The Father of Modern Yoga BKS Iyengar Dies at 95

Born on 14 December 1918, our yoga role model authoring Light on Yoga (dubbed as the bible of yoga these days) died in Bellur, British India today 20 August 2014. He is 95 years old.

It’s a very devastating piece of news for us the yogis and yoginis as we see him as one of the pioneers of modern yoga, who serves as the best, the most flexible, the most credible source of learning to date. Now, he’s gone for good.

He, however, left invaluable heritages for the yoga world like Light on Yoga, Light on Pranayama, and Light on the Yoga Sutras of Patanjali. He would be pretty much missed.

And what I remember from his long life is photos of him on the book posing like a contortionist. So unforgettable, in every possible way.

Anglophilia dalam Sastra, Entrepreneurship dan Yoga

Pertama kali saya mendengar istilah “anglophilia” adalah saat saya duduk di semester 6. Istilah ini merujuk pada kekaguman terhadap budaya dan adat Inggris dan masyarakat Inggris, intinya semua yang berbau Inggris (dan Amerika Serikat, karena secara historis Inggris juga menjadi nenek moyang sebagian warga AS). Saat itu dosen mata kuliah Kritik Sastra memberikan novel untuk dibahas. Novel itu berjudul “The God of Small Things” yang dikarang Arundhati Roy. Novel itu bertemakan kehidupan masyarakat di sebuah daerah di India yang sarat pemujaan dan kekaguman terhadap segala hal yang berbau Inggris (Barat). Seseorang dikatakan terpelajar dan cerdas serta berwawasan luas bila ia mampu menyerap pemikiran ala Inggris dan berprilaku layaknya manusia Inggris, meski pada dasarnya mereka orang India asli dan lahir dan tinggal bahkan mati di India juga.

Indonesia, seperti India dan negara-negara bekas jajahan negara Eropa, juga menderita sindrom serupa. Tidak perlu memiliki kecerdasan yang luar biasa untuk merasakan betapa masyarakat Indonesia masih sangat amat berkiblat pada Barat (AS, Inggris dan Eropa pada umumnya). Kebudayaan Anglo-saxon memang begitu merajalela di dunia dan kita tidak perlu heran. Karena sejak berabad-abad yang lalu, bangsa-bangsa Eropa terutama Inggris sangat maju dalam pemikiran dan agresif mengeksplorasi dunia. Saat saya membaca novel The Signature of All Things karya Elizabeth Gilbert, misalnya, saya makin paham bahwa bangsa Inggris memang sangat mengagumkan (saya juga seorang penderita anglophilia). Mereka sangat berani, penuh strategi, bervisi dan misi yang jauh ke depan, penuh inisiatif, dan mau berkorban (tidak takut sengsara).

Hebat memang, tetapi di saat yang sama juga miris. Bagaimana dengan kita? Budaya kita, bahasa kita, adat istiadat kita?

Dominasi ini selalu tercium di 3 bidang yang saya tekuni saat ini: sastra, entrepreneurship dan yoga.

SASTRA
Jujur saja, saya memilih untuk les bahasa Inggris di kelas 6 SD karena berpikir kemampuan berbahasa Inggris ‘keren’. Berbahasa asing itu penuh prestise. Orang akan kagum pada orang yang lancar berbahasa asing terutama Inggris. Dan itu juga karena bahasa Inggris memberikan nilai jual jika hendak bekerja nanti. Saya akhirnya mantap untuk mengabdikan diri pada bahasa Inggris di usia semuda itu. Tidak ada pelajaran yang membuat saya tertarik begitu hebat selain bahasa Inggris. Tak peduli guru bahasa Inggris saya payah, guru saya galak, atau pengucapannya amburadul, saya masih tetap menyukai bahasa Inggris. Dan saya cuma membayangkan kelak kuliah di jurusan bahasa Inggris, tidak ada bayangan lain. Hanya itu.

Saya tiap malam, sejak usia TK, akrab dengan tontonan Barat yang berbahasa Inggris. Saat kakek menonton Remington Steele yang dibintangi Pierce Brosnan, saya ikut menonton. Sampai habis lewat tengah malam. Lalu ada Melrose Place, Beverly Hills 90210, Full House, Silk Stalking, Little House on the Prairie, dan semua film kartun animasi di sore hari. Semuanya berbahasa Inggris. Tak ada sulih suara alias dubbing. Saya ingat frase yang pertama kali saya pelajari dari serial Bonanza adalah “what’s the matter?” Dan subtitle menunjukkan “Ada apa?”

Semua pengaruh itu meresap dan tertancap hingga saya tanpa ragu memilih jurusan sastra Inggris saat kuliah. Sebenarnya saya juga memilih Hubungan Internasional dengan alasan bisa menjadi diplomat yang nanti juga menggunakan bahasa Inggris saat bekerja. Tetapi untunglah tidak diterima karena Tuhan tahu saya benci politik dan intrik-intrik.

