#DeleteInstagram: Saat Instagram Menjadi ‘Titisan’ Facebook

“If you are not willing to see your company or your vision gets degraded at least a little bit, don’t sell your company. That’s the truth.”- Alexia Tsotsis (jurnalis teknologi dan mantan editor blog TechCrunch.com)

facebook application icon
Instagram berisiko kehilangan para pengguna setianya jika makin mirip menjadi Facebook. (Foto oleh Pixabay di Pexels.com)

Setelah skandal Cambridge Analytica beberapa waktu lalu, saya menanggalkan status saya sebagai pengguna Facebook. Saya hapus akun dan tidak berniat untuk mengunggah data pribadi apapun saya lagi di sana. Dan karena sesekali memang ada desakan dari pekerjaan agar saya menggunakan Facebook, saya kemudian ‘terpaksa’ membuat satu akun baru namun begitu kewajiban profesional itu usai, saya tak berniat berkegiatan lagi di Facebook sebagaimana yang dulu saya rasakan di tahun 2008.

Seorang teman mengkritik saya sebagai orang yang kaku. Kalau saya tidak mau ketinggalan, saya harus mau terjun kembali ke Facebook (meskipun media sosial bukan cuma Facebook tapi kenyataannya dominasi Facebook memang sudah tak terbendung lagi di dunia). Tetapi bagaimanapun lemahnya kekuatan saya sebagai seorang pengguna/ konsumen, saya mesti menunjukkan sikap. Dan saya memang agak kurang ‘sreg’ dengan makin dominannya Facebook di seluruh dunia.

Dengan meninggalkan Facebook, saya mencoba beralih ke layanan media sosial lainnya seperti Twitter. Sayangnya, di Twitter kesenangan untuk menulis panjang layaknya di Facebook tak begitu bisa terakomodasi meskipun batasan karakternya sudah dikendurkan juga sebetulnya.

Lalu juga LinkedIn. Di jejaring profesional ini, tentunya hampir semuanya berbau pekerjaan. Dan memang sudah semestinya LinkedIn demikian. Sesekali saya risih juga saat menyaksikan sesama teman di LinkedIn yang mengunggah konten yang kurang profesional dan terlalu pribadi, kurang edukatif dan informatif. Bahkan ada juga yang terlalu relijius dan politis. Saya merasakan adanya perlawanan massal di LinkedIn bahwa pengguna tidak diperbolehkan menggunakannya layaknya Facebook. Kalau mau liar atau norak atau julid, lakukan saja di Facebook! Begitu kasarnya. Saya sendiri juga sangat antipati terhadap penggunaan LinkedIn selain untuk sarana berjejaring yang beradab bagi kaum profesional global.

Kemudian Instagram. Baik sebelum dan sesudah diakuisisi Facebook, jejaring sosial satu ini menjadi salah satu tempat ‘pelarian’ saya dari Facebook. Maka, saat mengetahui berita akuisisi Instagram oleh Facebook enam tahun lalu, rasanya memang agak kecewa.  Hanya saja karena dijanjikan memang ada independensi bagi para pendiri Instagram (Kevin Systrom dan Mike Krieger) dalam menjalankan bisnisnya, saya menganggap Instagram sebagai sebuah ‘bisnis istimewa’ layaknya sebuah teritori bisnis spesial yang berotonomi khusus meski ada di bawah naungan perusahaan yang lebih raksasa.

Tetapi memang keistimewaan itu makin lama makin menjadi sebuah ilusi semata karena diberitakan beberapa waktu lalu bahwa Facebook terus mendesak Instagram agar mau membantunya menarik kembali para pengguna milenial dan yang lebih muda, yang sudah mulai muak dan meninggalkan Facebook karena Facebook sudah sesak dengan berita politik dan hoax yang disebarkan oleh orang-orang seumuran orang tua, paman, tante, dan kakek nenek mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka yang lebih lemah harus mengalah. Akhirnya, Systrom dan Krieger mengundurkan diri (atau didepak?) dari Instagram (untuk lengkapnya, baca di sini). Tak cuma di Instagram, dominasi dan kekuasaan Facebook makin mengencang di sejumlah perusahaan yang mereka akuisisi seperti WhatsApp hingga menimbulkan benturan kekuasaan yang membuat mereka yang lebih lemah yang terpental. Dan untuk menggantikan para pendiri Instagram, Facebook mengirimkan para eksekutif top yang loyal pada kepentingan mereka sehingga dapat dipastikan Instagram tak akan lagi sama.

Yang menarik, setelah tersingkir dari WhatsApp, Brian Acton dari WhatsApp yang mencemaskan aspek privasi pengguna pasca kepergiannya, melontarkan kampanye “Delete Facebook” di Twitter.

Lalu sekarang apakah akan ada kampanye yang sama untuk “Delete Instagram”?

Mungkin suatu saat nanti jika itu benar-benar terjadi (Instagram benar-benar menjadi Facebook kedua), saya akan meninggalkannya. Dan kembali pada media sosial yang tetap tak tergantikan: blog. (*/)

Menyoal Nasionalisme Digital Kita yang Kurang Kental

Mungkin bagi sebagian orang meninggalkan dua jejaring sosial paling populer di jagad maya terlalu musykil. Jujur, saya baru saja beberapa hari lalu menutup akun Facebook dan Twitter saya. Tentu ini semua ada hubungannya dengan skandal penyalahgunaan data oleh Facebook yang membuat geger dunia.

Saya sendiri memang sudah mulai tidak meminati Facebook dan Twitter. Entah itu kebosanan atau sekadar ingin berbeda dari selera arus utama (mainstream).

Namun, saya memiliki alasan utama sendiri untuk meninggalkan jejaring sosial tadi. Karena saya ingin pengambilan keputusan saya dalam berdemokrasi nanti lebih murni karena apa yang saya yakini. Tidak goyah oleh hoax yang bertebaran di media sosial.

Dan yang terpenting, saya bisa menghemat waktu dan tenaga saya untuk mengerjakan sesuatu yang jauh lebih positif, seperti berjejaring soal profesi via LinkedIn atau berbagi informasi soal yoga dan kesehatan yang saya minati via Instagram. Di kedua jejaring sosial ini saya lebih pilih karena relatif lebih netral dalam hal berita palsu dan politik.

Memang masih ada yang mencibir,”Lha kan kamu masih pakai Instagram dan WhatsApp. Itu juga punya Facebook kan?” Tetapi alasan yang bisa saya berikan kemudian ialah saya setidaknya sudah berusaha memulai ketergantungan saya pada produk digital bangsa lain. Saya memiliki alternatif lain yang bisa lebih saya percayai karena dihasilkan oleh bangsa saya sendiri.

