Agar Tidak Iri atau Sakit Hati di Kelas Yoga

‎Seperti halnya latihan sendiri (self practice), mengikuti kelas yoga dengan teman-teman yang memiliki tingkat penguasaan asana yang bervariasi memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah membuat peserta lebih bersemangat mengikuti dari awal sampai akhir karena ada teman yang sudah dikenal baik di dalam kelas. Biasanya orang lebih suka ikut kelas yoga karena teman baiknya juga ada di sana.

Kerugiannya ialah timbul iri hati karena tingkat penguasaan asana yang mungkin timpang dalam sebuah kelas yoga. Mengapa saya katakan “tingkat penguasaan asana”? Karena inilah yang paling mudah dilihat. Untuk aspek meditasi dan spiritual, tentu lebih sukar untuk diketahui sehingga keuntungannya tidak mudah menimbulkan iri hati.

Di atas langit, ternyata masih ada langit. Begitu tiap kali saya masuk ke kelas baru atau bertemu dengan orang baru. Mungkin di satu sisi, mereka terlihat payah tetapi begitu kita mengamati sisi lain, mereka berubah begitu ‎mengagumkan. Dan juga sebaliknya. Ada orang yang juga sebelumnya tampak bagus tapi ternyata juga ada sisi payahnya. Semua itu menjadi kejutan-kejutan yang sering muncul dalam kelas yoga yang muridnya beragam dan kerap berganti. ‎
Saya ingat dengan ucapan seorang teman guru yoga yang dengan santainya berkata,”Memang aku tidak bisa pose itu tapi aku bisa pose yang lain.” Ia bukannya tidak mau mengalah atau mengaku kalah di depan orang tetapi bagi saya ia tengah berupaya memaafkan bahkan menghormati keterbatasan diri. Ia berusaha tidak melanggar batas-batas itu dengan sewenang-wenang dan meski ia memang ingin mendobrak keterbatasan itu, ia tidak serta merta melakukannya secara sembrono dan tergesa-gesa. ‎

Inikah Awal dari Akhir Prospek Bisnis Sekolah Yoga?

Apakah ini akhir propek bisnis sekolah yoga? Hmm, bisa jadi. Atau tidak. Tetapi tahukah Anda sebuah mat cerdas bisa ‘mengajar’ yoga sebagaimana instruktur yoga Anda?

Mat yoga – seperti ponsel – juga bisa makin cerdas rupanya. SmartMat bisa jadi solusi bagi penggemar yoga yang tidak ingin harus hadir ke kelas yoga di gym dan studio yoga yang mahal atau jauh dari tempat tinggal.

SmartMat dalam aspek tertentu memang bisa menggantikan tugas guru yoga. Mat ini memiliki sensor-sensor yang mengukur dan menyeimbangkan postur Anda. Mat ‘ajaib’ itu akan meberikan saran khusus bagi setiap pemakainya agar kualitas latihan yoga mereka bisa meningkat dari latihan ke latihan.

SmartMat juga bisa dihubungkan dengan smartphone kita. Sebelum penggunaan, Anda perlu mengkalibrasinya untuk mengenali pemakainya. Caranya adalah dengan memasukkan data seperti berat dan tinggi badan, usia, jenis tubuh (ecto/endo/mesomorph), hingga bentangan lengan Anda. Agar saran yang diberikan lebih akurat, Anda juga perlu melakukan berbagai pose dasar untuk membantu mat ini mengenali teknik-teknik yoga Anda, yang kerap kali bisa berbeda pada setiap orang.

Bagaimana cara kerjanya? Mat ini akan mengukur tekanan dari bagian tubuh pemakainya dan mampu menentukan postur Anda bahkan mengetahui keseimbangan Anda saat misalnya berdiri di satu kaki dalam pose pohon atau pose natarajasana yang jauh lebih menantang. Mat ini akan memberikan saran agar tubuh lebih seimbang dan kokoh lagi dalam melakukan pose yoga.

Ucapkan selamat tinggal pada guru yoga Anda juga karena mat cerdas ini dilengkapi aplikasi smartphone yang bisa diunduh gratis untuk melengkapi latihan Anda setiap hari. Kelas yoga pribadi Anda tak akan lagi monoton karena aplikasi itu memberikan panduan sepanjang latihan bak guru kesayangan Anda.

Tidak seperti guru yoga Anda, mat ini bisa diatur. Ada 3 mode berbeda yang bisa dipilih menurut selera: Home Use, Class Assist dan Zen Mode. Apa beda masing-masing mode itu? Untuk dua mode di awal, Anda akan diberi saran perbaikan (adjusting) secara real time. Khusus Zen Mode, mat tidak akan ‘cerewet’ memberikan masukan saat Anda masih melakukan gerakan tetapi menyimpan masukan nanti setelah Anda selesai agar konsentrasi Anda tidak terganggu.

Nah, kalau diadu soal harga, mat cerdas ini pastinya jauh lebih mahal dari mat Lulu Lemon atau Manduka Anda sekarang. Satu helai mat dibanderol 297 dollar AS (jika Anda beli sekarang dengan mendukung kampanye mereka di Indiegogo) tapi jika Anda membeli nanti setelah kampanye mereka usai, Anda harus merogoh kocek lebih dalam lagi yaitu 447 dollar AS. Kampanye mereka akan berakhir 30 Oktober nanti. Dan untungnya, mereka sudah meraup 196% dukungan dana dari orang-orang yang berminat.

Neyma Jahan adalah ‘dalang’ di balik SmartMat. Ia mengklaim SmartMat sebagai mat responsif pertama di dunia, yang mungkin akan ‘sedikit’ mengurangi lapangan kerja bagi guru-guru yoga di seluruh dunia.

Namun, menurut hemat saya tetap saja ada bedanya antara menggunakan mat secerdas apapun dengan masuk ke kelas dan dipandu guru yoga yang berwujud manusia biasa. Lagipula, mengingat harganya yang tidak murah, berapa orang di dunia yang mau membeli dan menggunakan mat cerdas ini? Rp 3 juta lebih hanya untuk sebuah mat??? Boleh jadi kalau Anda memang hartawan yang sudah bingung bagaimana cara membuang uang. Akan tetapi bagi kebanyakan peminat yoga yang masih ‘angin-anginan’ (belum semilitan mereka yang terjun sebagai profesional), kesediaan membayar demikian mahal untuk sebuah mat masih dipertanyakan.

