Photo by Markus Spiske temporausch.com on Pexels.com
Pernah saya menerima hadiah televisi, saya terima tetapi saya berikan pada anggota keluarga. Bukan karena sok gaya. Cuma buat apa? Semua berita bisa diakses lebih cepat melalui internet. Dan saya juga ingin menghindari menonton berita dan konten televisi yang destruktif bagi pikiran dan jiwa.
Sebagai pelaku industri konten, saya tahu sedikit banyak betapa murahnya konten sekarang diproduksi. Hampir semua situs berita bahkan media cetak dan televisi menjelma sebagai pabrik konten yang terus berlomba dalam meraup laba. Idealisme tersisih.
Dari pengalaman saya memproduksi konten daring dan buku, jelas memproduksi konten daring seperti artikel blog seperti yang Anda baca sekarang adalah amat murah. Tinggal pakai modal waktu, gawai, koneksi internet dan klik ‘publish’.
Membuat buku, sebaliknya, sangat panjang dan melelahkan prosesnya. Satu buku saja bisa hampir setahun mengerjakannya sampai tuntas benar, dari perumusan ide awal, penggodokan, penyusunan anggaran dan tetek bengek, wawancara, transkripsi, penyuntingan, fact checking, percetakan, penerbitan, sampai promosi dan penjualan. Itu garis besarnya saja. Belum hal-hal lain yang lebih rinci.
Menjelang perhelatan politik seperti sekarang, saya juga makin malas baca berita atau mengunjungi situs berita daring. Semuanya punya kepentingan. Bahkan yang terlihat idealis dulunya sekalipun sudah mulai ditunggangi. Kesal memang rasanya.
Kadang-kadang alih-alih membaca berita murahan dengan judul clickbait, saya membaca komentar-komentar di bawahnya. Ada yang berkata,”Berita nggak mutu. Gini aja jadi berita!” Yang lain menimpali:”Ya kan konten ginian yang didemenin masyarakat.” Konteksnya adalah video anak muda yang mempreteli kendaraan roda dua pacarnya di depan polisi gara-gara tak punya surat-surat. Uniknya ada netizen waras yang berkomentar,”Bukan demen, tapi banyakan kontennya emang ga mutu.” Lalu yang satunya menyampaikan pendapat:”Ya kalau nggak mutu jangan diklik. Itu satu-satunya cara supaya situs-situs itu nggak bikin konten nggak mutu.”
Saya sepakat.
Tapi netizen edan lain berkata,”Ya namanya manusia, penasaran lah liat judul aneh, merangsang, sinting!”
Jawaban itu menyiratkan ketakutan yang bernama FOMO, Fear of Missing Out. Ketakutan jika dianggap ketinggalan, begitu lugasnya. Takut dianggap dungu saat ditanya rekan kerja saat berbicara soal topik terbaru atau video viral terkini atau foto terkeren selebgram di saat berlibur.
Saya suka dengan kutipan dari fs.blog ini:
“Apa yang kau baca di dunia maya saat ini tidak ada gunanya. Semua itu tidak berguna bagi hidupmu. Tidak juga bisa membantumu membuat keputusan yang lebih baik. Tak juga akan membantumu memahami dunia. Tidak pula membantumu mengembangkan hubungan yang mendalam dan bermakna dengan orang-orang di sekitarmu. Yang cuma bisa terjadi ialah perubahan suasana hati dan mungkin perilaku.”
Saya menganalogikan mengonsumsi berita saat ini sebagai seorang penikmat nasi padang yang tanpa sadar dikurung di restoran padang. Ia terus melahap nasi padang siang malam sampai tidak tahu ada jenis makanan lain yang tak kalah lezat di dunia ini. Ia merasa sudah menjelajahi dunia kuliner hanya dengan mencicipi semua yang ada di daftar menu restoran.
Satu-satunya cara bisa keluar dari lingkaran setan ini ialah dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh mereka yang terbukti memberikan kontribusi pada peradaban. Bukan artikel-artikel clickbait atau konten media sosial yang viral bukan main itu. Atau lakukan hal-hal yang signifikan bagi perkembangan diri kita di dunia nyata.
Karena kualitas hidup kita ditentukan sedikit banyak oleh cara kita menghabiskan waktu luang. (*/)
Tidak biasanya saya menanyakan pertanyaan yang ‘riskan’ pada narasumber. Tetapi tadi, saya mencobanya.
Startup itu sedang mengalami masalah dengan publik. Citra perusahaan mereka sedang mengalami sorotan tajam. Ada yang mencaci, seperti Sarah Lacy yang mengecam karena menganggap pendirinya tidak mengutamakan keselamatan pengguna terutama kaum perempuan. Ada yang bersikap biasa-biasa saja seperti Ashton Kutcher, salah satu investornya. Ada yang belum tahu apapun sehingga tidak bisa berkomentar banyak.
Karena ia tampil terakhir dalam event yang saya hadiri tadi, saya pun tergoda untuk meminta wawancara singkat. Saya sudah menyiapkan ‘amunisi’, sebuah pertanyaan tentang krisis humas tadi.
Kami pun duduk. Ia menjawab beberapa pertanyaan dari saya. Semuanya standar. Semuanya biasa. Semuanya lancar ia jawab.
Hingga satu pertanyaan terakhir saya muntahkan dari mulut. “Terkait krisis humas yang saat ini dihadapi startup Anda, bagaimana perusahaan Anda menghadapinya?” Ia tampak tersentak tetapi berhasil menampilkan ketenangan. Sedetik, dua detik, ia tak memberikan jawaban. “Startup kami masuk ke kota-kota….” Hening kembali. Waktu lama sekali berlalu rasanya. Saya menunggunya dengan ponsel teracung ke depan mulutnya. Pria yang masih berpikir itu masih diam. “Tunggu sebentar,”tangannya terkepal dan menempel ke mulutnya. Sangat kentara sekali ia sedang merangkai kata, menimbang-nimbang. Mungkin tentang akibat yang akan ditimbulkan dari perkataannya.
Lalu ia menegakkan kepala dan membuka mulut,”Startup kami masuk ke kota-kota baru dan kami berupaya memberikan layanan yang terbaik dan aman bagi konsumen. Begitu saja.” Pria muda itu tersenyum kecut. Ia bukan seperti pendirinya yang lantang berbicara. Jelas, risikonya terlalu tinggi, dan ia tidak mau memperparah kondisi di pasar yang penuh potensi ini.
Jawaban yang sama sekali tidak relevan. Kami berdua merasa sangat kikuk. Mata kami liar mengembara ke berbagai sudut ruangan, dan saat beradu, bergerak-gerak tak terkendali karena grogi.
Kami saling melempar senyum kecut. Ini sungguh akhir wawancara yang aneh. Saya pikir ia akan mengelak dengan berkata “no comment” atau semacamnya, tetapi memberikan isyarat yang penuh ketegangan semacam ini malah seolah membenarkan apa yang sedang beredar di luar sana.
Dan saya tidak akan mengatakan siapa dan apa startup ini. Karena mungkin ia akan melacaknya di Google atau Yahoo!, sebab di akhir wawancara ia berkata,”Kamu akan terbitkan kapan dan di mana?” Nada suaranya penuh kecemasan, seperti terancam. Ia sangat defensif. Dan saya sangat kasihan. Karena itulah, saya akhiri saja wawancara yang aneh itu.
