Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia (Kisah Nyataku -2)

Di sebuah seminar entrepreneurship di UI Depok beberapa hari lalu. Mahasiswa/i adalah spons paling hebat di dunia. Mereka menyerap apapun di sekitar mereka dan itulah yang menarik para brainwasher aliran-aliran sesat datang ke kampus-kampus.

(Sambungan dari Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia bagian 1)

Pikiran saya saat itu masih melayang-layang, memikirkan apakah mereka akan terkesan dengan resume saya atau hanya melemparkan dokumen saya di tong sampah begitu saja. Rasanya tak sanggup lagi kalau harus gagal. Sambil menanti azan dzuhur yang segera bergaung, saya mencoba bersantai setelah beberapa hari sekujur tubuh dan pikiran penat di atas kereta dan merenung tentang masa depan.

Saya bukan orang yang mudah akrab dengan orang. Dan saya diajarkan untuk tidak menerima keramahan yang tanpa alasan jelas oleh orang asing. There’s no free lunch, literally. And I take the advice without question. Ayah saya selalu mengingatkan jangan minum atau makan apapun yang diberikan orang selama perjalanan. Meski pada akhirnya saya juga sadar, tidak semua orang bermaksud buruk, toh kewaspadaan itu perlu. Apalagi di tengah Jakarta. Dan saya saat itu sedang di Depok, di luar wilayah ibukota, jadi nasihat ayah bisa sedikit  saya abaikan. Demi Tuhan, ini kan lingkungan terpelajar! Universitas Indonesia! Sulit sekali membayangkan ada tindak kriminal terjadi di sini atau penjahat mengintai di balik tembok kampus yang penuh muda-mudi berwajah, yang menurut istilah sekarang, unyu.

Si pemuda berbadan gelap (sebut saja si A) ini menyapa saya yang terlihat termangu di hadapannya. “Assalamualaikum, lagi apa di sini?” Saya pun menjelaskan alasan saya di sini dengan nada setengah hati. Sungguh, berbincang-bincang dengan orang asing adalah hal terakhir yang terpikir ingin saya lakukan di hari itu. Saya cuma ingin sendiri, makan dan tidur di sebuah ruangan gelap tanpa goncangan dan bau pesing  a la gerbong kereta bisnis karena lelah luar biasa. Obrolan dengan orang asing juga menjadi semacam rentetan interogasi karena banyak yang harus saya jelaskan dan pada saat yang sama saya tidak atau kurang ingin bertanya pada mereka. Saya tidak ingin terlalu mengurusi kehidupan orang lain, itu pikiran saya.

Dia menyebutkan nama sepintas lalu. Saya tak berusaha mengingat. Toh saya tidak akan bertemu dengan mereka lagi, batin saya. Tetapi saya mencoba bersikap ramah, apalagi dengan saudara seiman.

Pertama si  A menanyakan asal saya, saya jawab apa adanya. “Di mana kuliah?” si A bertanya lagi. Saya tak ingat pertanyaan apa lagi yang ia ajukan tetapi ia memberondong saya sedemikian rupa sehingga saya tidak terpikir untuk bertanya balik.

Sejurus kemudian, mereka mengaku sedang menunggu temannya. Katanya si teman yang ditunggu ini (sebut saja si B) bekerja di sebuah rumah produksi, yang seolah menyiratkan bahwa ia dekat dengan kalangan selebritas. Si A juga berceloteh bahwa si B ini tinggal di sebuah studio yang bisa saya tinggali sementara karena saya mungkin harus tinggal di sebuah penginapan atau kos malam itu untuk menunggu hasil tes wawancara kerja yang baru usai.

Benar saja. Si A pun mengutak-atik ponselnya. Ponsel murahan Esia dengan layar super sempit itu ia angkat dan tempelkan ke telinga sejenak, berkata-kata sebentar pada orang yang ada di ujung sambungan seluler lain. Tampaknya si B hanya beberapa langkah saja dari tempat kami berada.

Si B pun tiba. Penampilannya sungguh perlente. Kemeja lengan pendek rapi. Kumis dan jenggot bersih mulus. Celana berikat pinggang rapi dengan panjang yang wajar menurut standar fashion terkini, tak terlalu pendek lah.

Sekali saya mendengarnya berkata, tak diragukan lagi ia jenis orang yang pandai bersilat lidah. Bahkan si B ini bisa jadi senior si A dan si C (yang sama sekali pasif sepanjang bersama saya, bisa jadi ia baru seorang ‘anak magang’).

Kami pun berbincang. “Damnation, mau rehat malah terjebak dalam pembicaraan yang tidak jelas juntrungannya begini,” keluh saya dalam hati. Ia terus meracau. Si A mengulang beberapa potongan informasi yang sudah saya berikan tentang diri saya pada si B.

Azan berkumandang. Kami bergegas ke musholla kampus terdekat yang mengharuskan kami menyeberangi jembatan merah dia atas danau artifisial nan indah dan resik itu. Asri kampus UI memang.

Musholla kampus itu penuh sesak dengan mahasiswa dan mahasiswi. Inilah kelemahan memiliki area kampus yang begitu luas dan lapang, susah mengontrol keluar masuknya orang terutama yang bukan mahasiswa dan staf kampus.