Terlepas dari kontroversi apakah mat pintar ini bisa menggerus lapangan kerja para guru yoga di masa depan, saya berani bertaruh bahwa mat ini tidak akan bisa menggeser peran guru yoga yang KOMPETEN dan TULUS dalam mengajar. Percayalah, TIDAK akan ada teknologi yang bisa menggantikan penghayatan dan ketulusan Anda dalam mengajar. Namun, jika Anda memang guru yoga yang tidak mau terus mengasah pengetahuan dan pengalaman, mat cerdas ini harus dianggap sebagai ancaman besar.

Guru!!! (Bagian 3)

Udara dalam ruang apartemen mewahnya cukup membuat saya sedikit menggigil. Dari sebelah terlihat sebuah gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang megah.

Murid saya ini tidak memiliki mat yoga sehingga ia menggunakan karpet ruangan sebagai alas saja. Saya menyarankannya membeli di toko terdekat tetapi beberapa pekan kemudian ia tak jua mendapatkan mat. Entah karena tak ada waktu untuk membelinya atau karena menurutnya tidak perlu menggunakan mat saat berlatih.

Karena saya datang terlalu awal, tersedia sedikit waktu untuk mengobrol ringan. “Saya bekerja di Cengkareng, jadi lebih enak rasanya olahraga pas waktu sore. Kalau pagi hari, saya sering langsung berangkat kerja. Tidak ada waktu berolahraga,”ia berceloteh dalam bahasa Inggris. MC tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia lulusan New York University dengan pengalaman di dunia industri penerbangan komersial.

Kerja saya cukup menantang juga karena saya mendapati otot-otot tubuhnya yang kaku. MC, sebagaimana banyak orang Kaukasia lainnya, kurang biasa berjongkok. Saat saya melakukan jongkok dengan begitu alami dan tanpa upaya berarti, MC rupanya memiliki pinggul yang kaku dan otot kaki yang tegang juga akibat terlalu sering jogging.

Karena kelas kami berlangsung di malam hari dan MC mengatakan preferensinya adalah yin yoga, saya tidak mengajarkan gerakan yang terlalu menantang tetapi yang lebih menenangkan di waktu setelah bekerja di kantor. Lalu kami berfokus lebih banyak pada gerakan-gerakan peregangan dan restoratif.

Terungkap satu keunikan dalam anatomi tubuh MC. Saat saya menyuruhnya tadasana (pose gunung) dengan kedua telapak kaki paralel atau sejajar satu sama lain dengan jari jemarinya mengarah lurus ke depan, kedua telapak kaki MC selalu membuka. “Memang di keluarga saya begini, Akhlis. Saudara-saudara dan ayah saya kakiknya mengarah ke luar, tidak bisa sejajar, dalam kondisi normal. Posisi ini bisa dikoreksi tetapi tidak bisa bertahan lama. Saya sendiri tidak tahu mengapa,”terang MC. Saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasannya. Jadi ini keunikan anatomi genetis, saya menyimpulkan.

Keunikan itu pula lah yang membuat MC tidak dapat berdiri sebagaimana orang lain saat tadasana dan vrksasana (pose pohon). Saya pun memakluminya.

Kebiasaannya sebagai perenang dan pelari masuk dalam latihan yoga kami. Saat saya mengatakannya untuk bernapas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan, MC secara otomatis menggunakan mulut. “Sebaiknya pakai hidung saja, MC. Dalam berlatih yoga, biasanya kita pakai pernapasan dengan hidung, kecuali dikatakan secara jelas untuk bernapas melalui mulut seperti sitali dan sitkari. Filosofinya, jangan sampai membuang tenaga prana itu ke luar tubuh dengan menghembuskan napas ke luar tubuh lewat mulut. Dengan hidung, prana itu akan tetap bersirkulasi dalam tubuh kita,”jelas saya penjang lebar sembari mengingat sedikit penjelasan teman saat dulu saya membuat kesalahan yang sama.

20140628-141546-51346454.jpg

Guru!!! (Bagian 2)

MC tidak bisa disalahkan juga. Saya ingat yoga dianggap sebagai olahraga ringan nan feminin karena pencitraan yang salah kaprah yang diakibatkan kampanye pemasaran oleh pengusaha-pengusaha Barat. Padahal riwayat yoga sungguh patriarkal, macho. Inilah olah badan, jiwa dan semuanya yang didominasi kaum pria. Patanjali, Iyengar, Patabhi Jois, Krisnamacharya, bukankah mereka semua lelaki? Sayangnya, tidak demikian di Amerika Serikat. Yoga dikemas sebagai alat menarik ibu-ibu rumah tangga yang ingin menjadi lebih kurus kering seperti yogi-yogi India.

Pagi itu tanggal 15 Oktober 2013, kami merayakan Idul Adha. Usai solat Ied di masjid terdekat, saya kembali bekerja. Ya, Anda tidak salah baca. Saya masih bekerja meski di hari libur seperti ini. Sekadar memperbarui beranda depan situs pekerjaan saya. Demi traffic. Bah!

Lalu sekonyong-konyong masuklah surel dari MC. Isinya:
“Hi!
Apakah bisa latihan pertama hari ini saja? Saya libur. Apakah mungkin Anda mengajar hari ini?

MC”

Berkah Idul Qurban! Saya dapat pekerjaan! Tapi sedetik kemudian saya kebingungan karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya ajarkan padanya dan karena saya tidak tahu seperti apa MC sebenarnya, saya panik. Kemudian setelah sedikit menenangkan diri, saya membalas surelnya:

“Hi!

Pukul berapa? Bagaimana jika pukul 5 sore?”

Saya pikir akan lebih enak jika petang hari. Akan ada lebih banyak waktu untuk menyiapkan segalanya.

Sebentar kemudian saya mengaduk-aduk gudang informasi dalam perpustakaan pribadi sebagai inspirasi untuk nanti. Harus bagaimana? Apakah saya harus mengajar dengan pakaian seadanya? Apakah saya harus tampil sporty seperti guru yoga profesional dengan busana bermerek Nike atau Reebok? Bagaimana dengan mat? Ya ampun, mat saya kan biasa begitu? Bukan Jade atau Lulu Lemon. Lalu karena MC pernah cedera bahu, apa saja pose-pose yang aman dan mana yang harus dihindari? Karena dia mau lebih lentur juga, pose-pose apa yang mungkin bisa menambah kelenturan? Split? Tapi apakah itu tidak terlalu berat baginya yang mengaku beginner dalam yoga? Ahh, tiba-tiba semuanya jadi terasa kacau. Kondisi tiba-tiba menjadi rumit karena persiapan yang terlalu singkat ini.