Selama 4 tahun penuh saya masuk ke jurusan sastra Inggris dan saya resmi menderita sindrom Anglophilia ini. Semua hal yang saya baca, dengar, bahkan gumamkan dan pikirkan diusahakan dalam bahasa Inggris: menggerutu dalam bahasa Inggris, bersumpah serapah dalam bahasa Inggris, melamun dalam bahasa Inggris. Saya mati-matian meniru pengucapan yang benar, logat dan nada para penutur asli alias native speakers dengan sebaik-baiknya dengan harapan 100% bisa menjadi “Inggris seutuhnya” meski tahu itu musykil semata.

Belum cukup 4 tahun, saya melanjutkan 3 tahun di studi magister saya yang konsentrasinya juga sastra Inggris. Saya berharap bisa menjadi “Inggris yang mabrur”. Entah kenapa saya bisa sedemikian terbiusnya. Saya hanya tahu saya suka. Alasannya? Saya tidak bisa jelaskan secara logis. “Suka ya suka. Titik,”begitu mungkin kalau saya didesak mengatakan alasannya. Kalaupun saya bisa menjawab karena faktor X, faktor Y, itu semua hanya karena ingin tidak terlihat bodoh saja. Semuanya ini saya lakukan secara naluriah. Saya tak punya penjelasan logis untuk menjelaskan kegilaan saya pada bahasa dan budaya Anglo-saxon ini. Semua yang berbau Inggris dan Amerika Serikat rasanya merangsang saya untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Kegilaan anglophiliac itu berlanjut terus sampai sekarang, saat saya bekerja sebagai penerjemah. Saya pun menjadi penerjemah bahasa Inggris ke Indonesia dan semua bacaan saya tiap hari bahasa Inggris. Konsekuensi pekerjaan yang tak mungkin dihindari.

Namun, di saat senggang entah kenapa saya juga tertarik membaca buku-buku berbahasa Inggris. Salahkan toko buku Periplus yang ada di lobi gedung kantor saya. Letaknya begitu dekat, tak habis 5 menit untuk menjangkaunya dari meja kerja saya di lantai 39.

Di sastra dan dunia kepenulisan, saya juga merasakan nuansa anglophilia yang kental. Misalnya, semua buku berbahasa Inggris rasanya lebih mahal dari yang berbahasa Indonesia. Di Periplus, “Madre” karya Dewi Lestari cuma 60 ribuan. Sementara yang karya berbahasa Inggris bisa 100 ribu lebih. Bahkan karya Pramudya Ananta Toer dan Umar Kayam dan Andrea Hirata yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris juga harganya lebih mahal daripada versi Indonesianya. Tentu karena harus ditambah biaya penerjemahan juga.

Setelah hadir di ASEAN Literary Festival hari ini di Taman Ismail Marzuki tadi, saya juga mencium atmosfer anglo-sentris. Mengutip kata-kata salah satu pembicara tadi,”Karya sastra berbahasa non-Inggris karya sastrawan negara-negara yang tidak memiliki tradisi bahasa Inggris berpeluang lebih tinggi untuk diorbitkan ke kancah dunia jika setidaknya sinopsisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.” Wow, sebegitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sebagai medium di dunia sastra! Bahkan sering karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa non-Inggris harus diterjemahkan ke bahasa Inggris dulu baru kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa lain. Inilah yang disebut penerjemahan cara “relay”, seperti lari estafet. Makna dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Dan bahasa Inggris menjadi mata rantai utama dalam arus estafet makna ini.

ENTREPRENEURSHIP
Sama saja. Di dunia wirausaha dan keuangan, semua masih berkiblat ke pusat-pusat bisnis di negara Anglo-saxon (AS dan Inggris). Siapa yang tidak mau sesukses alm. Steve Jobs, sekaya Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, Jan Koum? Semua entrepreneur hebat dunia rasanya cuma ada di satu tempat: Silicon Valley. Alhasil, banyak negara berlomba meniru Silicon Valley. Mereka ingin mengembangkan Silicon Valley di negara mereka sendiri-sendiri. Sebuah tempat yang dipadati dengan kantor-kantor startup digital dan teknologi yang ‘keren’, menghasilkan banyak uang dengan berbekal kemampuan coding dan pemrograman, kecerdasan teknologi dan sebagainya. Dulu di Depok pernah berhembus kabar akan didirikan semacam pusat komunitas entrepreneur dan startup digital yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Indonesia. Lalu ada di Yogya juga ide semacam itu. Apakah berhasil? Entahlah, saya tak begitu yakin.

