Jawa (Semestinya) Tak Lagi ‘Koentji’

Jakarta seharusnya memang sudah tidak layak menjadi ibukota abadi nusantara. Jawa apalagi Jakarta sudah habis-habisan. Penduduk padat, kemacetan yang menghabiskan biaya, masalah kompleks, beban lingkungan tinggi.

Wacana perpindahan ibukota sudah ada sejak 8 tahun lalu. Tapi tak juga terwujud. Cuma saat masa-masa jelang mudik seperti sekarang ini, terasa peliknya kepadatan arus mobilitas di Jawa dan mendesak adanya solusi segera.

Kalimantan dipilih karena risiko bencananya relatif lebih rendah kecuali risiko kebakaran hutan. Letusan gunung berapi relatif rendah karena memang tidak berada di Lingkaran Api (Ring of Fire).

Di era jokowi, terjadi upaya pergeseran paradigma negara agraris di era orba ke negara maritim.Lokasi ini idealnya tak perlu dipusingkan di provinsi mana karena ada yang lebih serius yakni perpindahan pusat peradaban sebuah bangsa besar.

Kota mana yang berpotensi menjadi pengganti Jakarta?Balikpapan, Batulicin, Tarakan bisa dikatakan kota kota dengan potensi tinggi karena aktif sebagai kota pelabuhan.Kriteria pemilihan ibukota baru ialah kondisi yang tak butuh biaya tinggi untuk penataan dan konstruksi. Yaitu yang landai, aman dari bencana-bencana alam.Sementara ini, yang digadang-gadang oleh jokowi ialah palangkaraya yang di kalimantan selatan.

Kenapa tidak bangun kota yang benar-benar baru? Karena biaya yang dibutuhkan bisa tinggi dan jaraknya juga biasanya dekat dengan pusat aktivitas pemerintahan dan ekonomi yang sudah ada.Selama ini ada kecemasan di antara kalangan pegawai negeri karena mereka harus pindah mengikuti ibukota sebagai pusat pemerintahan.

Tiga tahapan yang harus dilalui ialah:

1. Penentuan lahan yang pasti

2. Tata ruang yang beres: ada integrasi antara ibukota baru dengan kota di sekitarnya, bagaimana ibukota baru terkoneksi dengan

3. Peran dan fungsi: tentukan dulu fungsi dan peran ibukota baru. Misalnya Canberra menjadi pusat pemerintahan dan militer, bukan ekonomi Australia.Saat ini media terlalu cepat mengambil pemberitaan dengan pembangunan istana dsb.

Kita tidak perlu buru buru karena semua tahapan tadi dilalui dengan baik sehingga tidak ada kesalahan fatal.

Dan jangan lupa pengelolaan ibukota baru tersebut. Skema dan institusi pembiayaannya perlu dipikirkan masak-masak. Misalnya Batam diatur oleh badan Otorita Batam untuk membiayai pengelolaannya tanpa mengandalkan APBN.

Kalimantan jangan dibayangkan sebagai belantara hutan saja karena di dalamnya ada potensi kemaritiman. Daerah pesisirnya bisa dimanfaatkan secara maksimal, misalnya pulau derawan yang telah dikenal sebagai tujuan wisata menyelam yang molek.Biaya perpindahan bisa ditentukan dengan menaksir konektivitas infrastruktur. Misalnya Tarakan yang sudah banyak aktivitas antarkota dan penduduknya. Kota ini belum sebesar Banjarmasin atau Makassar tapi sudah relatif berpotensi tinggi.

Kita tak perlu pusing biaya dulu karena itu bergantung pada lokasinya. Biaya bisa disesuaikan bahkan bisa lebih rendah jika kita pilih lokasi yg tepat.

Lalu bagaimana dengan nasib Jakarta?

Ia bisa menjadi hunian yang lebih tertata karena bebannya sudah dikurangi!Isu ini memang sudah lama menyeruak dan kembali muncul. Jadi kali ini direalisasikan saja dengan memberikan payung hukum yang nyata. Apalagi sudah dilakukan sejumlah penelitian. Momentum ini jangan disia-siakan.

Bappenas sudah menentukan penyelesaian pemindahan ibukota ini hingga 2024. Idealnya adalah dengan membentuk institusi formal pengelolaan ibukota baru ini. Pembentukannya harus berdasarkan kompetensi sehingga tidak cuma birokrasi.

Percepatan dan pemerataan pembangunan memang bisa dicapai dengan pemindahan ibukota ini. Namun, tidak bisa disingkirkan risiko adanya kerusakan hutan di Kalimantan seiring dengan pemindahan ibukota. (*/)

Jakartans Now can Access Digital Library via Smartphone App

Jakarta is getting smarter and smarter, apparently. Thanks to our shrewd and way more tech-savvy governor, now everyone with an Android handset can access a digital library owned by the government of Jakarta. A free iOS app will soon be on App Store, too.

I happened to find this app at Indonesia International Book Fair 2015 yesterday but I couldn’t give it a try as I have no Android phone. And this app is not avaliable on my iPhone.

So I also signed up for a membership of Jakarta Public Library for the sake of curiosity. A public library is located just near where I stay so this could be a good opportunity to try it out.

Too bad I need to obtain a letter stating I work here for a certain company as I don’t have permanent residential status‎ of Jakarta yet. The staffer on duty, however, was kind enough to let me have the membership card and borrow so long as I can prove I work here formally.

Hannah Shin: “Your Work Is Your Duplicate”

Born in a family of artists, Hannah Shin is no stranger to arts. Her father owns an art school and teaches arts and fashion. So does her mother. And she means the business. Shin, who is Korean, just graduated from her Bachelor of Arts course in London and she already has around 30 paintings.

So why does she come to the Big Durian? “I came back to Jakarta because my family was here. And I’ve been living here for fifteen years,” she quipped.

That said, she has acquired Bahasa Indonesia. “Bisa bicara Bahasa Indonesia juga (I speak Indonesian), but just a little. Not too fluently,” Shin said sheepishly.

Shin was also present when Harry Dharsono, a prominent Indonesian haute couture designer and textile artist, celebrated his 65th birthday today (14/3/2015). She stood in the crowd with her tighly clad black gown and donned a fashionable hat with furs on her head. Mr Dharsono aptly described Shin as “a painter who looks like a painting herself”. He put it right.

Oil paintings of hers were exhibited at Ciputra Theater and Lotte Shopping Avenue. Some are bluish, orange, and a mixture of various colors with titles in it.