Pukul 5 saya pun meluncur ke apartemen Ascott di dekat Bundaran Hotel Indonesia yang konon mirip desain iluminati itu. Ojek saya dalam 10 menit berhasil melesat ke sana. Saya bahkan sampai di sana terlalu awal.

Tentang tarif per kelas, MC keberatan dengan tarif yang saya ajukan. Itupun karena saya menanyakan pada seorang teman yang bekerja penuh waktu sebagai guru yoga. Katanya,”Naikin aja! Siapa tau dia mau!” MC keberatan dan menawar setengah tarif yang saya ajukan, yang pada dasarnya rekomendasi teman saja. Dan kini saya mungkin dicap MC sebagai guru yoga komersil, mematok harga seenaknya.

Tidak lupa saya mengatakan di awal bahwa saya belum bersertifikat bahkan sebelum saya menyanggupi permintaan MC untuk mengajar. Saya tidak ingin menutupi fakta bahwa saya belum lulus dari sebuah perjalanan panjang yang disebut pelatihan guru yoga yang mungkin juga tidak akan saya pernah bisa lalui dengan mulus apalagi sampai lulus. Tentang hal ini, lain kali saya bahas lagi. Panjang dan dalam ceritanya.

Saya sampai di lobi apartemen itu, menukar kartu identitas lalu ke lift dan menekan tombol 27. Untuk tidak setinggi kantor saya nanti di lantai 39.

Karena saya sudah melakukan sedikit penyelidikan di dunia maya tentang asal usul MC, saya tak terlalu terkejut saat menyaksikannya membuka pintu. Seorang pria Kaukasia tanpa sehelai rambut pun di kepalanya. Di surel, saya pernah menyertakan tautan berita lama dengan sebuah foto yang tampaknya adalah MC. Dia mengenakan setelan jas formal dengan beberapa orang di sampingnya, salah satunya adalah pemegang saham perusahaan yang dijalankan MC, Sandiaga Uno. Mereka tampak berpose di panggung sebuah jumpa pers, setting yang amat familiar dengan pekerjaan saya juga. Ia menjawab:”Benar itu saya, tetapi saya sudah melakukan pekerjaan lain sekarang.”

Tingginya sedang saja, untuk ukuran orang benua Amerika dan Eropa. Mungkin 180-an centimeter. Tetapi saya tidak sampai mendongak ke atas untuk berbicara. Usianya mungkin sekitar akhir 40-an atau awal 50-an. Tidak gemuk tetapi juga tidak kurus. Tidak banyak otot juga. “Lean” bisa jadi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Meski mengaku sebagai perenang, tingginya tidak sampai rangka atas pintu.

MC mempersilakan saya masuk ke apartemennya. Sendiri saja tanpa teman saya masuk ke dalam, seperti seekor ayam dipersilakan masuk oleh sesama ayam yang ramah, yang entah siapa tahu bisa menanggalkan bulunya dan menjadi serigala. Sebetulnya saya merasa biasa saja, tetapi begitu saya ditanya oleh sesama teman tentang murid privat saya ini, mereka menakut-nakuti dengan mengatakan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sedikit pun sebelumnya, seperti…hmmm, sudahlah tak perlu dirinci.

MC tampaknya tinggal sendiri di sini. Apartemennya senyap. Tak ada jejak khas keluarga di sini. Semuanya kaku dan dingin. Tidak ada foto keluarga, tidak ada jeritan anak kecil. Hanya dia sendiri, dan saya, guru yoganya.

(bersambung)

20140626-224057-81657183.jpg

Guru!!! (Bagian 1)

Seorang guru tidak pernah menjadi guru dengan sendirinya. Seorang guru, apapun bidang yang digelutinya, baru akan menjadi guru jika orang lain menganggapnya demikian. Pengakuan status guru itu tidak perlu harus dengan sertifikasi yang berbelit dan menghabiskan uang tetapi yang pasti tentu saja menghabiskan pikiran, waktu dan tenaga karena pertama-tama si guru harus belajar banyak dan praktik lebih banyak juga.

Karena itu, saya segan mengecap diri sebagai seorang guru. Acap kali ditanya,”Apakah kamu mengajar? Apakah kamu guru yoga?” Rasanya aneh untuk menepuk dada dan mendeklarasikan bahwa saya guru. Saya malu mengatakan saya guru, selain karena masih minimnya pengalaman dan pengetahuan, juga karena ini semua masih terlalu awal. Sangat prematur. Butuh bertahun-tahun untuk belajar dan mendalami serta mematangkan apa yang sudah dipelajari. Lambat? Bukan masalah bagi saya. Tidak ada target untuk kepuasan pribadi. Saya hanya ingin menikmati prosesnya, tanpa terpatok hasilnya.

Membahas tentang guru dan murid, saya teringat dengan murid pertama saya. Sebelumnya saya sudah beberapa kali mengajar yoga karena terpaksa. Iya, terpaksa. Entah itu karena tidak ada guru lain yang lebih kompeten atau karena memang saya yang sedang “ketiban pulung.” Tentu saja itu tidak bisa dianggap sebagai mengajar yang sungguh-sungguh dan profesional. Murid-murid itu, atau lebih tepat disebut kelompok orang yang berdatangan ke taman tersebut, tidak bisa memilih guru mereka. Di sini, mereka tidak memiliki hak opsi, memilih layaknya warga negara yang bisa mengikuti pemilihan umum, tetapi cuma menjadi makmum. Dan saya juga merasa lebih banyak berbagi daripada mengajar. Saya tunjukkan bagaimana cara berlatih sehari-hari. Itu saja, dengan sedikit pose-pose “gila” yang menjadi kesukaan saya tentunya. Saya tidak bisa secara intensif mengetahui perkembangan dan kondisi satu persatu murid. Hal itu membuat saya lebih terkesan hanya memberi instruksi daripada secara aktif membimbing.

Namun, murid saya yang berinisial MC itu berbeda. Dia memilih saya secara sadar dan memperlakukan saya layaknya guru profesional. Terakhir kami bertemu adalah satu hari di bulan November yang basah di Jakarta tahun 2013. Lebih dari setengah tahun dari sekarang. Entah di mana dia sekarang. Mungkin tidak lagi menjejakkan kaki di tanah Indonesia.

