Haruskah Berlomba-lomba ke Antariksa untuk Berwisata?

BEBERAPA waktu lalu kita dengar berita soal Elon Musk, Jeff Bezos, dan Richard Branson yang seolah berkejar-kejaran untuk mewujudkan impian mereka menjelajah bulan, Mars dan tinggal di sana.

Kenapa seolah di masa pandemi yang memerlukan banyak duit untuk menyelamatkan ekonomi, orang-orang yang makin kaya akibat kapitalisme ini malah menghabiskan duit mereka untuk hal-hal yang terkesan nggak ada gunanya buat kemanusiaan?

Jawabannya mungkin sederhana: ini adalah ambisi lama mereka.

Investasi mereka di bidang penjelajahan antariksa dan planet lain ini sudah lumayan lama dan ‘membakar’ banyak duit mereka. Ya memang terhitung retjeh sih buat ukuran aset total mereka tapi kalau dilakukan saban tahun, lama-lama mereka juga pasti gemes dan mikir: “Kapan nih gue bisa menikmati hasilnya?”

Karena itulah mereka berpacu dengan waktu agar usaha eksplorasi ini tak berujung mubazir.

Masalahnya adalah ada sebagian orang yang sekarang sudah begitu kaya rayanya dan ingin melakukan hal-hal yang menjadi impian masa kecil mereka seperti terbang ke bulan, atau melayang di ruang gravitasi nol untuk merasakan bagaimana hidup tanpa gaya tarik bumi yang termasuk tinggi (di bulan saja gravitasinya cuma 1/6 dari bumi) tapi di bumi masalah rasanya makin banyak saja.

Ada yang berkata nggak ada yang salah soal mendirikan perusahaan penjelajahan antariksa seperti yang dilakukan orang-orang kaya tadi. Ya wajar sajalah mereka punya impian untuk bepergian ke ruang angkasa dan bahkan tinggal di sana lebih lama dari apa yang sudah dilakukan manusia sebelumnya.

Yang menjadi perdebatan ialah “apakah semendesak itu ya harus membakar uang cuma untuk ke antariksa dan berwisata sementara di muka bumi sana banyak manusia yang masih membutuhkan bantuan?”

Betul bahwa kini teknologi sudah memungkinkan kita yang manusia biasa non-astronot ini bisa ke ruang angkasa dan menikmati beberapa waktu di sana. Kita tak perlu menjalani pelatihan yang harus dijalani astronot profesional selama 15-20 tahun lamanya. Karena memang keterampilan astronot itu nggak perlu-perlu banget buat para pelancong antariksa ini. Cuma di antariksa 30-60 menit dan pulang ke bumi lagi kok. Nggak sampai berhari-hari atau berbulan-bulan juga.

Ada yang berargumen bahwa perjalanan wisata antariksa ini berguna untuk memuaskan sisi spiritualisme manusia.

Oh ya?

Apakah dengan melayang-layang di ruang hampa dan melihat bumi kita dari kejauhan seperti bola berwarna biru yang mengapung di kegelapan alam semesta, manusia yang mengalaminya bisa merasakan kecilnya dirinya dan betapa berharganya semua hal di bumi itu sehingga nantinya mereka terpanggil untuk melestarikan bumi yang masih tak tergantikan hingga sekarang?

Atau ini malah menjadi pelecut mereka untuk melarikan diri dari bumi yang sudah kacau, porak-poranda dikoyak krisis iklim, pencemaran lingkungan, pemanasan global yang tidak bisa direm? Logisnya, ngapain bertahan di bumi yang sudah acak-acakan saat bisa ke lahan baru yang masih bisa digarap dari awal dan bebas meski risikonya juga amat tinggi.

Penjelajahan antariksa ini memang penting sih dari segi survival umat manusia. Bayangkan jika ada apa-apa dengan bumi (yang memang sudah terjadi karena kelalaian kita sendiri), dan mengakibatkannya menjadi tak layak huni, lalau bagaimana dengan nasib umat manusia? Akankan kita menerima jika manusia akan punah begitu saja seperti dinosaurus?

Indonesia sendiri terpaksa menjadi penonton dahulu karena ya, duitnya cekak banget. Ngurusi rakyatnya yang bergelimpangan kena pandemi aja masih ngos-ngosan ya kan?