Artswise, Shin loves oil as the medium of her creative processes. She experimented with a lot of chemical substances to make it very transparent, translucent and flowy.

Despite being a fledgling artist, Shin has her own distinct character as a painter. “Most of my paintings has the motions, showing emotions that I felt when I’m painting,” Shin added.

Each and every artwork has its own story as the background. Shin shared a story in her painting titled “Warrior”. After her trip to Africa as a volunteer as one of the artists teaching arts to the underprivileged children there, she felt the urge to give hope to them. “They (these children) are small but they’re all warriors. There are warriors in them and they need to show that to the world.” Shin believes any piece of artwork is “a duplicate” of an artist and the painting also represents herself, a relatively unknown, new artist with a “small” reputation.

Like any artists, Shin has her influence. She adores a more famous abstract expressionist painter. She was then inspired to use a single color in her painting and tried to make it speak by itself.

Although she is heavily influenced, Shin invented her unique technique of painting. When we think of oil paintings, we think of paintings that are very thick and stand out as painters tend to add more and more oil onto it. Shin, however, does it in a reverse way. “For the white bits, I clean out the blue color and make layers.”

Loyal College of Arts awaits Shin after this. Her artistic pursuit does not seem to end quite soon as Shin realizes the significance of education in her future career. By being surrounded by the best artists, Shin hopes to learn more by accepting critiques that make her think more about her works, and in which way she should do it better. ‎(*/)

Hadiri ASEAN Literary Festival 2015 19 Maret Nanti!

Setelah menghadiri ASEAN Literary Festival tahun kemarin di Taman Ismail Marzuki, dua pekan lagi ajang yang sama akn digelar masih di tempat yang sama. Tema besarnya adalah mengenang sastrawan Indonesia yang beberapa waktu lalu baru saja berpulang ke Sang Pencipta, alm. Sitor Situmorang.

Berikut keseluruhan pernyataan pers dari pihak ASEAN Literary Festival 2015:

“Memasuki tahun kedua, ASEAN Literary Festival (ALF) 2015 akan dibuka pada Kamis, 19 Maret 2015, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, dan akan menjadi persembahan khusus bagi sastrawan Sitor Situmorang. Karya-karya Sitor akan ditafsir ke dalam komposisi musik, tari, dan berbagai pertunjukan. Di antaranya akan tampil pianis Ananda Sukarlan, yang akan membawakan puisi panjang Sitor Situmorang yang ditulis tahun 1955 berjudul “La Ronde”. Malam pembukaan ALF 2015 akan menjadi pementasan pertama komposisi tersebut. Ananda Sukarlan memilih penyanyi muda bersuara emas dari Surabaya bernama Nikodemus Lukas untuk menyanyikannya. Selain “La Ronde”, Nikodemus juga akan membawakan karya-karya Ananda yang lain, yang juga berangkat dari puisi Sitor Situmorang, seperti “Surat Kertas Hijau” dan “Malam Kebumen.”

“Sitor Situmorang diangkat menjadi tema pada malam pembukaan karena pengaruhnya yang sangat besar bagi kesusastraan Indonesia. Ini sebuah upaya memperkenalkan Sitor pada generasi muda,” ujar Abdul Khalik, Direktur ALF, di Jakarta, Jumat (27/2). Selain itu, tampil pula Nabilla Rasul, penari muda peraih hibah Seni Yayasan Kelola 2013 yang pernah tampil di pagelaran musikal Onrop, Dance Generation, dan Heart Records. Nabilla akan menafsirkan puisi Sitor berjudul “Dia dan Aku” dalam komposisi gerak tarian.

Ada pula special performance dari Signmark (Finlandia), musisi tuna rungu pertama di dunia yang berhasil mendapatkan kontrak rekaman dengan label major dunia. “Penampilan Signmark menunjukkan komitmen ALF untuk menjunjung inklusivitas, memberikan hak-hak yang sama bagi kaum diffable,” kata Abdul Khalik. “Selain itu, ini juga bagian dari perayaan keragaman bahasa yang menjadi jantung dari sebuah festival sastra.” Orasi budaya akan disampaikan oleh dr. Ma Thida, sastrawan asal Myanmar.
ALF 2015 diikuti lebih dari 20 negara (baik ASEAN maupun non-ASEAN) dan akan berlangsung hingga 22 Maret 2015, dengan rangkaian acara seperti pemutaran film, seminar, jumpa penulis, workshop menulis, tur sastra, dan berbagai pertunjukan berbasis karya sastra. Informasi lengkap mengenai ASEAN Literary Festival 2015 dapat diperoleh di situs resmi http://www.aseanliteraryfestival.com.

Informasi lebih jauh dapat menghubungi:
Ruth Stephanie (Project Officer ASEAN Literary Festival 2015) 082120646147, 082215898935
aseanliteraryfest@gmail.com”

Trotoar ning Jakarta Luwih Tumoto Apik. Suwun Njih, Pak Ahok!

‎Menowo wulan-wulan kapungkur biasane pingin misuh-misuh goro-goro liwat trotoar sing sempite ora karuan ditambahi proyek sumur resapan sing nggawene ora ono entheke saking suwene kuwi, sak iki trotoar ning dalan-dalan protokol wis ditoto luwih apik lan enak disawang.

Pak Ahok‎ pancen luwih cepet tinimbang Jokowi perkoro kerjo koyo ngene. Tegas lan luwih apik kinerjane.

Mugo-mugo wae tambah akeh wong-wong saka politik sing ngaku Islam tapi gelem sinau soko Ahok. Sinau perkoro dadi pemimpin sing apik! Menowo soal agomo, ora usah dibahas. Iki bab gubernur, ora menteri agomo, opo meneh jabatan ketua MUI. Mbok yo ojo nggur ngomong ngongkon Ahok mudun sebab ora wong muslim. Ojo cuma isone demo utowo nganggo isu gubernur tandingan sing dadi badhute wong ning ngendhi-endhi. ‎Sing penting kuwi bukti. Ora usah kakean omong, retorika. Wis bosen! Ngisin-ngisini Islam!

Wis ora usum nganggo lambang-lambang agomo ben dipercoyo. Nganggo kupluk, yo isih tegel korupsi kok buktine. Dadi nek ono wong nasrani iso mbuktikno iso kerjo luwih apik, ora usah nesu! Ngoco sik.

Dadi aku nggur iso ngekek pas krungu kyai kuwi ngritik Ahok sing dadi gubernur. Provokatip tur kurang objektip.

