Untuk Bahagia, Tak Perlu Bekerja Bagai Kuda

couple wearing horse mask
Haruskah bekerja siang malam bagai kuda sampai sukses tapi depresi atau cukup kerja santai dan lebih bahagia? Maunya sih kerja santai tapi juga sukses ya. ( Photo by THE COLLAB. on Pexels.com)

Di ibukota, bekerja 8 jam sehari sudah menjadi suatu kelaziman. Bahkan kalau itu belum cukup, bisa ditambah lembur, atau datang pagi, atau masuk lagi akhir pekan. Pokoknya, kalau bisa bekerja lebih lama dan keras, kenapa tidak?

Karena lebih lama kita bekerja, kita berpikir akan menjadi semakin produktif.

Ya, itu lain perkara.

Itu pola pikir bangsa Asia dan Amerika Serikat zaman sekarang. More is better.

Betul bahwa bekerja lebih baik daripada menganggur. Memiliki pekerjaan meskipun terkesan rendah asalkan halal dan tidak merugikan orang lain lebih terhormat daripada menjadi pengangguran di rumah.

Memiliki pekerjaan juga membuat kita lebih percaya diri di pergaulan masyarakat.

Dan yang terpenting, memiliki pekerjaan juga memberikan kita keseimbangan dalam hidup.

Bagaimana bisa?

Lihat saja hidup mereka yang sudah terlampau kaya. Mereka sampai harus menciptakan pekerjaan untuk diri mereka sendiri agar mereka tidak cuma hidup tanpa tujuan. Hidup yang cuma diisi foya-foya mungkin terasa menyenangkan bagi banyak orang tetapi secara mental dan psikologis serta spiritual, terasa hampa.

Namun, bagi banyak orang jelata seperti kita, bekerja adalah cara untuk mencapai kebahagiaan. Dan karena kebahagiaan butuh kemapanan finansial, kita bekerja untuk mendapatkan uang dan kenyamanan hidup.

Masalahnya kita sudah terlalu tergila-gila dengan bekerja. Elon Musk, entrepreneur  yang terkenal dengan PayPal, Space-X dan Tesla itu, pernah mengatakan bekerja selama 120 jam seminggu (yang artinya hampir setiap hari bekerja) adalah suatu keharusan jika mau sukses (yang logisnya kesuksesan membuat kita bahagia, meski tak selalu).

Tapi sebuah studi menyanggah pendapat Musk tersebut. Cuma dibutuhkan kerja selama 1 jam sehari agar seorang manusia bisa bahagia.

Studi ini melibatkan lebih dari 70.000 subjek di Inggris. Para subjek memiliki kesehatan mental yang lebih baik begitu mereka tidak lagi menganggur.

Namun, efek positif bekerja sudah bisa dirasakan pada keseimbangan mental manusia pada titik delapan jam kerja seminggu (1 jam per hari). Bukannya 8 jam sehari!

Bekerja lebih dari 8 jam seminggu, menurut ilmuwan, tidak akan menambah efek positif bekerja.

Betul bahwa tidak semua orang menginginkan jumlah jam kerja seminimal ini. Mereka yang sedang asyik membangun terobosan-terobosan baru seperti Elon Musk tentu saja tidak bisa cukup bekerja sejam sehari. Dapat dipahami jika (otak) mereka bekerja mati-matian bagai kuda.

Namun, jika Anda bukan tipe entrepreneur atau inventor atau maniak kerja seperti Musk, dan lebih ingin mendapatkan keseimbangan hidup dan kebahagiaan, cobalah bekerja selama 8 jam seminggu.

Lagi-lagi, ini juga tidak memungkinkan untuk semua orang.

Mereka yang bekerja penuh waktu atau di bawah kebijakan instansi atau dirundung masalah keuangan atau memiliki tanggungan yang masih butuh sokongan dana banyak, tentu saja bekerja sejam sehari bisa membuat mereka dirumahkan.

Ya, kalau tidak bisa, selanjutnya yang mungkin ialah menyiasati sikap dan pendekatan kita terhadap pekerjaan saja.

Anggap pekerjaan adalah suatu kegiatan positif pengisi waktu luang yang menyenangkan sepanjang masa produktif kita sebagai manusia modern.

Makanya jangan melakukan pekerjaan yang sangat dibenci. Atau kalau Anda benci, coba cari strategi untuk mencintainya.

Dengan mencintai pekerjaan, bekerja 8 jam sehari tak akan terasa demikian lama. Begitu kan? (*/)

To Be a Good Entrepreneurship Reporter, Don’t Be an Entrepreneur

So here’s the rule of thumb for entrepreneurship and business reporters out there: Don’t be the person you want to interview and write about. In other words, don’t be an entrepreneur or business person. This piece of advice sounds a little bit counter-intuitive as I thought it’d be much easier to understand the subject matters by being in their shoes, seeing things the way these people do so I can write better about them and their companies.

It turns out I’m wrong…

Reporters need to stay away from being an entrepreneur themselves. They can’t be a top-notch reporter and a great entrepreneur at the very same time. They have to relinquish one of the two.

That’s probably the gist of Sarah Lacy’s statements. The founder of media company Pando.com was asked whether being an entrepreneur herself changed her way of writing as a tech reporter. As we all know, Lacy has worked for almost 15 years writing about the tech industry, the people and the whole dynamics in it. She answered it bluntly,”I’m a way worse reporter now…”

Asking hard questions to other entrepreneurs as an entrepreneur cum reporter is relatively easy, claimed Lacy. Yet, she stated that what bothered her to do her best job she always wanted is the OVEREMPATHY on the answers. “So particularly when it comes to things I’ve gone through…like having the ousted board member (she might be reminded of Mike Arrington ousted from TechCrunch or?) or even like a cash crunch or hiring a sales guy that didn’t work out[…]”

She further said she didn’t write as much as she used to and she felt for these pitiful entrepreneurs. “Because I see every side to it and I feel for them,”explained the mother of two.

Thank God, I’m not an entrepreneur because if I have to be one, I would certainly lose my best job ever. And I would never trade being a writer to any job on earth. This is very much the best. At least for now.

Promotion Out of Desperation

‎You know when people promote their products or services owing to desperation plus ignorance of effective, ethical and brainy strategies. They simply bombard your neews feeds with self promotional updates. It’s all right there to see and dislike.

And guess what, how many people really want to buy from merchants like this immediately? I don’t. Maybe you don’t. I don’t know‎ but still it’s sickening and foolish to see.

So these so-called entrepreneurs, intrapreneurs‎, or whatever titles we can find to attach to them, are B.S. (Bachelor of Suckers, for sure).

I liken these pseudo marketing strategy to the marketing and sales strategy of street vendors. Yes, I am being mean and rude right now because I cannot take it any longer. I can NOT. They are pretty much like street vendors, who desperately knock everyone’s window of cars at a super hectic Jakartan intersection and offer what they ‎have by shouting and being very pushy and annoying.

So please, please, don’t be such a jerk to your potential customers. Be kind to them to present the best of you. The best and most ethical, to be frank.

Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.

Bagaimana Memperkenalkan Startup Anda pada Jurnalis, Tanpa Spamming

Bukan rahasia lagi bahwa startup-startup ‘haus publikasi’. Mereka ingin media meliput bisnis mereka. Mereka ingin semua orang
membicarakan produk dan layanan yang mereka luncurkan. Mereka mau brand mereka menempel di otak orang sebagaimana “Aqua” untuk air minum dalam kemasan, atau “Sanyo” untuk pompa air. Mereka mau kampanye marketing digitalnya viral hingga tingkat global di jejaring sosial. Entrepreneur pendiri startup juga tidak kalah ingin dikenal oleh publik dan dianggap sosok sukses dan bisa menjadi panutan.

