#DeleteInstagram: Saat Instagram Menjadi ‘Titisan’ Facebook

“If you are not willing to see your company or your vision gets degraded at least a little bit, don’t sell your company. That’s the truth.”- Alexia Tsotsis (jurnalis teknologi dan mantan editor blog TechCrunch.com)

facebook application icon
Instagram berisiko kehilangan para pengguna setianya jika makin mirip menjadi Facebook. (Foto oleh Pixabay di Pexels.com)

Setelah skandal Cambridge Analytica beberapa waktu lalu, saya menanggalkan status saya sebagai pengguna Facebook. Saya hapus akun dan tidak berniat untuk mengunggah data pribadi apapun saya lagi di sana. Dan karena sesekali memang ada desakan dari pekerjaan agar saya menggunakan Facebook, saya kemudian ‘terpaksa’ membuat satu akun baru namun begitu kewajiban profesional itu usai, saya tak berniat berkegiatan lagi di Facebook sebagaimana yang dulu saya rasakan di tahun 2008.

Seorang teman mengkritik saya sebagai orang yang kaku. Kalau saya tidak mau ketinggalan, saya harus mau terjun kembali ke Facebook (meskipun media sosial bukan cuma Facebook tapi kenyataannya dominasi Facebook memang sudah tak terbendung lagi di dunia). Tetapi bagaimanapun lemahnya kekuatan saya sebagai seorang pengguna/ konsumen, saya mesti menunjukkan sikap. Dan saya memang agak kurang ‘sreg’ dengan makin dominannya Facebook di seluruh dunia.

Dengan meninggalkan Facebook, saya mencoba beralih ke layanan media sosial lainnya seperti Twitter. Sayangnya, di Twitter kesenangan untuk menulis panjang layaknya di Facebook tak begitu bisa terakomodasi meskipun batasan karakternya sudah dikendurkan juga sebetulnya.

Lalu juga LinkedIn. Di jejaring profesional ini, tentunya hampir semuanya berbau pekerjaan. Dan memang sudah semestinya LinkedIn demikian. Sesekali saya risih juga saat menyaksikan sesama teman di LinkedIn yang mengunggah konten yang kurang profesional dan terlalu pribadi, kurang edukatif dan informatif. Bahkan ada juga yang terlalu relijius dan politis. Saya merasakan adanya perlawanan massal di LinkedIn bahwa pengguna tidak diperbolehkan menggunakannya layaknya Facebook. Kalau mau liar atau norak atau julid, lakukan saja di Facebook! Begitu kasarnya. Saya sendiri juga sangat antipati terhadap penggunaan LinkedIn selain untuk sarana berjejaring yang beradab bagi kaum profesional global.

Kemudian Instagram. Baik sebelum dan sesudah diakuisisi Facebook, jejaring sosial satu ini menjadi salah satu tempat ‘pelarian’ saya dari Facebook. Maka, saat mengetahui berita akuisisi Instagram oleh Facebook enam tahun lalu, rasanya memang agak kecewa.  Hanya saja karena dijanjikan memang ada independensi bagi para pendiri Instagram (Kevin Systrom dan Mike Krieger) dalam menjalankan bisnisnya, saya menganggap Instagram sebagai sebuah ‘bisnis istimewa’ layaknya sebuah teritori bisnis spesial yang berotonomi khusus meski ada di bawah naungan perusahaan yang lebih raksasa.

Tetapi memang keistimewaan itu makin lama makin menjadi sebuah ilusi semata karena diberitakan beberapa waktu lalu bahwa Facebook terus mendesak Instagram agar mau membantunya menarik kembali para pengguna milenial dan yang lebih muda, yang sudah mulai muak dan meninggalkan Facebook karena Facebook sudah sesak dengan berita politik dan hoax yang disebarkan oleh orang-orang seumuran orang tua, paman, tante, dan kakek nenek mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka yang lebih lemah harus mengalah. Akhirnya, Systrom dan Krieger mengundurkan diri (atau didepak?) dari Instagram (untuk lengkapnya, baca di sini). Tak cuma di Instagram, dominasi dan kekuasaan Facebook makin mengencang di sejumlah perusahaan yang mereka akuisisi seperti WhatsApp hingga menimbulkan benturan kekuasaan yang membuat mereka yang lebih lemah yang terpental. Dan untuk menggantikan para pendiri Instagram, Facebook mengirimkan para eksekutif top yang loyal pada kepentingan mereka sehingga dapat dipastikan Instagram tak akan lagi sama.

Yang menarik, setelah tersingkir dari WhatsApp, Brian Acton dari WhatsApp yang mencemaskan aspek privasi pengguna pasca kepergiannya, melontarkan kampanye “Delete Facebook” di Twitter.

Lalu sekarang apakah akan ada kampanye yang sama untuk “Delete Instagram”?

Mungkin suatu saat nanti jika itu benar-benar terjadi (Instagram benar-benar menjadi Facebook kedua), saya akan meninggalkannya. Dan kembali pada media sosial yang tetap tak tergantikan: blog. (*/)

I Told You Kindle Won’t Win!

