



PERINGATAN hari bumi tahun ini dalam suasana bulan Ramadan 2022.
Apa yang sudah berubah dalam beberapa tahun ini terkait dalam pelestarian lingkungan hidup di negara kita?
Rasanya kok tidak banyak ya. Masih jalan di tempat. Entahlah dengan yang Anda rasakan tapi saya sih begitu.
Bangsa kita sedang pusing dengan pertumbuhan ekonomi yang dirongrong oleh pandemi. Para petinggi cari berbagai siasat agar pendapatan negara kembali naik dan utang-utang bisa dilunasi. Sebagian pajak dinaikkan, sejumlah jenis bahan bakar dinaikkan harganya, sampai pergolakan sosial politik terus berekskalasi. Seperti bisul yang mungkin akan sebentar lagi pecah dan keluar nanah.
Di bidang lingkungan, mari kita lihat kepemimpinannya. Di tangan menteri perempuan, ternyata kok nggak ada perbaikan signifikan dalam menangani lingkungan. Ekspektasinya ibu-ibu bisa merawat lingkungan dengan semangat keibuan, eh ternyata malah lain kenyataan.
Ibu Menteri Lingkungan Hidup dikabarkan kena semprot warganet tahun lalu (sumber) karena mengeluarkan pernyataan di Twitter bahwa deforestasi tak boleh dihentikan atas nama emisi karbon.
Loh loh? Gimana???
Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi- Siti Nurbaya
Sungguh mengecewakan. Bukannya menghentikan atau setidaknya memperlambat laju deforestasi tapi malah nge-gas! Demi rakyat katanya. Tapi banjir bandang dan longsor di mana-mana kalau musim penghujan. Yang menikmati untung besar ya cuma lingkaran oligark. Akar rumput kalau terciprat untung juga paling seujung jari.
Tahun ini juga dikabarkan wilayah Sumatera Barat mengalami darurat deforestasi yang hebat (sumber). Demi ekonomi yang digenjot perkebunan dan alih fungsi lahan, hutan primer seluas setengah juta hektar lenyap.
Lip service dalam pengelolaan lingkungan masih terjadi secara merajalela. Pemerintah sih memang sudah menandatangni COP Glasgow tapi biasalah, orang Indonesia beda antara bibir dan perbuatan.
Menurut Walhi, RI berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 29% di tahun 2030 tapi sepertinya itu mustahil karena justru UU Cipta Kerja melawan komitmen itu. Entah argumen apa yang nanti pemerintah bakal berikan kalau ditanya soal komitmen ini.
Bahkan yang lebih mengenaskan ialah penggunaan batubara yang masih akan terus berlanjut sampai 2050. Menurut Walhi ini terlalu lama dan bisa membuat kondisi bumi makin kritis.
Tapi nggak masalah lah ya. Karena para pembuat kebijakan sekarang pada tahun 2050 pasti sudah tidak ada di muka bumi ini jadi biarlah itu ditanggung anak cucu nanti.
Sementara itu, pencemaran sampah plastik terjadi terus-menerus. Penanganan sampah di berbagai daerah di Indonesia masih sangat tertinggal. Sampah plastik membanjiri laut, danau, saluran air, masuk ke makanan dan minuman. Sangat memprihatinkan. Tapi teruskan saja sampai benar-benar ada bencana lingkungan yang berskala besar karena CUMA dengan begitu barulah kita tergerak untuk bersatu padu. Pemerintah akan lebih memberikan prioritas, masyarakat juga akan lebih mendengarkan. Tapi masalahnya kapan?
Apatisme memang berbahaya dalam penanganan lingkungan hidup dan pelestarian bumi. Karena kita harus tetap optimis. Tapi optimis sendiri tanpa dibarengi kepedulian dari orang lain juga melelahkan.
God, please save us from ourselves and our ignorance. (*/)