Saya ingin menunggu hingga musholla agak lega, tetapi si A dan B tampak tak sabar. Mereka seolah menggiring saya ke masjid lain yang lebih besar. Jelas mereka tidak sekali baru ke kampus UI. Mereka tampak sudah familiar dengan tata letak kampus.

Tema obrolan pun makin ‘berat’. Dari sekadar penawaran untuk menginap di studio tempat si B konon tinggal makin lama makin bergeser ke masalah agama, sosial, politik dan kenegaraan. Intinya mereka ingin saya merasakan adanya ketidakpuasan dari kondisi yang ada sekarang dan mengapa harus memberontak melawan status quo: pemerintah Indonesia yang menurut mereka sudah zolim dan KAFIR. Nah!

Obrolan ini terhenti karena solat zuhur. Saya solat agak terpisah dari mereka tetapi setelah solat pun mereka kembali menghampiri saya. Mereka masih tertarik mengobrol dengan saya. “Sial!”

Perut sudah sangat meronta. Gesekan dinding usus yang kosong melompong ini sangat menyiksa. Dan 3 keparat itu masih mencoba mengajak saya mengobrol. “Dasar orang-orang ini tidak peka, jamnya makan siang diajak diskusi berat,” pikir saya. Makin tidak bersimpati saya pada gerombolan ini.

Mulailah tampak tujuan asli mereka.

Sebuah mushaf (naskah) Al Qur’an diambil si A dari rak buku masjid atas perintah si B. Jelas ada hubungan hirarkis vertikal antara keduanya. Sementara si C cuma tidur-tiduran.

To be continued…

As Creative Industry Thrives, More Indonesian Translators are Needed

The Indonesian creative industry is blooming, and gaming is one of the most  promising.  As more and more games with foreign languages on the interface should be localized, translators’ service is needed.

“International social media sites targetting Indonesia require translators’ service. Hence the demand of such a profession is high,” stated Indra Blanquita Danudiningrat, a sworn translator and a linguist to Hilda Sabri Sulistyo, a journalist of Bisnis Indonesia.

Recently there are more variations of games played on social media, Internet-based media, or even other celular devices.

The increasingly numerous number of players in the Indonesian gaming market triggers higher demand of games with Bahasa Indonesia on the interface. This explains why there are pools of opportunities for translators in Indonesia to focus on games translation niche.

“Aside from games translation opportunities, the development of creative industry also taps another stream of opportunities due to the higher demand in Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions business (MICE business),” added Indra.

Linguists or interpreters are required in almost every international conferences and seminars. Last year after Indonesia served as the ASEAN leader and host to various international conferences, it is revealed that there are high prospects in this MICE industry.

Sadly, translator as a profession has not received wide acknowledgment  of people yet so translators need to work hard on getting this. It is such an anomaly as the profession started to come into existence since the country regained independence.

“Translators’ service is badly needed but it is not admitted as one of profession types here. That’s why we translators find it difficult to apply for credit to banks,” Indra reasoned.(Translated from the Bisnis.com)

10 Alasan Dukung Pangan Lokal Indonesia (2-Habis)

Bahasa Indonesia: Soto Kudus dan nasi 日本語: ソトク...
Bahasa Indonesia: Soto Kudus dan nasi 日本語: ソトクドゥス(チキンスープ) (Photo credit: Wikipedia)

Setelah bagian pertama yang membahas 5 alasan memilih bahan pangan asli Indonesia sekarang waktunya bagi Anda untuk mengetahui 5 alasan lainnya yang tak kalah pentingnya pula.

6. Menjaga keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal

7. Mengurangi asupan zat kimia berbahaya

Zat kimia yang dimaksud bisa berbentuk pestisida, pengawet, dan sumber pangan yang sudah direkayasa secara genetic  yang memiliki potensi membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup kita.

8. Tahu sumber dan asal makanan, sehingga bisa mendorong produksi yang sehat dan ramah lingkungan. Produsen pangan lokal skala kecil dapat mengelola lahan mereka dengan lestari untuk menghasilkan pangan sehat bagi konsumennya.

9. Menghemat pengeluaran negara untuk impor pangan. Hingga semester pertama 2011, uang yag dihabiskan untuk pengadaan bahan pangan dari luar negeri mencapai nilai Rp 45 triliun! Dan setengahnya hanya untuk mengimpor gandum yang biasa kita makan dalam bentuk roti, mie instan!

10.Menjalin kembali hubungan antara penghasil pangan di desa dengan konsumennya di kota, sebagai satu bangsa yang saling menghidupi.

Pada kenyataannya 10 alasan ini hanya sebagian alasan yang bisa dikemukakan untuk mengajak kita semua orang Indonesia untuk kembali mencintai hasil bumi dan laut sendiri. Karena umat manusia kini sadar atau tidak makin dekat dengan bahaya krisis pangan. Penduduk dunia makin banyak. Lahan pertanian makin sedikit, dan laut makin tercemar. Di saat yang sama, harga pangan terus naik karena lahan yang menyempit dan makin banyaknya mulut yang harus diberi makan. Belum lagi dampak perubahan iklim yang membuat alam tidak bisa ditebak sebagai penyedia pangan secara berkelanjutan.