Saya jawab singkat, “Di situs X…mungkin minggu depan dipublikasikan…” (Image credit: Wikimedia)
Berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama bertahun-tahun dan berbincang dengan beberapa jurnalis, Roy Peter Clark yang pernah menulis “How to Write Short” menemukan kesamaan dalam diri para penulis terbaik.
Pertama adalah mereka semua kecanduan membaca sepanjang hayat. Mereka melahap semua bacaan dari fiksi sampai non-fiksi, novel sampai film.
Kedua, mereka cenderung suka menulis panjang dan mereka menyadarinya. Mereka menulis dengan sepenuh hati dan itu terpancar dari semua kalimat yang dirangkai. Anda sebagai pembaca pastinya akan merasakan kejanggalan bila penulis atau wartawan tidak begitu menguasai atau tertarik pada satu topik. Tulisannya akan terasa hambar atau monoton. Penulis yang baik ingin memanjakan pembacanya dengan menyajikan karyanya yang terbaik, dan kerap karya itu menjadi begitu panjang. Namun demikian, mereka juga bisa menyesuaikan diri bila harus menulis dengan singkat dan padat.
Ketiga, penulis unggul memandang dunia sebagai tempat mereka bereksperimen. Dengan persepsi ini, mereka tidak segan turun ke lapangan, tidak hanya berkutat dengan buku dan komputer di ruangan sepi tetapi juga mengobrol dengan orang-orang baru, berkunjung ke tempat-tempat baru, merasakan pengalaman baru. Semua itu pada gilirannya akan memperkaya cerita yang ia akan suguhkan ke pembaca.
Keempat, penulis berkualitas menyukai kebebasan dalam bekerja. Energi kreativitas mereka tidak bisa dikendalikan oleh orang lain termasuk editor. Mereka seolah memiliki kompasnya sendiri, semacam naluri yang mengatakan pada dirinya,”Ini pasti akan menarik untuk disajikan bagi pembaca saya.”
Kelima, penulis yang top tidak sungkan dan tidak malas mengumpulkan fakta dan informasi, termasuk anekdot, kisah yang membuatnya terkesan, dsb. Mereka menggunakan berbagai alat yang ada untuk mengumpulkan dan menyimpan data berharga tadi, dari mencatat di buku harian, merekam di alat tertentu, mengetik di perangkat mungil seperti ponsel, atau mengandalkan catatan mental di benaknya.
Keenam, penulis unggul bersedia menghabiskan waktunya menyempurnakan bagian pembuka dalam karyanya. Karena ia tahu, tanpa pembuka yang baik, orang akan sulit tertarik membaca tulisannya lebih lanjut sampai habis. Dalam jurnalisme, kita kenal bagian ini dengan istilah “lead”, yang memuat gagasan utama tulisan dan sekaligus membuat pembaca makin penasaran.
Ketujuh, penulis yang baik sanggup melarutkan diri dalam kisah yang mereka tuliskan. Ini berkaitan erat dengan totalitas dan fokus dalam berkarya. Mereka menulis dengan sepenuh hati, bukan hanya mencari uang atau memenuhi tuntutan editor dan pemilik modal.
Kedelapan, ketekunan selalu bersemayam dalam diri penulis-penulis unggul. Mereka sanggup bekerja sehari semalam untuk memberikan tulisan terbaik mereka.
Kesembilan, mereka menyukai keteraturan terkait bahan tulisan yang akan digunakan karena mereka sadar pekerjaan akan jauh lebih mudah bila literatur dan sumber yang dibutuhkan dikelompokkan dengan baik.
Kesepuluh, penulis-penulis berkualitas “tega” untuk menulis ulang atau bahkan membuang bagian yang tak perlu. JK Rowling, misalnya, mengaku membuang bagian cerita tentang otopsi Barry Fairbrother dalam The Casual Vacancy meski sudah susah payah menulisnya selama berhari-hari hanya karena ia kemudian merasa bagian itu terlalu melenceng dari isi cerita. Menyelesaikan draft pertama adalah sebuah langkah yang baik tetapi belum bisa disebut akhir proses kreatif penulisan. Menulis adalah menulis ulang, begitu kata seorang penulis. Buku-buku laris biasanya hasil dari penulisan ulang yang makin menyempurnakannya.
Kesebelas, mereka biasa membaca keras-keras tulisannya untuk mengetahui kejanggalan. David Sedaris membaca lantang hasil tulisannya sebelum menyerahkan ke editor atau penerbit. Sekali dua kali belum cukup. Belasan kali juga belum cukup kalau masih bisa diperbaiki lagi. Alasannya? Dengan membaca, kita bisa mengetahui seberapa mengalirnya kisah yang kita ceritakan dalam tulisan.
Keduabelas, penulis unggul suka bercerita. Elizabeth Gilbert mungkin contoh terbaik dari penulis yang begitu suka mengobrol tentang hal-hal konyol dan remeh temeh tetapi menarik dan menghibur. Ia kerap mengumpulkan anekdot-anekdot berharga dalam ingatan dan catatan hariannya untuk kemudian meleburkannya dalam karyanya. Daripada mentah-mentah menyuguhkan informasi dalam pola 5W dan 1H, ia memakai gaya bercerita yang mengalir dan menarik karena tulisannya padat dengan narasi, anekdot, kronologi dan suasana yang detil.
Ketigabelas, penulis yang baik mampu memberikan keseimbangan antara memuaskan idealisme diri dan selera pembacanya. Mereka berusaha menarik tanpa harus menjadi orang lain dalam tulisannya.
Keempatbelas, penulis berkualitas tahu ia tidak bisa terjebak dalam satu gaya penulisan selamanya. Ia mau mengeksplorasi diri dengan mencoba berbagai bentuk dan gaya menulis. Dengan keluar dari zona nyaman itulah, ia akan memperkaya pengalaman dan ketrampilan menulisnya.
Itu semua menurut Clark adalah ciri-ciri umum penulis yang berkualitas. Dan menurut saya masih ada satu lagi ciri lainnya, yaitu kemampuan bekerja di dalam berbagai kondisi apalagi jika mereka diburu waktu. Mereka tidak memiliki ketergantungan yang begitu mengganggu pada suatu hal, dari kafein sampai keharusan menulis di tempat dengan kondisi tertentu. Kita tentu pernah menjumpai penulis-penulis eksentrik yang hanya bisa bekerja di dalam suasana tertentu atau dengan alat menulis tertentu. Ini hanya akan menghambat produktivitasnya sebagai penulis.
Lain dari kawasan tujuan wisata di pesisir pantai seperti Seminyak, Kuta, dan sebagainya, Ubud memiliki pesonanya sendiri. Letaknya di dataran berbukit membuat kita teringat dengan pemandangan khasnya:sawah terasering dengan bulir-bulir padi yang menguning. Dulu Ubud hanyalah sebuah daerah sepi yang menjadi tempat kediaman para putri, kaum brahma yang terpelajar dan seniman-seniman Bali tetapi sekarang sudah disulap menjadi area turis yang padat dan hiruk pikuk. Berbeda dengan Kuta atau Seminyak yang kental suasana pantainya, Anda tidak akan menjumpai orang-orang memakai bikini atau celana renang di sini. Bahkan mengendarai sepeda motor dengan telanjang dada dilarang keras di Ubud Central. Di samping kantor kelurahan Ubud, Anda bisa menjumpai sebuah papan yang melarang terang-terangan naik motor ugal-ugalan tanpa baju. Larangan semacam itu tentu tidak bisa diberlakukan di daerah pantai semacam Kuta. Larangan yang cukup mengejutkan mengingat sebelumnya di perjalanan saya menjumpai seorang perempuan uzur tanpa penutup dada duduk bersantai di depan rumahnya.
