Entah jika di Indonesia, tetapi yang pasti di negeri Paman Sam pekerjaan sebagai reporter surat kabar bukanlah jenis pekerjaan idaman. Berdasarkan survei yang dilakukan situs pencarian lowongan kerja CareerCast.com, pekerjaan yang dianggap paling buruk di AS ialah reporter surat kabar. Dua pekerjaan lain yang berhubungan dengan media, yaitu broadcaster (penyiar) dan jurnalis foto, juga disebut dalam deretan 10 pekerjaan terburuk. Ketiganya disebut bersama pekerjaan-pekerjaan lain yang rata-rata menyedot banyak tenaga.
Pekerjaan-pekerjaan ini diurutkan berdasarkan aspek-aspek penting seperti pendapatan, peluang di masa datang, faktor lingkungan kerja, tekanan mental dan tuntutan fisik. Aspek-aspek ini dianggap penting dalam data kerja di Biro Statistik Ketenagakerjaan AS (Bureau of Labor Statistics).
Dan pekerjaan terbaik di tahun 2015 adalah ‘actuary’, orang yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis data statistik dan menggunakan data untuk menghitung risiko dan premi asuransi. Mereka ini membuat asumsi-asumsi yang akan menentukan surplus dalam dana pensiun, misalnya.
Inilah daftar pekerjaan terbaik tahun ini versi CareerCast.com:
1. Actuary
2. Ahli audio
3. Matematikawan
4. Pakar statistik
5. Insinyur biomedis
6. Ilmuwan data
7. Dental hygienist
8. Software engineer
9. Terapis terlatih
10. Analis sistem komputer
Sementara itu yang terburuk adalah:
1. Reporter surat kabar
2. Juru tebang pohon
3. Personel militer
4. Juru masak
5. Penyiar
6. Jurnalis foto
7. Petugas Lembaga Pemasyarakatan
8. Pengemudi taksi
9. Pemadam kebakaran
10. Petugas pos
Dikenal sebagai situs yang kontennya kerap beredar secara viral di Internet, BuzzFeed bisa dikatakan menjadi salah satu fenomena media yang mencengangkan di abad informasi ini. Valuasinya diketahui mencapai miliaran dollar AS. BuzzFeed sukses sebagian karena mampu mencerminkan bagaimana kita merespon konten di dunia maya.
Seperti dirangkum dari laman TechinAsia, Buzzfeed sukses berkat beberapa strategi yang sebelumnya tak banyak terpikirkan oleh pebisnis media.
Tidak cuma menarik dan bagus, konten harus memiliki kepentingan sosial. Masalahnya hal itu cukup sukar dirumuskan. Semuanya cuma berdasarkan naluri tim editorial semata. Bahkan BuzzFeed menjadikan jejaring sosial sebagai tujuan utama pembuatan kontennya. Dengan 200 editor di dalamnya, BuzzFeed mempublikasikan 700 hingga 900 konten dalam sehari di situs mereka. Para penulis dibiarkan begitu saja mempublikasikan konten mereka namun tidak semuanya akan ditampilkan di laman depan situs. Bila konten itu tidak banyak dibagikan orang, ia akan lenyap dengan sendirinya. BuzzFeed akan habis-habisan mempromosikan konten yang begitu menarik bagi orang setelah menarik perhatian orang di jejaring sosial.
BuzzFeed mensurvei ke sebanyak mungkin orang. Dengan bertanya ke sebanyak mungkin orang yang akan menjadi target pembacanya, BuzzFeed terus menyesuaikan diri dengan minat mereka sehingga kontennya tetap digemari. Jadikan topik-topik yang paling digemari sebagai prioritas utama tanpa harus mengabaikan topik konten lainnya yang juga penting untuk menjangkau audiens baru yang sebelumnya tidak banyak digarap situs berita lain. Ini penting untuk terus menumbuhkan jumlah pembaca situs.
BuzzFeed merekrut blogger-blogger top. BuzzFeed berinvestasi secara serius dalam hal sumber daya penulis kontennya. Perusahaan media itu menarik blogger-blogger dengan audiens yang sudah setia untuk membuat konten di situs BuzzFeed.
BuzzFeed juga bereksperimen dengan banyak bentuk konten, termasuk bentuk konten tulisan panjang dan analitis yang mungkin bagi sebagian orang berbeda dari bentuk konten listicle atau kumpulan foto dan meme yang kurang mengasah intelektual pembacanya. Namun demikian, konten listicle yang bombastis, instan dan menarik utnuk dibagikan masih menjadi yang utama. Ini dilakukan karena pola konsumsi konten juga berubah. Untuk itu, mereka menunjukkan keseriusan dengan membawa masuk Ben Smith (jurnalis politik berpengalaman) dan Steve Kendall dari majalah Spin untuk menangani konten jenis long-form. Demi mengukur kinerja konten long-form, BuzzFeed tidak menggunakan tolok ukur (metrics) yang sama dengan konten listicle atau meme lainnya. Memang tidak ada yang absolut dalam mengukur kinerja konten. Cuma
mengandalkan logika, spekulasi, perasaan dan naluri.
BuzzFeed mengutamakan waktu yang dihabiskan dalam mengkonsumsi konten. Durasi waktu yang dibutuhkan orang untuk membaca konten dijadikan tolok ukur yang makin penting.
BuzzFeed membuat konten lebih mudah dibagikan dan sesuai untuk dibagikan di aplikasi percakapan mobile seperti WhatsApp, Line, Kakao Talk, WeChat, dan sebagainya. Ini penting bagi pasar dengan audiens yang getol mengakses konten via ponsel cerdas.
BuzzFeed terus menyesuaikan diri dengan berbagai situs jejaring sosial dan cara-cara lain yang membuatnya lebih mudah dibagikan dan ditemukan. Pertama, mereka menggunakan istilah-istilah pencarian dan mengunggah berbagai konten yang bertema serupa. Kemudian mereka mulai menggunakan Facebook lalu Pinterest. BuzzFeed tidak ambil pusing dengan algoritma jejaring sosial yang berubah-ubah karena mereka hanya fokus pada pembuatan konten yang menarik untuk disebarkan, entah itu tulisan, foto dan video.
BuzzFeed membolehkan artikel ‘daur ulang’. Namun, ini bukan berarti tinggal salin rekat (copy paste) begitu saja. Masih diperlukan pengolahan agar sudut pandang, nada penyampaian dan suara yang digunakan berbeda dari yang sudah ada.
BuzzFeed tak banyak menggunakan judul artikel yang bersifat menipu pembaca. Judul-judul yang disebut “clickbait” itu memang awalnya bisa mendatangkan banyak pengunjung tetapi efeknya dalam jangka panjang, makin sedikit orang yang percaya dan memilih untuk mengabaikan karena telah pernah dikecewakan sebelumnya karena judul yang tidak sesuai dengan kenyataan atau dilebih-lebihkan.
BuzzFeed menggunakan prinsip “tak banyak membual tapi memberikan lebih banyak” dalam tim editorialnya. Ini karena mereka mendorong pembaca untuk tidak hanya mengklik sebuah judul atau tautan tetapi juga mendorong mereka membagikannya ke sebanyak mungkin orang via jejaring sosial. Jika judul bombastis, dan isinya kurang sesuai harapan dan membuat kecewa, mana mungkin orang mau membagikannya?