An Instagram account is trying to romanticize the joy of reading books. By books, it means real books with paper sheets and covers you can touch and rip and write on.

A friend mocked me, sometime ago, that I should’ve bought Kindle instead. He thought my collection of books in the bed room is so yestercentury. Well, there might be a strong reason I dispel the idea of getting myself a Kindle. Yeah, Kindle books are cheaper but still I can’t let go the joy of grabbing physical books.

So this Instagram account is made for guys who read apparently. But you’ll find no Kindle users because you must read physical books to be published on this account.

Such a great idea to make more people go to bookstores and read! And yes, reading makes men sexier in an unexplainable way.

In the Era of Self-Appointed CEOs

Being a CEO or leader has never been this easy like now. You can easily claim you’re a successful person as you wish, merely because you claim yourself to be so on the social media, whether it be your LinkedIn profile, your Instagram or Twitter bio, even on your About.me page.

SILLY!

I’ve seen lots of people like this. They’re great except that they overestimate themselves. I tell you I’m not that good at tolerating this self-bragging attitude and behaviors. Hence, I’m venting here, on my own blog, which is legal but still I need to watch my words so as not to overly offend those who feel they’re part of the group. Here’s my disclaimer: only A LIMITED NUMBER of startup CEOs, NOT ALL OF THEM.

My story went like this. I met with a guy, a future entrepreneur, who claimed to be a CEO of an online business -which is nothing than a parked domain to me- but still works as an employee of an established corporation. And he claimed he is truly experienced in this field, in that sector, in this area, in that niche. Possibly he’s right in some statements, the rest of them? There’s a huge question mark hanging there. He has done A, been in B, as he claimed on the bio page. Also, he poured it all on his LinkedIn profile, crediting also some hard works of his colleagues. It’s so sickening that you feel this person must learn a lesson:appreaciating someone else’s hard work as well.

So much, I don’t want to be such a person. Awful and obnoxious on so many levels. Desperately seeking for attention of head hunters or potential investors or … ? Maybe that’s the way he is.

Too long a preamble, I suppose.

What I’m trying to say is this:Self-deprecating attitude and behaviors are very much welcome, more than the self-bragging ones. No matter how shiny the facade of a building may get, it won’t impress people much when they get into the building only to find crappy interior design and unclassy taste or savage dwellers inside.

Never brag too much. It won’t work anyway.

4 Alasan Mengapa Kaya Terlalu Cepat Itu Bisa Menghancurkan Kehidupan Kita

Gedung pencakar langit yang dibangun terlalu cepat, pondasinya juga akan lebih lemah. Begitu juga manusia yang terlalu cepat menerima kekayaan, ia akan lebih mudah kehilangan arah dalam menjalani hidup.

Beberapa tahun terakhir ini, kita bisa merasakan makin banyaknya generasi muda kita yang makin tertarik menjadi entrepreneur atau wirausaha. Sebagian dari mereka mau menjadi kaya raya dan juga tersohor. Generasi muda inilah yang disebut generasi Y, bayi-bayi yang lahir di dan setelah tahun 1980. Mereka adalah orang-orang muda nan dinamis dan aktif, berpikiran terbuka dan sangat haus prestasi dan pengakuan.

Saya sendiri harus mengatakan secara jujur bahwa mereka terbuai dengan ilusi yang kurang tepat dengan entrepreneurship. Mereka menurut pengamatan saya mengedepankan aspek keuntungan jangka pendek. Agar apa? Agar cepat kaya. Mereka mau kaya lebih cepat. Mereka mau mapan lebih cepat, pensiun lebih dini, menikmati hidup lebih banyak dan lama. Mereka mau lebih leluasa bersenang-senang. Mereka ini juga tipikal anak muda yang terbius cerita sukses startup a la PayPal (yang kini sudah bukan startup lagi) , Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya.

Sayangnya hanya sedikit yang menyadari bahwa menjadi kaya secara bertahap itu lebih sehat ditinjau dari berbagai aspek (misalnya karir dan kehidupan secara umum) daripada ‘kejatuhan durian runtuh’.

Inilah 4 alasan mengapa menjadi kaya terlalu cepat bisa berdampak destruktif bagi kehidupan seseorang.

Rasa malas

Saat kita telah menjadi begitu kaya tanpa atau dengan hanya sedikit berusaha, kita cenderung akan lebih malas bekerja. Saat kekayaan begitu melimpah, mencari nafkah mati-matian adalah hal paling akhir yang terlintas dalam benak. Kita bisa melakukan apapun yang kita suka memang tetapi esensinya tidak ada. Di sinilah kekayaan itu menghancurkan perkembangan pribadi Anda. Dan kenyataan bahwa kita bisa membeli apa saja yang kita inginkan dengan mudah, membuat kita lebih malas dalam melakukan kegiatan sederhana sekalipun dan kita menjadi lebih santai, cenderung tidak mau bekerja keras semaksimal mungkin.