Meski begitu, Ubud memang lebih berbudaya. Setahu saya sulit dijumpai klub-klub malam yang menonjolkan hedonisme dan suasananya hingar bingar di Ubud. Kebanyakan yang saya jumpai di sepanjang jalan adalah restoran mahal, butik mewah, toko buku, galeri seni lukis, studio yoga atau semacamnya. Tidak heran karena Ubud lebih banyak ditinggali oleh kaum budayawan, seniman dari berbagai bidang. Dari seniman kata-kata alias penulis, seniman lukis, seniman pahat, seniman patung, seniman musik, seniman ilmu alias kaum terpelajar, seniman kuliner atau chef, hingga mereka yang ingin mencari ilham atau sekadar mencari ketenangan di masa liburan.
Saya tidak ingat persisnya waktu terakhir saya berkunjung ke pulau ini, tetapi dalam ingatan saya tentang Bali, Ubud tidak termasuk dalam memori. Kalaupun dulu ada, sudah lama terhapus. Sehingga praktis Ubud terasa seperti tempat yang benar-benar baru bagi saya.
Sungguh sulit untuk menggambarkan keindahan Ubud hanya dengan barisan kata atau jepretan foto. Anda harus ke sana sendiri untuk bisa merasakan keindahan itu sepenuhnya.
Di sinilah Ubud Writers Readers Festival 2014 digelar. Bukan yang pertama dalam sejarah penyelenggaraannya, tetapi bagi saya inilah kali pertama. Tahun ini Ubud Writers Readers Festival menjadi kali kesebelas dalam penyelenggaraannya.
Festival tahun ini mengangkat tema “Saraswati Wisdom and Knowledge” karena bertepatan dengan perayaan Hari Saraswati pada hari Sabtu Umanis (yang sempat membuat lalu lintas Ubud sedikit lebih macet dan ada pengalihan lalu lintas karena adanya upacara di pura setempat), Watugunung sampai hari Rabu untuk mencapai tujuan utamanya:Maha Catur Purusha Artha. Sabtu diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan ke dunia. Sementara hari Minggu diyakini sebagai Banyu Pinaruh, saat masyarakat Bali melaksanakan “tirtha yatra” ke tempat suci karena air dianggap sebagai sumber pengetahuan. Hari Senin disebut Soma Ribek saat warga bali mewujudkan pengetahuannya untuk mendapatkan kehidupan materi yang layak, hari Selasa merupakan hari raya Sabuh Mas dengan tujuan agar ilmu yang dimiliki bisa memuliakan diri dan hari Rabu dirayakan sebagai hari Pagerwesi dengan ilmu pengetahuannya bisa mencapai keabadian hidup.
Festival bernuansa sastra dan jurnalisme ini bisa dikatakan sebagai buah kerjasama dua pihak: masyarakat ekspatriat yang bertempat tinggal di Ubud dan warga asli Ubud. Dengan begitu banyak tokoh dalam dunia sastra dan jurnalisme internasional, kita patut berterima kasih pada Janet DeNeefe dan Ketut Suardana. DeNeefe menggagas festival ini 11 tahun lalu setelah Bali diguncang oleh bom Bali yang menurunkan gairah pariwisatanya. Upayanya disambut baik oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati.
Dengan makin meningkatnya populasi Bali, sukar rasanya membendung ekspansi turisme di sini. Di satu sisi, masyarakat Bali membutuhkan lapangan pekerjaan dari para wisatawan. Sektor inilah yang membuat mereka bisa bertahan dan berjaya secara ekonomi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air. Tetapi di sisi lain, Bali tampaknya harus memikirkan bagaimana caranya mengendalikan turisme agar tidak menggerus alam dan budaya serta kearifan lokal mereka sendiri. Terbukti setelah bom Bali meletus, warga banyak yang menganggur. Hal ini sungguh berbeda dengan pulau wisata lain di dunia. Ambil contoh saja pulau Menorca di negeri matador Spanyol. Di sana, justru dikeluarkan undang-undang agar membatasi perkembangan pariwisata lokal. Apa pasal? Karena perekonomian warga lokal sudah bagus bahkan sebelum turis datang membanjiri daerah itu. Apakah Bali juga harus mengeluarkan aturan yang sama agar kemurniannya terjaga? Hanya warga Bali yang bisa menjawabnya.
Alam yang relatif masih murni di sini membuat Ubud menjadi lokasi yang memang layak untuk menyambut para pegiat sastra dari dalam dan luar negeri. Terletak di daerah berbukit dengan riam dan jurang di sela-selanya, Ubud sungguh menawan. Meskipun menurut penuturan teman saya Ubud sudah jauh lebih sesak daripada beberapa tahun lalu, Ubud masih tetap mempesona bagi mereka yang mendamba inspirasi agar bisa kembali bekerja dengan kreativitas yang lebih tinggi. Jalan-jalan di Ubud sempit, yang mungkin menandakan bahwa belum ada grand plan atau blue print untuk mendesain Ubud sebagai sebuah tujuan wisata kelas dunia. Akibatnya, kerap terjadi kemacetan singkat di jam-jam tertentu terutama saat lalu lintas bertambah deras.
Kami yang hadir di festival membahas berbagai isu tentang sastra, jurnalisme, buku dan kepenulisan dengan berlatar belakang ngarai dan sungai, sambil sesekali terkantuk-kantuk dibelai angin siang yang sejuk bukan main di tengah terpaan sinar matahari tropis pulau dewata di awal Oktober yang membuat rumput meranggas. Sungguh asyik masyuk.
Saat saya diwawancarai oleh seorang teman jurnalis, saya ditanya tentang mengapa saya hadir di sini. Festival ini benar-benar kesempatan yang langka dan saya ingin sekali menghadirinya untuk memperluas cakrawala dan koneksi. Meski memang biayanya relatif mahal untuk peserta perseorangan tanpa sokongan sponsor (tiket early bird yang saya beli hanya 40 dollar Australia), tidak akan ada yang sia-sia dengan menghadiri perhelatan akbar ini. Akan ada banyak kenalan baru, pengetahuan segar dan wawasan tentang sastra dan jurnalisme yang makin memperkaya diri.
Banyaknya peserta dan pembicara asing membuat saya merasa berada di wilayah sebuah negara asing. Bahasa Inggris menjadi menu sehari-hari. Padahal saya masih di Indonesia. Hanya dalam satu kesempatan, di sebuah diskusi yang dipandu I Wayan Juniarta, saya bisa menyaksikan seorang pembicara bernama Fadel Ilahi menggunakan bahasa Indonesia. Itu pun ia harus didampingi penerjemah. Ditambah dengan porsi pembicara domestik yang relatif sedikit, saya merasa festival ini terkesan kurang Indonesia. Mengingat banyaknya komunitas atau lembaga pegiat sastra dan seni dan jurnalisme di Indonesia, tampaknya Ubud Writers Readers Festival masih harus mengangkat sastra Indonesia dengan lebih baik di penyelenggaraannya di masa mendatang. Dari sisi peserta sendiri, biaya untuk mengikuti workshop dan acara-acara program utamanya termasuk terjangkau, karena untuk WNI diberikan tarif khusus yang lebih murah. Jadi tidak ada alasan untuk melewatkan penawaran murah itu jika memang Anda benar-benar penyuka berat sastra, seni dan jurnalisme. Harga tiketnya bisa setengah atau sepertiga dari harga tiket untuk WNA! Jika Anda penyuka acara-acara bertema sastra tetapi merasa berat untuk menghabiskan uang sebanyak itu, saya sarankan untuk mulai menabung dari sekarang agar bisa segera membeli tiketnya jika nanti tiket early bird sudah dijual agar Anda bisa menghemat lebih banyak.