 

Kenyataan lainnya yang cukup menyedihkan ialah bagaimana kita terperangkap  dalam 2 jenis makanan utama: nasi dan terigu. Saya selalu ‘dimarahi’ ibu karena tidak selalu makan nasi. Dan tak peduli sekenyang apapun, kalau belum makan nasi, saya dianggap belum makan.

Beras memang dapat dihasilkan oleh para petani domestik tetapi patut diketahui bahwa lahan pertanian kita makin menyusut akibat meningkatnya permintaan dan kebutuhan terhadap hunian yang layak.  Di sisi lain, tingkat konsumsi meninggi.

Sementara itu gandum yang merupakan bahan baku terigu tidak tumbuh di negeri ini. Gandum yang kita makan adalah bahan pangan impor. Sialnya, masyarakat kita tidak tahu dan tidak peduli tentang ini dan tetap mengkonsumsi  semua makanan berbahan dasar gandum. Ketergantungan kita terhadap gandum makin tinggi, dan ketergantungan itu sebenarnya bisa dicegah dan diatasi. Solusinya? Ya jangan dibiasakan makan makanan berbahan gandum sebagai bagian menu sehari-hari. Cukup kita makan sesekali. Jadi jangan sampai dianggap sebagai makanan pokok. Karena saat kita menganggap gandum sebagai makanan pokok, kemandirian pangan kita sebagai bangsa otomatis sudah sirna.

Saat impor dilakukan, produk yang dihasilkan produsen pangan lokal juga terpukul. Konsumen gandum yang secara sadar makan gandum terus menerus sebagai makanan pokok secara langsung atau tidak langsung telah memukul saudaranya sendiri yang menggantungkan kehidupan mereka dari penjualan bahan pangan lokal. Ini mencemaskan!

Kerugian lainnya ialah bagaimana impor bahan pangan berdampak pada perkembangan potensi pangan lokal kita. Karena terlalu sibuk mengimpor dan menghabiskan dana untuk itu, kita menjadi lalai untuk merawat warisan tanah air kita sendiri. Potensi pangan Indonesia amat banyak. Tak hanya beras saja yang bisa kita makan sebagai makanan pokok bukan? Ada banyak umbi-umbian dan sumber pangan nabati lokal lainnya yang sebetulnya sudah banyak dikenal tetapi mulai ditinggalkan karena dianggap udik, kurang relevan dengan cita rasa modern.

Nah, setelah ini apakah Anda juga mau memperbanyak konsumsi pangan lokal? Bahan pangan lokal apa yang membuat Anda ‘ketagihan’ dan pantas untuk diangkat ke khalayak yang lebih luas?

 

 

Apparently the US,too, is Struggling against Plastics

Seated from left to right: Agnes Stafford, Michelle de Pass, the moderator whose name I don't even know (As I missed the half of the show), and A. Ruwindrijarto (founder of telapak.org)It’s always tickling me to find out  how American and European rivers can stay (or at least look) pristine.  So I thought they have applied a very effective system to treat plastic garbage.

Thanks to my curiosity, I shamelessly asked this question to Michelle de Pass, a representative of the US Environmental Protection Agency (EPA). For your information, the first time I heard this abbreviation was when I watched “The Simpsons: The Movie” (miss watching it!).

Ms. de Pass admitted that the US itself is making its best efforts to tackle this plastic  ‘monster’. Did she say something about “a  mousetrap”?

Indonesia Technopreneur Community: Bridging is the Key

Startup Weekend: Where it takes only 54 hours to launch a new business!

Indonesia keeps great deal of potential. Great ideas are scattered just everywhere. Smart brilliant youths are not difficult to find. Not to mention the overly hyped natural resources potential. But one thing holds the nation back. We (excuse my diction, peeps!) do suck when it particularly comes to coordinating.

I thus far have attended several great entrepreneurial events like seminars, pitchings, meetups, and so forth but as far as I’m concerned there’s no apparent, real, mutual interest and vision that unite Indonesian entrepreneurs. In other words, these people are walking towards the same destination but they prefer different paths. It’s quite obvious when I found some people from BPPT (Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi? Gosh, too many acronyms and abbreviations in this country) and #StartupLokal community weren’t aware of each other’s presence and existence. And it made me wonder why. The two groups share the same interest, i.e. entrepreneurship, so why didn’t they walk hand in hand? So I arrive to the conclusion that entrepreneurs in Indonesia badly need bridging, consolidating within themselves. The bureaucrat and the grass-root entrepreneurs should go hand in hand.

But certainly things are getting better now. Indonesia Technopreneur Community (ITC), founded and initiated by Nico Budianto, tries to bridge this. He stated in front of the Startup Weekend that the community aims to collaborate with more and more entrepreneurial groups out there. To show that Mr. Budianto meant his words, ITC is currently being actively engaged in events like Startup Weekend along with numerous parties like Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, Kauffman Foundation, British Council, Investidea, etc.