Sayangnya, tidak banyak entrepreneur sekaligus pendiri startup yang mau bersusah payah untuk memilah-milah jurnalis yang ingin mereka tuju. Mereka biasanya membombardir jurnalis yang mereka telah dapatkan alamat surelnya dengan berbagai pernyataan pers atau semacamnya dengan satu keyakinan:”Siapa tahu mereka mau memuatnya?”

Padahal dalam sudut pandang jurnalis, menerima surel yang tidak dikehendaki secara terus menerus bisa cukup mengganggu produktivitas. Kita bisa bayangkan betapa repotnya memilih puluhan surel yang harus dibuka, dibaca, disortir dan dibalas serta kemudian diolah menjadi berita di kotak masuk (inbox) dalam sehari.

Kesalahan umum yang biasa terjadi ialah entrepreneur dan startup mengirimkan surel pada jurnalis yang memiliki minat dan bidang liputan yang tidak atau kurang sesuai. Misalnya, seorang jurnalis yang bertugas meliput sektor bisnis properti akan merasa terganggu jika dibanjiri dengan surel berisi press release dari perusahaan ritel.

Persoalan akan lebih mudah bagi entrepreneur dan startupnya jika diketahui bahwa si jurnalis memiliki tugas peliputan yang mencakup bidang yang relatif luas. Contohnya, jika seorang jurnalis ditugasi meliput dunia bisnis dan ekonomi secara umum. Tentu pengiriman surel pernyataan pers yang isinya peluncuran produk baru atau pendirian startup baru akan lebih dapat diterima. Namun, sekali lagi tidak semuanya demikian.

Mengapa mengirimkan surel secara membabi buta ke semua jurnalis tidak sepatutnya dilakukan? Karena selain bisa dianggap spamming dan merepotkan jurnalis itu sendiri, entrepreneur juga akan menghabiskan waktu dan tenaganya secara tidak efektif dan efisien. Ibarat berperang dengan peluru terbatas, Anda sudah menghamburkan peluru yang berharga itu dalam waktu beberapa detik. Hematlah peluru-peluru itu dengan membidik lalu menembak musuh dengan cermat dan tepat. Apa artinya 1000 tembakan meleset dibandingkan 1 peluru yang bisa menembus jantung pimpinan musuh?

Lalu apa yang bisa dilakukan agar entrepreneur tidak terjebak dalam permainan spamming ini? Yang pertama dan utama menurut entrepreneur media Jason Calacanis ialah membaca artikel dan konten yang dihasilkan oleh seorang jurnalis. Kemudian setelah itu, ikutilah ide-idenya di blog, jejaring sosial setidaknya selama sebulan. Jadilah pengikut akunnya di Twitter, baca tweet-tweetnya. Bertemanlah dengannya di jejaring sosial Facebook jika memungkinkan. Semua ini perlu sekali dilakukan sebelum Anda memutuskan menghubungi si jurnalis. Mengapa ini penting? Agar Anda bisa paham bagaimana mereka berpikir melalui apa yang mereka katakan dan tuliskan. Seperti yang dikatakan Calacanis, menghubungi jurnalis via surel tanpa mengenal mereka dan apa yang mereka lakukan dalam pekerjaan sungguh “sebuah kegilaan”. Ditegaskan juga oleh Greg Galant (salah satu pendiri Mucrack), bahwa 90% dari jurnalis yang ia survei mengatakan lebih menyukai orang yang menghubungi mereka sudah mengikuti tulisan-tulisan mereka sebelumnya karena dengan begitu mereka tidak cuma sekadar mengirimkan surel tanpa dikehendaki. Ada hubungan yang terjalin dan jurnalis akan lebih yakin bahwa Anda menyisihkan waktu untuk meneliti siapa mereka dan apa yang mereka kerjakan.

Salah Kaprah Semangat “Just Do It!” dalam Bisnis dan Hidup (Ulasan Novel Pendek Kaas)

‎Terlalu seringnya orang menganjurkan kita untuk tak banyak berpikir dan langsung berbuat sesuatu yang nyata membuat mereka kerap mengutip semboyan Nike: “Just Do It!”. ‎Tak banyak orang yang sadar pemikiran asal berbuat seperti itu juga bisa menjadi mata pedang yang melukai diri sendiri.

Saya ingat dengan penuturan seorang entrepreneur, Rama Mamuaya. Pendiri DailySocial.net itu mengajak orang mengkritisi semboyan “Just Do It!”. Karena waktu sungguh berharga, dan jangan membuang waktu hanya untuk melakukan hal-hal tanpa landasan dan analisis yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, yang hanya membuat kita melakukan berbagai kesalahan yang semestinya bisa dihindari. Melakukan sesuatu memang penting tetapi juga harus disertai strategi yang tepat, begitu kira-kira ia berkata. Saya sepakat dengan Rama. Hal ini tidak cuma berlaku di entrepreneurship tetapi juga dalam banyak bidang kehidupan.

Dalam novella terjemahan dari Belanda yang terbit atas bantuan dana Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta) yang berjudul “Keju” (Kaas) , pelajaran yang disuguhkan sang penulis asal Belgia, Willem Elsschot (nama pena dari Alfons de Ridder), sungguh amat mirip dengan apa yang disampaikan Rama tadi. Elsschot memang tidak sempat mengupas lebih dalam mengenai sisi-sisi gelap manusia yang tidak sabar, ingin menempuh jalan pintas, meremehkan masalah dan haus pengakuan dari orang-orang di sekitarnya tetapi ia mampu memberikan teguran atas sifat alami sebagian manusia untuk ingin cepat kaya dengan senjata optimisme semata tanpa diiringi sikap, pola pikir dan mentalitas yang tepat.

Cerita bergulir saat seorang pria Belgia bernama Frans Laarmans ingin mengubah peruntungannya begitu ia mendapat tawaran berbisnis keju Edam (jenis keju yang berbungkus lapisan merah berbentuk mirip roda). Laarmans yang cuma bekerja sebagai kerani (juru ketik dokumen-dokumen perdagangan) di galangan kapal ‎itu memang sudah muak dengan kondisi sosial ekonominya yang stagnan. Begitu masuk ke lingkaran sosial atas yang dipimpin Mijnheer van Schoonbeke, dalam diri Laarmans muncul hasrat ingin dihargai, dan satu-satunya jalan yang terbuka di depannya saat itu adalah menjadi pebisnis keju Edam. Ia ditawari menjadi importir keju Edam dari Belanda dan ditugasi menjualnya ke berbagai pelosok Belgia dan Luksemburg. Untuk itu ia sampai ingin meninggalkan pekerjaan keraninya. Sang istri menolak ide itu. Akhirnya ia merintis bisnis keju secara penuh waktu dengan dalih sakit syaraf. Alhasil, pria beranak dua itu diperbolehkan izin 3 bulan cuti tanpa digaji. Tetapi tak masalah, pikir tokoh utama kita itu karena gaji dan komisinya sebagai importir keju dua kali lipat dari gaji kerani.

Penulis kerap menunjukkan ‎betapa bebal dan tak siapnya si kerani itu menjalani kehidupan sebagai pebisnis keju. Frans tak tahu seluk beluk keju. Bahkan ia tak makan keju yang ia jual. Alasannya karena ia tak suka. Bagaimana seorang pebisnis bisa menggambarkan produknya pada calon pembeli jika ia saja tak suka dan tidak tahu? Dan yang lebih konyol, Frans tak terlalu percaya diri dengan disebut sebagai pedagang keju. Dengan berbagai trik, ia memilih nama perusahaan yang lebih bergengsi daripada hanya sekadar mengatakan berjualan keju Edam yang berkualitas tinggi.