Saat saya menghadiri acara diskusi bersama Saras Sarasvathy (pengajar entrepreneurship dan etika di Darden’s MBA Program, Amerika Serikat), ia juga mengatakan bahwa para entrepreneur di Asia dan negara berkembang lainnya masih belum banyak “bersuara” di kancah dunia. Asia masih menjadi seperti “misteri”, kata Saras. Itu karena entrepreneur di Asia masih percaya bahwa kiblat ada di Amerika dan Inggris, menganggap bahwa semua tren dan hal yang berasal dari sana juga pasti akan cocok dan “menjual” di sini. Entrepreneur negara-negara berkembang juga lebih suka mengadopsi ide-ide bisnis dari AS karena mereka yakin itu “keren” dan disukai konsumen domestik. Kalaupun tak mengadopsi mentah-mentah, mereka akan memberikan sedikit penyesuaian agar lebih disukai konsumen dalam negeri, dan penyesuaian itu biasanya berarti “penurunan” dalam banyak hal terutama kualitas, kenyamanan, keandalan, dan sebagainya.

Dan harus diakui bahasa Inggris juga berperan untuk membuat kiprah para entrepreneur negara berkembang lebih terdengar di dunia internasional. Teman saya misalnya mengeluhkan situs perusahaan yang tidak menyediakan konten berbahasa Inggris, padahal konten berbahasa Inggris diperlukan untuk menyampaikan ide dan pemikiran ke kalangan yang tidak familiar dengan bahasa Indonesia.

Tragisnya, bagi entrepreneur Indonesia yang kemampuan berbahasa Inggrisnya rendah, kemampuan mereka melaju ke kancah dunia juga menurun. Seperti yang saya saksikan dalam sebuah lomba pitching, sebagian entrepreneur yang berbahasa Inggris bagus bisa memukau calon investor, sisanya memprihatinkan dan kurang menakjubkan karena penyampaian dalam bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Ini juga berkaitan dengan banyaknya investor asing dari luar yang masuk ke Indonesia. Dan rata-rata adalah penanam modal dengan hubungan langsung atau tidak langsung ke negara-negara Anglo-saxon.

YOGA
Bahkan di dalam yoga yang notabene asalnya dari India, nuansa Anglophilia sangat “menusuk.” Jika dulu orang hanya mempelajari yoga dari teks-teks kuno berbahasa Sansekerta, kini buku-buku terkaya, terbaik, terlengkap serta terlaris tentang yoga justru ada dalam bahasa Inggris. Ambil contoh buku ‘canon’ atau bible-nya para yogi saat ini: Light on Yoga. Tulisan Yehudi Menuhin ini dibuat dengan mengumpulkan ekstrak pemikiran B. K. S. Iyengar lalu mendokumentasikannya dalam bahasa Inggris.

Guru-guru yoga dari AS juga merajai berbagai perhelatan yoga di tanah air. Lihat saja Namaste Festival. Orang lebih tertarik mengikuti kelas guru-guru asing dari AS yang berbahasa Inggris daripada guru-guru lokal, dengan alasan mengikuti kelas guru lokal lain waktu juga bisa, tidak harus sekarang. Dan guru-guru asing ini mematok harga workshop yang fantastis. Setiap orang bisa diharuskan bayar Rp1 juta hanya untuk 6-8 jam mengikuti pelatihan. Untuk biaya pelatihan guru yoga, harganya bisa lebih mahal lagi karena jamnya jauh lebih panjang.

Sertifikasi guru yoga juga dibuat oleh Yoga Alliance, sebuah organisasi yang bertujuan membuat standarisasi dalam profesi guru yoga agar tidak semua orang bisa mengklaim sebagai “guru yoga yang berpengalaman.” Namun, di sisi lain sertifikasi ini menimbulkan polemik juga karena tak semua guru bersertifikat ternyata kompeten dan tidak semua guru tanpa sertifikat tidak kompeten dalam mengajar. Buah simalakama memang.

Dedikasi dan Penghormatan untuk Yoga, Alasan B. K. S. Iyengar Latihan 2 Jam Tiap Hari Selama 80 Tahun

image

Berikut adalah petikan wawancara dengan tokoh yoga legendaris B. K. S. Iyengar yang saya kutip dan terjemahkan secara bebas dari laman Sakal Times.

Pertanyaan:”Apa yang memotivasi Anda berlatih yoga selama 2 jam setiap hari bahkan di usia 95 tahun?”

Jawaban:”Saya sudah berlatih yoga selama 80 tahun. Saya tidak perlu motivasi eksternal. Semua datang dari diri sendiri.

Yoga sudah memberikan saya nama, ketenaran dan semuanya. Maka dari itu, saya memberikan penghormatan pada yoga dengan melaksanakannya setiap hari. Dedikasi saya pada yoga adalah satu-satunya motivasi saya.”

Pertanyaan:”Apa pesan Anda pada generasi muda?”