Saya tiba-tiba teringat MC karena tanpa sengaja membaca sepotong berita yang isinya mengabarkan kembali jatuhnya sebuah maskapai penerbangan swasta nasional di situs berita bisnis yang menjadi sumber mata pencaharian saya. Pengusaha terkenal Sandiaga Uno sempat turun tangan, tulis si jurnalis, tetapi tak ayal lagi depresiasi rupiah mencekiknya. Para pegawai disodori pesangon. Tragis. Tak ada nama MC disebut meski ia adalah petinggi di maskapai itu.

MC yang ekspatriat itu menemukan saya melalui dunia maya. Kegemaran saya menulis blog tentang yoga dalam bahasa Inggris menjadikan saya lebih mudah ditemukan di lautan informasi yang bernama Internet. Saya juga patut berterima kasih pada Mira Jamadi, seorang guru yoga Amerika yang tinggal di Prancis. Ia mengajar yoga di Namaste Festival 2012 dan saya sempat memberikan sedikit ulasan di blog dan ia membacanya lalu menaruh tautannya di situsnya. Dari sana, tulisan saya lebih banyak dibaca pengunjung situs Mira. Dugaan saya, MC juga mulanya mengaduk-aduk informasi di situs Mira dan menemukan tautan ke blog saya.

Apapun itu, MC sampai di blog saya dan menemukan cara menghubungi saya di laman “About”. Semua orang bisa menemukan alamat surel saya dengan mudah di blog. Tak ada nomor ponsel, hanya jejaring sosial.

Pagi tanggal 13 Oktober 2013, MC mengirim via surel untuk menanyakan apakah saya bisa mengajar yoga untuknya saja. “Jadi ini akan menjadi kelas privat pertama saya, jika tercapai sepakat,”batin saya. Saya masih belum yakin dengan keseriusannya. Saya belum berani memutuskan. Lebih lanjut saya bertanya latar belakangnya dalam berlatih yoga, adakah kondisi kesehatan khusus, penyakit, dan sebagainya. Saya tidak mau mengajar “kucing dalam karung.” Akan sangat memalukan jika saya asal berkata sanggup dan tidak bisa menepatinya nanti. Bagaimana jika ia ternyata mengidap kelainan yang saya tidak ketahui dan latihan yoga saya membuatnya lebih parah dari sebelumnya? Saya dihantui pikiran-pikiran semacam itu karena saya tak pernah bertemu MC secara langsung sebelumnya. Saya hanya bisa terus menebak-nebak. Menurut pengakuannya, ia pernah cedera bahu karena berenang secara kompetitif. Jadi mungkin MC itu tubuhnya sangat tinggi, prediksi saya.

Soal tarif mengajar, saya cukup kesulitan menerapkan karena tidak ada yang bisa memberikan gambaran tentang kisaran tarif kelas yoga privat di ibukota. Saya tak pernah mengajar secara profesional sebelumnya dan ini asing bagi saya. Karena kebingungan menetapkan tarif, akhirnya saya putuskan menghubungi seorang teman yang dulunya bekerja di sebuah perusahaan tetapi kini ia hanya mencari nafkah dari yoga. Sebuah keputusan yang berani. Saya sangat mengapresiasi keberanian seperti itu. Belajar dari pengalamannya, temannya yang lain ikut mengundurkan diri sebagai karyawan dan berdua mereka mengais keberuntungan di dunia yoga ibukota. Sementara saya di sini masih gamang dengan menulis atau yoga. Keduanya memberi saya “roh” dalam menjalani kehidupan. Saya merasa berarti dan dihargai karena keduanya.

MC menjawab sekitar pukul 7.06 malam tanggal 13 Oktober 2013:”Terima kasih sudah membalas. Saya baru belajar yoga. Pernah ikut kelas di Desa Seni di Bali Juli kemarin. Saya mau sebuah kelas privat di Jakarta.”

Esok harinya tanggal 14 Oktober 2013, MC kembali membalas dengan mengatakan ia pernah mengikuti kelas Angela dan Anna di sana. Rasanya enak, tulis MC mengenang sensasi setelah mengikuti kelas yoga pertamanya.

Untuk memastikan jenis yoga yang ia anggap “enak” itu, saya bertanya lebih rinci lagi. Ternyata kesukaannya yin yoga dan hatha yoga. Ia tertarik dengan kebugaran dan kelenturan. MC sempat menyebut “menua” sehingga saya menebak usianya sudah cukup uzur. Setidaknya lebih tua dari saya. Kini ia lebih suka berselancar, angkat beban yang ringan, berlari, dan yoga yang dianggapnya lebih lembut dan minim cedera. Padahal tidak juga.

(bersambung)

20140626-104755-38875539.jpg

Anglophilia dalam Sastra, Entrepreneurship dan Yoga

Pertama kali saya mendengar istilah “anglophilia” adalah saat saya duduk di semester 6. Istilah ini merujuk pada kekaguman terhadap budaya dan adat Inggris dan masyarakat Inggris, intinya semua yang berbau Inggris (dan Amerika Serikat, karena secara historis Inggris juga menjadi nenek moyang sebagian warga AS). Saat itu dosen mata kuliah Kritik Sastra memberikan novel untuk dibahas. Novel itu berjudul “The God of Small Things” yang dikarang Arundhati Roy. Novel itu bertemakan kehidupan masyarakat di sebuah daerah di India yang sarat pemujaan dan kekaguman terhadap segala hal yang berbau Inggris (Barat). Seseorang dikatakan terpelajar dan cerdas serta berwawasan luas bila ia mampu menyerap pemikiran ala Inggris dan berprilaku layaknya manusia Inggris, meski pada dasarnya mereka orang India asli dan lahir dan tinggal bahkan mati di India juga.

Indonesia, seperti India dan negara-negara bekas jajahan negara Eropa, juga menderita sindrom serupa. Tidak perlu memiliki kecerdasan yang luar biasa untuk merasakan betapa masyarakat Indonesia masih sangat amat berkiblat pada Barat (AS, Inggris dan Eropa pada umumnya). Kebudayaan Anglo-saxon memang begitu merajalela di dunia dan kita tidak perlu heran. Karena sejak berabad-abad yang lalu, bangsa-bangsa Eropa terutama Inggris sangat maju dalam pemikiran dan agresif mengeksplorasi dunia. Saat saya membaca novel The Signature of All Things karya Elizabeth Gilbert, misalnya, saya makin paham bahwa bangsa Inggris memang sangat mengagumkan (saya juga seorang penderita anglophilia). Mereka sangat berani, penuh strategi, bervisi dan misi yang jauh ke depan, penuh inisiatif, dan mau berkorban (tidak takut sengsara).