Ini juga menjadi awal untuk menegakkan kedaulatan kita sendiri. Selama ini Indonesia dan rakyatnya banyak dianggap sebagai pasar yang empuk. Dalam banyak kesempatan, orang-orang menyebutkan dengan bangga bahwa penetrasi internet di Indonesia terus naik dan pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter makin banyak.

Setelah skandal penyalahgunaan data oleh Facebook beberapa waktu lalu, harusnya kita makin sadar bahwa fakta itu bukan sebuah kebanggaan. Kita sebagai bangsa mesti segera sadar bahwa kita sudah ditelanjangi habis-habisan dengan menggunakan ‘pelet’ bernama media sosial. Kita ungkapkan data pribadi kita begitu saja di media sosial, menyebarkannya dan ini membuat kita makin mudah dikendalikan oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bayangkan bangsa sebesar dan semaju AS dan Inggris saja bisa digiring ke plot tertentu demi keuntungan pihak-pihak yang haus kekuasaan, apalagi kita yang masih banyak belajar dalam banyak hal seperti ini.

Namun, itu semua bisa kita ubah.

Kita mesti memiliki niat yang kuat untuk menjadi lebih mandiri di tengah perkembangan teknologi digital sekarang. Misalnya, untuk menggantikan Facebook dan Twitter, sebenarnya kita juga punya jejaring sosial produk anak bangsa.

Satu yang saya sudah pernah pakai empat tahun lalu saat diperkenalkan secara luas ke publik ialah Sebangsa.com. Menurut pengetahuan saya, aplikasi jejaring sosial Sebangsa ini lumayan bagus dan sudah bisa diunduh di dua platform ponsel cerdas masa kini, yakni Android dan iOS. Sementara itu, aplikasi jejarig sosial lainnya baru menyediakan versi Androidnya.

Lalu saya terpikir untuk mulai beralih menggunakan layanan email/ surel saya dengan produk dalam negeri seperti MerahPutih.id. Dulu saat zaman kuliah saya malah pakai Plaza.com, yang entah sekarang masih ada atau tidak. Baru dalam kurun 9 tahun terakhir saya sangat aktif memakai Gmail dan Outlook, yang notabene produk buatan Google dan Microsoft (baca: AS).

Saya memang masih mustahil meninggalkan GMail tetapi saya sudah mulai memakai email MerahPutih.id sebagai alat korespondensi saya sehari-hari. Seorang teman ‘bule’ saya bahkan terkagum dengan nama domain email saya yang menurutnya unik itu. “Wow, merahputih!” serunya saat saya katakan ia bisa menulis email ke alamat email baru ini daripada ke Gmail saya yang lama.

Tiba-tiba saya kembali teringat dengan kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mencekal Facebook dan Twitter di negerinya. Mereka pasti sudah memikirkan efek buruknya masak-masak. Mereka sadar bangsa mereka bisa dieksploitasi bangsa lain, dan mereka tidak mau itu terjadi. Ini juga didukung dengan pemerintahnya yang secara tegas melarang demi kepentingan bersama.

Saya juga teringat dengan tetangga kos saya yang warga asli Korsel. Saban ponselnya rusak, ia pasti membeli Samsung atau LG. Seberapapun murah dan bagusnya merek ponsel lain, dua merek itu menjadi pilihannya karena itu merek-merek kepunyaan bangsanya sendiri. Ia tahu perkembangan ekonomi Korsel banyak bergantung pada performa bisnis kedua chaebol pemilik perusahaan raksasa tadi.

Jadi, walaupun kecil dan hampir terkesan tidak berarti, ia sudah merasa berkontribusi.

Saya tentu tidak menyarankan kita harus sampai seekstrem itu dalam menyikapi perkembangan dunia digital saat ini. Tetapi sudah saatnya kita sebagai bangsa bertanya pada diri sendiri:”Apakah kita akan selalu menjadi bangsa yang memakai produk bangsa lain?

Atau kita mulai mempercayai bangsa kita sendiri dengan menggunakan produk-produk yang saudara-saudara sebangsa kita buat dengan susah payah?” (*/juga ditayangkan di Kompasiana.com)

Taktik Social Media Terkeji yang Pernah Saya Temui

Screen Shot 2014-12-05 at 09.24.55Demi mengumpulkan likers di Facebook, sekelompok orang picik menggunakan foto-foto janin bayi yang dibuang. Di bawahnya, ada lagi foto bayi yang terlahir belum sempurna dan tampaknya tak bergerak, meninggal, dengan seorang pria yang mungkin ayahnya menggendong tertunduk.

Lalu seseorang menuliskan kalimat:
“”MOHON AAMIINKAN SAHABATKU”

Jangan abaikan gambar ini !!
Bagi yang melihat gambar ini,
sempatkanlah diri untuk
menulis ”AAMIIN” di ruangan komentar..
Bayi dengan ari-ari ini dibuang oleh orang tuanya.
1 like = insya Allah 10 kebaikan
1 BAGIKAN = insya Allah 100 kebaikan

Semoga anak ini khusnul khotimah dan masuk surga Allah. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin

Tuliskan kata “Aamiin” di Komentar, Semoga Allah mengabulkan Do’a kita Semua “MOHON AAMIINKAN SAHABATKU” Jangan abaikan gambar ini !! Bagi yang melihat gambar ini, sempatkanlah diri untuk menulis ”AAMIIN” di ruangan komentar.. Bayi dengan ari-ari ini dibuang oleh orang tuanya. 1 like = insya Allah 10 kebaikan 1 BAGIKAN = insya Allah 100 kebaikan Semoga anak ini khusnul khotimah dan masuk surga Allah. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin Tuliskan kata “Aamiin” di Komentar, Semoga Allah mengabulkan Do’a kita Semua”

Anda bisa temukan itu di grup “Facebook Toko Online Termurah” (https://www.facebook.com/groups/772058849518942/?fref=nf).

Yang saya tidak habis pikir ialah bagaimana mereka mengeksploitasi musibah menjadi penarik lebih banyak anggota di grup tersebut.

Dan yang saya heran lagi, banyak yang like dan mengucapkan AMIN!

Daripada Anda like status dan foto seperti itu, laporkan saja ke Facebook supaya dihapus.

Tampilan Baru Hootsuite Lebih Segar di Mata

Dasbor platform pengelola akun jejaring sosial Hootsuite versi web mendapatkan perombakan yang lumayan signifikan kali ini. Perbedaan yang paling menyolok adalah ukuran font yang makin besar dan spasi antara satu tweet dan yang lain yang jauh lebih lapang. Efek dari semua itu ialah lebih lapang dan segar bagi mata.