Rasa rakus

Kerakusan akan muncul perlahan tetapi pasti setelah seseorang menjadi kaya dengan mudah. Banyaknya kekayaan yang sudah ada terasa tetap kurang, tetapi hasrat untuk bekerja dan menciptakan manfaat bagi orang sudah sirna.

Rasa berhak atas keistimewaan

Orang kaya lebih merasa berhak untuk diistimewakan dan diperlakukan berbeda dari orang lain karena mereka punya uang. Amarah bisa muncul tanpa disadari saat perlakuan setara atau lebih buruk terjadi.

Hilangnya tujuan hidup

Saat miliaran orang fakir miskin dan kelas menengah memiliki tujuan hidup saat bangun setiap pagi hari untuk bekerja keras menafkahi keluarganya, membangun kehidupan yang lebih baik dan sebagainya, orang-orang kaya malah merana karena mereka merasa telah berada di puncak dunia. Bisa dibayangkan kebingungan mereka ini dalam menjalani hidup. Sebagian orang kaya beruntung karena mau menerjunkan diri ke bidang sosial kemasyarakatan dan hal-hal yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat lapisan bawah tetapi sebagian lainnya hanya berfoya-foya dan menimbulkan kecemburuan sosial yang makin berakumulasi dari hari ke hari. Dan meskipun orang kaya bisa saja menghabiskan waktu untuk beramal, itu sama sekali bukan pekerjaan yang menantang dan memberikan kepuasan secara intelektual.

Sekali lagi, manusia memang terlahir sebagai manusia yang tidak pernah puas dengan kondisinya sekarang, bagaimanapun baiknya kondisi itu di mata orang sekitarnya atau bagi dirinya sendiri di masa lalu.

Menulis Lebih Giat dengan Instagram

Jumat (6 April) kemarin menjadi tonggak ‘bersejarah’ bagi pengguna handset Android yang sudah begitu lama menanti dengan sabar kelahiran Instagram for Android. Saya masih ingat pernah menulis tentang bakal datangnya Instagram di Android lebaran 2011 lalu dan baru sekarang terwujud. Sungguh penantian yang cukup lama.

Pertengahan tahun 2011 saya sempat saksikan pernyataan seorang geek di depan panggung acara publik yang dengan bangganya memproklamasikan kegandrungannya bermain Instagram sampai kuota Internet bulanannya habis sebelum batas waktu yang seharusnya. Ah, kupikir itu semacam kegilaan jejaring sosial layaknya Friendster pertama kali menyita perhatian kita dulu. Sayang aku tak begitu merasakan kegilaan berjejaring di Friendster.

Dalam 4 hari terhitung sejak mengunduh Instagram for Android Jumat pagi itu, aku sudah mencatatkan statistik: 57 foto, 10 pengikut,134 mengikuti.

image

Dua teman pengguna Instagram yang kutemui saat social media course Januari kemarin yakni Babab Dito dan Nukman Luthfie. Mungkin bisa dikatakan mereka early adopter dan experienced user dalam hal Instagram. Babab Dito bahkan mengabadikan gambar-gambar dengan iPhonenya yang dilengkapi lensa makro tambahan dan sebuah tripod mini. Sementara om Nukman sangat konsisten mengunggah dan memamerkan jepretan candidnya yang bertema embun dan kopi. Ia bahkan sudah lupa memperbarui status Facebook dengan teks karena terlampau asyik mengunggah foto-foto via Instagram yang ia juga tautkan ke akun Twitter dan Facebooknya.

Untukku sendiri, Instagram lebih berguna sebagai pemicu inspirasi menulis. Memotret benda, orang, peristiwa yang sehari-hari bisa ditemui tetapi kita tak pernah cermati tiba-tiba menjadi amat mengasyikkan dan inspiratif karena bisa memicu aliran ide yang tak terbendung. Keinginan untuk menceritakan kisah di balik objek dalam gambar Instagram yang berefek menarik itu berhasil menjadi pelatuk yang memicu peluru kreativitas menulis kreatif dalam diriku.

Dan ini amat adiktif. Pertama, karena bisa dilakukan dalam perangkat, dan Instagram memang hanya bisa diakses via perangkat ponsel cerdas. Tak seperti Facebook dan Twitter, versi web Instagram tidak ada. Kupikir itu merupakan taktik nan jitu dari tim Instagram untuk cegah isu hak cipta dan pengunduhan tak berijin gambar yang sudah diunggah di dalamnya. Tapi tetap saja bisa dilihat dan diunduh via tautan yang ditampilkan di dinding Facebook dan linimasa Twitter.

Satu hal yang menggembirakan di Instagram ialah Instagram handle-ku yang lebih ringkas. Di jejaring sosial lain aku harus gunakan user name atau handle yang lebih panjang dengan menyertakan nama kedua. Tetapi di sini tidak. Handle @akhlis masih tersedia.

Begitulah pengalamanku beberapa hari ini bereksperimen dengan Instagram. Bagaimana denganmu?