Hebat memang, tetapi di saat yang sama juga miris. Bagaimana dengan kita? Budaya kita, bahasa kita, adat istiadat kita?

Dominasi ini selalu tercium di 3 bidang yang saya tekuni saat ini: sastra, entrepreneurship dan yoga.

SASTRA
Jujur saja, saya memilih untuk les bahasa Inggris di kelas 6 SD karena berpikir kemampuan berbahasa Inggris ‘keren’. Berbahasa asing itu penuh prestise. Orang akan kagum pada orang yang lancar berbahasa asing terutama Inggris. Dan itu juga karena bahasa Inggris memberikan nilai jual jika hendak bekerja nanti. Saya akhirnya mantap untuk mengabdikan diri pada bahasa Inggris di usia semuda itu. Tidak ada pelajaran yang membuat saya tertarik begitu hebat selain bahasa Inggris. Tak peduli guru bahasa Inggris saya payah, guru saya galak, atau pengucapannya amburadul, saya masih tetap menyukai bahasa Inggris. Dan saya cuma membayangkan kelak kuliah di jurusan bahasa Inggris, tidak ada bayangan lain. Hanya itu.

Saya tiap malam, sejak usia TK, akrab dengan tontonan Barat yang berbahasa Inggris. Saat kakek menonton Remington Steele yang dibintangi Pierce Brosnan, saya ikut menonton. Sampai habis lewat tengah malam. Lalu ada Melrose Place, Beverly Hills 90210, Full House, Silk Stalking, Little House on the Prairie, dan semua film kartun animasi di sore hari. Semuanya berbahasa Inggris. Tak ada sulih suara alias dubbing. Saya ingat frase yang pertama kali saya pelajari dari serial Bonanza adalah “what’s the matter?” Dan subtitle menunjukkan “Ada apa?”

Semua pengaruh itu meresap dan tertancap hingga saya tanpa ragu memilih jurusan sastra Inggris saat kuliah. Sebenarnya saya juga memilih Hubungan Internasional dengan alasan bisa menjadi diplomat yang nanti juga menggunakan bahasa Inggris saat bekerja. Tetapi untunglah tidak diterima karena Tuhan tahu saya benci politik dan intrik-intrik.

Selama 4 tahun penuh saya masuk ke jurusan sastra Inggris dan saya resmi menderita sindrom Anglophilia ini. Semua hal yang saya baca, dengar, bahkan gumamkan dan pikirkan diusahakan dalam bahasa Inggris: menggerutu dalam bahasa Inggris, bersumpah serapah dalam bahasa Inggris, melamun dalam bahasa Inggris. Saya mati-matian meniru pengucapan yang benar, logat dan nada para penutur asli alias native speakers dengan sebaik-baiknya dengan harapan 100% bisa menjadi “Inggris seutuhnya” meski tahu itu musykil semata.

Belum cukup 4 tahun, saya melanjutkan 3 tahun di studi magister saya yang konsentrasinya juga sastra Inggris. Saya berharap bisa menjadi “Inggris yang mabrur”. Entah kenapa saya bisa sedemikian terbiusnya. Saya hanya tahu saya suka. Alasannya? Saya tidak bisa jelaskan secara logis. “Suka ya suka. Titik,”begitu mungkin kalau saya didesak mengatakan alasannya. Kalaupun saya bisa menjawab karena faktor X, faktor Y, itu semua hanya karena ingin tidak terlihat bodoh saja. Semuanya ini saya lakukan secara naluriah. Saya tak punya penjelasan logis untuk menjelaskan kegilaan saya pada bahasa dan budaya Anglo-saxon ini. Semua yang berbau Inggris dan Amerika Serikat rasanya merangsang saya untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Kegilaan anglophiliac itu berlanjut terus sampai sekarang, saat saya bekerja sebagai penerjemah. Saya pun menjadi penerjemah bahasa Inggris ke Indonesia dan semua bacaan saya tiap hari bahasa Inggris. Konsekuensi pekerjaan yang tak mungkin dihindari.

Namun, di saat senggang entah kenapa saya juga tertarik membaca buku-buku berbahasa Inggris. Salahkan toko buku Periplus yang ada di lobi gedung kantor saya. Letaknya begitu dekat, tak habis 5 menit untuk menjangkaunya dari meja kerja saya di lantai 39.

Di sastra dan dunia kepenulisan, saya juga merasakan nuansa anglophilia yang kental. Misalnya, semua buku berbahasa Inggris rasanya lebih mahal dari yang berbahasa Indonesia. Di Periplus, “Madre” karya Dewi Lestari cuma 60 ribuan. Sementara yang karya berbahasa Inggris bisa 100 ribu lebih. Bahkan karya Pramudya Ananta Toer dan Umar Kayam dan Andrea Hirata yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris juga harganya lebih mahal daripada versi Indonesianya. Tentu karena harus ditambah biaya penerjemahan juga.

Setelah hadir di ASEAN Literary Festival hari ini di Taman Ismail Marzuki tadi, saya juga mencium atmosfer anglo-sentris. Mengutip kata-kata salah satu pembicara tadi,”Karya sastra berbahasa non-Inggris karya sastrawan negara-negara yang tidak memiliki tradisi bahasa Inggris berpeluang lebih tinggi untuk diorbitkan ke kancah dunia jika setidaknya sinopsisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.” Wow, sebegitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sebagai medium di dunia sastra! Bahkan sering karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa non-Inggris harus diterjemahkan ke bahasa Inggris dulu baru kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa lain. Inilah yang disebut penerjemahan cara “relay”, seperti lari estafet. Makna dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Dan bahasa Inggris menjadi mata rantai utama dalam arus estafet makna ini.

ENTREPRENEURSHIP
Sama saja. Di dunia wirausaha dan keuangan, semua masih berkiblat ke pusat-pusat bisnis di negara Anglo-saxon (AS dan Inggris). Siapa yang tidak mau sesukses alm. Steve Jobs, sekaya Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, Jan Koum? Semua entrepreneur hebat dunia rasanya cuma ada di satu tempat: Silicon Valley. Alhasil, banyak negara berlomba meniru Silicon Valley. Mereka ingin mengembangkan Silicon Valley di negara mereka sendiri-sendiri. Sebuah tempat yang dipadati dengan kantor-kantor startup digital dan teknologi yang ‘keren’, menghasilkan banyak uang dengan berbekal kemampuan coding dan pemrograman, kecerdasan teknologi dan sebagainya. Dulu di Depok pernah berhembus kabar akan didirikan semacam pusat komunitas entrepreneur dan startup digital yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Indonesia. Lalu ada di Yogya juga ide semacam itu. Apakah berhasil? Entahlah, saya tak begitu yakin.