Bukan rahasia lagi bahwa startup-startup ‘haus publikasi’. Mereka ingin media meliput bisnis mereka. Mereka ingin semua orang
membicarakan produk dan layanan yang mereka luncurkan. Mereka mau brand mereka menempel di otak orang sebagaimana “Aqua” untuk air minum dalam kemasan, atau “Sanyo” untuk pompa air. Mereka mau kampanye marketing digitalnya viral hingga tingkat global di jejaring sosial. Entrepreneur pendiri startup juga tidak kalah ingin dikenal oleh publik dan dianggap sosok sukses dan bisa menjadi panutan.
Sayangnya, tidak banyak entrepreneur sekaligus pendiri startup yang mau bersusah payah untuk memilah-milah jurnalis yang ingin mereka tuju. Mereka biasanya membombardir jurnalis yang mereka telah dapatkan alamat surelnya dengan berbagai pernyataan pers atau semacamnya dengan satu keyakinan:”Siapa tahu mereka mau memuatnya?”
Padahal dalam sudut pandang jurnalis, menerima surel yang tidak dikehendaki secara terus menerus bisa cukup mengganggu produktivitas. Kita bisa bayangkan betapa repotnya memilih puluhan surel yang harus dibuka, dibaca, disortir dan dibalas serta kemudian diolah menjadi berita di kotak masuk (inbox) dalam sehari.
Kesalahan umum yang biasa terjadi ialah entrepreneur dan startup mengirimkan surel pada jurnalis yang memiliki minat dan bidang liputan yang tidak atau kurang sesuai. Misalnya, seorang jurnalis yang bertugas meliput sektor bisnis properti akan merasa terganggu jika dibanjiri dengan surel berisi press release dari perusahaan ritel.
Persoalan akan lebih mudah bagi entrepreneur dan startupnya jika diketahui bahwa si jurnalis memiliki tugas peliputan yang mencakup bidang yang relatif luas. Contohnya, jika seorang jurnalis ditugasi meliput dunia bisnis dan ekonomi secara umum. Tentu pengiriman surel pernyataan pers yang isinya peluncuran produk baru atau pendirian startup baru akan lebih dapat diterima. Namun, sekali lagi tidak semuanya demikian.
Mengapa mengirimkan surel secara membabi buta ke semua jurnalis tidak sepatutnya dilakukan? Karena selain bisa dianggap spamming dan merepotkan jurnalis itu sendiri, entrepreneur juga akan menghabiskan waktu dan tenaganya secara tidak efektif dan efisien. Ibarat berperang dengan peluru terbatas, Anda sudah menghamburkan peluru yang berharga itu dalam waktu beberapa detik. Hematlah peluru-peluru itu dengan membidik lalu menembak musuh dengan cermat dan tepat. Apa artinya 1000 tembakan meleset dibandingkan 1 peluru yang bisa menembus jantung pimpinan musuh?
Lalu apa yang bisa dilakukan agar entrepreneur tidak terjebak dalam permainan spamming ini? Yang pertama dan utama menurut entrepreneur media Jason Calacanis ialah membaca artikel dan konten yang dihasilkan oleh seorang jurnalis. Kemudian setelah itu, ikutilah ide-idenya di blog, jejaring sosial setidaknya selama sebulan. Jadilah pengikut akunnya di Twitter, baca tweet-tweetnya. Bertemanlah dengannya di jejaring sosial Facebook jika memungkinkan. Semua ini perlu sekali dilakukan sebelum Anda memutuskan menghubungi si jurnalis. Mengapa ini penting? Agar Anda bisa paham bagaimana mereka berpikir melalui apa yang mereka katakan dan tuliskan. Seperti yang dikatakan Calacanis, menghubungi jurnalis via surel tanpa mengenal mereka dan apa yang mereka lakukan dalam pekerjaan sungguh “sebuah kegilaan”. Ditegaskan juga oleh Greg Galant (salah satu pendiri Mucrack), bahwa 90% dari jurnalis yang ia survei mengatakan lebih menyukai orang yang menghubungi mereka sudah mengikuti tulisan-tulisan mereka sebelumnya karena dengan begitu mereka tidak cuma sekadar mengirimkan surel tanpa dikehendaki. Ada hubungan yang terjalin dan jurnalis akan lebih yakin bahwa Anda menyisihkan waktu untuk meneliti siapa mereka dan apa yang mereka kerjakan.
Metta mengungkap sekelumit cerita mengenai peliputan investigatif yang ia lakukan di Tempo beberapa tahun lalu. (Sumber foto: Wikipedia)
Sebelumnya di bagian pertamaMetta mendorong pemerintah Indonesia untuk memperbaiki database bisnis yang akan mempermudah kerja jurnalis dan kini ia bercerita tentang peliputan kasus Asian Agri yang panjang sehingga cukup menguras energi bagi Metta dan keluarganya. Asian Agri sendiri adalah salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di tanah air. Luas lahan perkebunannya mencapai 150.000 hektar. Struktur perusahaannya sangat kompleks. Hanya ada 15 perusahaan yang pertahanannya dapat ditembus oleh aparat Indonesia. Untuk perusahaan-perusahaan lainnya yang berlokasi di luar negeri, aparat RI tidak bisa menjangkaunya. “Kerugiannya sungguh masif, Rp1,3 triliun, dengan 11 tersangka.”
Tahun 2006 ia menemui Vincent, seorang whistleblower kasus tersebut dan dari percakapan itu ia melahirkan tulisan investigatif untuk majalah Tempo. Vincent pernah bekerja sebagai financial controller Asian Agri sehingga tahu persis ‘jeroan’ perusahaan itu.
Demi memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai kasus tersebut, pada tahun 2013 Metta juga meluncurkan “Saksi Kunci”, sebuah buku yang khusus membahas seluk beluk kasus Asian Agri. “Penulisan buku ini juga menjadi upaya saya untuk membantu Vincent menuju ke ‘tempat yang terang’,” katanya.
Metta menceritakan bahwa di sebuah kedai McDonald’s di Singapura, Vincent merapikan dokumen-dokumen vital sebagai bukti kasus penggelapan pajak Asian Agri selama tahun 2002-2005 tersebut. Nilai penggelapan mencapai Rp1,1 triliun. Modusnya ialah menekan biaya pajak di luar negeri dengan transfer ke luar negeri.
Vincent yang membantu Metta dalam penguakan kasus Asian Agri itu harus meringkuk dalam tahanan selama 11 tahun karena didakwa melakukan pencucian uang yang Metta yakin tidak dilakukan Vincent. Setelah bebas, justru Vincent makin tidak aman.
Metta meyakini dengan ditegakkannya ‘good corporate governance’ (GCG), cost per capital bisa ditekan. GCG juga memberikan manfaat lebih bagi perusahaan yang menerapkannya, yaitu daya tarik yang lebih tinggi bagi investor asing.
Namun demikian, Metta juga menyebutkan bahwa kondisi di lapangan tak selalu demikian. Ia menebut nama seorang pengusaha terkenal di tanah air. Pengusaha itu ia anggap sebagai anomali karena meskipun ia sudah ditulis media sebagai pebisnis ulung dan bahkan diganjar penghargaan oleh sebuah lembaga pendidikan kenamaan dunia seperti Wharton School, sebenarnya pengusaha tersebut memiliki catatan kelam.