Membahas Strategi Kampanye Digital Obama dalam Pemilu

Tim kampanye digital Obama paparkan strategi mereka. (Image credit: Wikipedia)

Tim Obama di kampanye tahun 2008 mengumpulkan lebih dari 500 juta dollar dari sekitar 6,5 juta pendonor online. Ini menjadi yang pertama terjadi dalam sejarah di sana. Dan laman Facebook Obama mendapatkan 3,5 juta penyuka (likers). Naiknya Obama ke pentas politik AS melalui bantuan kanal jejaring sosial ini menjadi sorotan banyak pihak karena mampu menunjukkan bagaimana jejaring sosial mampu mengubah wajah birokrasi dan pemerintahan sebuah negara besar, sebuah fenomena yang juga terjadi di tanah air kita Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya akan merangkum pemikiran-pemikiran menarik dari Joe Rospars yang pernah menjabat sebagai Chief Digital Strategist dalam kampanye “Obama for America” yang menurut saya menarik untuk dipelajari dan menjadi catatan bagi Anda yang memiliki ketertarikan khusus dalam dunia jejaring sosial (social media).

Jejaring sosial bagi Rospars adalah pengelolaan komunitas (community organizing). Komunitas ini bukan buatan, tetapi organik. Dan mereka benar-benar ada dalam realita. Ini lebih mengarah pada jati diri Obama sebenarnya dan bagaimana Obama dalam kehidupan publik. Rospars memiliki tugas untuk mengedukasi para pendukung Obama bahwa Obama sendiri sudah memiliki rekam jejak positif dalam masyarakat AS sejak ia menolak posisi dengan bayaran tinggi untuk bekerja di Chicago sebagai community organizer. Ia berupaya untuk memberikan bantuan bagi masyarakat akar rumput yang membutuhkan dalam hal ekonomi dan hak sebagai warga negara. Obama muda ingin agar masyarakat menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri. Masyarakat diajak untuk memahami permasalahan dalam diri mereka agar bisa mengatasinya kemudian sehingga kemudian bersatu untuk berupaya mewujudkan perubahan nyata. Tim digital campaign pimpinan Rospars berusaha menyampaikan hal ini pada para pendukung Obama melalui Facebook.

Salah satu alasan mengapa kampanye digital Obama ini begitu sukses ialah dukungan yang diberikan oleh sang pasangan, Michelle Obama. Menurut Michelle (sebagaimana dikutip dari Rospars), ia “ingin melakukan ini (berkampanye via jejaring sosial -pen) tetapi ingin melakukannya dengan cara yang benar”. Community organizing kemudian menjadi semangat dalam kampanye digital Obama.

Obama termasuk sukses dalam menggalang dukungan dari masyarakat luas melalui penyaluran donasi ke rekening tertentu. Strategi itu menjadi salah satu strategi untuk mengatasi kurangnya koneksi Obama ke kalangan politisi di seluruh AS sekaligus mencari dukungan untuk menghadapi tantangan-tantangan yang makin besar. Obama membangun komunitas yang terdiri dari masyarakat akar rumput dari nol secara organik. Inti strategi dan pendekatan emosional tadi.

Rospars mengatakan banyak dijumpai kendala dalam mengubah jejaring sosial dan teknologi untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden saat itu. Kendala utama pertama ialah strategi digital masih (bahkan hingga saat ini) dianggap sebagai pelengkap (cuma ‘nice to have’, bukan ‘must have’), atau sesuatu yang hanya bisa dimainkan oleh para petinggi perusahaan atau kalangan penyuka teknologi namun bukan hal yang dianggap penting dalam berhasil tidaknya sebuah kampanye. Maka dari itu, percuma saja memiliki banyak pengikut dan penyuka di jejaring sosial tetapi tidak ada pengaruh positif yang signifikan pada performa di kehidupan nyata. Pasti ada yang salah, tandas Rospars.

Kendala utama kedua ialah bagaimana membuat teknologi yang memudahkan, bukan mempersulit, masyarakat yang ingin mendukung Obama untuk menyatakan dukungan dan mengajak orang lain berbuat sesuatu demi kemenangannya nanti di pemilihan. Rospars melakukan kampanye digitalnya dengan membangun sebuah platform yang terintegrasi dengan database kampanye dan organisasi terkait dan menghubungkannya dengan Facebook.

Yang menarik ialah tim ini berusaha untuk tidak hanya memberikan kesan bahwa Obama memiliki kepekaan terhadap kemajuan teknologi, terlibat aktif dalam interaksi dengan komunitas yang ada di dalamnya tetapi juga memfokuskan diri pada bagaimana melibatkan orang-orang awam dalam proses politik yang berlangsung saat itu untuk meyakinkan mereka bahwa suatu perubahan positif akan terjadi jika mereka mau bahu-membahu bersama memilih Obama.

Teddy Goff (Digital Director kampanye “Obama for America”) menjelaskan tim kampanye digitalnya terdiri dari staf kreatif, desainer, developer web, video, penulis, social, mobile, email, iklan. Masing-masing memiliki manajer proyek sendiri. Kemudian yang tidak kalah penting ialah analytics.

Elemen AUTHENTICITY atau ketulusan menjadi hal yang penting dalam kampanye digital mereka. Bagaimana hal ini bisa diwujudkan? Berikanlah akses pada orang awam menuju sosok nyata yang tidak bisa mereka jumpai secara tatap muka, misalnya Obama, istrinya, Joe Biden, dsb.

Email pun dijadikan sebagai salah satu alat menjangkau pendukung. Bentuknya yang konvensional dan sederhana memudahkan lebih banyak orang mengaksesnya. Isinya sebisa mungkin mencerminkan karakter orang yang diwakilinya. Dalam contoh yang diberikan Goff, Joe Biden tinggal menyetujui sebuah komposisi tulisan untuk disebarkan via email. Dan tulisan itu mencerminkan kepribadian dan pesan yang ia ingin sampaikan. Saat orang membacanya, diharapkan akan terbangun hubungan yang tulus dan nyata.

Elemen lainnya yang sama pentingnya ialah TRANSPARANSI. Saat menerima dan mengumpulkan sumbangan dana tunai dari berbagai pihak yang menyatakan dukungan, tim kampanye digital Obama kemudian menyusun sebuah infografis berdasarkan data faktualnya untuk disajikan secara terbuka di Internet. Ini membuat orang lebih bisa memahami bahwa sumbangan mereka, tidak peduli berapapun jumlahnya, adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan sensasi kepuasan dan kebanggaan menjadi bagian dari sebuah gerakan menuju perubahan yang berskala masif dan luas itu sungguh tidak tertandingi, apalagi jika Anda warga akar rumput yang kerap termajinalisasi.