Digelar selama 4 hari dari 2 hingga 5 Oktober 2014, Ubud Writers Readers Festival cukup membuat puas. Bagaimana tidak puas? Anda bisa menikmati hingga 6 sesi diskusi dalam sehari, dari pagi hari sampai petang. Satu sesi berkisar antara 60-90 menit, cukuplah membuat Anda ‘mabuk’.
Begitu pentingnya sebuah judul sehingga ia bisa turut menentukan menarik tidaknya sebuah tulisan. Kalau bisa saya katakan, judul juga sama pentingnya dengan sampul dan isi sebuah buku, jika tulisan itu bentuknya buku.Jika bentuknya sebuah artikel di media online yang tentu saja tidak memiliki sampul, tentunya judul itulah yang berperan sebagai sampul mukanya. Dalam banyak kasus, penggunaan judul yang berbeda (menggunakan kata-kata yang berbeda, atau menyusun kata dengan urutan berbeda meski maknanya sama) dapat membuat hasil yang berbeda pula. Karena itulah, kadang seorang copywriter harus melakukan eksperimen (A/B testing) terhadap judul naskahnya untuk menemukan tingkat efektivitas yang lebih tinggi dari masing-masing versi judulnya. Artikel yang isinya sama tetapi memiliki dua versi judul yang berbeda bisa menunjukkan jumlah pembaca yang berbeda pula. Itulah pentingnya sebuah judul. Dangkal memang kelihatannya kalau kita menentukan kualitas tulisan dari sebuah judul tetapi memang
demikianlah kenyataannya. Tidak banyak orang memiliki waktu dan kesempatan untuk menelaah semua tulisan atau iklan yang ia temui setiap hari, jadi membaca judul untuk menentukan akan membaca hingga habis atau tidak merupakan hal yang cukup masuk akal.
Menurut copywriter Bob Bly, ada 8 jenis judul yang telah teruji mampu membuat pembaca tertarik dan melakukan sesuatu, entah itu mengklik tautan, melakukan pemesanan/ pembelian, atau melakukan hal lain yang diinginkan oleh si penulis. Dan saya memasukkan 1 jenis lagi yang saya anggap patut kita ketahui sebagai pengetahuan atau sebuah ide untuk diterapkan dalam media Anda, jika Anda mau.
1. Judul langsung
Judul jenis ini seolah merangkum apa yang dikemukakan penulis dalam artikel atau tulisannya. Tidak ada upaya untuk menutup-nutupi atau membuatnya lebih menarik dengan distorsi yang bombastis. Contohnya yaitu “Seminar Copywriting Gratis!” Pembaca langsung bisa mengetahui isi tulisan yang dimaksud. Sayangnya, kadang jika terlalu sering dipakai, judul semacam ini terasa membosankan karena terlalu apa adanya. Orang menjadi tidak tergerak keingintahuannya. Namun, bila Anda memang ingin memberikan penjelasan yang gamblang lewat judul, silakan saja. Asal tidak dipakai terus menerus.
2. Judul tidak langsung
Kebalikan dari jenis pertama, judul semacam ini memberikan ambiguitas yang mendorong keingintahuan pembaca agar mengklik tautan Anda. Judul jenis tidak langsung biasa menggunakan kiasan atau kata-kata yang memberikan makna berbeda dan bermakna ganda. Seperti “Umpan Segar adalah yang Terbaik”. Nah, di sini konteks “umpan” belum diketahui pasti. Tergantung pada banyak faktor. Keingintahuan pembaca atas judul bisa membuatnya terpancing membaca. Bisa jadi ia puas atau kecewa setelah menemukan artikel Anda.
3. Judul berita
Anda bisa menemukan jenis headline seperti ini di situs-situs berita arus utama (mainstream). Misalnya, “Tentang Jurnalisme Warga” atau “Pro Kontra RUU Pilkada”.
4. Judul cara
Dengan menggunakan judul “Cara Me….”, biasanya orang yang sedang ingin tahu bagaimana cara melakukan sesuatu akan penasaran membacanya. “Bagaimana Menghasilkan Uang Online” membuat orang ingin tahu cara yang mungkin mereka belum tahu dalam menghasilkan keuntungan.
5. Judul pertanyaan
Pertanyaan akan membuat pembaca memunculkan empati dalam benak mereka atau menggerakkan mereka untuk melihat jawabannya. Gunakan pertanyaan tertutup (yang membutuhkan jawaban iya atau tidak) dan pertanyaan terbuka (yang membutuhkan jawaban yang lebih panjang) sesuai kebutuhan.
6. Judul perintah
Judul ini dengan lantang memberitahukan pada kita tentang apa yang harus ia lakukan. Pilihan kata kerja yang tepat akan membuat pembaca lebih terdorong berbuat sesuatu setelah membaca. Ambil contoh, “Beli Samsung Galaxy S5 Diskon Sekarang!”
7. Judul alasan
Pernah membaca judul yang menggunakan kata “mengapa” atau “kenapa” atau “alasan”? Inilah yang dimaksud dengan judul alasan. Judul ini memberitahukan pada pembaca bahwa penulis akan menyajikan sejumlah alasan. Contohnya, “Mengapa SBY Diam Plin Plan Soal RUU Pilkada?”
8. Judul testimonial
Jenis yang satu ini efektif dalam meyakinkan calon konsumen atau klien bahwa Anda memiliki kualitas yang mereka harapkan. Menuliskan kesaksian dari orang lain akan menambah kredibilitas Anda. Namun, terlalu banyak menggunakan testimonial juga membuat orang menyangsikan kredibilitas Anda, apalagi jika jangkauan reputasi Anda belum begitu luas. Bentuknya bisa berupa kutipan langsung, misalnya “‘Saya Menulis dengan MacBook Air,’kata Tim Cook” atau “Tim Cook: Saya Menulis dengan MacBook Air.”
9. Judul khas media baru
Judul-judul jenis sebelumnya sudah banyak dipakai di media lama seperti iklan cetak, surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya. Di media baru seperti blog dan social media, ada juga jenis judul yang khas. Bentuknya tidak lagi berupa frase tetapi sebuah kalimat utuh. Ada subjek dan predikat, bahkan keterangan. Dijejalkan banyak informasi di satu judul. Bila perlu, judul itu bisa berupa dua kalimat terpisah, yang bernada provokatif. Baca saja judul seperti berikut: “Aileen Lee’s Cowboy Ventures Is Raising A $55 Million Second Fund” atau “With Plans of Investing $100M Next Year, Israel’s OurCrowd Forges Its Own Path in Equity Crowdfunding” atau yang berupa dua kalimat misalnya:”Pornhub launches a record label. Wait, what?”
Apa sih keistimewaan masuk koran? Banyak orang masuk koran, toh hidup mereka tidak kunjung membaik, rejeki mampet, aset bersih tidak bertambah, saldo rekening juga stagnan saja. Malah kalau mau masuk koran untuk beriklan, bayarnya mahal bukan kepalang.