Tahun 2001, kata Metta, bank milik si pengusaha ini dibekukan (namanya Unibank). “Tiba-tiba ia sudah memecah sahamnya, sehingga kepemilikan sahamnya sendiri di bawah 5%,” tutur Metta mengungkap strategi licik si pengusaha untuk menghindari kewajiban membuka pemilik saham sebenarnya dari Unibank pada publik. Metta menambahkan, sehari sebelum bank itu dibekukan, si pengusaha itu sudah kabur ke Singapura dan pemerintah tak bisa lagi mencari pihak yang bertanggung jawab. Alhasil, pemerintah harus ‘nombok’ Rp1,4 triliun.
Korporasi-korporasi juga bukan lawan yang enteng bagi aparat penegak hukum dan wartawan investigasi. Mereka memiliki koneksi yang juga tidak kalah berpengaruh dalam tubuh aparat penegak hukum itu sendiri. Metta menceritakan saat aparat menyita 9 truk dokumen dari sebuah tempat penyimpanan di kompleks Duta Merlin. Anda bisa bayangkan isinya, ada 1400 kotak lembaran dokumen yang sengaja disembunyikan di sana. Saat aparat pajak datang dengan pengawalan Brimob, mereka tertahan di luar. Apa pasal? Brimob itu tak bisa menembus pertahanan di dalam yang diperkuat oleh Kopassus. “Di dalam sudah ada baret merah, Kopassus,” ujar Metta. Para petugas KPK dan pajak baru bisa masuk ke dalamnya setelah mengajak pasukan Marinir. Begitulah kuatnya perlindungan korporasi pada aset-asetnya, tukas Metta. “Dan ini lawan yang sungguh massif.”
Metta mengisahkan besarnya peran whistleblower Vincent. “Ia memberi saya softcopy sebesar 16 MB yang berisi banyak sekali data.”
Sebagai whistleblower, Vincent ternyata turut memiliki andil dalam tindak kriminal itu. Ia terlibat dalam pencurian uang sebesar 3,1 juta dollar. Dan Vincent menyebutnya sebagai jumlah yang “paling kecil”. Metta tetap tidak bisa memakluminya.
Lebih lanjut Metta membeberkan kisah pelarian Vincent saat di negeri jiran Singapura. Ia mengembara dengan tinggal di hotel-hotel mungil di sana agar tidak mudah terlacak aparat Indonesia. Vincent juga bisa lolos ke Singapura karena paspor miliknya dibuat secara manual.
“Saat itu Vincent memiliki 3 pilihan:bunuh diri dari kamar hotelnya yang berada di ketinggian, atau menyerahkan diri ke aparat penegak hukum Singapura yang menurutnya lebih adil atau kembali ke Indonesia,” ujar Metta yang kemudian meminta bantuan ke Bambang Harimurti di KPK. Metta belum bisa berlega hati karena keselamatan Vincent masih terancam, apalagi KPK mengatakan pihaknya belum pasti bisa menanganinya. Metta pun meyakinkan Vincent untuk membuka diri dan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia membongkar kasus pajaknya hingga semaksimal mungkin agar terhindar atau setidaknya tidak dihukum sangat berat.
Mendengar bujukan Metta tadi, Vincent pun memutuskan kembali ke tanah air dengan bantuan intelijen agar takterendus aparat kepolisian Indonesia. Namun, siapa sangka informasi itu bocor. Kepolisian menguntit Vincent dan KPK yang mengawalnya. Akhirnya KPK harus menyerahkan Vincent ke Kepolisian juga.
Tidak hanya dalam diri sang whistleblower konflik bisa terjadi, dalam diri Metta sebagai wartawan pun ikut bergolak konflik batin. Apakah ia harus membantu Vincent atau pasrah begitu saja karena toh tugasnya hanya sebagai wartawan yang tak bisa membantu dalam urusan hukum? Metta memutuskan pada akhirnya bahwa dirinya “membuka baju jurnalisme” yang ia sandang dan berdiri sebagai seorang manusia yang merasa kurang etis dan bermoral jika membiarkan orang yang dalam bahaya dimangsa begitu saja. “Seolah memberikan daging mentah ke seekor anjing yang lapar,” kata Metta memberikan analogi.
Metta mengemukakan betapa melelahkannya penelusuran bukti agar si tersangka tak bisa berkelit dari tuduhan. Dan masalahnya bukan karena bukti itu terlalu sedikit, tetapi karena bukti itu ada begitu banyak (bayangkan ribuan lembar dokumen berupa bukti transaksi di sebuah gudang misalnya) dan harus dirangkai sedemikian rupa agar menjadi sebuah kumpulan fakta yang tidak terbantahkan dan bisa diverifikasi ke pihak-pihak lain secara empiris dan meyakinkan. Waktu, tenaga dan pikiran jurnalis akan sangat dibutuhkan di sini.
Dari beberapa truk dokumen tersebut, Metta pun akhirnya menemukan bukti transaksi yang membuktikan adanya aliran dana dari hulu ke hilir yang terjadi tanggal 1 November 2004. Transaksi ini menyangkut biaya fiktif alias rekaan dan kemudian dibengkakkan (mark-up) agar bisa menekan jumlah pajak yang harus dibayarkan perusahaan.
Asian Agri telah menyiapkan semuanya dengan baik agar pembukuan mereka rapi. Di kantor pusat Asian Agri di Medan, Sumatra Utara, ditemukan satu lantai khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan pembuatan faktur dan dokumen palsu sehingga jika diaudit oleh akuntan publik. Semuanya terkesan ‘clear’ karena memang sudah didesain untuk saling melengkapi.
Sebuah artikel peliputan investigatif bisa ‘diturunkan’ ke publik jika memang sudah didapatkan konfirmasi dari dua pihak yang terkait: si penuduh dan tertuduh. Dalam kasus Asian Agri, bukti dari Vincent itu tidak ditanggapi lebih lanjut oleh Asian Agri yang menurut Metta cuma mengatakan:”Kami tidak mau menanggapi pernyaataan pencuri seperti Vincent”.
Meski mengakui bahwa dalam hal kecepatan para jurnalis investigasi masih kalah cepat dibandingkan pewarta media online dan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, Metta bangga bahwa karya jurnalisme investigatif biasanya lebih terverifikasi dengan baik sehingga lebih dapat dipercaya. Ia menyayangkan banyak orang yang begitu saja percaya dengan kabar yang beredar luas begitu saja di jejaring sosial padahal belum tentu terverifikasi sesuai dengan kaidah jurnalistik profesional. Biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik investigatif memang sangat besar. Namun, tetap saja jurnalisme investigasi harus tetap dilakukan untuk mempertahankan tradisi penggalian berita yang terancam musnah di era informasi instan seperti sekarang. Dengan optimisme tinggi, Metta mengatakan apa yang ia lakukan itu hanya upaya nyatanya untuk tidak merutuk kegelapan tetapi juga menyalakan lilin.
Dan tentang pengusaha yang Metta ceritakan itu, yang dimaksud ialah Sukanto Tanoto, yang menurut keponakannya sendiri Lina Tanoto telah mengkhianati, mengambil alih asetnya setelah membunuh sang kakak secara berencana (sumber: sukantotanoto.co).