Ego Frans sebagai pebisnis yang masih seumur jagung terus diuji tatkala ia menemui fakta bahwa menjual keju tak semudah yang ia sangka. Telah merekrut sejumlah orang sebagai agen penjual, bisnisnya tak kunjung sukses dalam hitungan pekan dan bulan. Hingga akhirnya sang mitra, Hornstra dari Amsterdam, yang mengiriminya keju Edam 20 ton berencana datang ke rumah yang ia juga pakai sebagai kantor. Frans gentar. Harga dirinya sebagai pimpinan keluarga dan bisnis sudah tercabik-cabik. Ia tak sanggup menghadapi Hornstra dan mengabari bahwa ia menyerahkan semua tanggung jawab penjualan keju tadi kembali pada Hornstra. Hanya sedikit sekali yang berhasil terjual. Itu pun karena upaya anak laki-lakinya yang masih berusia 15 tahun tetapi sudah cakap berbahasa Inggris dan mendapatkan pembeli. Frans sudah tak lagi tahan menjadi pengusaha keju dan memutuskan kembali menjadi kerani. Untung saja ia menuruti nasihat sang istri untuk tidak mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja.

Dalam beberapa kali penuturan, pembaca bisa menemukan kekonyolan Frans yang ingin menjalankankan bisnisnya dengan pola pikir seorang kerani, bukan cara pikir dan kerja seorang pengusaha.‎ Ia misalnya lebih memusingkan kertas dinding, meja kerja dan mesin ketik serta kertas surat berkop resmi Gapfa (begitu nama perusahaannya) daripada bagaimana agar keju 20 ton itu terjual laris secepatnya, menghasilkan untung dan mengembangkan usaha keju itu terus menerus. Jelas pengarang ingin memperolok sang tokoh utama yang demikian bebal karena ia mengira menjual keju adalah perkara mudah, hanya karena asumsi bahwa keju adalah makanan yang selalu dibutuhkan semua orang.

‎Elsschot menggambarkan ironi yang banyak dihadapi orang saat ini meski novella ini diterbitkan tahun 1969. Ironi itu adalah betapa banyaknya orang yang ingin menjadi entrepreneur tetapi belum sadar bahwa mental mereka belum atau bahkan sama sekali tidak dan tidak akan pernah menjadi entrepreneurial. Tak banyak yang bisa menerima bahwa keahlian berwirausaha memang sebuah bakat di dalam diri yang juga harus diiringi kerja ekstra keras, koneksi yang luas dan keberuntungan yang tinggi jika mau sukses. Pesan moralnya mungkin adalah semua orang mau mencicipi atau menangguk nikmat menjadi pengusaha tetapi belum siap dengan sengsara yang harus dijalani sebelumnya. Karena meski kesempatan itu datang menghampiri, kerap kali kita justru belum menyiapkan diri.

DI

Kepercayaan yang sangat besar bermata dua. Ia bisa membuat seseorang melejit karena berhasil mewujudkan amanah orang lain. Atau bisa menjadi batu sandungan yang akan mengakhiri riwayat bukan hanya orang yang menerima kepercayaan tetapi juga si pemberi kepercayaan. Toh kompleksitas kepercayaan ini tidak membuat Dahlan Iskan (selanjutnya disebut DI) menyerah begitu saja. DI tetap yakin dengan memberikan kepercayaan besar pada mereka yang dianggapnya patut menerima tanggung jawab itu, semua akan berjalan baik sebab dirinya bukan manusia super. DI tetap butuh orang lain untuk mendelegasikan tugas-tugas penting menjalankan bisnis atau organisasi yang ia pimpin.

Syaratnya bukan main-main. Si calon penerima kepercayaan mesti memiliki integritas dan antusiasme yang sangat baik. DI mengaku saat menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ia mengangkat seorang direktur utama dengan dua syarat tadi.

DI tidak banyak mempersoalkan mengenai kecerdasan calon tersebut. Logikanya, kata DI, jika seseorang sudah mencapai level setinggi itu (hampir menjadi direktur utama), pastinya ia sangat pintar. Tidak ada signifikansinya untuk mencermati aspek kecerdasan si kandidat.

Integritas seolah seperti sebuah daya pembeda di antara lautan orang cerdas seperti sekarang.

KESEIMBANGAN INTEGRITAS-ANTUSIASME

Antusiasme, yang ia definisikan sebagai keinginan untuk maju, juga memainkan peranan penting dalam menentukan terpilihnya seseorang menjadi pemimpin yang baik dalam kacamata DI. Jika seseorang sudah memiliki integritas yang sudah tidak diragukan lagi, belum tentu ia akan menjadi pimpinan yang ideal. Karena integritas tanpa hasrat membuat kemajuan dalam organisasi hanya akan membuat kemandekan. Apa artinya integritas itu jika ia tidak dilengkapi dengan antusiasme yang bisa ditularkan ke sekelilingnya dalam organisasi tempatnya berada dan bekerja untuk kemudian menggerakkan orang lain dalam mencapai kemajuan?

DI pun mengisahkan seorang direktur utama yang pernah ia berhentikan. Bukan karena dia sudah tertangkap basah atau terbukti dengan meyakinkan melakukan tindakan korupsi, tetapi ‘hanya’ karena dirut itu dianggap tidak kompeten dalam membuat kemajuan dalam organisasi yang dipimpinnya. Ia dikenal jujur, bergaya hidup bersahaja, sangat sederhana untuk ukuran seorang petinggi negara. Ke mana-mana naik angkot, kata DI. Singkat kata, ia memiliki dan menunjukkan standar integritas yang tinggi, jauh dari rekan-rekan sejawatnya.

Saat ia mencopot jabatan si direktur utama yang bersahaja dan jujur luar biasa itu, DI beralasan,”Maaf saya mencopot Anda meski Anda dikenal berintegritas tinggi karena integritas dan kejujuran itu hanya berguna untuk Anda sendiri tetapi tidak bisa memajukan organisasi ini. Bapak hanya ingin masuk surga sendirian, padahal kita mau masuk surga beramai-ramai.”

DI menyoroti bagaimana perlunya menjaga keseimbangan integritas dan antusiasme tersebut. Jangan sampai terjadi ketimpangan dalam diri seorang pemimpin terutama yang bergerak di bidang bisnis dan pemerintahan. Kedua aspek itu sama-sama penting dan dibutuhkan.

Kecemasan DI itu ia kaitkan dengan pemerintahan atau organisasi manapun yang mencoba menampilkan citra kejujuran dan mengabaikan aspek antusiasme. Apakah selain jujur, ia bisa membuat kemajuan nyata? Karena mereka yang jujur tetapi tidak bisa membuat kemajuan – menurut hemat DI – tidak diperlukan di sebuah organisasi. DI yakin masih banyak orang jujur lainnya yang bisa membawa kemajuan dalam organisasi. “Jangan silau dengan seseorang yang secara publik terkenal sangat jujur tetapi belum tentu memiliki keahlian, ketrampilan membuat kemajuan,”jelas DI. Apakah tokoh ini mencoba mengarahkan kritik pada pemerintahan sekarang atau pemerintahan lainnya? Saya tidak bisa gegabah mengartikan pernyataannya tersebut.

PENTINGNYA JADI ORANG TIDAK PENTING

Tidak memiliki jabatan itu penting, ungkap DI. Dengan begitu, kita bisa mengetahui kita bisa hidup atau tidak. Tahapan inilah yang ia sedang lalui.

DI pernah menjadi direktur utama kira-kira 100 perusahaan di Grup Jawa Pos dan sekonyong-konyong DI suatu hari ingin berhenti dari jabatan strategis itu. Tanpa ragu, ia mengumumkan pengunduran dirinya itu.