Elemen selanjutnya ialah ENGAGEMENT, atau hubungan timbal balik yang terbangun antara berbagai pihak yang ada di dalam kampanye digital ini. Interaksi dua atau banyak arah menjadi suatu hal yang krusial di sini. Agar lebih banyak orang yang mau bergabung, tim kampanye digital Obama membuat berbagai strategi yang ditujukan bagi mereka yang akab dan melek teknologi, misalnya dengan membuat kalender elektronik yang bisa diintegrasikan dalam iCalendar atau Google Calender pribadi pendukung yang ingin menyumbang tenaga menjadi relawan.

STORYTELLING menjadi elemen terakhir yang turut berkontribusi dalam keberhasilan kampanye digital Obama. Kisah hidup Obama sendiri memang sudah menarik, tetapi itu saja belum cukup.

Tim ini juga harus cerdik dalam mengemas pesan yang ingin mereka sampaikan. Kreativitas tinggi dibutuhkan agar pesan itu dapat diterima oleh masyarakat dengan lebih baik atau yang kita bisa katakan mengena atau ‘nyambung’. Tim tersebut berbicara dalam bahasa orang yang mereka ajak bicara dengan merilis sebuah video jenaka yang kemudian dipublikasikan dan beredar secara viral di Twitter dengan tagar # youngerthanmittspoliticalcareer, yang isinya menyindir pernyataan rival Obama, Mitt Romney, yang berkata bahwa dirinya bukan politisi karir.

Being fun, being real, showing personality” menjadi motto mereka dalam berinteraksi dengan para pendukung Obama di jejaring sosial dalam bahasa yang mereka sukai dan pahami.

Penting juga untuk mengemas satu pesan untuk disajikan dalam berbagai format. Mengapa? Agar lebih banyak swing voters (mereka yang belum menentukan pilihan) tertarik atau bagi mereka yang sudah merasa mantap memilih tetapi merasa ragu, bisa mengubah pilihannya setelah diyakinkan dengan pesan tertentu. Tim ini misalnya menggunakan data resmi dari badan pemerintah yang berwenang dalam urusan ketenagakerjaan (US Bureau of the Labor) untuk menyajikan perubahan positif dalam pasar tenaga kerja yang menunjukkan prestasi ekonomi Obama selama menjabat di periode pertama sebagai presiden AS.

Pendekatan komunikasi yang bernuansa PERSUASI melalui INTERAKSI juga ditekankan dalam tim ini, kata Goff. Salah satu contohnya yang menarik ialah kalkulator pajak Obama yang dapat diakses secara online oleh siapa saja. Mereka mampu menarik perhatian dengan memberikan informasi berupa hasil kalkulasi pajak yang unik untuk setiap orang.

Tim digital campaign Obama juga memberikan sentuhan yang berbeda dalam pengumpulan dana agar tidak terkesan terlalu biasa. Mereka menghadirkan program “Dinner with Barack” yang memungkinkan para donatur di atas 3 dollar yang beruntung terpilih bisa bersantap malam dengannya. Program itu sesuai dengan misi Obama agar tidak hanya merangkul kalangan elit ekonomi tetapi juga rakyat biasa yang tertarik dengan diri, visi dan misinya sebagai pejabat publik.

Prinsip utama mereka adalah bagaimana agar mempermudah masyarakat dalam mendukung kampanye Obama di setiap tingkat engagement dan bagaimana mengajak mereka yang sudah masuk untuk berkontribusi nyata dalam pemenangan Obama di pemilihan. Untuk memudahkan masyarakat tadi, salah satu usahanya ialah dengan membuat sebuah situs yang berdesain responsif, yang artinya situs itu akan bisa dengan mudah ditampilkan dan dijelajahi meskipun diakses melalui berbagai perangkat digital dari yang berlayar sekecil ponsel cerdas sampai ke komputer desktop di rumah.

Bagi mereka yang menginginkan pesan yang lebih ‘muluk-muluk’ atau penuh idealisme dan bervisi jauh ke depan disertai makna yang lebih dalam dan filosofis, tim ini juga memberikan pesan serupa dalam format yang lebih serius dan berat, yaitu dengan menampilkan salah satu relawannya. Relawan itu seorang pria dengan 4 anak, yang memiliki harapan agar bangsa Amerika lebih baik di masa mendatang sebagaimana yang diharapkan Obama untuk anak-anaknya dan bangsanya. Mereka mencoba merangkul kalangan yang memiliki ekspektasi lebih tinggi daripada hanya sekadar perubahan temporer dan dangkal di masyarakat serta melibatkan tanggung jawab yang lebih mendalam. (Sumber: Team Obama Talks Digital Vision – Strategies and Tools for 2012 and Beyond)

XeeFunApps is Too Creepy an App

Wow how accurate this application can measure my personality shown on social media really amazes and cringe me at the very same time. XeeFunApps.com enables you to get to know yourselves with a single click, and voila! Your personality or aptly said “online personae” your face shown to the external world may be described very well.

What algorithm was employed in the app so it generated precise results like this? I’m still wondering.

Writers’ Moral Responsibility

‎”The first job of a writer is to be HONEST.”- Irvine Welsh

I typed the word “honest” in capital letters as I cannot tell you how much I find this quote inspiring to me. ‎This quote at its best teaches us writers in general (whether they be bloggers, published authors, print journalists, online journalists, novelists, short story writers, or even mere Facebook updates’ creators) that nothing can substitute integrity and honesty.

But for some reason I cannot fathom why some writers plunge themselves into this kind of abyss named politics a little bit too far.‎ Take Indonesian moslem writer Jonru Ginting as an example. The self-proclaimed writer, entrepreneur, and internet marketer (as he himself stated on jonru.net). He is allegedly to be the culprit behind the photo showing Jokowi as a priest at a church giving sermons according to islamtoleran.com (another site with unknown track records). The photo was found to be photoshopped and thus fake. Jonru (@jonru) himself denied the accusation via Twitter and Facebook. But long before that, when Egypt crisis broke last year, he was reportedly releasing a hoax to change the perception of those who did not believe in the sincerety of Ikhwanul Muslimin movement (source: badaruzz on http://www.kaskus.co.id, 14/07/2014). He was said to have used a photo of a smiling corpse, with the intention of convincing readers that Ikhwanul Muslimin casualties were died heroes. But the photo was found to be sourced from the web. The photo was allegedly taken from Malaysia, where the woman was only mimicking and acting as a corpse during a simulation of taking care of dead body before the burial based on Islamic regulations.

I am not going too comprehensive about who is wrong or right in this politically sensitive case but it may also be due to the implications of his involvement as a cadre of Partai Keadilan Sejahtera (PKS) , who openly criticizes and frequently attacks Jokowi on his Twitter account and Facebook fanpage (https://www.facebook.com/jonru.page).