(Disarikan dari presentasi Metta Dharmasaputra dalam ‘Corporate Governance, Ethics and Journalism: The Benefits of Good Media Reporting” yang digelar IFC dan Antara, Hotel Kempinski Bali Room, tanggal 21 Mei 2013)
Tidak banyak orang awam yang mengetahui siapa Metta Dharmasaputra. Ia adalah pendiri dan direktur PT Kata Data, sebelumnya ia bekerja sebagai wartawan senior Majalah Tempo yang banyak menulis tentang peliputan investigatif.
Sejak tahun 1999, Metta telah berkecimpung dalam jurnalisme investigatif di Tempo. Salah satu kasus menonjol dalam dunia ekonomi dan bisnis yang pernah ia angkat dalam karirnya ialah kasus Asian Agri.
Metta mengatakan berita-berita dalam dunia ekonomi dan bisnis memang kurang seksi jika dibandingkan dengan tema korupsi dan dugaan korupsi para pejabat negara. Jumlah kasus-kasus ekonomi bahkan lebih banyak yang terjadi dibandingkan kasus korupsi pejabat.
Tantangan yang harus dihadapi oleh Metta dan jurnalis investigatif lainnya dalam bekerja ialah mereka kerap kali harus mengandalkan pernyataan-pernyataan lisan seseorang. Ini berbeda dengan persoalan politik yang banyak mengandalkan data yang lebih solid.
Metta ingin mengkoreksi pemahaman “korupsi” dalam kacamata banyak orang. “Korupsi itu tidak cuma dilakukan oleh para pejabat publik, tetapi bisa juga menyangkut sektor swasta,” terangnya. Artinya, para pebisnis swasta juga bisa dikatakan melakukan korupsi dalam perusahaan mereka sendiri yang dampaknya juga tidak kalah luas dengan tindak korupsi pejabat negara. Kita tahu bahwa sebuah perusahaan bisa memiliki banyak karyawan.
“Yang kedua adalah perlunya dukungan dari orang dalam untuk menguak kasus-kasus ini,” ujar Metta. Membuka jalan menuju pihak internal demi mendapatkan bukti-bukti sangatlah menantang. Ini berbeda dengan kasus-kasus korupsi pejabat publik.
Metta membandingkan kondisi jurnalisme investigasi di negeri-negeri maju. Media dan publik di negara-negara tersebut misalnya AS lebih peduli terhadap isu-isu korupsi yang dilakukan oleh kalangan swasta, sehingga tidak heran berita-berita ini menjadi headline yang terus bergulir dan diikuti perkembangannya oleh masyarakat luas. Di Indonesia, tidak banyak orang yang peduli dengan kasus kecurangan oleh pihak swasta. Kalaupun menjadi headline atau cover story di majalah dan media kita, tidak akan bertahan berminggu-minggu, Metta berpendapat. Media AS misalnya membuka ruang besar untuk kasus-kasus korporasi. Ia mengambil contoh mengenai peliputan oleh The Insider yang bermula dari pengakuan whistleblower yang disiarkan secara terbuka. Media juga berperan sebagai whistleblower eksternal, selain karyawan sebagai whistleblower internal.
Menurut Metta, dalam aturan yang menyinggung tentang manipulasi korporasi, ada satu klausul yang perlindungan saksi atau whistleblower. Jika ada satu kasus, whistleblower yang mungkin adalah karyawan yang dikenai sanksi oleh perusahaan yang bermasalah misalnya, bisa meminta perlindungan hukum dan jika si karyawan terbukti benar, ia akan mendapat ganti rugi dari perusahaan tersebut. “Dengan aturan semacam ini, kasus-kasus akan lebih mudah diungkap dan media mendapatkan asupan yang cukup,” ungkapnya.
Di awal, biasanya media mendorong whistleblower untuk menguak kasus dan menyebarkannya hingga menjadi perbincangan publik. Namun, begitu kasus itu mendapatkan ancaman, media perlahan ‘balik kanan’ dan mundur. Bisa jadi karena kehilangan momentum atau karena ada kasus baru lagi yang dianggap lebih menarik, media mulai mengabaikan whistleblower dan kasus tersebut. Media lupa untuk melindungi whistleblower yang rentan terhadap ancaman dari pihak yang dirugikan jika kasus itu terkuak tuntas.
Metta pernah membantu seorangwhistleblower yang ia ajak kerjasama menguak kasus Asian Agri. Ia harus membantunya mencari dana bantuan hukum. Kondisi begitu sulit karena belum ada lembaga perlindungan saksi di Indonesia. KPK juga belum bisa melindungi karena itu dianggap kasus pajak bukan kasus korupsi. Saat whistleblower itu tiba di Indonesia, ia harus menghadapi tuduhan hukum dan diseret ke meja hijau. Di sini, sebagai jurnalis ia dihadapkan pada dilema: membantu sang whistleblower atau ‘cuci tangan’ karena toh itu di luar kewenangannya. Ia memutuskan menolongnya.
Kasus Asian Agri yang ia turut tangani memberikannya pengalaman yang tak terlupakan. Metta harus turut menjalani proses pemeriksaan oleh Dewan Pers karena ia sendiri dituduh melanggar kode etik jurnalisme.
Kasus lain adalah lenyapnya 250 juta dollar dalam bentuk deposito milik Semen Cibinong. Uang sebesar itu hilang begitu saja tanpa jejak. Kasus ini menguap begitu saja.
Metta juga menyebutkan kasus lain yang ia namai Dipoinet. Kasus ini ia anggap sebagai kasus terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia. Ia menuliskan laporan tersebut dengan berkolaborasi bersama kawannya dari The Jakarta Post dan Kompas.
Banyak kasus investigasi lain yang ia turut ungkap. Misalnya, kasus Hartati Murdaya yang juga ia sebutkan pernah melanggar kepabeanan dalam kasus Nike. Ada pula kasus impor mobil mewah tahun 2008. Namun, sayangnya kasus-kasus itu tidak ‘meledak’.
Pengalaman Metta lainnya dalam jurnalisme investigasi adalah kasus minyak zatapi. Latar belakangnya ialah naiknya BBM saat tahun 2004. Ia menyelidiki hingga 5 tahun lamanya hingga suatu saat ia mendapatkan informasi bahwa ada kapal tanker berlabuh di Cilacap yang isinya minyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya dan tidak dikenal di pasar minyak dunia. Ia mengirimkan reporter dengan perahu nelayan untuk memastikannya. Dan memang ada.
Sayang seribu sayang, berita tentang kasus itu terkubur “karena dijaga dengan sangat ketat”, ujarnya padahal sudah ditangani KPK dan Mabes Polri.
Usut punya usut ada 4 orang yang terlibat dalam kasus impor minyak itu. Salah satunya menurut Metta adalah Mohammad Reza yang dikenal dengan bisnisnya Kidzania. Nama ini familiar di bisnis perminyakan, terang Metta.
Sosok-sosok ini seperti hantu, karena ada namanya tetapi tidak pernah atau jarang sekali tampil di muka publik karena tinggal bersembunyi di Singapura.
Ia mengaku menyelidiki kasus zatapi yang melanggar sejumlah proses ini dari Jakarta, Cilacap hingga Malaysia, Singapura dan Australia dengan bantuan sejumlah koresponden.