Namun, itu belum apa-apa karena DI masih menjabat sebagai komisaris utama. Setidaknya selama pengalaman tak menjabat posisi dirut itu, ia merasa baik-baik saja.

DI kemudian mengambil langkah radikal dalam karir bisnisnya. Ia mengundurkan diri juga dari posisi komisaris utama dalam seluruh perusahaan tempat ia terlibat. Ia ingin tahu bagaimana rasanya hidup tanpa jabatan sama sekali.

“Ternyata baik-baik saja, tidak ada masalah karena saya masih meminta satu hal pada Grup Jawa Pos. Silakan mereka melakukan apa saja, angkat siapa saja menjadi apa saja. Saya tidak akan ikut campur lagi, ikut menilai kelayakannya. Beri saya satu kewenangan saja:memberhentikan siapa saja,”DI berceloteh. Alhasil, pengangkatan pun dilakukan dengan lebih cermat karena jika si orang tidak bekerja dengan baik, ia akan diberhentikan langsung oleh DI.

DI harus rehat dari semua aktivitas bisnisnya pasca vonis kanker hati yang hampir merenggut nyawanya. Ia harus menjalani perawatan agar bisa bertahan hidup dengan melakukan transplantasi hati (liver) di Tiongkok selama hampir 2 tahun. Setelah sembuh, ia berjanji akan mengabdikan dirinya untuk hal lain yang lebih besar daripada bisnis dan mencari uang. Kini ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk masyarakat luas melalui entrepreneurship sosial.

Saya sempat ingat kisah DI yang dimuat di Koran Jawa Pos suatu hari di tahun 2009. Saat itu saya sedang istirahat di sela-sela jam mengajar di sebuah kampus swasta di kota asal. Berita di televisi penuh dengan Tragedi Lumpur Lapindo, atau kata ANTV, TV One dan Viva News, Lumpur Sidoarjo.

KEHIDUPAN PASCA MENTERI BUMN

DI merasa pesimis dengan kansnya menduduki jabatan di pemerintahan lagi. Apa pasal? Dirinya tidak memiliki partai, tidak memiliki hubungan dekat apapun dengan poros kekuasaan dari pihak pemenang Pemilu Presiden lalu, dan jabatan Menteri BUMN sangat strategis sehingga banyak sekali diincar orang.

Dua bulan sebelum diumumkannya susunan kabinet pemerintahan Jokowi-JK, DI sudah yakin dirinya tidak terpilih. Dan ia harus memutar otak mengenai bagaimana cara menghabiskan waktunya nanti.

Kualitas kepemimpinan seseorang bukan hanya dilihat dari keinginannya untuk maju bersama orang-orang yang ia pimpin dan ajak kerjasama, tetapi juga dilihat dari bagaimana ia bersikap objektif dan tidak memaksakan kehendak demi kebaikan bersama. Itulah yang persisnya yang dilakukan oleh DI saat ia sadar kemungkinannya bekerja sebagai aparatur negara sudah sangat tipis, dan memang akhirnya ia tidak terpilih.

DI sempat terpikir untuk kembali ke Grup Jawa Pos (GJP). Akan tetapi, sesudah menimbang masak-masak, DI mengurungkan niatnya. Ia memutuskan tidak kembali ke perusahaan yang sudah membesarkan namanya itu. “Karena saya sudah 8 tahun meninggalkan GJP. Omong kosong kalau saya masih tahu detil GJP. Seseorang yang tidak tahu detilnya bisa salah mengambil keputusan.”

Alasan keduanya ialah bahwa DI mengamati perkembangan GJP tanpa dirinya selama sewindu itu lebih pesat daripada masanya dulu. “Berarti sistem di sana (GJP-pen) berjalan, kepemimpinan di sana berjalan, dan segala macam parameter berjalan sesuai harapan,”ia mengatakan. Bila ia kembali ke GJP, DI ragu dirinya akan bisa bekerja tanpa merusak sistem dan tatanan yang sudah ada dan berjalan baik itu. Kebesaran hati semacam inilah yang perlu dimiliki banyak pemimpin kita. Keluasan pemikiran yang membuat kita tidak menjadi gila kekuasaan.

“Hatching Twitter”: Dinamika Startup dalam Balutan Sastrawi

Jurnalis dan kolumnis New York Times Nick Bilton bisa dikatakan berhasil menciptakan sebuah biografi yang menarik. Hanya saja, karyanya yang satu ini bukan biografi yang membahas mengenai kehidupan satu individu. Bilton menuliskan Hatching Twitter, sebuah rentetan sejarah startup legendaris yang kerap disebut bersamaan dengan Facebook sebagai dua penguasa besar dunia jejaring sosial di dekade kedua abad ke-21. Ia menuliskan secara runut dinamika Twitter yang sebagaimana startup lainnya juga mengalami banyak momen-momen dramatis. Riwayat Facebook telah diprofilkan dalam film “The Social Network”. Sayangnya, Twitter belum. Namun, siapa tahu ada rumah produksi yang tertarik mengadaptasi karya Nick Bilton ini menjadi sebuah karya sinematografi yang elok dan sedap dihayati?

Entah disengaja atau tidak, Nick Bilton menurut pandangan saya sudah menggunakan metode penulisan yang berhasil membuat naskahnya menjadi lebih filmis, alias layak dijadikan sebagai film. ‎Di sini, ia mengabaikan aspek-aspek kaku yang biasa dijumpai dalam dunia entrepreneurship dan bisnis. Anda sama sekali tidak akan menemukan kosakata khas keuangan seperti IPO, saham, atau sebagainya. Dengan begitu, tidak berlebihan kalau saya katakan buku ini bisa dikonsumsi siapa saja, tanpa membuat dahi berkerut, tanpa harus mencari kata yang asing di Google, tanpa harus merujuk glosarium. Singkat kata, Bilton meramu perjalanan Twitter hingga menjadi seperti sekarang agar mudah dicerna masyarakat awam, anak-anak sekolah dasar yang sudah bisa membaca sekalipun.

Pertama kali membaca, saya sudah bersiap untuk berpikir memahami kalimat-kalimatnya yang teknis dan pelik. Setelah banyak membaca artikel-artikel panjang di blog-blog teknologi dan startup seperti TechCrunch, Gizmodo, Pando, dan Recode‎ yang kadang tidak jelas konteksnya, saya merasa lebih nyaman membaca penuturan Bilton yang sangat sastrawi.

Jelas Bilton menanggalkan gaya bertutur seorang kolumnis dan jurnalis, serta mengadopsi gaya storytelling yang membuat alur dalam buku ini terkesan mengalir seperti aliran air. Karena menulis tentang Twitter, Bilton juga menggunakan jargon khas jejaring sosial itu. Dalam judul dan sub-judulnya, Bilton menuliskan tagar (hashtag) seperti #START untuk menandai bab pengantar yang berisi penjelasan kondisi Twitter tanggal 4 Oktober 2010 pukul 10.43 pagi. Terdepaknya CEO Evan Williams diceritakan di sini. Detil-detil remeh yang sebelumnya hanya diketahui pihak internal Twitter‎ kini terkuak dan justru menjadi kekuatan dari kisah itu karena Anda para pembaca bisa merasakan gejolak emosi para pelaku dalam kisah nyata itu. Misalnya, Anda bisa menemukan detil menarik di bab #START, saat Evan Williams merasa mual dan ingin muntah setelah “ditendang” dari kursi CEO dalam sebuah kudeta di ruang rapat direksi Twitter yang “berdarah”. Istrinya Sara yang juga bekerja di sana menghampiri Evan yang memiliki akun @ev dan bertanya,”Bagaimana perasaanmu?” Evan menjawab,”Sial (Fuck).” Ia harus mengumumkan pengunduran dirinya itu sembari memperkenalkan seorang suksesor, Dick Costolo.