And that being said, I am not either about to judge him for being a politically biased writer ‎because that is his own preference entirely. Yet, what I want to highlight is how perilous it may get when you involved in affairs such as politics as you may lose your integrity and neutrality as a writer. Because as far as I can see, those two things are the most invaluable and intangible assets for writers of all kinds. You can tell lies in fictional works as much as you want but never ever spread lies in your reports, non-fictional works since it may put your credibility at stake.

Because I believe there is NO fine line between liers and truth tellers in writing. Either you tell a complete lie that still makes sense of course in some way (i.e. fictional authors) or tell the “truth” ‎as far as you possibly can do (i.e. reporters). Certainly, subjectivity may intrude in between but can subjectivity or bias leads a writer to lies or even worse libels, or defamation? Have your say.

Apakah Guru Yoga Perlu Gunakan Social Media?

Social Media Site Management Strategy
Haruskah guru yoga menjadi social media junkie? (Photo credit: Chris Pirillo)

 

 

 

 

 

 

 

Dalam sebuah perbincangan santai dengan seorang teman akrab saya yang sudah relatif  berpengalaman mengajar yoga secara profesional, kami membicarakan tentang penggunaan social media dalam marketing yoga. Tidak bisa dipungkiri, keampuhan digital marketing yang sudah banyak dikenal luas oleh para pengusaha juga merambah dunia yoga. Sebagian guru yoga seolah berlomba-lomba menggunakan jejaring sosial, entah itu blog, Facebook, Twitter, atau Instagram, untuk memasarkan dirinya. Sebagian dari mereka tidak lagi enggan dan malu-malu untuk mengunggah beberapa foto kegiatan mengajar mereka, atau foto bersama dengan peserta kegiatan (teacher training/ workshop) mereka di media sosial.

Sebetulnya, pada hakikatnya guru yoga juga seorang pedagang. Karena ia seorang pedagang, perlu dipahami pula bahwa ia mau tidak mau perlu memasarkan jualannya, ketrampilan, pengalaman dan keahliannya beryoga. Apalagi jika mengajar yoga adalah satu-satunya mata pencahariannya, atau pekerjaan yang utama.  

Namun, masalah menjadi timbul saat hasrat berdagang di media sosial ini terlalu kuat sampai-sampai membuat risih yang melihatnya karena terlalu di luar ambang kewajaran.

Ada yang cukup intens dalam berpromosi. Bahkan di beberapa kesempatan, promosi itu dilakukan secara terbuka, tanpa merasa malu dan segan. Mereka memasuki grup-grup di Facebook untuk menjajakan workshop atau yoga retreat di sebuah resor atau tempat tetirah yang eksklusif atau menghubungi sejumlah teman untuk menyebarkan berita tentang event yoga dengan membayar sejumlah biaya.

Ada juga yang relatif masih terkendali. Dalam sebuah workshop oleh seorang guru dari AS yang pernah saya ikuti, sang guru mengedarkan sebuah perangkat tablet yang diperuntukkan bagi peserta yang bersedia menerima newsletter dari situs bisnis yoganya. Itu dilakukan secara sukarela. Jadi jika merasa tidak membutuhkan newsletter itu hadir di kotak masuk email, silakan saja melewatkannya. Dengan cara ini, bisnis bisa tetap berjalan tanpa menyakiti kepercayaan dan respek yang diberikan peserta terhadap si guru dan reputasinya akan tetap lumayan utuh karena tidak adanya unsur pemaksaan atau rasa ‘dibombardir’ dengan promosi yang membabi buta. Cukup seperlunya tetapi bermakna dan berguna.

Ada yang mengaku menghindari promosi di jejaring sosial atau media beriklan lain apapun yang terkesan komersial. Biarkan mengalir saja, begitu katanya. Mereka yang menyukai cara apa adanya ini lebih sibuk menjalin hubungan offline. Mereka tidak suka terlalu menarik perhatian di dunia maya dan nyata tetapi mencoba lebih menawarkan kenyamanan dalam belajar layaknya dengan teman, bukan dengan seorang guru yang biasanya lebih tegang dan terkesan jauh.

Yang mana yang benar atau salah? Rasanya hal ini tidak bisa diputuskan begitu saja. Banyak sekali faktor yang perlu dipertimbangkan dan memutuskan benar tidaknya apa yang guru-guru yoga ini lakukan juga bukan hak saya. Saya menghormati setiap pilihan yang mereka buat dalam memasarkan diri. Semua sah-sah saja. Semua boleh-boleh saja. Asal tidak ada yang dirugikan dan tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku.

Masalah juga makin menjadi-jadi saat seorang guru yoga terkesan menjanjikan secara muluk-muluk atau bombastis. Misalnya mengatakan bahwa pose ini bisa menyembuhkan kelainan ini secara instan
Puncaknya adalah saat seorang guru yoga yang relatif agresif memasarkan dirinya itu kurang mengimbangi dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman serta penghayatan beryoga, yang dirasa belum memadai bagi muridnya secara umum. Tentu sangat sulit mendefinisikan frase “belum memadai” ini karena sangat kabur batasannya. Siapa yang bisa mengukur secara pasti bahwa seseorang sudah kompeten atau tidak dalam mengajar? Tidak ada yang bisa. Semua hanya berdasarkan asumsi yang subjektif, yang bisa berubah dari satu orang ke orang lain. Akan tetapi, ada juga sebagian pengetahuan dasar beryoga yang sudah pakem dan paten seperti yang ditemui teman saya itu yang ditanya mengenai seorang guru yoga kenalannya, sebut saja X, oleh seorang murid yang kita sebut saja Y. Murid Y ini penasaran mengapa menurut guru yoga X ini, punggung diperbolehkan untuk melengkung (rounding) dalam melakukan asana downward-facing dog yang menurut pemahaman si Y dari guru lainnya adalah bentuk punggung harus sebisa mungkin lurus. Masalah juga menjadi semakin pelik saat saya menyadari itu bisa jadi muncul dari kurang pahamnya si Y dengan kalimat yang disampaikan si X. Harus kita akui, sering kalimat itu bisa membawa makna yang kabur dan ambigu.

Kesalahpahaman semacam ini terkadang bisa terjadi dan kita perlu berbaik sangka bahwa mungkin maksud si X bukanlah seperti itu, tetapi mungkin si Y yang kurang memahami kalimatnya saja.

Tetapi terlepas dari semua teknik marketing yang diterapkan seorang guru yoga dalam mendapatkan murid, kembali lagi bahwa dewan juri yang paling berkuasa adalah masing-masing murid. Apakah mereka merasa nyaman belajar dan diajari oleh si guru? Atau mereka merasa tidak ada perbaikan dalam beryoga setelah belajar dari si guru yang bersangkutan? Dan perbaikan ini juga hendaknya jangan hanya diukur dari pengusaan teknik asana yang tepat tetapi juga aspek-aspek lain dalam yoga yang juga perlu untuk diketahui dan dipelajari.
 