Indonesia konon masih berfokus pada urusan-urusan antariksa yang berkaitan dengan mikrosatelit untuk kebutuhan komunikasi dan pertukaran informasi seperti sinyal telepon dan internet dan semacamnya. Belum lagi satelit pengindraan jarak jauh untuk menjaga teritori kita yang seluas ini. Keamanan perairan kita dari jamahan negara asing yang lancang masuk misalnya. Kita sendiri tahu alutsista masih minim dan celah di perairan kita masih banyak sekali sehingga penyelundupan rawan terjadi. Jadi partisipasi untuk perlombaan jelajah antariksa seperti ke bulan atau Mars, nanti dulu deh. Kebutuhan dasar aja masih keteteran kok. Haha. Sad. (*/)

Untuk Bahagia, Tak Perlu Bekerja Bagai Kuda

couple wearing horse mask
Haruskah bekerja siang malam bagai kuda sampai sukses tapi depresi atau cukup kerja santai dan lebih bahagia? Maunya sih kerja santai tapi juga sukses ya. ( Photo by THE COLLAB. on Pexels.com)

Di ibukota, bekerja 8 jam sehari sudah menjadi suatu kelaziman. Bahkan kalau itu belum cukup, bisa ditambah lembur, atau datang pagi, atau masuk lagi akhir pekan. Pokoknya, kalau bisa bekerja lebih lama dan keras, kenapa tidak?

Karena lebih lama kita bekerja, kita berpikir akan menjadi semakin produktif.

Ya, itu lain perkara.

Itu pola pikir bangsa Asia dan Amerika Serikat zaman sekarang. More is better.

Betul bahwa bekerja lebih baik daripada menganggur. Memiliki pekerjaan meskipun terkesan rendah asalkan halal dan tidak merugikan orang lain lebih terhormat daripada menjadi pengangguran di rumah.

Memiliki pekerjaan juga membuat kita lebih percaya diri di pergaulan masyarakat.

Dan yang terpenting, memiliki pekerjaan juga memberikan kita keseimbangan dalam hidup.

Bagaimana bisa?

Lihat saja hidup mereka yang sudah terlampau kaya. Mereka sampai harus menciptakan pekerjaan untuk diri mereka sendiri agar mereka tidak cuma hidup tanpa tujuan. Hidup yang cuma diisi foya-foya mungkin terasa menyenangkan bagi banyak orang tetapi secara mental dan psikologis serta spiritual, terasa hampa.

Namun, bagi banyak orang jelata seperti kita, bekerja adalah cara untuk mencapai kebahagiaan. Dan karena kebahagiaan butuh kemapanan finansial, kita bekerja untuk mendapatkan uang dan kenyamanan hidup.

Masalahnya kita sudah terlalu tergila-gila dengan bekerja. Elon Musk, entrepreneur  yang terkenal dengan PayPal, Space-X dan Tesla itu, pernah mengatakan bekerja selama 120 jam seminggu (yang artinya hampir setiap hari bekerja) adalah suatu keharusan jika mau sukses (yang logisnya kesuksesan membuat kita bahagia, meski tak selalu).

Tapi sebuah studi menyanggah pendapat Musk tersebut. Cuma dibutuhkan kerja selama 1 jam sehari agar seorang manusia bisa bahagia.

Studi ini melibatkan lebih dari 70.000 subjek di Inggris. Para subjek memiliki kesehatan mental yang lebih baik begitu mereka tidak lagi menganggur.

Namun, efek positif bekerja sudah bisa dirasakan pada keseimbangan mental manusia pada titik delapan jam kerja seminggu (1 jam per hari). Bukannya 8 jam sehari!

Bekerja lebih dari 8 jam seminggu, menurut ilmuwan, tidak akan menambah efek positif bekerja.

Betul bahwa tidak semua orang menginginkan jumlah jam kerja seminimal ini. Mereka yang sedang asyik membangun terobosan-terobosan baru seperti Elon Musk tentu saja tidak bisa cukup bekerja sejam sehari. Dapat dipahami jika (otak) mereka bekerja mati-matian bagai kuda.