Metta menegaskan pentingnya sebuah tim khusus dalam peliputan semacam itu. “Karena itu saya amat mendorong teman-teman media untuk membuat tim-tim investigasi khusus di dalam medianya masing-masing karena sulit jika ini harus dikerjakan di sela rutinitas sehari-hari.”
Perusahaan pengimpor minyak tadi juga sebenarnya adalah perusahaan yang masuk dalam daftar hitam tetapi cuma berganti kulit. Ini sudah menjadi kelaziman dalam proses tender minyak di Indonesia. Perusahaan yang sudah mengelola miliaran dollar itu juga dijalankan di tempat yang tak mencolok seperti sebuh ruko biasa.
Indonesia masih perlu penataan data bisnis agar pelacakan kasus-kasus semacam ini juga bisa dilakukan lebih mudah, kata Metta lagi.
Pers: Dicinta tetapi disia-sia. (Sumber foto: Wikimedia)
Dalam banyak kesempatan, para jurnalis tidak banyak diperlakukan dengan baik. Semacam warga negara kelas dua, kalau saya bisa katakan. Meski diundang dalam sebuah event, misalnya, mereka tidak diberikan sebuah kursi untuk duduk dan berbincang dengan orang-orang yang mereka ingin jadikan nara sumber liputan. Kalaupun ada kursi untuk jurnalis, mereka akan diberikan tempat duduk di belakang, setelah para tamu undangan menduduki kursi masing-masing dan ada yang tersisa. Mereka juga mendapatkan bagian konsumsi sendiri, yang biasanya lebih murah daripada para petinggi. Jarang ada yang menyajikan makanan dan minuman yang sama-sama kualitasnya baik bagi jurnalis dan orang lain, terutama dalam acara-acara di dalam ruang. Saya merasakan semua itu sendiri. Dan saya tidak mengada-ada.
Tidak hanya oleh korporasi besar perlakuan semacam itu diberikan pada wartawan. Kerap kali para entrepreneur dan startup yang saya liput juga tidak menyambut hangat. Hanya suam-suam kuku, dan begitu mereka larut dalam event yang biasanya mereka adakan atau hadiri, mereka akan melupakan pewarta.
Di event yoga juga demikian. Peran media seolah dianggap remeh. Media ditempatkan di ruangan yang kurang representatif, padahal peralatan berharga mereka banyak. Bagaimana kalau ada yang mencuri laptop dan kamera kami? Tak banyak yang berpikir tentang keamanan dan kenyamanan jurnalis yang sedang bekerja. Wi-fi tak ada, meja untuk sekadar menaruh peralatan juga tidak disediakan.
Namun tidak semuanya demikian. Saya juga pernah menemui perusahaan yang cukup baik memperlakukan jurnalis. Mereka menyewa sebuah firma humas yang cekatan dan berpengalaman sehingga para pewarta sangat terbantu. Masuk ke ruangan konferensi pers, kami sudah diberikan media kit, berupa CD atau flash drive berisi foto-foto resolusi besar dari perusahaan dan si CEO, lalu ada selembar kertas berisi daftar nama-nama orang yang akan tampil memberikan keterangan dan beraudiensi dengan wartawan untuk wawancara yang lebih intensif. Sungguh memudahkan kerja kami.
Ada lagi yang tidak segan mengundang wartawan untuk duduk bersama di meja dengan para pembicara kunci di sebuah acara besar. Bukan sebuah kehormatan, tetapi lebih pada memberikan kemudahan dalam menggali data dan informasi yang nantinya dapat dipakai dalam penyusunan berita. Dengan begitu, jurnalis juga menjadi lebih dekat dengan para pentolan acara sehingga nantinya bisa menjalin komunikasi yang lebih baik dan lancar.
Sayang sekali tak semuanya seperti itu…
Padahal jurnalis bisa ‘dimanfaatkan’. Maksud saya, dimanfaatkan sebagai alat promosi yang baik, tanpa biaya malah. Ini yang tidak disadari banyak orang.
Sebelum membandingkan keduanya, ada baiknya mencari tahu makna masing-masing istilah. Dijelaskan dalam britannica.com, New Journalism merupakan sebuah gerakan sastra Amerika di tahun 1960-an dan 1970-an yang mendorong pembentukan batas-batas baru dalam lingkup jurnalisme tradisional dan penulisan nonfiksi. Aliran tersebut menggabungkan riset jurnalisme dengan teknik-teknik penulisan fiksi dalam pelaporan berita mengenai kejadian nyata. Sejumlah tokoh yang dianggap berperan sebagai pionirnya ialah Tom Wolfe, Truman Capote dan Gay Talese.
Dalam aliran New Journalism (selanjutnya disebut NJ), seorang penulis diharapkan ‘menenggelamkan diri’ dalam subjek yang ditulisnya. Bahkan jika perlu hidup di dalamnya sambil mengumpulkan fakta dan melakukan riset mendalam dalam bentuk wawancara dan pengamatan langsung. Maka dari itu, tulisan yang menerapkan aliran ini akan sangat berbeda dari artikel-artikel jurnalisme konvensional di surat kabar besar. Kita bisa menemukan gaya jurnalisme ini di laman GQ.com, New York Herald Tribune, majalah Esquire, The New Yorker dan sejumlah majalah terkemuka lainnya di AS.
Ciri lain yang menonjol ialah saat mewawancarai tokoh, misalnya, wartawan memposisikan diri sebagai lawan bicara yang setara. DI dalam tulisan, wartawan memberikan berbagai deskripsi yang apik mengenai karakter si tokoh secara lengkap dalam penyajian detil-detil remeh namun humanis. Bahkan detil kejadian yang sebenarnya bukan mengenai tokoh itu pun, jika akan memberikan latar belakang yang komplit mengenai jati diri si tokoh, akan disertakan tanpa ragu. Hasilnya Anda akan membaca sebuah tulisan yang panjang, tampak bertele-tele tetapi menghibur, seolah membaca sebuah surat pribadi yang ditujukan hanya untuk Anda dari seorang teman. Sangat personal. Dari sinilah, kita bisa memahami bahwa anggaran untuk menulis sebuah artikel dalam aliran NJ sungguh besar dan waktunya relatif lebih lama. Teman-teman subjek itu
Sementara itu, Investigative Journalism (selanjutnya disebut IJ) memiliki makna yang kurang lebih adalah sebuah proses jurnalisme yang bercirikan adanya pendekatan yang kritis, subjek yang penting, inisiatif sendiri, riset mandiri, analisis mandiri dan eksklusivitas, demikian jelas jurnalis Nil Hanson dalam bukunya Grävande Journalistik (sumber di sini). Menurut asosiasi Investigative Journalism VVOJ, IJ merupakan jurnalisme yang mendetil (thorough) dan kritis. Kritis berarti jurnalis tak hanya menyajikan berita yang sudah ada. Jurnalis harus berjuang untuk menciptakan berita yang seandainya ia berpangku tangan tidak akan bisa muncul. Bentuknya bisa penciptaan atau penemuan fakta baru atau reinterpretasi atau korelasi fakta yang sudah ada dan beredar luas. Mendetil artinya seseorang membuat upaya besar dalam hal kuantitatif (dalam bentuk riset, berkonsultasi dengan banyak sumber, dan sebagainya) atau kualitatif (formulasi pertanyaan baru, penggunaan pendekatan baru, dan lain-lain). Ada 3 jenis IJ: penyibakan skandal, ulasan kebijakan atau fungsi pemerintahan, perusahaan dan lembaga lain, dan menarik perhatian publik pada masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam hal metode reportorial dan tujuan penulisan. Dalam UNESCO Global Casebook, Mark Lee Hunter menyatakan bahwa inti NJ adalah pengamatan yang lekat. Reporter dalam pendekatan NJ dibolehkan memberikan interpretasi pribadi mereka atau reaksi personal mereka terhadap isu yang ditulis. Anda bisa menemukan ini dalam karya Hunter S. Thompson. Alih-alih menggunakan sumber lain untuk mengatakan sesuatu untuk ditulis, reporter bisa menuliskan pendapatnya sendiri. Seorang pewarta bisa berimajinasi dan
bermain-main dengan kata-katanya untuk memperindah dan memperkaya tulisan. Kelemahannya pemikiran reporter bisa dianggap ‘mencemari’ subjek tulisan yang sebetulnya. Di sinilah bedanya IJ dan NJ. IJ tidak memperbolehkan ‘keliaran’ semacam ini merasuk dalam tulisan. Singkatnya, kata Hunter, si penulis bukan yang terpenting. Subjeklah yang lebih krusial dan pantas mendapat sorotan lebih banyak.