Saya suka dengan gaya penulisan seperti ini. Sangat GQ. Maksud saya, mirip dengan gaya menulis para jurnalis Majalah GQ. Tulisan mereka berdasarkan fakta, bernilai jurnalistik, tetapi memiliki nilai sastrawi yang tinggi. Penuturannya lewat perspektif orang pertama. Di buku ini, sudut pandang orang ketiga tunggal dipakai agar penulis lebih bebas merangkai potongan-potongan kisah yang ia dapatkan dari “beberapa ratus jam wawancara dengan para pegawai dan eksekutif Twitter dan Odeo dan teman eksekutif, pejabat pemerintah, diskusi dengan hampir semua orang yang namanya disebut di dalam buku serta para pesaing mereka‎.” Jadi bisa dibayangkan betapa keras kerja Bilton mengumpulkan fakta dan informasi yang terekam dalam berbagai email internal, rekaman wawancara dan tentu saja data di jejaring sosial Twitter. Ia mengklaim telah memastikan kebenaran tempat, waktu terjadinya kejadian dengan melacaknya di Twitter.

Hatching Twitter cocok untuk Anda yang ingin membaca sesuatu yang bermakna tanpa harus banyak berpikir keras mengenai bisnis dan entrepreneurship. Anda akan dimanjakan dengan penuturan sisi-sisi humanis para entrepreneur ini, yang tentunya jarang dibeberkan di tulisan para jurnalis teknologi yang biasa menyorot angka dan data, untung dan rugi, tren dan pelemahan, dan hal-hal lain yang sangat jurnalistik.

Membaca buku ini membuat saya juga ingin bertanya,”Siapa yang perjalanan startupnya mau saya tulis jadi buku ya?” Seandainya ada yang bersedia.

Anne Avanti tentang Ibu sebagai Motivatornya Berkarya dalam Entrepreneurship

“Pendidikan terakhir saya hanya SMP. Jadi saya tidak tahu komputer itu apa dan bagaimana. Saya juga tidak bisa berpura-pura mengerti di depan orang lain.

Sebagai seorang Anne Avanti yang sederhana, saya ingin menceritakan kisah saya bukan karena saya pandai tetapi saya ingin membongkar bagaimana saya menjadi seorang entrepreneur.

Menjadi seorang perempuan merupakan masalah takdir tetapi menjadi perempuan yang baik adalah sebuah pilihan. Namun, pada saat itu saya tidak memiliki pilihan apapun. Karena saya merasa ibu saya, ia diadopsi dari 24 bersaudara, kemudian menikah dan saya berasal dari keluarga yang bercerai (broken home).

Dan dari keluarga yang seperti itu, lahirlah anak-anak dengan luka batin. Kami adalah anak-anak yang tidak memiliki sesuatu yang pasti dalam kehidupan. Oleh karena itu, kami tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan alat. Apalagi bisa sekolah ke luar negeri! Itu mustahil untuk saya.

Saat saya mengalami keterpurukan, ibu saya adalah guru saya. Motivator dan inspirasi bagi hidup saya. Saya merasa tidak ada guru yang tersempurna dalam hidup ini selain ibu saya. Saat saya menerima apapun, ibu saya menjadi orang pertama yang menerima kebahagiaan dari saya.

Dulu saya tidak pernah berpikir bahwa talenta desain akan menyelamatkan hidup saya. Selama 25 tahun saya sudah berkarya sebagai desainer fashion, dan saya menemukan bahwa bukan sekolah kita, tetapi bakat-lah yang menyelamatkan hidup saya.

Saat masih belia, saya hanya sampai di kelas dua sekolah menengah Loyola College, dari SMP Regina Pacis dan saya tidak pernah mengikuti almamater apapun juga karena saya tidak pernah menyelesaikan bangku sekolah.

Bahasa Inggris saya juga tidak terlalu baik. Dan kalau saya diundang untuk berbicara, saya tidak pernah malu menggunakan jasa penerjemah. Saya merasa inilah Anne Avanti yang utuh, seorang perempuan yang utuh yang tidak mengeluhkan siapa saya.

Saya tidak hanya terpuruk dalam bidang akademis. Kehidupan rumah tangga saya juga terpuruk. Namun, saya bersyukur sudah bersama dengan pasangan saya selama 24 tahun. Kami memiliki 3 anak dan 2 orang cucu.
Dengan begitu banyak keterpurukan dalam hidup saya, saya tidak menyangka hidup saya akan menjadi seperti sekarang.

Jadi saat saya disuruh memiliki mimpi, saya berkata,”Saya tidak bisa karena impian membutuhkan alat dan sarana. Dan apa yang bisa saya impikan sebagai anak yang hanya lulus SMP?”

Saat itu, pikiran saya melayang pada satu peristiwa dan saya berkata:”Kalau ingin menjadi orang sukses, lihat siapa yang kita kagumi.” Saat itu saya tidak memiliki sosok lain yang saya kagumi selain ibu. Karenanya, ibu selalu menjadi guru saya. Meskipun saya tidak bisa membuat pola, tidak menguasai “cutting”, saya memiliki energi yang luar biasa. Ibu saya berkata,”Percaya diri!” Dan saya berupaya tampil sebagai orang yang percaya diri.

Akhirnya, ketika saya di bangku sekolah, saat berjabat tangan dengan teman, teman saya berkata mereka sekolah di Boston, di tempat-tempat asing, saya hanya menjual senyum saya. Karena tidak ada satupun yang bisa saya sombongkan, yang bisa saya “jual”.

Bahkan saat anak saya yang sulung di kelas dua SMA, saya berkata padanya saya sudah memiliki dana dan ingin bersalaman dengan orang yang bertanya,”Anakmu sekolah di mana?” Saya ingin menjawab sekolah yang jauh, entah itu Amerika atau Jepang.

Tetapi malah anak saya memutuskan untuk pindah ke SMKK. Dia berkata,”Bunda, ini bukan dunia saya. Dunia saya itu dunia jahit menjahit seperti Bunda.”

Mengetahui keinginannya itu, saya berdoa pada Tuhan dan akhirnya anak sulung saya pindah ke SMKK.

Oleh karenanya, saat saya ditanya,”Putrinya sekolah di mana?”, saya hanya menjawab sekenanya.

Anak saya yang kedua Ernest yang seorang chef saat duduk di kelas dua SMA mengatakan pada saya,”Bunda, saya mau meninggalkan sekolah. Saya mau sekolah masak.” Akhirnya anak saya yang kedua juga lepas sekolah juga.

Dan anak saya sekarang yang ketiga, saya berpesan padanya,”Bunda hanya ingin melihat ijazah SMA-mu.”

Hal yang aneh adalah meskipun karya-karya saya dipakai wanita-wanita di luar negeri dan memiliki banyak uang, saya tetap tidak bisa ke mana-mana. Saya memiliki fobia terhadap ketinggian sehingga tidak bisa naik pesawat terbang. Tetapi saat saya akhirnya terbang dengan Garuda setelah bertahun-tahun belum pernah naik, saya menemukan foto saya terpajang di dalam majalahnya. Saya bersyukur pada Tuhan atas itu.

Begitu banyak hal yang terjadi yang membuat saya tetap sebagai Anne Avanti yang seperti dulu. Bukan siapa-siapa. Bahkan saat saya menjadi penerima penghargaan entrepreneurship Ernst & Young 2011, saya kaget dan tidak tahu. Entrepreneur itu maksudnya apa?