Saat saya menghadiri acara diskusi bersama Saras Sarasvathy (pengajar entrepreneurship dan etika di Darden’s MBA Program, Amerika Serikat), ia juga mengatakan bahwa para entrepreneur di Asia dan negara berkembang lainnya masih belum banyak “bersuara” di kancah dunia. Asia masih menjadi seperti “misteri”, kata Saras. Itu karena entrepreneur di Asia masih percaya bahwa kiblat ada di Amerika dan Inggris, menganggap bahwa semua tren dan hal yang berasal dari sana juga pasti akan cocok dan “menjual” di sini. Entrepreneur negara-negara berkembang juga lebih suka mengadopsi ide-ide bisnis dari AS karena mereka yakin itu “keren” dan disukai konsumen domestik. Kalaupun tak mengadopsi mentah-mentah, mereka akan memberikan sedikit penyesuaian agar lebih disukai konsumen dalam negeri, dan penyesuaian itu biasanya berarti “penurunan” dalam banyak hal terutama kualitas, kenyamanan, keandalan, dan sebagainya.

Dan harus diakui bahasa Inggris juga berperan untuk membuat kiprah para entrepreneur negara berkembang lebih terdengar di dunia internasional. Teman saya misalnya mengeluhkan situs perusahaan yang tidak menyediakan konten berbahasa Inggris, padahal konten berbahasa Inggris diperlukan untuk menyampaikan ide dan pemikiran ke kalangan yang tidak familiar dengan bahasa Indonesia.

Tragisnya, bagi entrepreneur Indonesia yang kemampuan berbahasa Inggrisnya rendah, kemampuan mereka melaju ke kancah dunia juga menurun. Seperti yang saya saksikan dalam sebuah lomba pitching, sebagian entrepreneur yang berbahasa Inggris bagus bisa memukau calon investor, sisanya memprihatinkan dan kurang menakjubkan karena penyampaian dalam bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Ini juga berkaitan dengan banyaknya investor asing dari luar yang masuk ke Indonesia. Dan rata-rata adalah penanam modal dengan hubungan langsung atau tidak langsung ke negara-negara Anglo-saxon.

YOGA
Bahkan di dalam yoga yang notabene asalnya dari India, nuansa Anglophilia sangat “menusuk.” Jika dulu orang hanya mempelajari yoga dari teks-teks kuno berbahasa Sansekerta, kini buku-buku terkaya, terbaik, terlengkap serta terlaris tentang yoga justru ada dalam bahasa Inggris. Ambil contoh buku ‘canon’ atau bible-nya para yogi saat ini: Light on Yoga. Tulisan Yehudi Menuhin ini dibuat dengan mengumpulkan ekstrak pemikiran B. K. S. Iyengar lalu mendokumentasikannya dalam bahasa Inggris.

Guru-guru yoga dari AS juga merajai berbagai perhelatan yoga di tanah air. Lihat saja Namaste Festival. Orang lebih tertarik mengikuti kelas guru-guru asing dari AS yang berbahasa Inggris daripada guru-guru lokal, dengan alasan mengikuti kelas guru lokal lain waktu juga bisa, tidak harus sekarang. Dan guru-guru asing ini mematok harga workshop yang fantastis. Setiap orang bisa diharuskan bayar Rp1 juta hanya untuk 6-8 jam mengikuti pelatihan. Untuk biaya pelatihan guru yoga, harganya bisa lebih mahal lagi karena jamnya jauh lebih panjang.

Sertifikasi guru yoga juga dibuat oleh Yoga Alliance, sebuah organisasi yang bertujuan membuat standarisasi dalam profesi guru yoga agar tidak semua orang bisa mengklaim sebagai “guru yoga yang berpengalaman.” Namun, di sisi lain sertifikasi ini menimbulkan polemik juga karena tak semua guru bersertifikat ternyata kompeten dan tidak semua guru tanpa sertifikat tidak kompeten dalam mengajar. Buah simalakama memang.

Tanda-tanda Anda Sudah Menemukan Guru Yoga yang Tepat

Menemukan guru yoga yang sesuai dengan kepribadian kita bukan perkara mudah. Tingkat kesulitannya bagi sebagian orang mungkin sebanding dengan mencari pasangan hidup, ada semacam ‘chemistry’ yang harus terbangun. Apa itu ‘chemistry’? Bisa jadi itu sebuah elemen X yang tidak pernah bisa dijelaskan atau diidentifikasi secara spesifik, terukur dan akurat tetapi kita hanya bisa merasakannya di dalam jiwa. Mungkin sesuatu yang berada di luar jangkauan akal sehat tetapi membuat kita mampu berpikir lebih sehat karena jiwa kita serasa terguyur cahaya setelahnya. Ringan tetapi bertenaga, lega tetapi juga tidak hampa.

Sebagai seorang pembelajar dalam yoga, murid perlu mengasah kepekaannya pula agar bisa mengenali guru mana yang sesuai atau kurang sesuai untuknya. Kebutuhan akan guru yang tepat membuat latihan menjadi lebih nyaman dan menyegarkan tidak cuma dalam aspek fisik tetapi juga batin.

Bagi Anda yang masih mencari-cari guru yoga yang tepat atau sudah memiliki guru tetapi masih merasa kurang nyaman saat berlatih, mungkin paparan saya berikut akan bisa memberikan sedikit pencerahan.

Sangat mustahil untuk mendapatkan guru yoga yang 100% sesuai dengan keinginan kita, tetapi jika Anda merasakan beberapa hal seperti berikut ini, Anda mungkin sudah menemukan guru yang setidaknya mendekati deskripsi idaman Anda.