IJ tidak menggunakan pendekatan pengamatan tetapi invasif, menyerang. Jurnalis harus proaktif, tidak menunggu dan duduk mengamati hingga bahan berita itu terbuka secara otomatis tetapi ia harus mau bekerja keras membukanya. Ia harus mau turun ke lapangan, “memungut artefak dan menganalisisnya”, kata Hunter.
Tujuan IJ dan NJ juga berbeda. NJ ingin agar para pembacanya menyaksikan dunia dalam sebuah perspektif baru. Sementara IJ ingin mendorong para pembacanya untuk bertindak dalam cara yang baru.
Tidak biasanya saya menanyakan pertanyaan yang ‘riskan’ pada narasumber. Tetapi tadi, saya mencobanya.
Startup itu sedang mengalami masalah dengan publik. Citra perusahaan mereka sedang mengalami sorotan tajam. Ada yang mencaci, seperti Sarah Lacy yang mengecam karena menganggap pendirinya tidak mengutamakan keselamatan pengguna terutama kaum perempuan. Ada yang bersikap biasa-biasa saja seperti Ashton Kutcher, salah satu investornya. Ada yang belum tahu apapun sehingga tidak bisa berkomentar banyak.
Karena ia tampil terakhir dalam event yang saya hadiri tadi, saya pun tergoda untuk meminta wawancara singkat. Saya sudah menyiapkan ‘amunisi’, sebuah pertanyaan tentang krisis humas tadi.
Kami pun duduk. Ia menjawab beberapa pertanyaan dari saya. Semuanya standar. Semuanya biasa. Semuanya lancar ia jawab.
Hingga satu pertanyaan terakhir saya muntahkan dari mulut. “Terkait krisis humas yang saat ini dihadapi startup Anda, bagaimana perusahaan Anda menghadapinya?” Ia tampak tersentak tetapi berhasil menampilkan ketenangan. Sedetik, dua detik, ia tak memberikan jawaban. “Startup kami masuk ke kota-kota….” Hening kembali. Waktu lama sekali berlalu rasanya. Saya menunggunya dengan ponsel teracung ke depan mulutnya. Pria yang masih berpikir itu masih diam. “Tunggu sebentar,”tangannya terkepal dan menempel ke mulutnya. Sangat kentara sekali ia sedang merangkai kata, menimbang-nimbang. Mungkin tentang akibat yang akan ditimbulkan dari perkataannya.
Lalu ia menegakkan kepala dan membuka mulut,”Startup kami masuk ke kota-kota baru dan kami berupaya memberikan layanan yang terbaik dan aman bagi konsumen. Begitu saja.” Pria muda itu tersenyum kecut. Ia bukan seperti pendirinya yang lantang berbicara. Jelas, risikonya terlalu tinggi, dan ia tidak mau memperparah kondisi di pasar yang penuh potensi ini.
Jawaban yang sama sekali tidak relevan. Kami berdua merasa sangat kikuk. Mata kami liar mengembara ke berbagai sudut ruangan, dan saat beradu, bergerak-gerak tak terkendali karena grogi.
Kami saling melempar senyum kecut. Ini sungguh akhir wawancara yang aneh. Saya pikir ia akan mengelak dengan berkata “no comment” atau semacamnya, tetapi memberikan isyarat yang penuh ketegangan semacam ini malah seolah membenarkan apa yang sedang beredar di luar sana.
Dan saya tidak akan mengatakan siapa dan apa startup ini. Karena mungkin ia akan melacaknya di Google atau Yahoo!, sebab di akhir wawancara ia berkata,”Kamu akan terbitkan kapan dan di mana?” Nada suaranya penuh kecemasan, seperti terancam. Ia sangat defensif. Dan saya sangat kasihan. Karena itulah, saya akhiri saja wawancara yang aneh itu.
Saya jawab singkat, “Di situs X…mungkin minggu depan dipublikasikan…” (Image credit: Wikimedia)
Berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama bertahun-tahun dan berbincang dengan beberapa jurnalis, Roy Peter Clark yang pernah menulis “How to Write Short” menemukan kesamaan dalam diri para penulis terbaik.
Pertama adalah mereka semua kecanduan membaca sepanjang hayat. Mereka melahap semua bacaan dari fiksi sampai non-fiksi, novel sampai film.
Kedua, mereka cenderung suka menulis panjang dan mereka menyadarinya. Mereka menulis dengan sepenuh hati dan itu terpancar dari semua kalimat yang dirangkai. Anda sebagai pembaca pastinya akan merasakan kejanggalan bila penulis atau wartawan tidak begitu menguasai atau tertarik pada satu topik. Tulisannya akan terasa hambar atau monoton. Penulis yang baik ingin memanjakan pembacanya dengan menyajikan karyanya yang terbaik, dan kerap karya itu menjadi begitu panjang. Namun demikian, mereka juga bisa menyesuaikan diri bila harus menulis dengan singkat dan padat.
Ketiga, penulis unggul memandang dunia sebagai tempat mereka bereksperimen. Dengan persepsi ini, mereka tidak segan turun ke lapangan, tidak hanya berkutat dengan buku dan komputer di ruangan sepi tetapi juga mengobrol dengan orang-orang baru, berkunjung ke tempat-tempat baru, merasakan pengalaman baru. Semua itu pada gilirannya akan memperkaya cerita yang ia akan suguhkan ke pembaca.
Keempat, penulis berkualitas menyukai kebebasan dalam bekerja. Energi kreativitas mereka tidak bisa dikendalikan oleh orang lain termasuk editor. Mereka seolah memiliki kompasnya sendiri, semacam naluri yang mengatakan pada dirinya,”Ini pasti akan menarik untuk disajikan bagi pembaca saya.”