 

 

 

How Blogging Landed Me a Job

Watching and Blogging
Blogging (Photo credit: Wikipedia)

It’s true that blogging is my savior. I guess blogging is another channel to bring my writing to a much wider audience, which later paved my way to the job I’m having now. Here’s my story.

 

It’s been always my fascination to live a life as a writer. Not only as a career choice but also life path. I was still always shy to show my writing for an excuse that it was just a shameless show-off. And I didn’t feel like there was an audience out there wanting to read my writeups, with my academic mentor as exceptions. But I got sick of writing thesis. Because it was more of a chore than a calling or passion. That’s what may happen to someone who thinks that his/ her favorite pastime would be a great choice of academic pursuit. It turned out bitter. I am certain that I love English and some literary works but doesn’t necessarily mean I enjoyed having to attend philosophy or ethics classes.

 

At that time, I was a teacher. A lecturer working part time to be frank. Realizing I’d never gone extroverted so much, I then seriously considered writing. Writing, in my mind, seemed like the most logical career field for me. I don’t have to meet many people every single day. And that’s such a bliss.

 

With nothing else other than writing on my mind, I quit my part-time teaching job and started to seek any possible writing-related job vacancies. I still remember how I always would pray for my dream job in my everyday prayer. For almost 8 months, I was literally unemployed. I knew I had to get myself a job but what still came to my mind was that the new job ought to be related to writing. I can’t stand another teaching gig. I’d had more than enough in 3 years and 6 months and would be glad to move on to the next bigger thing.

 

While searching for the vacancies online, I also naturally looked for some space to write as well. It was way too maddening and frustrating to stay at home 24 hours a day 7 days a week with only my laptop showing rejected job applications. So one night after a few weeks of my resignation I stumbled upon a web article explaining how easy it is to earn money with a blog. Yes, I needed money! That’s exactly how I can value myself before others. You’re someone after you earn money. That’s it.

 

From that moment on, I started blogging. Every morning I checked on my email inbox, responded to very few responses and sent as many online job applications as possible. After these mundane daily routines, I always logged in on my blogs. It is still live up to now (akhlispurnomo.blogspot.com). I just blogged about a topic I’ve been familiar with so far: English learning.

 

That was how I began blogging. I was blogging relentlessly the entire 8 months. I really had nothing else to do other than blogging and doing virtual networking. It may sound funny but I knew a guy who happened to be an Internet marketer. He lives in Malaysia and  another young man whose passion is everything about digital world and entrepreneurship.

 

(to be continued)

 

 

Just Released, “Facebook Pages Manager” app for Android

It sounds like the next breakthrough for fanpage managers like me. Though i have to admit , i prefer to be able to post links with the native facebook app for android. It doesnt meet my expectation but lets see how it works!
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.facebook.pages.app

Posted from WordPress for Android

Absurditas Abad Internet

Saat ini saya ‘mati gaya’. Kenapa? Karena koneksi Internet semuanya mampet. Saya sengaja meluangkan waktu ke outlet Seven Eleven untuk bisa lebih leluasa menikmati makanan dan berselancar di dunia maya. Tapi koneksi di sini anehnya terdeteksi tetapi saat dikoneksikan..NOL.. Tak terhubung. Karena akhir bulan? Entahlah… Yang jelas saya kecewa.

Ditambah lagi dengan jaringan ponsel Three yang empot-empotan. Padahal beberapa saat tadi sempat lancar jaya. Apa karena hujan deras beberapa saat tadi? Padahal hujan itu sudah berhenti lumayan lama. Dan tidak cukup masuk akal koneksi Internet nirkabel melempem Cuma karena curah hujan yang tinggi. Absurd!

Dan absurditas ini semua menjadi makin absurd saat saya menyadarai bahwa saya masih bisa bekerja tanpa koneksi Internet tetapi pikiran saya terus gelisah. Terus mencari seolah ada yang kurang. “Saya harus terkoneksi. Harus. Tidak bisa tidak!” begitu suara dalam otak saya. Ada apa ini? Saya juga tidak mengerti kenapa saya menjadi seperti ini? Apakah saya akan mati hanya karena tidak bisa terkoneksi ke jaringan Internet beberapa menit saja dalam satu hari. Ini lebih absurd daripada mahalnya tarif dan rendahnya kecepatan koneksi Internet di negeri ini. Dan tebak apa yang baru sjaa saya lakukan? Meski saya sudah tahu koneksi terganggu, saya terus menerus mengecek, memeriksa ulang selang beberapa menit, apakah ada notifikasi di ponsel, seolah ada yang terus mendesak saya,”Tengok lagi, siapa tahu sudah lancar, ayo..” Stop ittt!!!

I  just want to write things and everything’s just gonna be fine. Saya sudah membuka aplikasi pengolah kata dan tetap saja obsesi untuk tetap terhubung terus menggelinjang. Benak saya terus berpikir, Internet adalah produktivitas, kalau saya tidak terkoneksi saya menjadi tidak terhubung, tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, saya terkucil, tidak gaul, ketinggalan berita dan sebagainya. Tetapi toh saya memang harus mencari video surya namaskara yang saya harus unduh untuk belajar yoga. Itu tujuan saya di sini. Namun kemudian saya berpikir, apakah ini hari terakhir saya bisa mengakses Internet? Tidak kan? Jadi jangan terlalu gila dengan merasa cemas seperti ini, kata saya pada diri sendiri.

Dan yang paling menakutkan ialah membayangkan hardware penangkap sinyal wi-fi saya rusak. What? Lamunan saya makin liar karena rasa frustrasi tidak bisa terkoneksi ke Internet. Tiba-tiba terlintas dugaan itu, yang jika mema

Internet cafe
Internet cafe (Photo credit: jared)

ng benar terjadi, akan menjadi kiamat kecil bagi dunia saya. Punya laptop tetapi tidak bisa digunakan berselancar di Internet? Seperti hidup tapi tak punya tangan dan kaki saja. Ah, ini bayangan pikiran yang mengerikan. Saya tak sanggup memikirkannya.

Inilah mimpi buruk generasi kita: generasi abad Internet. Sebuah mimpi buruk absurd, konyol, menggelikan yang tidak akan bisa dipahami sepenuhnya oleh generasi pendahulu. Dan saat saya mengatakan ‘generasi pendahulu’, saya tidak mengacu pada generasi kelahiran kronologis manusia, tetapi pada cara berpikir mereka dan sikap serta perilaku mereka terhadap produk teknologi jaman sekarang. Seorang pemuda 20 tahun termasuk generasi pendahulu jika ia masih bersantai-santai saja tak bersentuhan dengan ponsel, Facebook atau PC selama 1 minggu penuh. Dan sebaliknya, seorang kakek berusia 70 tahun bisa jadi termasuk generasi masa kini jika ia terus menerus memeriksa notifikasi smartphone-nya dan mengunggah foto-foto terbarunya ke Facebook begitu bertemu anak cucu yang sudah dirindu.