  1. Anda merasa makin kaya dengan ilmu dan wawasan. Dari hari ke hari, Anda merasakan dalam diri Anda adanya akumulasi pengetahuan tentang cara melakukan yoga dengan lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan secara bertahap. Hal itu bisa diketahui dari aspek fisik, bagaimana kita lebih bijak menghadapi keterbatasan dalam berasana, mengelola cedera hingga mengatasi hal-hal yang lebih halus dan abstrak seperti mengendalikan amarah dan emosi negatif lainnya. Anda patut berbahagia jika guru Anda bersedia memberikan masukan dan kritikan atau mengatakan komentarnya saat Anda memintanya atau tidak. Waspadalah dengan guru yoga yang hanya menyerukan instruksi dengan lantang tetapi terkesan pelit dalam berbagi pengetahuan di balik instruksinya. Untuk itu, seorang murid juga perlu bersikap kritis saat berada di dalam kelas sehingga tidak terkesan menjadi wayang yang bisa digerakkan semau guru melalui kata-katanya. Jangan malu untuk bertanya, dan jika malu untuk bertanya di tengah kelas, temuilah guru sehabis mengajar untuk berbincang sejenak. Guru yoga idealnya mampu menjelaskan perkembangan latihan Anda selama belajar bersamanya. Tentu ini lebih sulit bagi guru yang memiliki jumlah murid yang demikian banyak dan datang silih berganti. Anda sebagai murid hendaknya jangan cepat berpuas diri jika mendengarkan komentar “sudah bagus” atau “lumayan” dari guru. Anda perlu mengorek informasi lebih dalam dari guru Anda. Jika memang muridnya banyak, ceritakan kesulitan-kesulitan Anda dalam berlatih. Intinya, guru yoga yang berkualitas juga harus diiringi dengan kemauan murid untuk bersikap proaktif jika ingin maju.
  2. Guru Anda sangat kompeten dalam mengajar dalam gaya atau aliran yoga yang Anda sukai. Banyak murid yang mengetahui yoga dari foto, video atau sekadar mendengar dari pembicaraan santai bersama teman. Mereka belum memahami bahwa dalam yoga sebetulnya ada begitu banyak pilihan aliran dan opsi. Ada yang merasa terpacu dengan cara berlatih aliran yoga tertentu, ada yang sebaliknya. Jadi meskipun Anda adalah seorang peminat yang masih sangat awam, ketahuilah preferensi dan kebutuhan pribadi Anda dulu baru temukan guru yang sesuai dengan ekspektasi. Dalam sebagian kasus dijumpai murid yang kurang ‘sreg’ dengan gaya mengajar atau metode belajar yang diberikan gurunya. Hal itu sah-sah saja. Bahkan kecocokan guru dan murid juga bisa berubah-ubah sesuai perjalanan waktu karena setiap pribadi manusia itu dinamis, begitu juga guru. Dengan demikian, jika Anda lebih menyukai yoga sebagai olahraga yang menguras keringat, Anda cenderung akan lebih menyukai guru yang menguasai aliran vinyasa yang dinamis, atau jika lebih menyukai latihan yoga yang lembut dan menenangkan, Anda lebih memilih guru yang menguasai yin yoga. Bagi mereka yang ingin mendapatkan manfaat penyembuhan dari gerakan yoga juga bisa menuai manfaat dengan belajar ke guru yoga khusus terapi yang mumpuni. Semua ada segmentasinya dan Anda bisa memilih. Kalau merasa bosan atau ingin tantangan baru, tidak ada yang bisa melarang Anda untuk mencoba aliran atau metode beryoga lainnya bukan? Guru akan mampu membantu Anda belajar dan berlatih lebih baik jika Anda memilih sesuai dengan yang Anda inginkan dan butuhkan. Jika tidak, pasti Anda akan merasa terpaksa dan kurang menikmati latihan yang dijalani. Saat berlatih dengan guru yang sesuai dan kompeten di bidangnya, dengan sendirinya Anda menjadi lebih bersemangat dan terpacu.
  3. Guru Anda membuat Anda nyaman bak teman. Tidak ada diskriminasi dalam mengajar, apalagi jika Anda ikut dalam kelas berjumlah peserta banyak. Guru yang baik mampu membuat Anda merasa diperhatikan. Guru yang baik juga memperbaiki kekurangan muridnya dalam berlatih. Rasa keadilan juga perlu ditegakkan dalam kelas. Guru idealnya tidak hanya memperhatikan satu atau beberapa murid tertentu. Guru yoga yang baik bukan cuma berfokus pada ‘murid kesayangan’ tetapi juga semua siswanya. Kepribadian yang positif dari seorang guru memang berperan penting dalam membuat nyaman muridnya saat berlatih. Namun, dalam beberapa kasus kita juga pernah menemukan ketidakcocokan. Bukannya kita membenci seseorang (dalam hal ini guru yoga) tetapi hanya karena tidak ada sensasi ‘klik’ yang terasa saat berlatih. Bagi Anda yang merasakan klik ini, mungkin pikiran Anda mengatakan,”Hei, aku pikir juga demikian,” padahal Anda tidak mengatakan apapun pada guru Anda sebelumnya. Sensasi klik ini begitu alami dan tidak bisa dipalsukan atau direkayasa seperti halnya perkataan atau bahasa tubuh. Atau bisa juga Anda berada dalam posisi sebagai pengagum seorang guru. Anda begitu mengaguminya tetapi hal itu malah membuat Anda sungkan untuk berbicara terbuka mengenai materi latihan atau kendala dalam berlatih dalam diri, dan malah terintimidasi oleh pesonanya karena merasa rendah diri atau kurang pantas. Pengidolaan berlebihan pada pribadi atau penampilan sang guru mungkin menghambat sebagian murid dalam berekspresi tentang apa yang ia ingin capai dalam berlatih atau yang mereka harapkan dari setiap instruksi sang guru. Maka dari itu, saat memilih guru yoga, Anda perlu merasakan adanya kedekatan (asal masih dalam batas wajar dan etis) seperti teman sehingga merasa nyaman saat berlatih dan berkomunikasi. Jika tidak merasakan kedekatan itu, lebih baik Anda memilih guru lain.
  4. Orang-orang terdekat Anda merasakan perubahan positif yang signifikan. Karena beryoga bukan sekadar olah fisik, Anda juga akan mengalami sedikit banyak transformasi kepribadian menuju yang lebih baik. Untuk merasakan hal ini memang diperlukan waktu yang lebih lama karena cukup sukar untuk diketahui. Dengan berlatih secara teratur dan merasakan setiap perubahan dalam diri pasca latihan bersama guru, Anda dapat menemukan jawabannya. Bagi Anda yang baru saja memulai dan memutuskan Anda membenci yoga atau putus asa karena merasa tidak akan pernah bisa mencapai level praktisi yoga yang Anda anggap hebat, cobalah untuk mencari guru- guru yoga lainnya sebelum benar-benar memutuskannya.