Mulo sampek kapan rakyat kudu nunggu ono pejabat Islam sing wani lan tegas lan resik soko korupsi koyo dene Ahok‎? Kapan?

Ora usah dijawab nganggo tutuk. Jawab karo tumindhak sing iso dingeti.

Penghargaan Tak Berharga

“Untuk kategori berikutnya, kategori bisnis spa paling prestisius di Jakarta.”

Kita mulai dari juara tiga dalam kategori bisnis spa paling prestisius di Jakarta. Spa Plus Minus Rawa Belong!!!”

(Tepuk tangan meriah)

“Dan juara kedua…. Salon Tiarap Kemang Jakarta!! Selamat!”

(Tepuk tangan lebih meriah membahana)

“Juara pertama jatuh kepada…”

(Hening sejenak)

“Panti Pijat Waru Doyong SCBD!!!”

“Ummm ummm, ini juara kedua atau tiga. Ummm…”

“Kami ulangi lagi. Juara ketiga Spa Plus Minus Rawa Belong. Juara kedua Salon Tiarap Kemang Jakarta dan juara pertama Panti Pijat Waru Doyong SCBD.”

(Tertawa terkekeh, tanpa ada tepuk tangan.)

“Baik kami tunggu perwakilan masing-masing untuk maju ke panggung.”

Boleh naik ke atas panggung untuk diberikan penghargaan.

“Adakah dari Spa Plus Minus Rawa Belong, Salon Tiarap Kemang Jakarta dan Panti Pijat Waru Doyong SCBD??” (mulai kebingungan)

(Hening)

Selanjutnya yang berkenan untuk memberikan penghargaan kepada para pemenang untuk kategori bisnis spa paling prestisius di Jakarta adalah ibu Lampir.

“Kami mohon ibu Lampi R. untuk berdiri memberikan penghargaan pada para pemenang.”

(Juara 2 dan 3 maju)

“Satu lagi… Panti Pijat Waru Doyong!”

“Berarti yang sudah ada ini juara 2 dan 3 ya?!”

“Panti Pijat Waru Doyong SCBD???!!”

“Bapaknya? Bukan? Yang di belakang??”

“Bukan juga.”

“Mungkin lagi sibuk pijit-pijit ya. Kan panti pijat.”

“Ibu silakan… silakan yang mengingat ini panti pijat apa?”

(Tawa meledak)

“Oh Kun Yuk. Miss Kun Yuk!”

“Bener ya namanya Kun Yuk?! Takutnya salah ngomong.”

“Duh saya harus kerja di sini rupanya supaya kenal.”

“Emang miss? Jangan jangan missis.”

“Baik… Bapak atau ibu Kun Yuk??”

“Oke ibu Kun Yuk???”

“Baiklah, yang mewakili ibu Kun Yuk?”

“Mewakili ibu Kun Yuk. Aduh jadi takut salah lho. Aduh, dites ya MC-nya ya??”

“Oke, bapak Jared??!” (Muka penuh harap)

“Oh, tidak ada juga??”

“Oh ya Pak Mulus. Alhamdulillah!! Puji Tuhan!!!”

“Oh pak Jared udah datang!”

“Duh maaf ya pak Mulus ya. Turun balik lagi.”

“Kamu suka PHP!”

“Aduh, dari tadi di pojok ngapain, pak Jared? Aduh duh..”

(Tawa hadirin)

“Oke nggak papa, kita kasih tepuk tangan. Haduh, oke pemenang 3 Spa Plus Minus Rawa Belong, pemenang 2 Salon Tiarap Kemang Jakarta dan yang susah banget dipanggil, juara pertama Panti Pijat Waru Doyong SCBD!! Tepuk tangan dong buat mereka.”

(Mengambil foto)

Jadi mulai sekarang harus diingat ada Panti Pijat Waru Doyong yah.

(Tepuk tangan)

Menjajal Layanan Uber di Jakarta (1)

Sebuah brand yang unggul tidak selalu disambut baik semua pihak. Makin berada di atas angin, sebuah brand juga bisa mendapatkan makin banyak sambutan dan ‘sambitan’ (kritik -red). Demikian juga dengan layanan transportasi mobil pribadi mirip taksi, Uber, yang digagas Travis Kalanick. Jika Anda mengikuti perkembangan Uber di negeri Paman Sam dan negeri-negeri lain, Anda mungkin tahu maksud saya.

Terlepas dari semua itu, sejak pertengahan tahun ini, Uber memang sudah memulai layanannya di Jakarta. Dan meskipun sudah ada rentang waktu sekitar 4 bulan sejak Agustus 2014, Uber belum banyak dikenal warga Jakarta terutama daerah niaga dan bisnis di Sudirman Central Business District (SCBD), area yang menjadi tempat beroperasinya layanan ini.

Putik (bukan nama asli) adalah salah satunya. Saat saya menyebut layanan Uber, ia memicingkan mata sambil bertanya,”Apa itu?” Putik tipikal generasi millenial, yang masih muda (pertengahan 20-an), kelas menengah, dan melek teknologi. Di tangannya tergenggam smartphone terkini. Akan tetapi, ia lebih memilih taksi burung biru yang menjadi penguasa pasar di Jakarta. Maklum, ia menggunakan voucher taksi dari kantornya. Dengan menggunakan Uber yang biayanya dibebankan secara otomatis ke kartu kredit, Putik akan kesulitan meminta reimburse (penebusan biaya) dari kantor. Dalam kasus Putik, voucher taksi yang biasa diberikan berbagai korporasi bagi karyawan yang bertugas menjadi solusi yang memudahkan, karena karyawan tak perlu menyediakan uang tunai. Perusahaan akan membayarkan ongkos yang tertera di voucher yang bisa ditulis tangan.

Hari itu saya teringat dengan Uber dan memutuskan mencoba layanannya. Setelah sekian lama, saya baru mencobanya, karena seperti Putik, saya masih memiliki banyak moda transportasi alternatif. Ada ojek, lalu juga ada layanan taksi burung biru yang juga bekerjasama dengan perusahaan tempat saya bekerja. Saya memang memilih tidak membeli kendaraan bermotor apapun di Jakarta. Saya bukan tipe orang yang banyak berkelana, apalagi jika tidak ada agenda yang jelas. Ditambah dengan kacaunya jalan-jalan Jakarta yang menjadi sumber frustrasi jutaan orang dan keengganan saya menghabiskan waktu senggang untuk mencuci dan merawat seonggok benda dari logam (lebih baik saya membaca buku, menulis dan bersantai), saya lebih memilih menggunakan moda transportasi umum yang meski lebih mahal tetapi membebaskan saya dari kewajiban-kewajiban penguras waktu dan energi seperti mengurus BPKB, STNK, SIM, atau ketakutan-ketakutan saat dihadang polisi lalin, sakit kepala saat kemacetan yang mendera. Saya relatif bisa bebas dari semua itu.