Apakah Anda juga pernah mengalami hal yang sama dengan saya? Apakah Anda merasa lemah saat koneksi Anda lumpuh, gadget Anda menolak bekerja normal, atau baterai mengering hingga 7% tetapi tak terlihat colokan listrik di sekitar Anda?

Dan, ah akhirnya sinyal Internet ponsel saya pun kembali normal. I am alive again, cyberwise…

3 Cara Bangun Personal Brand di Dunia Digital

Membangun sebuah ‘personal brand’ lain dari ‘corporate brand’. Personal brand mengacu pada pribadi seseorang. Apa yang dijual dalam personal brand bukanlah produk atau jasa seperti perusahaan komersial tetapi skills/ ketrampilan, pengalaman, keahlian, pemikiran dan sebagainya.

Pertama-tama, mungkin kita memiliki pertanyaan: “Mengapa seseorang perlu membangun personal brand dirinya sendiri?” Dalam dunia yang tingkat kompetisinya makin ketat ini, kita harus makin cerdas dan taktis. Saat dunia makin bergeser ke tren online, kita juga harus memanfaatkan fenomena ini dengan mulai membangun personal brand tidak hanya di alam offline, tetapi juga online. Saya sendiri tidak menyarankan sepenuhnya untuk meninggalkan salah satu di antaranya karena keduanya (online dan offline) saling melengkapi.  Namun, biasanya reputasi online kita akan membuka peluang lebih lebar dari jaringan offline kita karena jangkauannya yang luas sekali. Meski begitu, tetap saja reputasi online harus didukung dengan kemampuan kita di dunia nyata/ offline.

cropped-sss1.pngBila Anda seorang yang merasa sudah mapan dalam karir atau sudah memiliki pekerjaan yang berprospek cerah pun masih disarankan untuk membangun personal brand. Mengapa? Sederhananya ini menjadi semacam tali pengaman kedua saat kita suatu saat harus meninggalkan perusahaan atau institusi tempat bekerja karena berbagai alasan. Bisa saja kita terpaksa resign karena sudah merasa buntu suatu saat nanti, atau merasa bosan atau ingin mencoba karir baru, atau dengan cara yang pahit, misalnya karena perusahaan bangkrut sehingga Anda terpaksa dirumahkan, atau karena tiba-tiba divisi Anda secara sepihak dibubarkan perusahaan. Banyak faktor yang bisa membuat semua itu terjadi. Dan saat bencana itu muncul, Anda bisa memanfaatkan personal branding yang sudah Anda bangun sebagai tali penyelamat hidup kedua agar Anda tidak terjun bebas ke dasar jurang. Atau bisa juga suatu saat Anda ingi membangun bisnis sendiri sebagai entrepreneur setelah puas menimba pengalaman dan menabung modal dari bekerja sebagai pegawai, personal brand akan sangat membantu untuk itu.

Untuk memiliki personal brand yang kokoh, bangunlah pondasinya dari sekarang. Langkahnya adapat kita bagi menjadi 3:

  1. Tentukan brand
  2. Buat website/ blog
  3. Gunakan jejaring

Langkah pertama ialah tentukan brand kita. Dalam langkah awal ini, pikirkan 4 poin utama: tujuan, audiens, Unique Selling Point (selanjutnya disingkat UPS), dan identitas visual. Simpelnya kita harus mengetahui arah gerak kita, hal yang mau kita capai. Bisa jadi tujuannya sangat ambisius dan jangka panjang seperti “menjadi seorang desainer web paling terkemuka di dunia” atau yang lebih pragmatis seperti “mendapatkan pekerjaan di perusahaan multinasional bonafide”. Maka berdasarkan tujuan itu, kita bisa selaraskan dengan brand dan blog/ situs yang akan dibangun.

Tentang UPS, kita harus menemukan sesuatu (akan lebih baik jika lebih dari satu) yang membedakan diri kita dari orang lain di luar sana yang juga memiliki tujuan yang sama atau menekuni bidang yang sama. Jika ketiga poin di atas sudah siap, saatnya untuk membentuk sebuah jati diri visual yang dituangkan dalam bentuk pilihan warna khas untuk blog/ situs, logo, kartu nama. Tak banyak yang memikirkan keselarasan antara kesemua hal ini, padahal jika dipikirkan dengan masak, kesan profesional dan elegan akan lebih terpancar.

Langkah kedua ialah membuat situs web atau blog pribadi. Beberapa poin yang perlu diperhatikan ialah halaman depan (homepage), portfolio/ studi kasus, halaman ‘about’, testimonial, dan isi blog. Homepage seolah adalah serambi/ beranda rumah yang memberi kesan tertentu bagi pengunjung. Di halaman depan ini disarankan untuk memajang foto diri kita (dengan wajah yang jelas) dan akan lebih baik jika foto itu juga diseragamkan untuk dipasang di jejaring sosial yang kita punya untuk tujuan personal branding. Jadi, foto yang kita pajang di homepage blog lebih baik sama dengan avatar kita di Twitter, profile picture di Facebook, di browser, profil LinkedIn dan sebagainya. Ini bukannya tanpa sebab, tetapi karena foto yang sama akan menciptakan konsistensi brand yang memudahkan kita untuk dikenali orang lain yang ingin menghubungi kita.

Navigasi situs/ blog juga jangan sembarangan. Jika Anda seorang profesional yang sudah bekerja untuk sejumlah klien atau korporasi, mungkin akan lebih meyakinkan untuk mendapatkan sebuah testimonial dari pihak pemberi kerja yang terdahulu (previous employers/ clients). Ini menjadi semacam referensi bagi orang untuk lebih mempercayai kredibilitas kita.  Di blog, tunjukkan juga bahwa konten blog diperbarui secara rutin. Orang akan lebih meyakini eksistensi personal brand jika blog yang bersangkutan diperbarui secara berkala yang ditandai dengan munculnya tulisan, gambar, atau video yang baru dan relevan dengan isu terkini. Jika sibuk sekali, cobalah memperbarui blog itu di akhir minggu. Jika ada banyak waktu, perbaruilah 2-3 kali seminggu. Makin sering , makin bagus.

Setelah selesai menikmati konten blog, usahakan pula agar si pengunjung tidak begitu saja meninggalkan blog Anda tanpa mengikuti Anda di jejaring sosial (pajang ajakan untuk menjadi follower atau fan/ teman di Twitter dan Facebook), atau berlangganan konten blog terbaru melalui email. Dengan begitu, peluang Anda untuk diingat olehnya lebih tinggi.