Dan saya merasa bahwa saat saya telah diberkati, saya harus juga memberkati. Saya membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Saya tulis besar-besar di depan rumah saya:”MENERIMA TENAGA KERJA TANPA IJAZAH”. Setiap hari orang berdatangan luar biasa! Karena saya merasa saya pernah tidak memiliki kesempatan sehingga saya ingin membuka kesempatan bagi ratusan oran. Hingga saat ini saya membawahi 12 perusahaan.

Dari sebuah talenta yang sederhana, keyakinan yang kuat, saya katakan bahwa sebelah kanan sisi tubuh saya adalah nilai jual. Begitu banyak brand ambassador yang harus saya perankan dan saya difoto dari sisi kanan.

Saya tidak bisa mengatakan bagaimana menjadi wirausaha tetapi yang saya ketahui wirausaha adalah jiwa, yang membangkitkan kepercayaan seseorang bahwa talenta bisa menyelamatkan hidup kita. Kita juga tidak akan ada artinya jika kita berkarya untuk memperkaya diri sendiri. Artinya membuka lapangan kerja. Apapun yang saya terima saat ini, jatah hidup saya, saya bagikan lagi kepada banyak orang.

Saya juga diundang ke sana kemari, saya jalani sebagai ucapan terima kasih atas karunia Tuhan yang sudah menyelamatkan hidup saya, seorang manusia biasa tetapi bisa bergerak maju menjadi pemimpin bagi banyak orang.

Saya sangat beruntung bisa berkarya dengan hanya berbekal sebuah jarum dan benang.” (*/Akhlis)

Two Things Foreign Entrepreneurs Complain Most About Indonesia

“To build business in Indonesia is actually really good,”said he. Steven Kim of Qraved.com claims the reason is because Indonesians are familiar with English. This is considered a plus. Language barrier is minimum. It’s also network-oriented. “When I worked for Zalora Singapore, it was very tough because there were additional problems I had to solve.”

Indonesia, however, needs to fix these two things: INTERNET and TRAFFIC. The Internet speed is miserable, I should say. No service provider can solve it by consistently doing great at every place. On and off Internet connection, there’s nothing more pissing avid Internet users off than that. Even wi-fi connection doesn’t really provide satisfactory speed you’ve always wanted. But if you’re used to super fast Internet such as one in Korea just like Mr. Kim, of course it’s understood you’d whine over the speed here.

Meanwhile, the traffic issue especially holds true in Jakarta. Painfully clogged and chaotically managed. Needless to say. And it takes more years to untangle the mess because it’s the accumulation of problems spanning for decades.

Steven Kim on Qraved and His Craving for Entrepreneurial Challenges

Korean Wave is now in the culinary industry as well. Steven Kim is the CEO and co-founder at Qraved, Managing Partner at Imaginato who happened to be on stage at Global Entrepreneurship Week Summit Indonesia yesterday (21/11). Here’s the excerpt of our conversation for you. It’s the uncut version of our brief interview after his performance on Talkathon at the end of the event. I’m AP (Akhlis Purnomo) and Steven Kim is SK.

AP: So what startup are you running now?

SK: Currently running Qraved.com,  it’s a restaurant discovery reservation platform. Both are mobile apps on Android and iOS and web as well. We just launched our new iOS app so we’re quite excited about the different design and different features we have now.

AP:How does it work?

SK: So recently why we use our Qraved is one, I wanna know where to go to eat..to have dinner.. various different occasions, right? So either you discover, you find it by occasions, or you find about different types of restaurants. So ramen restaurants, barbeque places, Chinese flavor, or let’s say, I just wanna get an offer. That scenario you can actually just find restaurants that have offers. The offers are just very similar to Agoda offers, so depending on the day or time, the offer inventory changes. It’s only limited number of people that can get discounts so …and you have to book. That’s why if you plan to  …more and more Indonesians now are using our platform..yes everyboody used to be last minute. Everybody like “Oh Friday dinner, where should we go?” and book it right away like 2 hours in advance. Because of more and more discounts coming in, people actually book a bit earlier to secure that discount.

AP: So it’s like Groupon but in culinary industry or…?

SK: It’s different to Groupon in a few different ways. So …One, to the restaurants, our merchants..Hmm we’re actually just filling the empty tables they have anyway so similiar to hotel industry, right? So hmm, Friday Saturday dinners, this is easy but Sunday to Thursday dinners, like you have 10 to 15 empty tables. So it’s gonna be empty unless there’s something to assist it. So actually we’re helping restaurants to make more money. Whereas Groupon is just a marketing platform. So the discount itself is almost like a marketing expense, our situation is actually more yield management where restaurants actually make more money.

AP: How did you get the idea?

SK: Well, uhmm, one of the things ..when I came to Indonesia about 3 years ago, I was looking for restaurants because I’m a foodie and searched for different things. Back then the only two platforms existed was Sendok Garpu and …. (I can’t hear it perfectly -AP). I searched for Italian, I got Pizza Hut. And I’d say for burger and I got Burger King. So basically I wasn’t able to find this kind of unique..like specialty restaurants or a certain topic. And the biggest reason is because of the incentive of people to write reviews. It’s the mess of 18..19 writing reviews because they’ll get something free. That’s why ..I meant fastfood becomes the most popular thing. But actually I mean ..if you’re a culinary person, which I think a lot of Indonesian are now especially more on Instagram and Path. Now food and dining out is almost like ..it’s a lifestyle, it’s not only about dining. You take a picture, you are dressed up and post it up and that kind of stuff. So that good platform didn’t exist and that’s why …OK, how we make something that for people to look for something specific depending on the situation, depending on the dish, depending on the cuisine, they wanna try something new, or hmm.. yeah they just wanna find different places. What we’re trying to do is provide different experience, just better. Really making it easy to find different things and that’s why our value proposition is different things, so discovery of different types of offer, set menu and so on, super easy resevations, so like if you’re going out in big groups or you’re going out on a date, you want that window seat, because there’s only one or two window seat but you want your date to be at that good spot, you need to make resevations, but beforehand you have to make a phone call, so yeah OK we’ll see if we can get that window seat when we get there but now you don’t have to do that. Now you can just easily put it “window seat” in the reservation and it’s done. More and more people are using it. Specifically like this (Steven showed me his app on the phone) and you see the more you book and dine, you also get reward points, whch can be redeemed later on to get discounts as well. Ten times of you book and dine, it goes up to 1000 points which means 100K. If you get 2000 which uses 20 times, it becomes 500K. 30 times you’ll get 400K Rupiahs deduction. So let’s say nobody has to reserve, true, fine…if you just use it to track your dining behavior then you’re getting just more and more possible to get discounts in the future.

AP: Does the service also work in other cities aside from Jakarta?
SK: Right now we’re in Jakarta. We’re launching in Bali. next month. We plan to launch in Bandung, Surabaya and afterwards Yogyakarta, Medan, all in the next few months.

AP: You’re travelling around Indonesia?
SK: I am going quite a bit, my team is also …We currently have 30 people in Jakarta. Our office is in City Loft since November 2013. Before that we were in Menteng.

AP: How old is the startup (Qraved) now?
SK: One year now.

AP: Who’s the investor?
SK: We have 500 Startups, SIlicon Valley investor, Skype cofounder, a Japanese investor. We’re already in A Round.

AP: Any plan to expand to other countries?
SK: Sure, the reason why we choose Indonesia, apart from the market opportunity and everything else, is when I started Zalora in Singapore and then I went to Thailand to help build the business there, the operations there, there’re so many different problems. So what we can think is OK.. To develop in a location, you can’t expand easily. It’s very difficult, you have to change so many things. We have to start in Indonesia and go to Singapore even Bangkok and others, we’ve gone through a lot of different challenges that we’ve overcome, whether it be products or processes or whatever ..yeah I think it’s a good launchpad.