Saya juga bukan bagian dari banyak orang di Jakarta yang memilih mencicil kendaraan bermotor demi ‘kenyamanan dan kecepatan’. Dalam satu kesempatan, Dahlan Iskan pernah berteori mengenai revolusi sepeda motor yang menurutnya mampu menyejajarkan kalangan menengah bawah dengan mereka yang lebih kaya raya dalam hal kecepatan mobilisasi berkegiatan. Inilah suatu era saat masyarakat bawah bisa sama cepatnya dengan mereka yang berada di atas, kata Dahlan. Ia juga mengajukan hipotesis mengenai alasan mengapa angka penjualan sepeda motor makin melonjak pasca kenaikan BBM (yang tentu diiringi naiknya konsumsi BBM). Karena dengan biaya transportasi umum yang relatif makin mahal, seseorang sudah bisa menggunakan anggaran transportasi umumnya itu untuk mencicil kendaraan bermotor roda dua! “Dengan uang Rp700.000 untuk biaya angkot, saya bisa langsung ambil sepeda motor dan mencicilnya Rp600.000 sebulan dalam waktu tiga tahun, sepeda motor itu menjadi milik saya. Sementara yang naik angkot, tetap saja naik angkot. Yang mencicil sepeda motor dalam waktu 3 tahun sudah punya sepeda motor yang nilainya paling tidak Rp12 juta. Dia punya aset! Yang naik angkot tidak [punya aset – pen],”terang mantan menteri BUMN era SBY itu panjang lebar. Saya sepakat untuk tidak sepakat. Dengan kata lain, saya sepakat itu benar, tetapi saya lebih memilih alternatif pembelian aset selain kendaraan bermotor, yang tidak sesuai dengan selera dan gaya hidup saya saat ini. Entah nanti. Namun, mengingat saya lebih cenderung ke gerakan penekanan dampak pemanasan global, saya akan berpikir dan menimbang lebih panjang saat harus membeli kendaraan bermotor.

Karena itulah, Uber memiliki peran dalam memperkaya pilihan moda transportasi bagi orang-orang kelas menengah bahkan bawah sekalipun seperti saya yang belum memiliki hasrat membeli kendaraan bermotor dan lebih memilih kenyamanan (sangat nyaman bahkan karena mobil-mobil Uber biasanya kendaraan pribadi mewah) serta aspek kepraktisan dalam mobilisasi sehari-hari tanpa direpotkan dengan tanggung jawab sebagai pemilik kendaraan yang kerap cemas di tengah digelarnya operasi Zebra atau Lilin.

Saya pun memutuskan mengunduh aplikasinya di iPhone. Untuk menggunakan Uber, saya harus memasukkan nomor kartu kredit. Saya mencoba memasukkan nomor kartu debit saya karena alasan iseng semata. Dan ditolak oleh server Uber. Akhirnya, saya masukkan juga nomor kartu kredit Bank Mandiri saya. Diterima seketika itu juga. Kemudian seperti aplikasi mobile lain, saya juga harus memverifikasi nomor ponsel agar komunikasi suara dan teks (SMS) lebih lancar dengan sang sopir sewaan. Masukkan kode verifikasi yang berupa 4 digit angka itu dan Anda siap menggunakan layanan Uber.

Siangnya saya hendak menuju kawasan Sudirman. Saya harus tiba pukul 2 di sebuah tempat. Pukul 1 kurang 10 menit, saya mencoba memesan kendaraan dari Uber dulu. Saya buka aplikasi dan mulai menentukan “pickup location” (lokasi penjemputan) kemudian juga “destination” (tujuan). Dari penentuan itu, kemudian Uber akan mengeluarkan estimasi atau taksiran biaya transportasi. Dalam pemesanan saya ini, taksirannya Rp30.000 sampai Rp34.000. Di bawahnya, Uber menyertakan sangkalan (disclaimer) “Fares may vary due to traffic, weather, and other factors. Estimate does not include discounts or promotions.” Saya ‘tap’ layar di tombol “call UberBlack” tetapi muncul notifikasi “Sorry for the delay. We had some trouble connecting, but should have you moving shortly. Try again or sign out.” Apakah ini karena masalah jaringan Internet yang lambat? Saya kurang tahu. Yang pasti ini agak sering terjadi tetapi bukan masalah besar.

Sebuah ikon mobil berwarna hitam tertampil di aplikasi Uber, menandakan ada satu mobil armada mereka yang sudah siap siaga menjemput saya. Ada juga estimasi waktu mencapai titik lokasi penjemputan. Nama dan foto wajah si sopir itu pun tertampil di bawah. Namanya Bara Priadi, mobil yang ia kendarai Mercedes-Benz S-Class. Rata-rata bintang yang sudah ia kantongi 4,7. Di Uber, setiap pengemudi memang diberikan skor kualitas layanan. Jangan sampai sopir mendapatkan bintang 1 atau 2. Minimal 3. Lebih baik lagi 4 atau bahkan 5. Kalau tidak, mereka harus siap diskors 7 hari dari pekerjaannya.

Sejurus seseorang dengan nomor telepon asing menghubungi saya. Saya angkat. Rupanya Bara, katanya,”Pak, maaf saya baru saja mau makan siang. Bagaimana kalau bapak minta yang lain dulu?” Saya jawab,”Baiklah.” Saya maklum karena saya sendiri saat dihubungi juga sedang memasukkan beberapa suapan terakhir dari soto ayam yang saya pesan.

Kemudian saya memanggil mobil lainnya. Saya mendapati pengemudi lain bernama Kamid, yang masih 9 menit dari lokasi saya berada. Ia menggunakan Toyota Innova. Memang tidak semewah yang sebelumnya tetapi bukan masalah bagi saya. Kamid memiliki rata-rata perolehan bintang yang lebih baik, yaitu 5. Bagaimana bisa sesempurna itu? Saya tahu jawabannya kemudian setelah turun dari mobil itu.