Untuk halaman “portfolio”, kita bisa memajang semua hasil karya yang sudah ada hingga saat itu. Jika Anda seorang web designer, pajanglah screenshot situs-situs yang sudah Anda buat dan disukai klien.

Sementara untuk halaman “studi kasus”, kita bisa tunjukkan alur kerja kita saat membuat sebuah karya atau menyelesaikan proyek dari klien. Misalnya, jika Anda seorang praktisi periklanan, Anda bisa tunjukkan bagaimana Anda membangun sebuah brand milik klien. Ungkapkan risetnya, konsep yang diterapkan (sepanjang memungkinkan, kecuali klien mengharuskan Anda menandatangani NDA atau perjanjian menjaga kerahasiaan).

Di halaman “About” (Tentang), jelaskan UPS kita sebagai individu. Berikan penjelasan secara umum dalam bahasa yang segar dan lugas (tak perlu terlalu kaku dan dingin) mengenai perjalanan karir, bidang-bidang keahlian kita, pengalaman, dan sebagainya. Jika Anda seorang pekerja lepas (freelancer) misalnya, kehadiran blog dengan halaman “About” yang informatif akan membantu sekali dalam mendapatkan tawaran pekerjaan berikutnya.

Seperti sudah banyak kita ketahui, dalam halaman “Testimonials” kita akan jumpai kesaksian para klien terdahulu mengenai kualitas pekerjaan kita. Kesaksian yang ada harus pula disertai dengan foto saksi itu. Akan lebih meyakinkan pula jika Anda tambahkan hyperlink (teks dengan tautan/ link di dalamnya) dalam testimoni itu yang bisa diklik untuk menuju ke situs/ blog pemberi testimoni  yang bersangkutan.

Semua halaman di atas adalah halaman statis, yang artinya tidak akan kita perbarui terlalu sering. Lain dari konten blog yang harus kita perbarui secara teratur. Banyak orang yang merasa tidak perlu membuat apalagi menulis blog, apalagi jejaring sosial sekarang tambah menyenangkan dan lebih praktis. Ini keliru. Menulis sebuah blog dengan pemikiran Anda sendiri membuat kita lebih kompeten daripada hanya sekadar memperbarui timeline di jejaring sosial (meski itu ratusan kali sehari). Jejaring sosial memang lebih mudah dan menarik daripada menulis blog, tetapi imbalan yang bisa kita tuai dari blog itu sendiri juga lebih banyak. Tulisan di blog kita lebih terorganisir dan dapat dilacak dengan tag, kategori, dan mesin pencari  saat kelak dibutuhkan. Bandingkan dengan celotehan kita di jejaring sosial yang terkubur begitu cepat meski sudah memakai tagar tertentu.  Aktif di jejaring sosial membuat blogger terlena padahal inti dari berjejaring sosial sebenarnya adalah menarik orang untuk mengetahui lebih jauh tentang diri kita, dan semua itu tidak bisa disampaikan di jejaring sosial dengan panjang lebar. Orang akan bosan. Tetapi blog ibarat sebuah rumah yang menjadi tempat berkumpul setelah Anda menyebarkan informasi diri di jejaring sosial. Di blog, personal brand akan lebih leluasa dibangun. Di blog, diskusi akan lebih mudah terakomodasi dalam komentar. Di blog, konteks juga lebih terjaga sehingga pesan lebih udah dipahami. Bayangkan di jejaring sosial yag ruangnya terbatas, risiko kesalahpahaman lebih tinggi karena konteks tidak utuh lagi, terpotong paksa oleh batasan karakter dan attention span pengguna jejaring sosial yang sangat pendek. Pengguna jejaring sosial cenderung berkunjung karena ingin bersenang-senang dan melihat-lihat tanpa harus mencermati dengan segenap daya pemikiran, yang berbeda dari pengunjung blog yang sudah menyiapkan diri untuk mencerna argumen dan pesan yang lebih panjang dan kompleks dari hanya satu baris tweet atau status.

Langkah ketiga ialah gunakan jejaring yang sudah dibangun untuk mencapai tujuan semula. Kerahkan tenaga, waktu dan pikiran untuk membuat blog, akun jejaring sosial (Twitter, Facebook, LinkedIn) dan sebagainya. Di Indonesia, ketiga jejaring sosial inilah yang paling banyak digunakan. Tentu Anda bisa memperluasnya ke Instagram, Pinterest, dan sebagainya. Namun, pastikan Anda masih bisa menanganinya dengan baik tanpa harus merasa terpaksa. Dan yang lebih penting lagi, sesuaikan dengan kebutuhan, jenis bidang, dan sebagainya. Misalnya jika Anda seorang penulis, membuat akun di Instagram mungkin kurang penting karena di sini interaksinya berbasis gambar bukan teks. Anda akan lebih leluasa di Facebook, Twitter, Tumblr atau LinkedIn.

Sebagai tambahan, saat membuat personal branding di dunia maya, kita perlu pahami bahwa faktor I sangat krusial di sini. Apa itu faktor I? Integritas. Menurut Hermawan Kartajaya, banyak orang memahami dunia maya sebagai sebuah alternatif baru untuk  menyalurkan itikad yang kurang baik. Menipu orang memang lebih mudah melalui Internet. Akan tetapi satu hal yang patut disadari ialah begitu melelahkannya berbuat jahat di Internet karena di sini semua perbuatan kita bisa tercatat dan terlacak secanggih apapun trik yang digunakan. Bagi mereka yang berpikiran pendek, membangun brand apapun di Internet akan sukar sekali. Dibutuhkan konsistensi dan kesabaran dalam membangun personal brand di Internet. Ini bukan proses instan. Dan meskipun terlihat mudah dan instan, itu lebih karena orang tidak melihat proses panjang dan berliku di belakangnya.

Karenanya, bangunlah personal brand dengan mengingat bahwa sikap tulus dalam berinteraksi di dunia maya juga mutlak. Berikan manfaat bagi orang lain, alih-alih memanfaatkan orang lain secara sepihak saja. Dan tak lupa, jadilah seorang sosok/ figur yang mampu membangun budaya dalam sekelompok orang (yang menjadi teman, pengikut atau penggemar kita di jejaring sosial). Tidak ada yang berbeda dengan hubungan antarmanusia di dunia nyata, karena pada hakikatnya dunia digital hanyalah sebuah medium, alat semata. Intisarinya tetap pada bagaimana setiap manusia di dalamnya berhubungan satu sama lain. Jadi, ia bukan sebuah mantra ajaib yang memecahkan semua masalah di dunia nyata!