Diary Keith Haring: Refleksi, Persepsi, dan Evaluasi Diri

Keith Haring, salah satu figur seniman terkemuka abad 20. (Foto: Wikimedia Commons)

LAHIR 1958 di Pennsylvania, Keith Haring dikenal sebagai seniman penggambar grafiti kapur di banyak stasiun kereta bawah tanah (subway). Dari kecil, Haring sudah suka dengan kartun seperti karya Dr Seuss dan Walt Disney.

Tahun 1978 dia pindah ke New York dan antara tahun 1980-1985 dia produktif menghasilkan berbagai karya seni yang dibuat dalam beragam medium dari video sampai kolase tapi gambar tetap jadi medium favoritnya. Buktinya ia menghasilkan ratusan karya gambar di stasiun bawah tanah sepanjang periode ini sampai mendapat pengakuan publik bahwa karyanya patut diapresiasi sebagai karya seni yang serius.

Tahun 1986 ia membuka gerai merchandise khusus dengan cetakan karyanya sendiri. Laris manis karena memang reputasinya sudah mendunia.

Hingga tahun 1989, ia terlibat dalam sejumlah proyek amal dan sosial yang diperuntukkan bagi rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya.

Gelombang pandemi AIDS di Amerika memakan banyak korban. Salah satunya Haring, yang menghembuskan napas terakhir akibat komplikasi yang dipicu HIV dua hari setelah hari Valentine tahun 1990.

Sebagai seniman muda, Haring masih menyempatkan menulis jurnal harian yang isinya memang ia tujukan untuk dibaca bukan cuma dirinya tapi juga orang lain.

Isi jurnal Haring bukan soal masalah hidupnya atau hal-hal pribadi semata-mata tapi juga sebuah kumpulan kaya antara refleksi, persepsi dan evaluasi diri, dan pertumbuhannya sebagai seorang pribadi dan seniman dengan pemikiran kreatif yang mandiri. 

Diary Haring berbeda dari diary temannya yang juga seniman tersohor di era yang sama, Andy Warhol. Sementara diary Warhol penuh dengan catatan observatif terhadap tingkah laku selebritas yang ditemuinya dan catatan pengeluaran taksi dan  restoran yang nggak begitu penting, diary Haring lebih banyak memuat pelajaran dan hikmah yang menarik untuk para pembaca. Di sini banyak kalimat-kalimat bijak yang membuat kita merenung nggak cuma soal seni tapi juga manusia dan hidup secara umum.

Haring memandang Warhol sebagai panutan. Yang nggak cuma bisa kerja sendiri tapi juga seniman yang ‘publik’ serta holistik. Komplit, kata lainnya. Haring menulis bahwa tanpa Warhol sebagai pionir di depannya, kesuksesan komersial dan artistik Haring nggak bakal tercapai.

Haring secara rutin mengisi diarynya bahkan di tengah kesibukannya tur ke berbagai negara di dunia. Entri-entri diarynya dibubuhi dengan nama-nama lokasi dari Nagoya di Jepang, Belgia dan berbagai bandara. Inilah caranya berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan juga memenuhi ambisinya sebagai seorang seniman yang produktif, lebih banyak berkarya dan lebih sedikit ngobrol.

Dalam pembuka buku ini, Robert Farris Thompson (akademisi Yale yang mempelajari sejarah seni di kawasan Atlantik-Afrika) menjelaskan bagian awal diary yang menyatakan keinginan Haring untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia dan seniman dengan mandiri, memakai cara-caranya sendiri dan menggunakan pengaruh yang ia dapat dari seniman-seniman lain sebagai pijakan awal saja. 

Isi diary Haring sangat memperkaya batin. (Foto: Sothebys.com)

Trenyuhnya, dalam entri diarynya tanggal 10 Mei 1977 ia menuliskan lirik sendu tentang keinginan untuk berbaring di tepi sungai demi bisa mendengarkan nyanyian sungai yang menggetarkan jiwa dari konser “Grateful Dead”.

Tak disangka bahwa 12 tahun kemudian, di tengah bulan September 1989 Haring menuliskan entri terakhir diarynya saat ia divonis terkena HIV. Ia tak tahu berapa lama sisa hidupnya (dan ternyata cuma 5 bulan) dan saking syoknya ia menangis di sepanjang Houston Street, Manhattan, sampai ia tiba di East River. Di situ lirik kesukaannya itu menjadi nyata. Ia bisa menangis sepuasnya di tepi sebuah sungai. Setelah menangis sampai air matanya kering, Haring menguatkan diri untuk menjalani sisa hidupnya semaksimal mungkin. 

Dari diarynya, kita tahu bahwa kekuatan Haring sebagai seniman salah satunya terbangun karena seleranya yang “kuat dan nyata”. Ia membuka diri pada seniman-seniman hebat di luar dunia seni rupa yang ditekuninya. Ia membaca tulisan dan puisi-puisi John Keats yang sebagian ia tulis di diarynya juga. Ia sepakat dengan Keats bahwa kehebatan seni adalah intensitas dan kemampuannya untuk membuat semua unsur yang kurang enak lenyap. Yang tersisa hanyalah Keindahan dan Kebenaran. Inilah yang membuat Haring bisa mengekstrak semua emosi dan pengalamannya menjadi gambar-gambar sosok humanoid dalam karya-karyanya yang meski tidak memberikan detail tentang ekspresi wajah atau ciri fisik lainnya tapi kita masih bisa menangkap emosi yang intens di baliknya. Haring dianggap bisa menciptakan ikon-ikon budaya massal yang bisa dipahami semua orang. Inilah kenapa karya-karyanya bisa mendunia.

Dalam karyanya yang menunjukkan seekor anjing yang menyalak pada layar sebuah TV yang menyiarkan berita ledakan nuklir, Haring menunjukkan kecemasan dalam dirinya atas kemungkinan meledaknya perang nuklir di akhir era Perang Dingin. Sebuah kecemasan yang masih relevan untuk kita yang hidup di zaman sekarang, saat Barat (NATO) terus saja bergulat dengan Rusia, China tak berhenti juga berebut hegemoni dengan Amerika. It’s just the same world Haring and all of us live in.(*/)