Kamid menelepon saya setelah saya selesai bersantap siang dan berdiri di dekat jalan. Sebelumnya ia menelepon meminta arahan lokasi. Dalam beberapa menit, saya mendapati seseorang dengan mobil Toyota Innova dan wajah yang mirip dengan foto tadi. Ia menebak-nebak, karena saya belum mengunggah foto ke profil Uber saya. Ia masih ragu hingga saya memastikan bahwa sayalah yang memesan mobilnya.

Masuklah saya dan dimulailah perjalanan selama 20 menit dari Karet Pedurenan hingga ke Sudirman. Bukan jarak yang begitu jauh. Dekat saja. Tetapi karena cuaca begitu panas, rasanya akan lebih nyaman duduk di mobil berpendingin udara daripada angkot dan bus Kopaja yang gerahnya buka  kepalang.

Kamid seorang pria berkeluarga yang berusia 32 tahun bulan depan. Setelah saya masuk, ia menepi dari bahu jalan. Di dasbornya, terlihat sebuah iPhone hitam, dan di layar aplikasi Ubernya terlihat nama saya. Ia mengecas smartphone tersebut, yang ternyata bukan miliknya. Itu fasilitas Uber, kata Kamid. Ponselnya sendiri – yang ia simpan di antara kedua pahanya – tidak semahal itu.  Ia mungkin tidak tahu risiko infertilitas yang dipicu sinyal radio jika meletakkan ponsel sedekat itu dengan bagian tubuh yang vital tetapi bukan masalah, karena toh ia sudah punya 1 anak.

Tidak seperti taksi burung biru, mobil layanan Uber adalah mobil pribadi. Sopirnya tak memakai seragam. Mereka juga tidak menggunakan alat komunikasi radio dengan operator yang memberitahu jika ada pelanggan. GPS tak ada, hanya smartphone yang memandu mereka.

“Tadi dari selatan ya, pak?” saya membuka percakapan karena saya melihatnya dari jl. HR Rasuna Said. Ia menjawab dengan ramah,”Iya tadi kebetulan dari sana macet. Lagi keliling-keliling aja.”  Saya duduk di bangku depan di sebelah kirinya. Saya hendak duduk di belakang tetapi mengurungkan niat karena saya ingin bercakap-cakap.

“Biasanya kerja apa, pak?” tanya saya lagi.

“Saya sopir ekspedisi, pak.”

“Ini lagi libur atau bagaimana?” saya ingin tahu. Di benak saya, Kamid adalah pemilik mobil ini. Atau penyewa setidaknya, kemudian ia mendaftarkan diri ke Uber. Begitu asumsi saya. Saya salah.

“Nggak, pak. Ini sudah habis kontrak dan ada pengurangan karyawan dan armada. Yang dicari yang punya SIM B1 umum.”

“Oh, bapak nggak punya ya?”

“Kalau saya B1 polos, pak.”

Saya bertanya-tanya arti B1 polos dalam hati. Saat masuk rupanya mereka tidak mewajibkan SIM B1 umum, setelah mereka tahu pajak untuk SIM B1 umum dikenai pajak lebih murah dari yang ‘preman’ jadi diutamakan yang umum. “Jadi plat mobil yang sekarang ya plat mobil kuning semua,”terangnya. Saya mencoba mencerna makna ‘preman’ tadi. Apakah itu artinya membuat SIM dengan cara ‘nembak’ alias instan dengan cara menghubungi oknum dalam agar lebih cepat? Saya ingat dengan penuturan suami dan anak ibu kos saya yang membuat SIM C lebih cepat. Dua SIM cukup bayar Rp1,2 juta. Masing-masing Rp600 ribu. Untuk prosedur biasa bisa memakan waktu 6 bulan katanya tetapi harganya jauh lebih murah, sekitar seperempat tarif pembuatan instan. Tidak ada ruang untuk yang ingin cepat tetapi taat hukum dan aturan. Hanya ada dua: cepat tetapi ‘melanggar’ prosedur, atau lambat tetapi taat prosedur. Uang menentukan prioritas layanan. Seperti bank yang memberikan layanan prima bagi nasabah prioritasnya. Tetapi masalahnya, ini layanan publik, bukan komersial.

“Tahu dari mana Uber ini?” tanya saya.

“Dari teman. Dari Internet juga. Ya, cari-cari, pak. Ya namanya lowongan kerja. Yang penting bisa kerja gitu, pak,” ungkapnya.

Kamid tidak segan berbagi bagaimana ia bisa menjadi pengemudi Uber. Jika di negeri asalnya para pemilik mobil sendiri yang mengendarai mobil Uber, di Jakarta metodenya lain. Mungkin setidaknya untuk saat ini. Apakah karena kesulitan menarik minat para pemilik mobil yang menganggur di garasi untuk menyewakan mobil mereka? Saya kurang tahu tetapi Kamid berkata Uber telah menyediakan segalanya. Baik iPhone dan mobil sudah ada. Ia hanya tinggal menyetir.

“Baru berapa bulan kerja di Uber, pak?” selidik saya.

“Waduh, saya saja baru mulai kerja hari ini!” jawabnya. Itulah mengapa ia masih mendapat skor sempurna, karena seorang ibu yang menuju ke kedutaan Belanda sebelum saya mungkin sudah berbaik hati memberikan skor bintang 5 padanya. Ibu itu baik hati, apalagi kata Kamid, ia sedikit membuat kesalahan. Karena belum terbiasa memakai iPhone, jarinya menyentuh layar saat aplikasi terbuka dan entah kenapa ada sedikit kesalahan soal tarif. Ia meminta maaf dan si penumpang itu memakluminya. “Kepencet trip-nya jadi dia kena cas. Saya telepon atasan saya,’Pak, maaf ini ada trebel (maksudnya ‘trouble‘).

“Kemarin dua hari saya ikut tes sambil lihat video cara kerjanya. Setelah paham dan lulus tes, saya dipanggil kembali.”

“Tes apa?” saya terus menggali informasi.

“Ya… ringan sih sebenarnya,” jawabnya dengan agak berat, terdengar agak menimbang-nimbang pilihan kata yang tepat.

“Biasalah tentang pelayanan konsumen. Bagaimana agar tidak komplain. Beda dari yang di pabrik. Diusahakan kami dapat bintang dari pelanggan antara 4-5. Tapi kami tidak boleh minta.”

“Memang kalau dapat di bawah bintang 3 bisa diberhentikan atau dapat penalti?” tanya saya lagi.

“Ya, bisa di-skorsing 7 hari.”