AP: That means Indonesia is a key market to your startup?
SK: I think it’s a great foundation because it’s challenging. At the end of the day, there’s a lot of challenges but that means there’s a lot of opportunity. I think when it comes to foreigners, like..this is my business, there’re more businesses coming into Indonesia. We started in here but some are concerned to start in amarket very early but for me, me being Korean and experiencing how Korea developed or seeing how Japan and China  developed, I think we’re in Indonesia right now because all the communication is now super super high. Social media penetration, Path, Instagram, going nuts, mobile…Internet penetration going crazy…Xiaomi coming in. The communication is being fixed. So now companies need to figure out what services we could put on that. And what we’re doing is putting F and B as a service on top of this communication platform that exists already.

AP: Is it difficult to set up a business in Indonesia?
SK: I think it is very difficult. Honestly…In every market it’s important to have a good local team and local partners and Indonesia makes that as well. It’s very important that you have local insights. I wouldn’t say it’s the hardest because I think Indonesians are amazing in the sense of English level, their acceptance of global services, curiosity on something new. These elements are already here. The biggest challenge of Indonesia in the way…and this is why this kind of event (GEW) is important…the younger people are not really leaping to embrace this opportunity. I think there’re lots people who go to corporate world. And I think that’s a bad decision because really when you’re younger, that’s when you can actually do a startup and experience it hardcore and try to build your individual division, or department or team and be like to grow it and work hard to make that happen. Let’s say you do it for a year and “OK, this is not for me”, still you can go back to corporate jobs. So I think young people in Indonesia have to really much more jump into entrepreneurship. They don’t necessarily start themselves, being a contributor to big visions of startup like Qraved.
I’m always looking for talents, looking for anybody who really is alligned with this type of vision, that Indonesia is a cool market and we’re building like one of the biggest in Indonesia. I’m always interested in people who share same visions.

AP: Is it that hard to recruit talents in Indonesia?
SK: IT think it’s more challenging than other locations, not because… there’s good talent but the supply and demand right now, there’s definitely more demand of talent than actually the supply. Also secondly, a lot of smart people currently in corporate jobs. They’re very good but they’re not looking for jobs so they’re comfortable. They’re not looking for more yet. When it comes to hiring, it’s easier in the market where people are genuinely thinking:”How do I improve my life?” But there’s still like..”Oh, I’m comfortable. I just wanna be here.” Kind of a bad attitude as well.

AP: Is it your first startup?
SK: It’s my fourth. I was with Rocket Internet before this, so I started a travel accomodation site like AirBnB,  Windu (2011), So I built up Asia Pacific and then I started Zalora Singapore. Up to 50 employees in six months and …then I came over to start in Indonesia at a B2B office supplies company and then I left about a year and a half year ago to start Qraved.

AP: Indonesia has recently a new government. Is there any expectation as a businessman or entrepreneur?
SK: Yeah, there’re some policies being announced that show positive trends in the business persepective. Obviously, the execution itself would be very important. Some are positive like the government’s plan to invest billions of dollars. The subsidy situation and it’s interesting that some don’t go nuts about this. There’re a lot of positive indicators. The momentum is what we believe in. And hopefully their execution of this policy is going to the right direction.

AP: Can Indonesia build a better entrepreneurship ecosystem just like Korea?

SK: To a certain extent, yes. It’s really depending on how you define an ecosystem like how you define entrepreneurship. Just because you’re trying to enhance entrepreneurship, it doesn’t mean “Oh, everybody! Start your own business!”. You can be entrepreneurial with an organization, being a part of companies especially if you’re early on in your career, it makes a lot of sense to do that so that you get the experience first and then when you’re actually ready, you can do it yourself. You have a lot of knowledge, network of people, have different pieces together. When it comes to ecosystem, Indonesia…hmm it’s getting there. This kind of platform and companies… A lot of bigger companies should be more supportive. We wanna hire more people as well. It’s always great to have people to build up that kind of profile.

Startup

“Indonesian startup world s*cks,”celetuk teman saya petang kemarin. Saya tidak kaget. Ia seorang ‘salary man’, tipikal ‘corporate guy’ yang kurang tahu menahu dengan perkembangan startup di Indonesia. Namun demikian, ia memiliki sejumlah pemikiran yang menurut saya cukup menarik karena dan saya sepakat dengannya dalam sejumlah poin.

Pertama, ia berkata bahwa startup Indonesia masih belum menjanjikan. “Siapa yang mau beli?” Saya mencoba menyangkalnya. Tentu saja ada. Sejumlah investor asing tidak segan mencari dan menjadi penanam modal bagi para entrepreneur dan startup yang kehausan modal. Saya sepakat dengannya. Kecuali beberapa kisah ‘sukses’ seperti Koprol (yang pada akhirnya juga layu karena dijual lalu dilepaskan Yahoo!) atau Kaskus yang akhirnya diakuisisi Djarum, rasanya sukar menemukan sukses serupa. Akan tambah sakit hati kalau kita membandingkan dengan kondisi startup di negeri lain. Memang benar, startup Indonesia masih banyak yang ‘copycat’, meniru dari Barat lalu menerapkannya di sini, entah itu disesuaikan atau tidak dengan budaya dan pemikiran lokal tidak terlalu menjadi prioritas. Asal membuahkan laba!

Kedua, masih banyak kisah ‘sukses’ ini yang membual, kurang transparan dan kurang lengkap memberikan perjuangan mereka pada pers. Setahu saya, memang masih sukar menemukan iklim keterbukaan di startup lokal. Nilai akuisisi Koprol oleh Yahoo!, misalnya, sepengetahuan saya belum pernah dipublikasikan. Ini sangat mengecewakan. Padahal jika dipublikasikan pada khalayak, bisa jadi akan menjadi pendorong pertumbuhan ekosistem entrepreneurship di negeri ini. Kita jadi tahu seberapa besar potensi itu jika divaluasi oleh investor atau pelaku bisnis dari luar. Tetapi karena selama ini ditutupi, kita tidak bisa memastikannya dan terus meraba-raba sembari mengkhayal menjadi sebesar eBay, PayPal, dan sebagainya. Dan karena mereka tidak banyak mengungkap kisah gagal mereka, rasanya juga startup mereka kurang realistis. Hal itu juga karena pers Indonesia tidak terlalu tertarik menulis kisah gagal dan seluk beluk startup. Buat apa menulis kegagalan? Publik lebih suka dimanjakan dengan prospek cerah bisnis X, atau potensi laba bisnis Y. Mereka kurang suka menghadapi kenyataan pahit bahwa startup bisa membuat entrepreneur bangkrut, menderita lahir batin, atau stres berat layaknya calon legislatif yang harus menanggung kekalahan di pemilu lalu padahal modal sudah habis-habisan, kampanye tidak kenal lelah di mana-mana.

Semua itu memang kenyataannya begitu, setidaknya dalam persektif kami. Ditambah lagi dengan kurang mendukungnya ekosistem usaha, tampaknya makin bertambah saja tantangan yang harus dihadapi entrepreneur Indonesia. Entrepreneur kita merasa kurang didukung oleh pemerintah, yang aturan mainnya dirasa memberatkan startup untuk muncul dan berkembang. Padahal katanya menteri kita sudah pernah berkunjung ke Silicon Valley. Lalu apa yang sebenarnya mereka pelajari dari sana? Tidak ada!

Semoga di pemerintahan baru nanti Menteri Koperasi dan UKM baru yang dipimpin Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga bisa melakukan gebrakan positif yang akan mendorong pertumbuhan startup Indonesia dan ekosistem usaha pada umumnya.