Mereka yang masuk koran biasanya cuma kaum pesohor yang sedang tertimpa masalah pribadi yang pelik, atau para pakar yang sangat disegani orang awam seperti Roy Suryo. Selain itu, koran juga kerap meliput mereka – orang awam – dengan prestasi luar biasa. Luar biasa dalam arti positif dan negatif. Lihat saja Florence Sihombing yang sampai meluas ke mana-mana. Penghinaannya pada Yogyakarta begitu epik hingga membuat banyak orang antusias mengikutinya.
Saya bukan ketiga golongan tadi tetapi toh saya pernah diliput oleh koran. Terdengar layaknya sebuah prestasi besar . Ada foto diri saya di situ, tampak dari samping saat saya sedang melayani pertanyaan dari seorang pewarta muda. Ia tampak terburu. Wawancaranya singkat, cuma membahas tentang pendidikan terutama pendidikan di tingkat dasar, karena saat itu saya mengajar di sebuah jurusan yang beraroma pendidikan. Ada semacam ekspektasi yang bisa saya tangkap dari si wartawan. Ia ingin saya menjawab layaknya pakar pendidikan padahal meskipun saya mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, saya tidak pernah secara intensif belajar mengenai pendidikan. Bahkan bisa dikatakan karir mengajar saya yang pendek itu cuma keterpaksaan dan saya hanya masuk kelas dengan logika sederhana: bagaimana agar mereka yang saya ajar bisa membentuk pengetahuan mereka sendiri tentang topik yang diajarkan dan saya sebagai fasilitator semata.
Maka Anda bisa bayangkan bagaimana rasanya diberikan pertanyaan yang di luar bidang penguasaan saya. Saya memutar otak sepanjang wawancara, mencari jawaban yang pas dan logis. Tetap saja bagaimana pun juga jawaban saya dangkal.
Keesokan harinya artikel hasil wawancara itu ditemukan seorang kerabat di koran lokal. “Kenapa tidak beritahu kalau masuk koran?”tanyanya. Entahlah, mungkin karena saya malu dengan publisitas dan utamanya ialah karena kurang puas dengan jawaban saya. Wajar saja karena wartawan muda itu menemukan narasumber yang kurang kompeten di bidang yang ia ingin bahas. Dan memang benar saat saya nekat membacanya, isinya bernada normatif. Dengan kata lain, jawaban saya standar saja, tidak mendalam. Semua orang dengan akal sehat bisa melontarkan jawaban semacam itu. Tak perlu sekolah yang tinggi apalagi gelar dari kampus negeri bergengsi.
Artikel dan foto yang menampilkan saya itu tidak saya kliping atau laminating. Buat apa? Toh tidak membuat saya bangga masuk koran.
Kara Swisher dari blog teknologi Recode pernah mengkritik bahwa para wartawan sering menulis hal-hal yang membosankan untuk para pembacanya. Namun ironisnya, diskusi dan debat mereka di ruang redaksi (newsroom) yang justru lebih menarik dan tajam malah tidak disajikan pada audiens yang haus informasi dan analisis bermutu. Dengan kata lain, para wartawan memendam informasi, analisis dan prediksi logis yang lebih menarik itu bagi kalangannya sendiri dan tidak mau menyebarkannya melalui medianya.
Begitu juga dalam kasus satu ini. Seperti kita ketahui bersama, Prabowo sudah babak belur menderita kekalahan telak dua kali di Pilpres dan sengketa hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa kesempatan Hatta memang tak lagi terlihat tampil di depan publik bersama Prabowo Subianto.Tetapi tahukah Anda alasannya?
Menurut sumber tepercaya yang juga seorang pewarta, tidak tampilnya Hatta bersama dengan Prabowo dilatarbelakangi oleh hal berikut ini:kubu Prabowo-Hatta sebenarnya sudah terbelah dengan perpecahan pendapat dalam tubuh PAN sendiri. Ada kubu sang tetua PAN Amien Rais dan kubu sang besan Status Quo Hatta Rajasa. Amien mau Hatta terus mendampingi Prabowo, tetapi Hatta sendiri sudah “ogah”. Masuk akal juga. Siapa yang mau berjalan bersama pecundang? Tetapi kalau pecundang itu teman sejati Anda, asumsi ini pasti akan terpatahkan. Dan sayangnya di dunia politik tak ada yang namanya teman sejati, seperti yang ditunjukkan ‘wartawati senior’ Nanik S. Deyang, yang pernah secara terbuka dekat dengan Jokowi dan kemudian menyeberang ke kubu Prabowo lalu menyerangnya dengan cara yang sangat tidak etis dalam koridor jurnalisme.
Bila sumber ini salah, mungkin alasan sebenarnya akan tetap terkubur dan menjadi objek spekulasi kita bersama sebagai bangsa dalam berbagai wacana.
Sekitar setahun yang lalu, saya berkesempatan menghadiri sebuah seminar yang digelar IFC (International Finance Corporation) dan sempat ada pertentangan antara para jurnalis yang ada di dalamnya. Salah satunya ialah karena satu orang pembicara di depan mengatakan pihaknya hanya akan mendukung publikasi berita yang “positif”, sementara untuk publikasi berita yang bersifat investigatif, mereka tidak akan mempublikasikannya. “Kami ingin menyebarkan kabar baik, bukan kabar buruk,”begitu katanya pada kami yang hadir.
Opininya itu disanggah oleh seorang jurnalis lainnya yang menganggap hal semacam itu sebagai penyia-nyiaan hak pers media yang bisa mengabarkan hal-hal yang tak kalah penting daripada berita-berita manis dan normal belaka. Sangat disayangkan kalau wartawan hanya mengangkat hal-hal yang diinginkan tetapi enggan membeberkan hal lain yang kurang mengenakkan tetapi patut diketahui orang, demikian kurang lebih si jurnalis membantah.
Hal yang sama juga terjadi di negeri Paman Sam lho! Kalau Anda pikir kondisi semacam ini cuma ditemui di tanah air, Anda salah besar. Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel yang ditulis Paul Carr di blog teknologi dan startup Pando.com yang berisi pergulatan serupa. Dalam sebuah diskusi panel yang melibatkan dua jurnalis perempuan terkemuka di dunia teknologi dan startup, terjadi sebuah pembeberan publik yang bisa dikatakan cukup sadis. Alexia Tsotsis (editor blog Tech Crunch) dan Kara Swisher (pendiri blog Re/Code) masing-masing menunjukkan perbedaan sikap dalam meliput dan bekerja sebagai jurnalis. Tsotsis terkesan lebih lunak, lebih jinak dan mencerminkan kebijakan umum Tech Crunch yang menjilat penguasa, dengan memberitakan hal-hal yang menyenangkan. “Kami hanya penggembira,”begitu kata Tsotsis. Lebih lanjut Tsotsis berkata betapa ia terus berdoa agar dalam kotak masuk surelnya tidak dimasuki bocoran informasi dari pihak-pihak kontra pemerintahan Obama seperti informasi dari Edward Snowden yang amat kontroversial itu. Ia bahkan mengatakan menolak untuk mengangkat informasi seperti itu dalam blog yang dikelolanya.
Lain dengan Kara Swisher yang telah dikenal dengan reputasi jurnalismenya yang telah teruji dan tak peduli dengan pihak yang berisiko dibuat berang dengan pemberitaan yang ia turunkan, yang menolak untuk menulis hanya untuk menjilat satu pihak saja. Carr pun memuji:”Setidaknya Swisher adalah jurnalis yang hebat. Re/Code juga situs berita yang bagus.” Swisher menegaskan dirinya tidak pernah menolak bocoran informasi seperti milik Edward Snowden dan seolah “memaksa” Tsotsis untuk mengakui keunggulan jurnalisme dan integritas editorial Red/Code. Tsotsis pun menyatakan dengan jujur,”Karena itulah kau lebih baik dari kami.”