Obrolan kami tiba-tiba berbelok menjadi lebih personal. Dari peran penyelidik, kini saya yang menjadi terselidik. Kami bertukar informasi usia, asal daerah, latar belakang keluarga, pendidikan.

“Kalau bapak tahu jalan ke tempat tujuan?” ia sekonyong-konyong bertanya.

Apakah ia tak tahu tempat tujuan saya? Ternyata sama saja dengan sebagian sopir taksi burung biru yang hampir buta rute di dalam Jakarta, batin saya.

“Saya kalau [daerah] kota, baru ini,” ia mencoba menjelaskan. Kamid menerangkan mengapa ia sampai kurang paham dengan daerah Sudirman.

Sebelumnya ia bekerja sebagai sopir perusahaan ekspedisi outsourcing. Ia mengaku hanya melewati jalan-jalan protokol, tidak sampai menelusuri jalur-jalur tikus dan gang.

Mobil Toyota Innova kami meluncur ke jalan protokol Sudirman. “Belok kiri, pak,” kata saya begitu kami berada di depan Sampoerna Strategic Building. Kami perlahan menuju ke Senayan dengan kecepatan rata-rata 30-40 km/ jam. Kondisi lalu lintas saat itu pun masih agak lancar. Kami bersiap untuk melewati bottleneck di depan kampus Unika Soegijapranata.

Ahok, “The Mad Man” of Jakarta, Tells Us More about His Views on Entrepreneurship and Jakarta (2- end)

ahokAhok previously touched on plurality and creativity as the nation’s potential.

He was again pissed off as he found out a shocking fact. Upon knowing it took several days for a letter to reach his working desk, he casually went curious and questioned his subordinates. “I want all of the letters for me came to me right away no matter what. How many people in charge of letters are there?,”Ahok recounted. Twenty five people were known to be in charge of it. We all can imagine how ineffective the bureaucracy of Jakarta has been and we somehow don’t think it’s too surprising but having 25 people to handle letters in an office for a governor is undoubtedly a waste of resources.

Needless to say, he was enraged at the inefficient approach. Ahok later opened a single desk for all letters written for him as the governor. He wants to read these letters as soon as they arrive. “I want no one from my staff filters any letters for me,”Ahok firmly stated.

He fervently wishes there will be more entrepreneurs a.k.a. job creators in town. And to attract more entrepreneurs and encourage them to set up businesses in Jakarta, Ahok conveyed a message of change to all of business folks: Jakarta is changing.

Ahok is deeply concerned about the low sense of trust grassroots give nowadays to public officials like him. And he knows to well he has to work hard to change it.

“All we (Jakarta) have is location, to be frank,” he spoke. If people have a creative idea, are trained, permitted to operate, they might as well get funded by the government. “We also subsidize fledgling entrepreneurs who need to exhibit their products or services.”

Under Ahok’s command, the government of DKI Jakarta has begun a local, culinary-focused business incubator at Monumen Nasional (Monas), Central Jakarta. There are 339 people (micro businessmen, street vendors) trained in the incubator. They were trained to cook and serve foods more hygienically and professionally. Once they have funds and want to expand, they should move out of the location.

Ahok can’t be fooled so easily. Some of the street vendors tried to take advantage of this facility generously provided for them. Ahok found out that these dishonest people sold their kiosks at Monas for 200 million rupiahs. They sold the space to others instead of truly running their culinary business there to come back to their hometown only to remarry women and build a decent house. And what happens next? These people come back to Jakarta and sell foods like what they did before the government trained and funded them.

“That’s why we now are really really stringent!” Ahok explained. Knowing Indonesian law enforcement is too weak to prevent such cases from recurring in the future, Ahok had an idea. A brilliant one, I should say. All these street vendors are to have ATM cards issued officially by Bank DKI as their identity cards. That way, any violations can be taken to court, only this time with more severe, more serious punishment. Ahok knows it’s against the law to
counterfeit ATM cards and if these street vendors – who have been trained, funded and provided a strategic space to run businesses – forge the cards, they should get prepared of being put behind bars for at least 12 years. “They said I’m so cruel. I said,’Now you all know!'”

He later emphasized Jakarta is the best opportunity for entrepreneurs. They provide one-stop service for handling the business permits. “No need to bribe. You can tell me if you’re told you must bribe,” he said. “I work for this, to have fights against all these violations. For the sake of you all.”

Ahok promised for entrepreneurs to give space to ‘show off’ products at Monas, which he assumes to be the most commercially attractive landmark of all. He is committed to help entrepreneurs who can produce something. To fund potential entrepreneurs, Ahok will push Bank DKI to provide more capitals for them.

Speaking of the traffic jam issue and city plan, Ahok likened Jakarta to Chicago in 1920’s. It was all chaotic and messy with buildings and properties erected with no certain guidance. To add to the mess, the traffic was worsening from time to time. Not to mention, the Chicago goverment was as corrupt as we all are now.

He also challenges all of Indonesian public officials to implement and ratify the United Nations advice on combatting corruption in the public government. He strongly advocates this idea to be applied in Indonesia. “But there needs to be raises in salaries at first,” he said in an understanding tone.

Thus far Ahok, apart from his being a minority, has managed to show his capability of working as a competent public official. Yes, he is blatant, overly outspoken most of the time, so outspoken he annoy and offend some. But as we all realize we really need this type of man to drag our people forward. This donkey needs to wake up and work his way up, stop complaining and start achieving. And Ahok is ready with his whip so the donkey stand up and start to run, to become a stallion, or even better, a unicorn flying to the sky.

Mengapa Ahok Naikkan Gaji PNS Pemprov DKI Jakarta

Dari pengamatannya selama ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sangat yakin bahwa akar permasalahan buruknya kinerja PNS di lingkungan pemerintah DKI Jakarta dan tingginya tingkat korupsi di dalamnya adalah rendahnya gaji para pegawai. Pendapatan yang jauh dari memadai itu memaksa oknum-oknum untuk korupsi.

“Ini ada hubungannya dengan gaji kita,”tegas pria berkacamata itu dengan mantap di podium, dengan banyak anak-anak muda menyaksikannya. Mereka hadir dalam rangka Global Entrepreneurship Week Summit 2014, di Jakarta, tanggal 21 November lalu. Generasi muda inilah yang menjadi alasan mengapa Ahok tidak segan menghadiri acara di tengah jam kerja.