Karena kita sudah muak dengan janji-janji dan retorika serta program-program yang tidak tentu arahnya…

(Image credit: http://www.rmol.co/read/2014/10/29/177712/Sertijab-Menkop-UKM-)

Kisah Mahasiswa Indonesia Ikut dalam TechCrunch Disrupt Hackathon London

Inilah mengapa jurnalis perlu lebih banyak menggunakan jejaring sosial dalam bekerja. Saat mengumpulkan sumber berita menjadi makin mudah berkat teknologi, jurnalis perlu membuka diri pada berbagai materi yang berpotensi menjadi sumber dan bahan berita yang berkualitas di dunia social media.

Seperti yang tak sengaja saya lakukan sore itu (21/10), saat saya iseng menelusuri linimasa Twitter saya dan menemukan akun Robin Malau, seorang pemerhati dan praktisi entrepreneurship dan teknologi, yang menyebutkan (mention) akun seseorang yang kata Robin adalah satu-satunya orang Indonesia yang ikut serta dalam ajang TechCrunch Disrupt London.

Saya tak menunda lagi untuk menghubungi orang yang ada di balik akun @adhiwie itu. Betul, ia orang Indonesia. Tepatnya mahasiswa Indonesia. Kami bertukar alamat surel dan dari sana, sebuah wawancara jarak jauh saya lakukan.

Nama lengkapnya Adhi Wicaksono, seorang mahasiswa Master di University of Birmingham, Inggris. Pada saya ia mengatakan menuntut ilmu di bidang Human-Computer Interaction (interaksi komputer-manusia) yang saya sendiri tak memiliki bayangan sedikitpun mengenai mata kuliahnya. Adhi mengaku ia satu-satunya orang Indonesia yang ikut dalam TechCrunch Disrupt 2014 di London. Dan jika saya boleh katakan – mohon koreksi jika saya salah – sepengetahuan saya Adhi-lah WNI pertama yang ada di ajang TechCrunch Disrupt sebagai peserta. Adhie sendiri mengaku tidak menjumpai peserta lain yang berasal dari Indonesia.

Bagi Anda yang masih asing dengan nama “TechCrunch Disrupt”, dapat saya jelaskan bahwa acara tersebut mirip dengan sebuah ajang tahunan yang bergengsi di dunia startup. Di acara konferensi tahunan yang diselenggarakan oleh blog teknologi dan startup asal San Fransisco “TechCrunch” tersebut yang berlangsung di sejumlah kota besar di dunia ini, para entrepreneur, programmer, peretas (hackers) mendapatkan kesempatan yang sama untuk meluncurkan produk dan layanan mereka. Nantinya akan dipilih para pemenang dari semua startup yang hadir dan ikut serta yang akan dipertemukan dengan sejumlah investor potensial, pers, dan pihak-pihak lain yang memiliki minat dan kepentingan. Ajang seperti ini sungguh dinantikan oleh entrepreneur dan startup yang masih ‘hijau’ demi melambungkan nama startup dan produk mereka ke kancah dunia. Jika menang, blog techCrunch akan memuat mereka dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka tersohor di mana-mana mengingat pengaruh media TechCrunch yang begitu luas dan masif. Tempat pelaksanaan mereka sebelumnya ada di San Fransisco, New York City , dan Beijing (yang digagas oleh Sarah Lacy pendiri Pando.com) dan kini juga merambah Eropa.

Keikutsertaannya dalam hackathon ini berawal saat Adhi ingin tahu bagaimana rasanya ikut ajang serupa di tanah asing. “Saya ikut hackathon karena penasaran,”terangnya via surel. Apalagi penyelenggaranya media sebesar TechCrunch. Namun, ini bukan pengalaman pertamanya ikut hackathon. Sebelumnya, Adhi sudah beberapa kali ikut ajang yang bertema hackathon di Indonesia.

Adhi tidak berjuang sendirian di sana. Ia bergabung dalam tim Seeusoon, sebuah aplikasi yang bermisi memudahkan pasangan/ kekasih untuk bertemu jika berada di kota yang sama. Aplikasi ini juga memudahkan orang membeli tiket secara langsung. “Di hackathon, saya bergabung dengan tim Seeusoon yang berumlah 5 orang (termasuk saya) dan mereka semua berasal dari Spanyol.” Dalam tim, Adhi berperan penting sebagai desainer pengalaman pengguna (user experience designer) dan antarmuka pengguna (user interface).

Para pemenang dihasilkan dari penilaian dari dewan juri yang kredibel di bidangnya, yaitu Camille Baldock (software engineer), Eric Brotto (Partner dan Spesialis Program untuk Startupbootcamp, Global Facilitator untuk Startup Weekend), Claudia De Antoni (investor Virgin Management), Tak Lo (Direktur TechStars, mentor startup), dan Melinda Seckington (pengembang platform Future Learn).

Istilah hackathon merupakan kata portmanteau dari “hack” (retas) dan “marathon” (lari marathon). Kata “hack” di sini bukan berarti meretas dalam arti negatif tetapi menciptakan suatu solusi teknologi bagi masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sebuah definisi tentang “hack” yang menurut Steve Wozniak bernuansa positif di awal ia bekerja bersama mendiang Steve Jobs membuat produk Apple. Para peserta akan diberikan waktu yang terbatas (biasanya semalam suntuk) untuk menghasilkan solusi tadi dari nol. Karena itulah peserta harus bekerja keras dan cepat agar solusi itu bisa dihasilkan dalam wujud yang nyata dalam bentuk purwarupa (prototype) yang bisa dipakai di presentasi yang akan dilakukan di akhir acara. Sesuai dengan kata “marathon”, hackathon akan dilakukan tanpa jeda.

Berlatar belakang sebagai pekerja lepas di sektor industri kreatif, Adhi piawai dalam bidang desain web dan pengembangannya, antarmuka pengguna dan desain pengalaman pengguna serta sejumlah proyek sampingan lainnya.

Saya tanya apa keuntungannya mengikuti ajang semacam ini, Adhi menjawab,”Pengalaman yang saya dapatkan luar biasa karena saya bisa melakukan networking (berjejaring, membangun koneksi bisnis -pen) dengan orang-orang dari bermacam-macam negara dan merasakan atmosfer yang luar biasa karena ini ajang kaliber dunia.”

Menurut Adhi, ekosistem teknologi di luar negeri sudah sangat maju sehingga banyak produk yang tidak hanya mandek sebagai barang pameran tetapi juga bisa digunakan dalam aktivitas manusia sehari-hari. “Saya harap ekosistem teknologi Indonesia juga bisa lebih maju dan saya sangat senang dengan perkembangan saat ini,”tukasnya.

Setelah ikut serta dalam berbagai hackathon, rasanya tidak berlebihan jika Adhi dimintai resep sukses menjadi pemenang hackathon. Ia berpendapat ide-ide simpel tetapi berguna, tampilan yang mudah dipahami, dan bisa dipakai semua orang dengan mudah akan lebih berpeluang untuk terpilih. Resepnya terbukti jitu karena Seeusoon berhasil memenangkan posisi juara ketiga (second runner-up) dalam hackathon ini.

Sebagai pertanyaan pamungkas, saya ingin tahu apakah Adhi memiliki saran bagi pemerintahan baru agar dunia kreatif, startup dan entrepreneurship digital tanah air makin berkembang. Ia menerangkan panjang lebar dengan antusias, bahwa pemerintahan baru harus ikut berperan aktif dalam pengembangan ekosistem tersebut. “Terlebih Indonesia saat ini telah mempunyai open data di http://data.id sehingga semua orang bisa ikut berperan,”ia menuturkan. Dari open data itu, akan bisa dihasilkan berbagai aplikasi digital yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah sehari-hari seperti pengurusan izin usaha, pemantauan anggaran pemerintahan, dan sebagainya. Ini semua, menurut Adhi, akan memuluskan gerakan open government dan e-government di negeri kita tercinta.