Berikut kutipannya:
“”I never say that,” Swisher said.
“That’s why you’re better than us,” Tsotsis said sweetly.”
Carr yang menganut idealisme dalam bekerja ini mengatakan betapa memalukannya pengakuan Tsotsis sebagai editor sebuah organisasi media besar seperti Tech Crunch itu. Bagaimana bisa ia mengakui bahwa organisasinya tunduk di bawah kekuasaan lain?
Yang tak kalah menyedihkan: Inilah fakta yang juga merundung banyak organisasi berita di Indonesia dari jaman baheula sampai SBY berkuasa.
Menemukan sebuah bahan berita yang menarik di mata pembaca dan ‘menjual’ di mata pengiklan adalah satu kerja keras tersendiri. Ada sebuah keseimbangan yang harus dicapai di sini: keseimbangan antara aspek jurnalisme dan sisi komersialisme. Jurnalis perlu memegang teguh nilai-nilai idealisnya sembari tetap memburu nafkah dengan memberikan berita-berita yang ‘menjual’ bagi medianya.
Setelah hal itu tercapai, kerja tidak berakhir begitu saja. Pewarta harus mengolah bahan tadi agar layak muat dan layak baca. Dan untuk mengolah, tidaklah mudah.
Kiat-kiat berikut ini saya sarikan dari Panduan Pemberitaan tentang Corporate Governance yang diterbitkan oleh International Finance Corporation (IFC). Semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin menjadi pewarta profesional dan sebagai catatan bagi diri saya juga supaya tidak hanya jadi wartawan penyadur dan jangan sampai menjadi wartawan salin rekat alias “copy paste”.
Pada intinya, sifat dasar cerita menentukan formatnya. Ada berita, feature, feature berita, profil dan investigatif.
Dalam memilih sebuah format berita, seorang pewarta perlu melontarkan 3 pertanyaan utama.
Pertama, apakah cara terbaik untuk menceritakan kisah tersebut untuk menari perhatian pembaca dan bertahan memperoleh perhatian mereka?
Kedua, format apakah yang cocok untuk bahan dalam cerita ini?
Ketiga, mengapa para pembaca harus membaca cerita ini sampai tuntas?
Berikut merupakan penjelasan singkat berbagai macam jenis cerita.
BERITA
Jika cerita itu bersifat baru (belum pernah muncul) baik yang sudah atau akan terjadi, formatnya akan menjadi cerita tradisonal dengan paragraf pertama berisi informasi penting lalu menuliskan informasi lain dengan gaya piramid terbalik (makin kurang penting, makin di bawah). Hindari penggunaan terlalu banyak angka saat menulis pembukaan berita.
FEATURE
Cerita yang relatif timeless (elemen waktunya tidak kuat), topiknya umum atau mengenai perspektif tertentu dari kisah dapat dimasukkan dalam jenis berita feature. Misalnya berita tentang struktur organisasi sebuah bisnis yang ditulis pasca munculnya kasus hukum yang membelit seorang petinggi perusahaan.
FEATURE-BERITA
Sebagian kisah tidak bisa dibedakan secara jelas antara kedua kategori sebelumnya. Cerita jenis ini biasanya mencakup peristiwa yang baru terjadi atau tulisan tentang tokoh dalam berita terhangat, contohnya bagaimana direktur baru pengaruhi pengambilan keputusan dalam perusahaan, bagaimana perusahaan- perusahaan bangkit pasca ambruknya sektor industri yang terkait.
PROFIL
Profil hanya memuat kisah satu orang dan membahasnya secara intensif. Wartawan bisa memperkaya tulisan dengan tidak hanya mewawancarai si sosok itu tetapi juga teman-temannya, anggota keluarganya, bahkan rival-rivalnya. Profil pun bisa difokuskan pada bisnis tertentu, misalnya anggota-anggota keluarga yang lebih muda dalam suatu bisnis keluarga, atau seorang pemegang saham yang vokal menentang kebijakan perusahaan.
INVESTIGATIF
Cerita investigatif memiliki unsur-unsur cerita jenis berita dan feature. Ciri khasnya ialah adanya penguakan pelanggaran dan menjadikannya berita utama untuk pertama kali. Panjangnya melebihi berita atau fitur biasa dan bisa disajikan sebagai satu rangkaian cerita selama beberapa hari dengan sidebars (kotak cerita). Sidebars adalah cerita-cerita lebih kecil yang menyertai cerita utama dan setiap cerita memusatkan diri pada satu sub topik tertentu yang ditujukan dalam cerita tersebut, memberi detil dan latar belakang lebih. Misalnya, kisah-kisah mendetil tentang praktik akuntansi perusahaan dapat menjadi ceria investigatif bila dapat membuka kasus pelanggaran tertentu.
KOLOM OPINI
Jenis cerita satu ini mirip dengan “opinionated bloggers”, menurut saya. Hanya saja yang menulis adalah jurnalis. Di dalam kolom opini, Anda dapat temukan ulasan, kritik dan spekulasi atau asumsi sang jurnalis berdasarkan fakta yang sudah ada.
Ciputra (kiri), pengusaha properti Indonesia, bersama dengan Abun Sanda (kanan) berfoto bersama dengan latar belakang pohon baobab (pohon botol) di Gardens by the Bay, Singapura (27/3/2013).
Dunia jurnalisme bisa dikatakan baru untuk saya. Saya baru memulai profesi ini dan masih merasa terlalu hijau untuk mengaku sebagai jurnalis, pewarta, dan sejenisnya. Beban moral dan profesionalnya berat. Saya lebih suka menyebut diri sebagai blogger saja karena saya selalu menulis di media online, bukan old media alias media konvensional seperti koran, majalah, tabloid, dan sejenisnya.
Saya memang masih harus banyak belajar. Apalagi jika dibandingkan Abun Sanda yang Senin siang tanggal 18 Maret 2013 itu tawanya riuh mengisi ruang tamu kediaman Ciputra di Pondok Indah yang demikian teduh. Dikenal sebagai pembangun rumah mewah dan gedung pencakar langit, Ciputra yang sudah berumur lebih dari 8 dasawarsa itu menghuni rumah ‘mungil’ bernuansa kayu yang hangat dan keemasan.
Saya ketuk pintu depan dan Syaiful, si perawat pribadi, muncul segera dan membukakan pintu untuk saya. Saya menengokkan kepala ke kanan dan bertanya singkat pada Syaiful, “Di mana?” Suara percakapan itu ada di arah kiri, dari arah ruang tamu yang sama seperti ruang makan, juga dipenuhi lukisan Hendra Gunawan dan benda seni rupa. Dan saya kemudian ketahui dari si empunya langsung bahwa semua benda seni yang dipajang di sana adalah replika semata. Taktik pengamanan yang cerdas karena tidak ada yang tahu di mana ia menyimpan yang asli.