Kelima, penulis yang top tidak sungkan dan tidak malas mengumpulkan fakta dan informasi, termasuk anekdot, kisah yang membuatnya terkesan, dsb. Mereka menggunakan berbagai alat yang ada untuk mengumpulkan dan menyimpan data berharga tadi, dari mencatat di buku harian, merekam di alat tertentu, mengetik di perangkat mungil seperti ponsel, atau mengandalkan catatan mental di benaknya.
Keenam, penulis unggul bersedia menghabiskan waktunya menyempurnakan bagian pembuka dalam karyanya. Karena ia tahu, tanpa pembuka yang baik, orang akan sulit tertarik membaca tulisannya lebih lanjut sampai habis. Dalam jurnalisme, kita kenal bagian ini dengan istilah “lead”, yang memuat gagasan utama tulisan dan sekaligus membuat pembaca makin penasaran.
Ketujuh, penulis yang baik sanggup melarutkan diri dalam kisah yang mereka tuliskan. Ini berkaitan erat dengan totalitas dan fokus dalam berkarya. Mereka menulis dengan sepenuh hati, bukan hanya mencari uang atau memenuhi tuntutan editor dan pemilik modal.
Kedelapan, ketekunan selalu bersemayam dalam diri penulis-penulis unggul. Mereka sanggup bekerja sehari semalam untuk memberikan tulisan terbaik mereka.
Kesembilan, mereka menyukai keteraturan terkait bahan tulisan yang akan digunakan karena mereka sadar pekerjaan akan jauh lebih mudah bila literatur dan sumber yang dibutuhkan dikelompokkan dengan baik.
Kesepuluh, penulis-penulis berkualitas “tega” untuk menulis ulang atau bahkan membuang bagian yang tak perlu. JK Rowling, misalnya, mengaku membuang bagian cerita tentang otopsi Barry Fairbrother dalam The Casual Vacancy meski sudah susah payah menulisnya selama berhari-hari hanya karena ia kemudian merasa bagian itu terlalu melenceng dari isi cerita. Menyelesaikan draft pertama adalah sebuah langkah yang baik tetapi belum bisa disebut akhir proses kreatif penulisan. Menulis adalah menulis ulang, begitu kata seorang penulis. Buku-buku laris biasanya hasil dari penulisan ulang yang makin menyempurnakannya.
Kesebelas, mereka biasa membaca keras-keras tulisannya untuk mengetahui kejanggalan. David Sedaris membaca lantang hasil tulisannya sebelum menyerahkan ke editor atau penerbit. Sekali dua kali belum cukup. Belasan kali juga belum cukup kalau masih bisa diperbaiki lagi. Alasannya? Dengan membaca, kita bisa mengetahui seberapa mengalirnya kisah yang kita ceritakan dalam tulisan.
Keduabelas, penulis unggul suka bercerita. Elizabeth Gilbert mungkin contoh terbaik dari penulis yang begitu suka mengobrol tentang hal-hal konyol dan remeh temeh tetapi menarik dan menghibur. Ia kerap mengumpulkan anekdot-anekdot berharga dalam ingatan dan catatan hariannya untuk kemudian meleburkannya dalam karyanya. Daripada mentah-mentah menyuguhkan informasi dalam pola 5W dan 1H, ia memakai gaya bercerita yang mengalir dan menarik karena tulisannya padat dengan narasi, anekdot, kronologi dan suasana yang detil.
Ketigabelas, penulis yang baik mampu memberikan keseimbangan antara memuaskan idealisme diri dan selera pembacanya. Mereka berusaha menarik tanpa harus menjadi orang lain dalam tulisannya.
Keempatbelas, penulis berkualitas tahu ia tidak bisa terjebak dalam satu gaya penulisan selamanya. Ia mau mengeksplorasi diri dengan mencoba berbagai bentuk dan gaya menulis. Dengan keluar dari zona nyaman itulah, ia akan memperkaya pengalaman dan ketrampilan menulisnya.
Itu semua menurut Clark adalah ciri-ciri umum penulis yang berkualitas. Dan menurut saya masih ada satu lagi ciri lainnya, yaitu kemampuan bekerja di dalam berbagai kondisi apalagi jika mereka diburu waktu. Mereka tidak memiliki ketergantungan yang begitu mengganggu pada suatu hal, dari kafein sampai keharusan menulis di tempat dengan kondisi tertentu. Kita tentu pernah menjumpai penulis-penulis eksentrik yang hanya bisa bekerja di dalam suasana tertentu atau dengan alat menulis tertentu. Ini hanya akan menghambat produktivitasnya sebagai penulis.
I know a boy who works as a journalist. He hardly ever types. He just copies and pastes but he is such a gem to his boss because his articles get lots of hits, page views. “Screw quality!”, he once said to me. It’s only about how many page views you can make and please your boss as much and long as you can and things are going fine. Bonus keeps coming to you so why bother typing all day long like me? It’s pretty much the message he has tried to send across.
Of course, he is such an object to envy. He can enjoy the perks of being an employee without having to work hard that much. Never that much. While I have to work hard for it.
It doesn’t matter how he sucked at the quality, it never bothers the boss. As long as the site rank is stable and showing positive trend, he is safe. Good for him.
Saya masih ingat kalimat pakar marketing pendiri Mark Plus Inc., Hermawan Kertajaya, dalam acara penghargaan Indonesia Wow Brand yang ia gelar 11 September lalu. “Menjadi media darling itu tidak perlu memiliki media sendiri,”terang pria yang penampilannya masih enerjik di usia senja itu. Saya manggut-manggut. Pernyataannya benar dan menohok, kalau melihat kenyataan lapangan di Pilpres 2014.
Serta merta kami diingatkan Hermawan tentang fenomena para pemilik media yang kalah telak dari Presiden Terpilih RI 2014-2019. Surya Paloh dengan Metro TV-nya kandas menuju kursi presiden dan kemudian memutuskan membela Jokowi-JK. Ada bos besar MNC Group Hary Tanoesoedibjo yang kerap dipanggil orang Ahok, padahal bukan. Kemudian yang paling sering diolok-olok, Aburizal Bakrie dengan TV One dan Viva News-nya yang diserang habis-habisan karena menayangkan hasil quick count paling abnormal dibandingkan stasiun-stasiun televisi lain di Indonesia.
Pernyataan Hermawan seolah mengamini gagasan Ignatius Haryanto yang menulis di kolom Opini Kompas Rabu 23 April 2014. Di artikelnya “Nasib Media Partisan Setelah Pemilu”, Ignatius menulis:
“Oleh karena itu, penting kepada media-media mana pun untuk selalu menjaga independensi karena reputasi media akan ditentukan dari independensinya, dan bukan dari faktor dekat atau tidaknya ruang redaksi dengan perintah sang majikan utama.”
Omong kosong! Tidak ada namanya independensi media setelah pemilik modalnya berafiliasi dengan arena yang diliputnya. Tilik saja kebijakan Kara Swisher dari Recode.net. Ia menolak SEMUA penanam modal dari Silicon Valley dan dunia bisnis pada umumnya. Mengapa? Karena ia terlalu pintar untuk tahu bahwa independensi medianya itu hanya akan menjadi angan-angan begitu ruang redaksinya didanai orang-orang yang juga memiliki hubungan dengan sasaran pemberitaannya.