Namun, jika Anda bukan tipe entrepreneur atau inventor atau maniak kerja seperti Musk, dan lebih ingin mendapatkan keseimbangan hidup dan kebahagiaan, cobalah bekerja selama 8 jam seminggu.

Lagi-lagi, ini juga tidak memungkinkan untuk semua orang.

Mereka yang bekerja penuh waktu atau di bawah kebijakan instansi atau dirundung masalah keuangan atau memiliki tanggungan yang masih butuh sokongan dana banyak, tentu saja bekerja sejam sehari bisa membuat mereka dirumahkan.

Ya, kalau tidak bisa, selanjutnya yang mungkin ialah menyiasati sikap dan pendekatan kita terhadap pekerjaan saja.

Anggap pekerjaan adalah suatu kegiatan positif pengisi waktu luang yang menyenangkan sepanjang masa produktif kita sebagai manusia modern.

Makanya jangan melakukan pekerjaan yang sangat dibenci. Atau kalau Anda benci, coba cari strategi untuk mencintainya.

Dengan mencintai pekerjaan, bekerja 8 jam sehari tak akan terasa demikian lama. Begitu kan? (*/)

Bali, The Land of Gods… and Dogs??!!!

Cute, but I decided it's not for me. Sorry, guys.
Cute, but I decided it’s not for me. Sorry, guys.

I wasn’t t raised an animal lover. By animals, I refer to uncaged animals, those left unleashed. That said, having a bunch of fish in an aquarium and small birds like grey pigeons that my late maternal grandfather cultivated so earnestly as if they had been his dearest grandsons. He erected a number of 10-meter poles for the birds at the backyard. Every morning, my grandfather would be voluntarily pull the string attached to each of the poles, making the cages and the birds inside them drenched in the morning sunlight. I was just watching in awe, how he cared about these little creatures so much.
I don’t understand why he did so, until my father who recently retired also adopted the same hobby. Bird raising again, for God’s sake! I myself never intend to do so. I would prefer letting them free in the wilderness to trying to take care of it. Yeah, the responsibility of a pet owner really sucks. And I have no such ample amount of spare time to think of pets.
So when yesterday a friend who happened to be a dog owner in Ubud told me he just adopted a 6-week old female dog named Milo, I could NOT care less. He narrated in the most enthusiastic manner you can find in any super huge lovers of canine. Milo, as he explained, was found on August 17 this year. He was as little as an albino rat my pal spotted on the door mat right in front of his door around 11 pm after going out all day long. I have to admit she looks cute and mild and unthreatening from any possible angle. She even looks timid to strangers, like me, which is good because I cannot tell you how anxious I may become when creatures who bark like her is around me. What was on my mind is a dog chasing and biting me. It truly doesn’t make sense, I think. Not every and each dig is that aggressive. But when you hardly ever encounter an unleashed dog during your entire childhood and adulthood, suddenly this makes sense. I need to adapt to it.
Bali wants me to adapt and, more precisely put, conquer this fear of canine in an instant. Insane! But I can’t complain because these dogs are anywhere to be found in Ubud particularly.
Tonight as we went out to have dinner, a dog bigger than Milo (and seemed to be a lit bit more aggressive than her) stayed under my legs. At first, I acted cool. I kept murmuring to myself,”It won’t be long, it’ll go away in a second. Just take a deep breath because it won’t bite you anyhow. You’re kind, you’re not threatening to it.” But my sanity was getting weaker than my paranoia as I found this dog lingered under my legs after a while. I shivered, and lifted my legs in fear of being bitten or perhaps, licked. This seems very ridiculous to you, just like when I saw a friend got terrified by doves flying near her. Seriously, she – who is one of the most adventurous and blatant girl I’ve ever seen in my life – is afraid of peaceful creatures like doves and I keep thinking,”She is being so ridiculous and irrational.” Now, I’m in her shoes, trying to convince these dog lovers that these creatures should stay away from me to make my life a little bit easier.
Speaking of paranoia, there’s no way you can talk through it with logic as a sole weapon. Impossible, I should say. Because even people as shrewd and intelligent like Paypal co-founder and Space X owner Elon Musk are terrified to encounter dogs.

(Image credit: Wikimedia)