Saya datang agak terlambat memenuhi panggilan atasan saya siang itu karena taksi yang sempat salah rute. Abun, yang saya belum tahu nama dan reputasinya saat itu, menumpukan kedua tangannya ke sofa empuk tempat Ciputra duduk. Keduanya terlibat percakapan intens. Sesekali tawa meledak di antara keduanya. Turut mengobrol pula Sujadi Siswo dari Channel NewsAsia Singapura yang saat itu hendak melakukan syuting wawancara singkat untuk melengkapi tayangan acara anugerah Lifetime Achievement Luminary Award 2013 di Singapura tanggal 26 Maret 2013. Abun diundang sebagai jurnalis yang mewakili Kompas. Sementara di sisi lain sofa, tak terlalu jauh dari Ciputra, duduk dengan sesekali tersenyum lebar Bayu Widagdo, jurnalis Bisnis Indonesia. Wartawan dari Tempo belum hadir, dan memang hingga pertemuan berakhir ia tak sempat menunjukkan batang hidungnya. Sesaat setelah saya duduk, muncul Yeri Vlorida dari Indopos, surat kabar pimpinan menteri BUMN Dahlan Iskan.
Saat itu saya baru sadar bahwa Ciputra tak hanya pantas menyandang sebutan “Begawan Properti” tetapi juga “Begawan Pers” di negeri ini. Mungkin ia bukan satu-satunya pemilik atau pendiri media-media massa besar Indonesia tetapi setidaknya ia memiliki andil yang signifikan dalam membesarkan sejumlah media.
Satu hal yang saya tangkap dari lelucon santai tetapi serius dari Ciputra dan Abun siang itu ialah kesediaan dan kemampuan mereka untuk tetap bertukar pendapat, mengkritik opini lainnya sembari berkelakar dan tak meninggalkan rasa sakit hati. Terlihat menyenangkan dan terbuka bagi saya yang lebih suka mengamati cara mereka berkomunikasi. Ciputra yang berpandangan lebih idealis bersikukuh membela Tempo yang ia turut dirikan. Menurutnya, tak banyak jurnalis yang mau menempuh jalan menguak kebenaran yang disembunyikan banyak orang yang memunculkan risiko dan bahaya bagi diri dan orang-orang yang mereka kasihi. “Tapi bukan berarti saya mau jadi wartawan Tempo,” canda Ciputra. Memang setuju dan menyatakan dukungan bukan berarti harus terjun dan menjalani jalan kehidupan yang sama.
Abun menanggapinya dengan lebih pragmatis. Saya ingat ia berkata sebagai respon atas dugaan penyebab Tempo begitu banyak dirongrong banyak pihak dari dulu hingga sekarang (ditambah dengan aksi kekerasan yang menimpa kantor mereka),” Kalau hanya satu dua yang merasa tersinggung dan protes, itu wajar. Tapi kalau semua orang merasa begitu, itu tidak wajar.” Namun, sekali lagi Abun menganggap perdebatan itu sebagai sebuah intermezzo dalam negeri yang menganut asas kebebasan berpendapat. Sifat keras kepala yang sangat khas wartawan. Penuh sindiran, ironi, satir dan lelucon yang saling bercampur kental hingga tak diketahui lagi batasnya. Dan ia menertawakan ucapan Ciputra yang mendukung Tempo tetapi tidak mau menjalani kehidupan seperti wartawan Tempo yang riskan. Kini ia membuat Ciputra sama pragmatisnya dengan dirinya.
Sebagai pewarta yang sudah tergolong senior dan mendekati masa pensiun, Abun selalu disindir Ciputra untuk segera memulai berwirausaha. “Ayo Abun. Semua orang bisa, tinggal kemauan dan tekad saja. Tidak ada kata terlambat,” saran Ciputra pada pria yang pernah menjabat sebagai wartawan kolom ekonomi, Wakil Kepala Desk Metropolitan, Wakil Editor Desk Hukum Kompas, dan Direktur Bisnis Kompas. Abun tersenyum simpul.
Berkali-kali bentuk tubuh Abun yang tambun menjadi sasaran empuk Ciputra. Ciputra memang dikenal sangat memperhatikan kesehatan, dan merasa berkewajiban mengingatkan dengan segala cara bahwa kelebihan berat badan adalah sumber penyakit yang harus diberantas.
Sempat Ciputra membandingkan bentuk badan Abun dengan saya. “Saya masih ingat. Dulu saat kamu masih baru (*pen – sebagai wartawan), badan kamu masih seperti dia,” ujar Ciputra sembari menunjuk saya. Kami semua tergelak. Saya setengah tak percaya: rasa setengah tak percaya yang pertama bahwa Abun pernah sekurus saya yang hanya 46 kilogram dan setengah tidak percaya sisanya bahwa bentuk badan saya suatu saat nanti bisa saja berubah seperti beliau. Buru-buru saya hapus yang kedua sambil berdoa,” Jangan ya Tuhan. Terlalu berat.” Usia Abun hampir dua kali umur saya. Begitu pula berat badannya.
Abun pertama kali keluar negeri bersama Ciputra di Hawaii. Entah tahun berapa, saya kurang tahu. Namun, yang jelas keduanya tampak sangat mengenal sejak lama. Karakter Abun yang percaya diri dan banyak cakap membuatnya tak terlihat seperti wartawan baru yang pertama kali diajak ke luar negeri, kata Ciputra.
Abun pribadi yang usil tetapi menyenangkan. Saya masih ingat saat saya buru-buru menyusuri jalan sempit di antara deretan kursi pesawat kelas ekonomi yang kami sama-sama tumpangi Rabu pagi tanggal 26 Maret 2013, ia berpura-pura tertidur pulas dan menjulurkan tangannya menutup jalan. Hampir saja saya meledak emosi melihat ada lengan besar seseorang menghalangi saya untuk segera melampiaskan ‘panggilan alam’. Sebelum saya sempat menyentuh lengan itu, si empunya terbangun, menampakkan mukanya, menyeringai dan segera mengangkat lengan yang diameternya lebih besar dari betis saya. Karena saya pikir orang asing, saya sudah siap-siap pasang muka serius dan kencang, tetapi begitu tahu itu Abun, saya ikut terkekeh. Hanya 1-2 detik, dan saya kembali fokus melesat ke toilet untuk menumpahkan isi kandung kemih.
Percakapan saya dengan Abun yang paling berkesan ialah saat kami bersantap pagi di beranda samping Hotel Fullerton yang menghadap sungai dan diapit 2 jembatan. Burung-burung gagak berbulu hitam dan berparuh panjang dan runcing terbang ke sana kemari mencari kesempatan mematuki makanan sisa di piring-piring keramik putih yang lebar dan mangkuk penuh biskuit dan buah-buahan kering atau makanan lain yang tak kalah mengundang selera. Pagi itu seperti biasa saya mencari-cari tempat yang bagus untuk berfoto sebentar. Dan pemandangan di sungai yang disirami sinar matahari begitu memukau dan sayang untuk dilewatkan. Sekonyong-konyong, gerimis turun saat makan pagi itu. Kami panik mencari tempat bernaung. Dan akhirnya aku menyingkir ke meja yang sama tempat Abun sedang bersantap. Pilihan menunya cukup berat, berupa roti, crackers, daging, mentega dan lainnya yang terlihat sedikit menggunung. Punya saya juga menggunung, tetapi terdiri dari buah-buahan segar dan kering, salad, dan sejenisnya. Begitu ‘tamaknya’ saya dengan buah sampai saya sisihkan 3-4 buah berupa pir, jeruk dan apel untuk dimakan saat siang.
Berfoto dengan pose normal terlalu membosankan lalu saya memutuskan sedikit menambahkan unsur yoga dalam pose saya. Saya angkat satu kaki hingga mendekati kepala lalu tersenyum ke kamera ponsel yang dioperasikan teman lain. Setelah puas, saya kembali ke meja makan. Abun masih asyik dengan santapannya.