Lalu bagaimana sebuah lembaga pers mendanai aktivitasnya dan menuai laba? Metode pendanaan patungan atau crowdfunding bisa dijadikan alternatif. Kenapa? Karena risiko campur tangan menjadi lebih rendah dari yang dihadapi media dengan pemodal individual atau korporat yang memiliki kepentingan. Dengan banyaknya orang yang memiliki berbagai kepentingan di situs crowdfunding, kemungkinan penunggangan redaksi dengan kepentingan pemilik modal lebih kecil.
Era media baru yang ditandai dengan inovasi-inovasi teknologi yang memudahkan siapa saja membuat publikasi mereka sendiri (via blog, self publishing, dll) membuat norma-norma jurnalisme konvensional mau tidak mau, cepat atau lambat harus bergeser. Terjadi friksi, tumpang tindih, perselisihan di antara para wartawan dan blogger (narablog) yang saling mengklaim bahwa kelompok atau aliran atau medianya adalah yang paling baik. Fenomena ini sungguh menarik untuk diamati bila Anda adalah pewarta atau peminat jurnalisme media baru dan blogging.
Dalam pengamatan saya, sekarang ini muncul sebuah aliran baru dalam jurnalisme:jurnalisme emosional. Para pelopornya adalah pendiri blog TechCrunch.com Michael Arrington, pendiri blog Pando.com Sarah Lacy, dan Kara Swisher yang mendirikan Recode.net. Mereka inilah orang yang membuat terobosan dengan memanfaatkan kanal penerbitan digital semacam blog dan jejaring sosial sebagai pengganti. Mereka membuat dunia jurnalisme menjadi lebih segar, tidak melulu menampilkan onggokan hasil wawancara, fakta dan data. Jurnalis-jurnalis kampiun media baru ini juga memiliki kepribadian (personality) dalam menyampaikan isi kepala mereka mengenai sebuah isu.
Beda yang pertama dan utama aliran jurnalisme emosional ini ialah mereka tidak segan menggunakan kata “I” (saya) dalam berbagai tulisan. Ego mereka memang besar dan mereka tidak menggunakan bahasa yang formal dan kaku bak pewarta media lama yang kerap menghiasi halaman surat kabar. Gaya menulis mereka sangat berkebalikan dengan gaya menulis wartawan di situs-situs berita mapan seperti BBC.co.uk dan VOANEWS.
Karena besarnya ego itulah, jurnalis-blogger di sini diperkenankan (baca : sangat didesak) untuk menunjukkan kepribadian mereka secara blak-blakan. Arrington dan Lacy, misalnya, tidak malu menulis dengan nada memojokkan atau menggunakan kata kasar semacam “f*ck”. Swisher juga terlihat sangat liberal dengan penggunaan kata-katanya di berbagai kesempatan publik meski di tulisannya agak lebih terkendali. Emosi yang menjadi bagian dari watak manusia justru harus dipertontonkan di jurnalisme emosional dan media baru. Padahal di jurnalisme kolot, emosi sebisa mungkin dihindari agar tidak mencemari fakta yang disajikan pada pembaca. Jurnalis adalah mesin penyaji fakta dan peristiwa, tidak dianggap memiliki kepribadian atau sikap atau emosi yang manusiawi. Dalam jurnalisme emosional, justru kepribadian dan emosi harus dieksploitasi karena inilah komoditi.
Kecepatan juga menjadi prioritas di jurnalisme emosional. Sarah Lacy sendiri mengkritik bahwa dunia jurnalisme teknologi akhir-akhir ini menjadi semacam perlombaan bagi jurnalis-jurnalis agar bisa menghasilkan konten baru tentang pernyataan pers yang sama “lebih cepat dua detik” daripada para pesaingnya. Agar jurnalisme tidak semata-mata menjadi lomba kecepatan “salin tempel” (copy paste), ia menyarankan untuk menulis ulang pernyataan pers yang dikirimkan oleh startup atau berita apapun yang sudah ada agar konten yang disajikan lebih segar dan memiliki nilai tambah. Saya amati sendiri metode penulisan di Pando.com yang ia bawahi cukup menarik, karena kontennya lebih kaya referensi dari berbagai sumber. Banyak hyperlink menuju ke laman-laman lain yang bisa memperluas pandangan dan wawasan sehingga bias dalam penyampaian bisa ditekan.
Hal lain yang turut membedakan jurnalisme emosional ialah minimnya intervensi tim editorial. Di Techcrunch misalnya, menurut Eric Eldon (mantan editor Techcrunch) sebagaimana dikutip laman Poynter.org di artikel “Techcrunch’s Alexia Tsotsis: ‘I Like the Emotional Part of the News’, blog itu tidak memiliki proses ulasan editorial yang formal seperti halnya di media lainnya. Tetapi inilah yang membuat Techcrunch sanggup bertengger di peringkat teratas Techmeme Leaderboard. Artikel-artikel blogger mereka kerap mendapat kecaman, sindiran, olok-olok, karena dianggap bukan pekerjaan jurnalistik yang sesuai pakem. Namun demikian, mereka malah makin berjaya. Salah satunya menurut saya adalah karena blogger-blogger di Techcrunch menulis dengan gaya pribadi mereka sendiri. Dan mereka diberikan ruang yang hampir tanpa batas untuk itu. Begitu bebasnya ruang itu, sampai Tsotsis sendiri mengaku pernah menulis dan mempublikasikan artikel dalam kondisi mabuk setelah minum anggur. “Fuckers I am so sick of reporting on incremental tech news for fucking two years now, so sick I’m pretty much considering reverting full-time to fashion coverage,”tulis Tsotsis yang mabuk di sebuah malam Minggu di Techcrunch. Tulisannya langsung menuai kritik dan kecaman pedas.
Sarah Lacy yang juga pernah bekerja di Techcrunch menyoroti lemahnya pengawasan editorial di media baru seperti Techcrunch dan menerapkan penyempurnaan itu di Pando. Penyuntingan naskah (copy editing) ia anggap sebagai bagian integral penerbitan sebuah artikel hingga pantas dibaca khalayak. Lacy mengatakan sendiri misinya adalah menggabungkan sisi posisif media lama dan media baru. Dan tampaknya ia belajar banyak dari kebebasan yang terlalu tinggi di Techcrunch.
Semua plus minus itulah yang membuat jurnalisme emosional ini menjadi begitu seksi, menantang persis seperti Alexia yang dulunya berprofesi sebagai model. Karena mereka mendobrak aturan formal yang sudah ada, dan makin dicerca, mereka makin disuka juga. Berita yang mereka sampaikan seolah menjadi lebih manusiawi dan tidak mengada-ada. Saya menduga ada kriteria khusus supaya seseorang bisa sukses di jurnalisme emosional seperti ini. Mereka adalah orang-orang yang bersedia menerima kecaman kejam tanpa henti dari troll virtual yang kapan saja bisa meninggalkan komentar pedas di kotak komentar.
Di Indonesia, sepengetahuan saya belum ada yang benar-benar bisa merealisasikan jurnalisme emosional ini. Dibutuhkan orang-orang dengan keberanian seperti Ruhut Sitompul atau Farhat Abbas untuk memancing emosi pembaca tetapi tentu saja, dengan memiliki kepribadian yang unik dan penampilan yang lebih menarik dari keduanya.