Alasan kedua ialah karena keserakahan, ujar Ahok lagi. “Yang kecil nyolong untuk hidup,”Ahok berkata. Sementara yang sudah berkecukupan, menjadi korup karena keserakahan, ingin menjadi lebih makmur lagi secara finansial.

Ahok memaparkan panjang lebar bahwa gaji PNS di lingkungan pemerintah DKI Jakarta yang cuma Rp2,4 juta (tahun depan Rp2,7 juta) itu sangat kurang, apalagi jika istri tidak bekerja dan anak-anak berjumlah 2-3 orang. Beban ekonomi itu teramat berat dan implikasinya sangat luas dalam kehidupan keluarga tersebut.

Implikasi rendahnya gaji orang tua dalam tingkat pendidikan anak-anak keluarga PNS juga tidak bisa disepelekan. Bagi anak yang kurang beruntung karena gagal lulus ujian masuk sekolah negeri, akibatnya bisa sangat destruktif. Ahok mendeksripsikan bagaimana anak-anak PNS yang gagal masuk ke sekolah-sekolah negeri harus berpuas diri di sekolah-sekolah swasta dengan kualitas guru yang jauh dari memadai. “Kadang masuk, kadang nggak, misalnya,”tutur Ahok tentang frekuensi presensi guru-guru sekolah swasta, yang memang ada hubungannya dengan gaji mereka yang rendah pula.

Anak-anak PNS semacam ini juga kadang harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk bisa ke sekolah mereka setiap hari. Dan tentunya itu membutuhkan dana transportasi yang tidak sedikit. Jumlahnya bisa mencapai Rp800.000 per bulan, menurut Ahok. Dengan 2-3 anak yang bersekolah dalam satu keluarga dan sang ayah hanya bergaji Rp2,4 juta, Ahok berasumsi gaji itu sudah ludes hanya untuk biaya transportasi sehari-hari. Itu belum mencakup kebutuhan dasar lainnya.

“Yang banyak terjadi adalah:’Kamu sudah SMP, kamu sudah SMA, biar adik-adikmu menyelesaikan SD’,”tukasnya dengan nada prihatin karena ia tahu anak-anak ini harus menghadapi persaingan global nantinya. Namun, apa daya mereka harus menerima kenyataan bahwa orang tua tidak lagi sanggup membiayai pendidikan mereka hingga ke jenjang sarjana.

Maka dari itu bisa dipahami, selain isu kesejahteraan PNS di lingkungannya, Ahok sangat menaruh perhatian pada masalah pendidikan pula. Ia pun menggagas bantuan pendidikan yang lebih intensif. Cakupannya akan sampai jenjang pendidikan tinggi.

Untuk merealisasikan bantuan pendidikan untuk anak-anak itu, pejabat yang pernah menjadi pebisnis di daerah asalnya ini terganjal satu problem dan harus memutar otak lagi. Masalahnya kali ini adalah definisi “miskin dan rentan miskin”. Ia mengkritik definisi yang dipakai pemerintah saat ini salah besar. Ahok mengatakan pemerintah mengklaim hanya ada 3,7% warga DKI yang miskin dan rentan miskin dan tiap tahun dikatakan terus menurun jumlahnya.

Ia menampik klaim tersebut. “Saya bilang kalau melihat PKL begitu banyak, orang-orang makan di pinggir jalan begitu banyak, separuh warga Jakarta itu miskin!,”kritik Ahok lagi mengenai definisi tersebut. Pernyataan Ahok yang tajam itu membuat sebagian pihak bereaksi keras tentu saja.

Di depan mantan Wapres Budiono dan sejumlah gubernur lainnya di Yogyakarta dalam sebuah kesempatan, Ahok tidak segan menjelaskan bahwa standar garis kemiskinan yang dibuat pemerintah itu salah. Ia tidak menyerang Budiono sebagai pribadi. Ahok bahkan mengatakan Budiono sebagai “orang baik”.

Kesalahan definisi “miskin dan rentan miskin” itu ada pada standar 2500 kkal per hari, terang Ahok. Jika diubah ke rupiah, 2500 kkal itu setara dengan Rp347.000. Dengan pemasukan di atas Rp347.000, seseorang sudah dianggap di atas garis kemiskinan. Bagi Ahok itu tidak masuk akal dan “lucu”. Padahal untuk bisa berkehidupan layak seorang lajang di Jakarta membutuhkan Rp2,4 juta per bulan. “Bagaimana bisa digunakan standar Rp347.000 tadi??!”

Pemerintah DKI Jakarta pun bekerjasama dengan BPS untuk mengadakan survei KHC (Kebutuhan Hidup Cukup) agar bisa memiliki bukti kuat sehingga garis kemiskinan ini bisa dinaikkan segera.

Two Things Foreign Entrepreneurs Complain Most About Indonesia

“To build business in Indonesia is actually really good,”said he. Steven Kim of Qraved.com claims the reason is because Indonesians are familiar with English. This is considered a plus. Language barrier is minimum. It’s also network-oriented. “When I worked for Zalora Singapore, it was very tough because there were additional problems I had to solve.”

Indonesia, however, needs to fix these two things: INTERNET and TRAFFIC. The Internet speed is miserable, I should say. No service provider can solve it by consistently doing great at every place. On and off Internet connection, there’s nothing more pissing avid Internet users off than that. Even wi-fi connection doesn’t really provide satisfactory speed you’ve always wanted. But if you’re used to super fast Internet such as one in Korea just like Mr. Kim, of course it’s understood you’d whine over the speed here.

Meanwhile, the traffic issue especially holds true in Jakarta. Painfully clogged and chaotically managed. Needless to say. And it takes more years to untangle the mess because it’s the accumulation of problems spanning for decades.

Welcome Drought…

‎It’s been 3 days since the last time when the water pump operated and managed to suck water from the bowel of earth for us to shower and wash our dirty laundry and whatever needs cleaning. Now, we are almost entering the state of waterlessness if the other well is dried completely.

We’re not alone though. Some households are also experiencing the similar problem around the neighborhood, Karet Kuningan. They claimed the problem is the rain hasn’t arrived just yet. It was only super light drizzle for several days, but the temperature itself has already gone down. As we all know, the peak of dry season this year has been unusually horrifying. The temp reached 35 degree centigrade and it felt like in Sahara.

Now that ‎we are under such circmstance, we try to seek a scapegoat instead of fixing this unsustainable nature-exploiting behaviors like watering your dear plants or your dusty front yard with CLEAN tap water that actually is more suitable for other purposes like drinking, or bathing. Seriously, this infuriates me. Please, don’t act like clean water is cheap now. Even if it is, your money is useless anyway once the water supply is all used up with such recklessness by us. I cannot stress more! Clean water is a limited natural resource.

