Breaking News: Jonru Hentikan Newsletter

Mendapati email bersubjek “Saatnya Berpisah” dari Jonru yang tersohor itu beberapa menit lalu, saya terkejut. Beberapa saat kemudian saya menyadari email itu adalah email blast karena tahun 2009 saya pernah mendaftarkan alamat email saya di sekolah menulisnya. Ya, saya belum tahu saat itu akan menjadi orang seperti apa Jonru. Yang saya tahu, Jonru mengklaim dirinya sebagai orang yang kampiun ‎menulis sehingga otomatis ia bisa menularkan ketrampilan mengolah kata itu pada orang lain.

Di kesempatan lain, saya juga pernah melihatnya sekilas di Pesta Blogger yang saat itu berubah nama menjadi On Off ID tahun 2011. Namun demikian, saya belum pernah sekalipun berbincang dengannya. Jadi saya tak bisa banyak berkomentar atas sosoknya yang akhir-akhir ini amat kontroversial itu.

Seperti kita ketahui, Jonru adalah simpatisan PKS. Dan ia tidak malu-malu menunjukkan pandangan politiknya secara terbuka. Tidak salah. Itulah indahnya alam demokrasi. Bisa menghujat sana sini tanpa bukti. Tetapi saya lebih tertarik mengupasnya dari segi prestasi menulis. Ia mengecewakan.

Seorang teman yang juga simpatisan PKS menanyakan apakah saya benci Jonru. Bukan sosoknya yang patut dibenci, tetapi perbuatannya dan perkataannya yang bernada kebencian. Sungguh mengecewakan. Seseorang yang mengaku sebagai penulis tetapi buku-bukunya kalah membahana dibandingkan cuitan dan tulisan di jejaring sosial. Sekali dua kali mengecam masih manusiawi. Namun, bila menjadi semacam kebiasaan yang malah membuat kita teralihkan dari misi sebagai penulis (yaitu menyebarkan kabar dan pengetahuan yang baik), rasanya tidak berlebihan kalau saya merasa jengah.

Di tengah makan siang tadi, saya pun menyempatkan membaca email sendu itu. Begini tulis Jonru:

‎”Halo Akhlis

Apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. .. Terima kasih banyak, Akhlis telah menjadi anggota setia pada newsletter ini. Dengan berat hati saya sampaikan, bahwa newsletter ini akan ditutup untuk selamanya sejak 1 Januari 2015. Tentu banyak pertimbangan yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu di sini.

Namun jangan khawatir! Jika Akhlis ingin mendapat update terbaru mengenai pelatihan penulisan atau buku terbaru Jonru, dipersilahkan bergabung dengan akun sosial media:

– Twitter: @jonru

– Instagram: @jonruginting

– Fan Page: https://www.facebook.com/jonru.page

Jangan lupa bergabung juga dengan toko online yang dikelola oleh Jonru Management, yaitu: https://www.facebook.com/tokojonru

Jika Akhlis ingin mendapat update info pelatihan penulisan terbaru bersama Jonru, silahkan SMS ke nomor berikut: 085770482715 atau 081281956427 (SMS ONLY)

Format SMS: Nama Anda – Tempat Tinggal Anda

Contoh: Andi Wijaya – Jakarta

Nanti jika ada info pelatihan penulisan, kami akan menginformasikannya kepada Akhlis.

Semoga informasi ini bermanfaat, ya… 🙂 ..

Terima kasih dan salam sukses untuk Akhlis !!!

Tertanda,

Jonru Pengelola Newsletter dari Penulis Lepas Group‎

http://www.penulislepas.com.‎

Yang menarik perhatian saya, ia membuka surat tanpa sapaan “assalamualaikum”. Jonru malah menggunakan “halo”. Saya mengernyit. Mengapa? Apakah ia mulai melunak pada sekulerisme sekarang? Apakah kini ia sudah terlalu sibuk menangani kasus hukum karena namanya jadi kosakata baru? Atau karena alasan lain yang lebih rahasia?

Selamat tinggal, Jonru…

Writers’ Moral Responsibility

‎”The first job of a writer is to be HONEST.”- Irvine Welsh

I typed the word “honest” in capital letters as I cannot tell you how much I find this quote inspiring to me. ‎This quote at its best teaches us writers in general (whether they be bloggers, published authors, print journalists, online journalists, novelists, short story writers, or even mere Facebook updates’ creators) that nothing can substitute integrity and honesty.

But for some reason I cannot fathom why some writers plunge themselves into this kind of abyss named politics a little bit too far.‎ Take Indonesian moslem writer Jonru Ginting as an example. The self-proclaimed writer, entrepreneur, and internet marketer (as he himself stated on jonru.net). He is allegedly to be the culprit behind the photo showing Jokowi as a priest at a church giving sermons according to islamtoleran.com (another site with unknown track records). The photo was found to be photoshopped and thus fake. Jonru (@jonru) himself denied the accusation via Twitter and Facebook. But long before that, when Egypt crisis broke last year, he was reportedly releasing a hoax to change the perception of those who did not believe in the sincerety of Ikhwanul Muslimin movement (source: badaruzz on http://www.kaskus.co.id, 14/07/2014). He was said to have used a photo of a smiling corpse, with the intention of convincing readers that Ikhwanul Muslimin casualties were died heroes. But the photo was found to be sourced from the web. The photo was allegedly taken from Malaysia, where the woman was only mimicking and acting as a corpse during a simulation of taking care of dead body before the burial based on Islamic regulations.

I am not going too comprehensive about who is wrong or right in this politically sensitive case but it may also be due to the implications of his involvement as a cadre of Partai Keadilan Sejahtera (PKS) , who openly criticizes and frequently attacks Jokowi on his Twitter account and Facebook fanpage (https://www.facebook.com/jonru.page).

And that being said, I am not either about to judge him for being a politically biased writer ‎because that is his own preference entirely. Yet, what I want to highlight is how perilous it may get when you involved in affairs such as politics as you may lose your integrity and neutrality as a writer. Because as far as I can see, those two things are the most invaluable and intangible assets for writers of all kinds. You can tell lies in fictional works as much as you want but never ever spread lies in your reports, non-fictional works since it may put your credibility at stake.

Because I believe there is NO fine line between liers and truth tellers in writing. Either you tell a complete lie that still makes sense of course in some way (i.e. fictional authors) or tell the “truth” ‎as far as you possibly can do (i.e. reporters). Certainly, subjectivity may intrude in between but can subjectivity or bias leads a writer to lies or even worse libels, or defamation? Have your say.