untuk bisa menertawakan diri sendiri tanpa harus sakit hati pada orang lain.

Koreografi, musik dan lirik juga tertata apik. Para penari di adegan-adegan berkumpulnya muda-mudi kampung serta saat bekerja gotong royong di ladang membuat saya tersadar masih kuat dan mengakarnya budaya agraris di negeri ini meski ekspansi industri sudah menggila pula. Hal-hal inilah yang membuat kita Indonesia dan ironisnya semua hal itu luntur dari kita.‎ Kearifan lokal sudah tergerus dengan pemikiran-pemikiran kontemporer dan rasanya tidak ada satu upaya pun bisa membalik arus ini. Terjebak di kondisi ini ialah sebagian orang yang terus merindu lestarinya ke-Indonesia-an kita.

Janji Toba mungkin hanya diucapkan Toba, dan melibatkan dirinya dan Tiomasna. Tetapi begitu terlanggar, konsekuensinya tidak hanya melanda keluarga mereka. Seisi kampung ikut menanggungnya.

Itulah yang juga terjadi di negeri ini. Janji para elit memang cuma dilontarkan oleh bibir mereka semasa periode kampanye. Janji itu awalnya melibatkan mereka dengan para pendukung saja tetapi begitu terangkat ke posisi publik dan mulai bekerja, sukses gagalnya akan berdampak tak cuma pada kehidupan konstituen tetapi semua orang di tanah air, dari yang tidak tahu apa-apa sampai mereka yang setia dengan penguasa.