Jawaban:”Tubuh ini seperti pakaian bagi jiwa. Tugas kita adalah memeliharanya. Ia wadah bagi jiwa. Tanpa pakaian ini, kita tidak bisa bergerak dan berbicara. Maka dari itu, badan harus dipelihara. Yoga tidak cuma memelihara badan fisik tetapi membawa kedamaian pada pikiran. Dengan ketenangan pikiran, Anda bisa menjadi lebih toleran, sabar dan penuh welas asih. Inilah yang paling diperlukan di masa sekarang. Ia akan mengajarkan pada Anda bagaimana membebaskan diri dari kesombongan. Yoga merupakan cara terbaik memelihara jiwa dan raga dan itulah mengapa yoga harus dilakukan setiap hari dengan sepenuh hati. Setiap orang semestinya melakukan latihan yoga setiap hari. Seseorang tak perlu mengorbankan kegiatan lainnya untuk berlatih yoga. Sembari kita menjalani rutinitas hidup, kita juga harus menyisihkan waktu untuk diri sendiri.”

Pertanyaan:”Seberapa banyak yoga yang harus dilakukan setiap hari?”

Jawaban:”Seseorang seharusnya berlatih yoga setidaknya selama satu jam setiap hari. Itu yang paling minimum, tidak bisa lebih rendah dari itu. Sebagian orang berpendapat berlatih yoga selama 15-20 menit sudah cukup. Itu belum cukup. Jika Anda melakukan olahraga lain seperti renang, berjalan, lari, Anda masih harus sisihkan waktu setidaknya separuh jam untuk yoga. Itu karena yoga melatih pikiran Anda, sesuatu yang tidak bisa dilakukan olahraga lainnya.

Waktu yang Anda habiskan untuk berlatih yoga adalah satu-satunya waktu saat Anda fokus pada diri sendiri. Hanya inilah yang bisa membawa ketenangan dalam pikiran.”

Stop Thinking B. K. S. Iyengar was Born That Flexible. He was NOT!

B. K. S. Iyengar is widely known for his masterpiece “Light on Yoga”, a thick how-to book that most yogis and yoginis refer to as ‘yoga bible’. The pictures are captivating and jaw dropping, too, especially if you’re a beginner. There are too many unusually contorted photos of Iyengar there that murders almost every beginner’s spirit of starting doing yoga, or conversely, these novices are so motivated that they vow to themselves they want to be the super bendy guy they see in the book. It seems like every yoga enthusiast, practitioner and guru endlessly cite the sentences of Iyengar.

And today, once again Iyengar had a mention in the workshop at which Christina Sell was teaching. As she said we needed to take a look at Light on Yoga, some of us blurted,”He (Iyengar) was born that way.” Christina said,”No.”

REALLY? We stared and frowned at each other, in utter disbelief. How can it not be an innate tendency, a gift from God? Was Christina possibly joking?

Christina went on once she thought we wouldn’t believe her words that easily. “He (Iyengar) was born very sickly,”she explained. As he grew up, he couldn’t sit down properly for 30 minutes in regular classroom chairs. He thought it was abnormally shameful, because everyone else managed to do that. His mother passed away following his birth and being the son in the family, he wasn’t treated like a golden boy. Iyengar was cast off by the family, who thought he must have been dead anytime soon. His older sister got married and practically left young Iyengar alone. With such a frail body, Iyengar also found it hard to touch his knees. In other words, he wasn’t born that bendy and stretchy!

To add to the amazement, Christina told us he started to practice yoga of his own style during his middle age (40’s). “Not really young. He wasn’t a 20 something man.”

Now Iyengar is in his 90’s. Still alive and kicking. ‘Pretty fly’ for a yogi that age.

So it’s all about regular practice as we can see it. He earned his being outstandingly bendy with a long time of toil.

How to do Eka Pada Galavasana

image

Eka pada galavasana is one of my favorite asanas. “Eka” means one. “Pada” means a leg. “Galava” is a name of a sage ( B. K. S. Iyengar: 1979, 327).
If you read how mr. Iyengar does this, he would perform Salamba Sirsasana first with head on the floor. The biggest challenge is to conquer the fear of falling ahead, which may happen to those who learn bakasana or bird pose.
My method may be not really safe for everyone especially beginners and Iyengar’s method is safer. But if you want to get the pose higher, my method will help. Remember always to activate your ‘tiger claws’ to evenly spread or distribute the body weight on the palms. Engage all the core muscles, and floint! Flointing which means a combination of flexing and pointing is the best way to straighten and keep the legs active all the time without making them look less graceful or less artistic when photographed. Have fun with your yoga practice and be safe. Namaste…

image
Eka pada galavasana gives a massage to your abdominal organs and strengthen the feeble wrists

Posted from WordPress for Android