Mengasah Kepekaan Internal dalam Kelas Yoga

Mengikuti kelas yoga membutuhkan banyak hal. Di antara begitu banyak hal tersebut, salah staunya adalah kemampuan untuk menangkap dan mencerna serta mengejawantahkan metafor dan perumpamaan yang mirip bahasa sastrawi. Anda hanya perlu merasakan, membayangkan sejumlah perintah. Perintah-perintah itu tidak bisa Anda laksanakan secara ragawi. Mereka hanya bisa dilaksanakan dalam tataran imajinasi. Visualisasi itulah yang akan membawa pikiran mengembara untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan sekujur tubuh fisik.
Saat mengikuti kelas yoga dengan instruksi abstrak seperti itu tentu saja semua orang pertama-tama merasa frustrasi. Bahkan di kelas-kelas pertama yang saya ikuti dulu, saya sempat kebingungan saat diminta “memasukkan tulang ekor” saya. Saya bahkan tidak tahu menahu letak tulang ekor itu persisnya. Dan yang paling penting: bagaimana memastikan saya sudah “memasukkan tulang ekor” saya (yang tidak boleh dipegang atau diraba di dalam kelas yoga normal)  dengan benar seperti yang instruktur perintahkan pada saya yang masih benar-benar ‘hijau’ dengan dunia yoga?
Frustrasi tidak hanya berhenti di tulang ekor. Ia juga merembet ke pusar (yang katanya harus ditarik masuk saat nafas keluar, yang ternyata susah saya ikuti), ke bokong (saya harus mengencangkannya, padahal bokong saya tidak pernah menggelambir sedikit pun – setidaknya hingga saat ini).
Dari jempol kaki hingga puncak kepala, saya merasa kesal dan, anehnya, malah merasa bersalah saat tidak bisa merasakan sensasi itu dalam tubuh saya. Saya tidak bisa berbohong, makin saya paksa untuk merasakan, semakin saya tertekan dan frustrasi dengan ketidakpekaan saya itu. Lalu muncul prasangka, pemikiran-pemikiran seperti “Payah sekali kamu tidak bisa merasakannya.” Padahal saya juga tahu tidak semua orang di kelas yoga itu memahami instruksi yang abstrak itu. Tetap saja pemikiran itu muncul. Saya menghakimi diri saya sendiri, dan itu lebih melelahkan daripada dihakimi oleh orang lain.
Lalu saya berhenti. Saya lelah untuk terus menghakimi diri sendiri. Saya hanya ingin menikmati apa yang bisa saya nikmati saat itu, di kelas yoga saya. Seakan saya sudah muak dengan sebuah meja yang penuh dengan buku berserakan, lalu saya tinggal membereskannya dengan sekuat tenaga menarik taplak di bawahnya. Seketika itu juga meja itu bersih dari benda apa pun. Dan perasaan lapang pun masuk.
Saya memutuskan untuk tidak memberikan beban dan ekspektasi apa pun pada diri saya saat mengikuti kelas. Bagaimanapun juga itu hanyalah instruksi, panduan. Memandu ke mana? Ke dalam tubuh dan jiwa saya sendiri. Tetapi siapa sebenarnya yang paling mengenal tubuh dan jiwa ini, selain saya? Ya saya sendiri! Jadi bila semua instruksi itu tidak mengena dalam diri saya, jangan terlalu memaksakan. Karena mungkin nanti suatu saat saya bisa mencapai sendiri, tanpa harus ngotot, bersikeras, berambisi untuk menjangkau makna di balik instruksi abstrak yang saya dengar.
Kepekaan itu akan terasah seiring dengan makin intensnya latihan saya. Jadi bersabarlah, kata saya pada diri sendiri. Dan satu lagi, saya perlu melatih diri berhenti menganggap saya satu-satunya di ruangan itu yang tidak memahami, karena semuanya mungkin tidak, bahkan si instruktur sendiri.
Namaste..

Perbedaan Guru Yoga dari Instruktur Yoga

image

Mengajar yoga tampak mudah. Tinggal beri perintah ini itu, seseorang bisa dibayar lumayan tinggi. Tunggu, apakah betul demikian? Tidak juga.

Ini saya alami sendiri. Saat seorang guru yang biasa mengajar tidak ada, saya didaulat mengajar secara spontan di depan peserta lain padahal jelas-jelas saya tak berpengalaman untuk itu. Suara saya tak lantang. Instruksi saya tak jelas. Saya dianggap bisa mengajar hanya karena saya bisa melakukan asana-asana menantang lebih baik daripada yang lain. Konyol memang.

Sejak itulah saya sadar, profesi guru yoga tidaklah mudah. Dan pantas jika ia harus dibayar sedemikian tinggi karena dibutuhkan pengalaman, pengetahuan dan jam terbang yang begitu tinggi untuk bisa mengajar dengan baik dan kompeten. Sebaik apapun memperagakan asana, seseorang tetap belum dapat menjadi guru yang baik karena ia belum melakukan latihan dan persiapan yang matang.

Istilah “instruktur yoga” dan “guru yoga” mungkin terdengar sama, dan membawa makna serupa. Tetapi jangan salah, keduanya memiliki makna yang berbeda. Pengertian instruktur merujuk pada seseorang yang memberikan perintah atau instruksi bagi orang lain. Kedalamannya tentu berbeda dibandingkan dengan “guru yoga” yang tidak hanya sekadar memberikan instruksi tetapi juga memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam bidang yoga.

Seorang guru yoga juga mengetahui benar apa yang ia lakukan saat mengajar. Ia tahu letak tulang ekor dan bisa membantu murid menemukan letak tulang ekor sehingga merasakannya saat berlatih untuk menambah kesadaran (awareness), tidak hanya memberikan perintah “masukkan tulang ekor” atau “scoop your tailbone” berulang kali sepanjang kelas. Atau saat harus melakukan ujayyi breathing, atau pernafasan ujayyi, yang lazim dilakukan di saat melakukan asana. Seorang guru mampu menjelaskan pada murid dengan baik dan jelas bagaimana melakukan ujayyi breathing, yaitu dengan mencontohkan menghembuskan sebagian nafas melalui rongga mulut seperti saat ingin membuat kaca berembun dengan nafas keluar kita, hanya saja dalam ujayyi breathing, mulut harus terkatup rapat.

Guru yoga yang kompeten juga memiliki pengetahuan tentang asana, dan filosofinya. Ia memahami bahasa Sanskrit yang sering digunakan dalam yoga. Tidak hanya bisa menghafal dan memamerkannya saat mengajar di depan murid tetapi juga harus bisa menjelaskan maknanya. Inilah yang disebut guru yoga yang benar-benar berwawasan yoga.