Ia menyaksikan saya berpose gila dari tadi dan memuji, “Hebat…kamu hebat.” Saya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya sambil masih berdiri di samping meja makan.
“Dulu istri saya juga latihan yoga lho,” ungkap Abun.
“Oh ya pak? Berapa lama? ” tanyaku antusias, menundukkan kepala sedikit siap mendengar kisah istrinya. Cerita yang keluar dari mulut seorang pewarta pasti terkesan lebih seru.
“Cukup lama. Dia latihan teratur,”ceritanya singkat. Saya mengerjapkan mata, masih mengharap kelanjutannya.
Penasaran dan tak sabar karena jeda yang aneh dan membuat kikuk ini, saya bertanya, “Istrinya kerja di mana, pak?”
Raut muka Abun pun mendadak serius. Saya ikut tegang. “Istri saya sudah meninggal,” katanya mengenang peristiwa kematian alm. Anita bulan Maret 2009. Jika saya tak salah ingat perkataan Abun, almarhumah istrinya meninggal karena keganasan kanker ovarium yang sudah menjalar ke berbagai organ tubuh lain.
Kuberanikan diri bertanya,”Apakah karena (faktor) keturunan, pak?”
“Tidak juga. Tidak ada anggota keluarganya yang begitu setahu saya,” jawabnya.
Pandangan matanya kosong. Jiwanya seperti terserap ke alam lain. Kedua bola matanya diam, tetapi tidak mengamati secara khusus apapun yang terhampar di depannya. Sungai nan bersih, pepohonan yang lebat dan hijau dan langit Singapura yang bersih dan cerah di depannya seperti tak sanggup menghiburnya. Pun makanan lezat yang baru saja ia telan dan sebagian masih tersisa di piring lebarnya. Mulutnya berhenti mengunyah.
Saya cuma bisa berdiri di depannya, mengamatinya. Gamang untuk berkata-kata. Saya tak mau salah ucap.
Waktu serasa berhenti, sampai ia kembali berucap, “Orangnya baik sekali…”
Saya tetap berdiri tegak dan diam mempertahankan ekspresi muka netral tetapi tetap simpatik padahal sebenarnya emosi mulai bergetar dan runtuh di dalam. Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan kalau sampai Abun terisak-isak di sini? Dan yang tak kalah penting, bagaimana kalau saya juga larut dan ikut mengharu biru di depan sejumlah pengunjung hotel yang masih makan pagi? Ah, siapa peduli! Mungkin itu tak lebih penting daripada menemani dan mendengarkan apa yang ingin ia curahkan.
Ingin memeluknya atau sekadar menjabat tangan besarnya itu. Saya takut baginya itu terlalu overacting. Di saat kritis seperti ini saya agak membenci diri saya yang bahkan begitu pemikir dan banyak pertimbangan. Saya bukan orang yang terlalu ekspresif dan spontan. Apalagi kami baru beberapa hari mengenal.
Pembicaraan kami berhenti begitu saja. Pelayan hotel mengumumkan ditutupnya buffet beberapa menit lagi dan semua harus dibereskan. Gerimis berhenti. Namun awan tipis masih menggantung rendah. Entah sampai kapan. Lalu kami masuk hotel, berkemas untuk kegiatan berikutnya.
Satu kejadian lucu saat mengunjungi “Gardens by the Bay” di Singapura terjadi saat Ciputra yang terkesima dengan bentuk pohon baobab tiba-tiba menarik tangan Abun yang masih kelelahan mengitari taman buatan yang luas itu dan mengajaknya berfoto dengan latar belakang pohon langka itu. Bentuknya memang persis bentuk tubuh Abun, menggembung di bagian tengah. Kami tertawa bersama dan mengambil gambar keduanya.
Sampai di Indonesia, kami belum pernah menghubungi satu sama lain kembali. Dan baru Senin kemarin (8/3) saya dari teman kerja mengetahui kabar bahwa beliau meninggal Kamis sebelumnya (4/3). Siapa yang tak kaget?
Selamat jalan Pak Abun Sanda. Semoga semua kerabat dan teman yang kautinggalkan tabah terutama kedua anakmu yang sudah jadi yatim piatu di usia belia.
Blogger dan jurnalis itu laksana kurir, pembawa berita.
Apa yang akan saya jelaskan di tulisan ini adalah apa yang saya pelajari di newsu.org, sebuah situs yang menyediakan pembelajaran online terutama yang terkait dengan jurnalisme (karena saya merasa ketrampilan jurnalisme saya masih minim). Sebagian kursus online di situs ini diberikan secara cuma-cuma dan ada yang berbayar. Untuk satu kelas webinar (web seminar), tarifnya dipatok sekitar 25 dollar. I can’t afford, sorry. Even if I can, I have no credit card, the end of the story.
Untuk bagian pertama saya akan ringkaskan langkah pertama dalam kelas “Five Steps to Multimedia Storytelling 2012“. Saya pikir ini akan memperkaya ketrampilan kita sebagai blogger dan jurnalis warga (citizen journalists). Dan meski bagi Anda yang tidak begitu tertarik pada dunia tulis menulis, manfaatnya pasti ada.
Pertama-tama, kita harus bersiap memilih bahan cerita/ kisah yang akan disuguhkan pada pembaca atau audiens. Kisah multimedia terbaik ialah yang multidimensional. Bahan-bahan ini bisa berupa tindakan (untuk video), sebuah proses yang bisa digambarkan dengan grafik (misalnya bagaimana sesuatu dilakukan atau terjadi), kalimat-kalimat yang memiliki pesan kuat (untuk video dan audio), dan/ atau emosi yang kuat (untuk foto dan audio).Semua ini menggunakan kelebihan dari setiap medium untuk menceritakan kisah yang menarik audiens.
Kisah-kisah multimedia ini juga bisa bersifat tidak linier. Kita dapat melibatkan pembaca dengan membiarkan mereka memilih unsur mana yang ingin dibaca dan kapan mereka bisa membacanya.
Saat memilih kisah yang akan disajikan, kita harus mengingat semua karakteristik di atas. Hindari berpikir bahwa semua bagian harus urut secara kronologis. Alih-alih berpikir linier seperti itu, kita coba untuk berpikir “bagian ini” dan “bagian itu”. Lalu pertimbangkan media apa yang akan digunakan untuk menyampaikan kisah itu pada audiens.
Kisah yang disampaikan disampaikan secara bebas, maksudnya kita sebagai blogger/ jurnalis tidak perlu mengendalikan atau menentukan urutan menikmati kisah tersebut. Biarkan mereka merdeka, menentukan cara menikmatinya sendiri.
Kumpulkan Informasi Awal
Sebelum terjun ke lapangan, kumpulkan sebanyak mungkin informasi untuk mengisi kisah yang lebih luas lingkupnya, sebuah garis besar kisah yang mendasari berbagai kemungkinan multimedia. Ini berarti kita bisa melakukan wawancara awal dengan sumber, mendapatkan ide dasar mengenai apa yang menjadi ekspektasi saat di lapangan, dan mencari sumber-sumber apapun yang sudah ia terbitkan di berbagai kanal dan media, baik offline dan online. Kumpulkan bahan-bahan visual yang menarik: foto, video, peta dan grafik. Semua ini bisa didapatkan dari sumber yang bersangkutan secara langsung atau dari web untuk mendapatkan ide mengenai unsur-unsur kisah yang berpotensi untuk diangkat. Cermatilah kisah-kisah sebelumnya mengenai topik yang akan dibuat dalam bentuk cetak, video, radio atau web.