It’s time to teach ourselves how to save clean water. Perhaps you can start from closing the tap before you undo your wristwatch or roll your sleeves during wudhu. Or while you brush your teeth‎! I hate it so much when people leave the water runs while they are brushing teeth. No offense but it’s moronic. They let it run just like that and I can’t believe they do it. Craziness!

So the long-term solution wouldn’t be drilling deeper to suck more water from the mother earth, but how we all can change this behavior pattern and mindset towards clean water.

On that note, I think it’s the best time to tell these kids to change the way they use clean water. Unless they’re in a swimming pool, playing with too much clean water ‎should be considered a SIN. Make them feel the guilt of using too much clean water when showering, and they’ll understand:water is NOT to be used at their own disposal.

Horor di Kantor

Selain humor di kantor, ada juga horor di kantor. Keduanya cukup mengasyikkan jika dibahas. Untuk humor di kantor, saya akan bahas lain kali. Sekarang saya akan bahas kejadian-kejadian horor di kantor dulu.

Desember tahun lalu kami baru saja pindah ke gedung baru di sebuah pencakar langit. Saya tentu tidak bisa menuliskan di sini nama gedung itu. Siapa tahu ada yang ingin menyewa ruang kantor di sana tetapi begitu membaca tulisan ini langsung berubah pikiran.

Saya pernah menceritakan dulu (baca di Kumpulan Kisah Nyata: Kantorku Berhantu) bahwa di kantor kami yang lama ada kemunculan yang tidak diharapkan, setidaknya menurut pengamatan indra saya. Dari lampu yang mati secara tiba-tiba saat saya bekerja sendirian yang membuat saya terbirit-birit karena saya pikir kantor hendak dikunci sekuriti hingga sekelebat orang yang mirip atasan tetapi ternyata bukan.

Tetapi kantor lama ternyata tidak berhenti menghasilkan kisah horor begitu saya tinggalkan, karena ada penghuni baru di sana. Staf baru yang belum tahu apa-apa ini mengira semua ruangan aman. Karena itu, dengan santai seorang dari mereka mengangkat barang-barang untuk ditumpuk di sebuah ruangan kecil di rumah contoh yang masih berdiri di kantor bagian belakang. Rumah ini memang sudah memiliki rekam jejak yang negatif di antara para staf kantor sebelumnya. Suasananya sungguh membuat bulu kuduk meremang di petang dan malam hari. Sangat sepi dan dikepung pepohonan lebat. Pohon-pohon besar memang baik bagi lingkungan tetapi juga menjadi sarang idealnya makhluk dunia lain.

Meski sudah disarankan oleh sekuriti agar tidak menumpuk barang di ruangan itu terlalu banyak, si staf itu tidak menghiraukannya. Padahal ia tidak tahu bahwa si sekuriti tahu ada ‘makhluk’ bersemayam di situ. “Seorang perempuan”, kata sekuriti yang mengetahui itu pada saya tadi malam. Tetapi karena perempuan itu sendiri bukan orang, saya pikir perkataannya itu kurang tepat. “Sehantu perempuan” terdengar lebih tepat meski aneh. Akibat menjejalkan barang terlalu banyak di dalam ruangan remang-remang itu, si staf baru tiba-tiba kesurupan di suatu petang.

Beberapa waktu sebelumnya kantor juga pernah mengundang pendeta untuk memberkati semua sudut di kantor ini dengan air sucinya. Ia berkeliling dan mencipratkan air yang sudah didoai tadi ke sudut-sudut ruangan kantor, termasuk di ruangan-ruangan angker dekat meja kerja saya. Ternyata makhluk-makhluk itu lebih bandel dari perkiraan.

Pindah ke kantor baru tidak berarti lebih aman dari gangguan ‘makhluk lain’. “Di sini memang lebih aman dari gangguan makhluk kasar (baca : manusia),”komentar seorang sekuriti yang saya kenal baik,”tetapi kalau soal makhluk lain memang masih ada.”

Lebih lanjut ia bercerita tentang riwayat gedung ini,”Dulu kan pembangunan basement gedung ini pernah berhenti lama.” Saya menduga pembangunan pondasinya sudah dilakukan 5 tahun sebelum diresmikan penggunaannya oleh perusahaan yaitu sekitar tahun 2007-2008. Namun, sempat terhenti karena mungkin terjadi guncangan di pasar keuangan dunia karena krisis finansial Amerika Serikat dan Eropa tahun 2008-2009. Ironis memang mengapa ekonomi dan properti kita sedemikian terimbasnya oleh kondisi moneter dan keuangan negara lain, tapi negara mana yang bisa sepenuhnya menghindar dari gejolak keuangan yang dikirim negara sebesar Amerika? Namun, kata seorang direktur yang lebih tahu menahu mengenai pembangunan proyek gedung pencakar langit ini, proses pembangunan sudah dimulai sejak 1998. Basement sudah dibangun sebanyak 3 lantai, lalu karena krisis moneter yang melanda perusahaan menghentikan proyek hingga situasi ekonomi pulih. “Baru mulai kembali kemarin 2008,”katanya. Jadi ada jeda 10 tahun. Dan bayangkan bagaimana kondisi sebuah proyek yang mangkrak selama 10 tahun.

Kantor lama di ketinggian ini lebih minim gangguan ‘halus’. “Cuma suara-suara sih,”sekuriti tadi bersaksi. Tidak seburuk di kantor lama, jika mau dibandingkan.

Suara itu pernah menyapa salah seorang karyawan malang kami yang dengan tekun mengerjakan tugasnya hingga pukul 9 malam. Hanya ada dia dan satu orang lagi yang tinggal.

“Tok tok tok…”suara itu datang dari jendela. Ia menoleh ke jendela kaca yang gelap itu. Siapa yang malam-malam pukul 9 mau bergelantungan dengan gondola di ketinggian untuk mengetuk jendela kaca ruangan lantai 39? Kecuali yang mengetuk itu bukan manusia.

Seolah diingatkan untuk pulang secepatnya, karyawan naas itu pun berkemas sembari terkencing-kencing. Di meja sekuriti depan ia bertanya,”Siapa tadi yang di luar?” Sekuriti kebingungan.

Siapa? Mana mereka tahu? Tidak ada orang yang mungkin tahu!