Penggusuran “Massal, Masif, Terstruktur dan Sistematis, Namun Halus” di Jakarta

‎Terdengar agak bombastis tetapi begitulah adanya. Warga Jakarta yang memiliki tanah di kawasan-kawasan strategis semacam Karet Kuningan, Kebon Jeruk, dan sebagainya saat ini sedang menghadapi ancaman tergusur dari lahan dan tempat bernaung mereka sendiri.

Adalah X, sebut saja begitu, harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang jumlahnya meningkat secara progresif hingga jumlahnya ratusan juta per tahun. Pajak untuk bangunan dan lahan rumah yang ia tempati bersama saudara-saudaranya itu, menurut sumber Y, mencapai angka ratusan juta per tahun. Tempat tinggal X ini berlokasi di kawasan Kebon Jeruk, dekat daerah perkantoran strategis.

Gila memang. Tidak heran isu gelembung properti (property bubble) dihembuskan ‎di sana-sini. Karena pengingkatan harga jualnya sangat cepat dan gila-gilaan. Tidak ada yang bisa mengejar kenaikan harga properti ini kecuali mereka yang juga penghasilannya naik setiap tahun secara progresif.

Lain lagi dengan sumber Y yang mencari nafkah dengan berdagang di Tanah Abang dan berbisnis rumah kos di kawasan Karet Kuningan yang disesaki pekerja-pekerja kantoran yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar yang berlokasi di sekitar Mega Kuningan, Jaksel. Walaupun tidak menanggung beban pajak sampai seberat rekannya X, Y juga mengeluhkan pertambahan pajak yang terus tidak terbendung dari tahun ke tahun. Dari pajak yang cuma beberapa ratus ribu untuk satu rumah setahun, kini bisa 3-4 juta per tahun. Akibatnya, mau tidak mau ia juga menaikkan tarif rumah kos yang ia sewakan per kamar. Tarif kamar kos dinaikkan Rp50.000 tiap tahun per kamarnya. Tiap ada penyewa baru, harga kamar kos terus dinaikkan ke tarif yang lebih tinggi agar biaya pemeliharaan, biaya tenaga kerja dan listrik tertutup. Khusus listrik, ia juga mengeluhkan bagaimana cepatnya tarif dasar listrik (TDL) dinaikkan PLN yang dirasa makin mencekik. Bebannya makin terasa dalam bisnis rumah kosnya karena ia harus membayar biaya listrik yang kini menjadi 3 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya.

Entah salah siapa semua ini bisa terjadi. Namun tak salah lagi. Inilah efek samping pertumbuhan sektor properti yang ‎kurang terkendali. Akhirnya rakyat juga yang terkena getahnya.

Pengusaha properti Ciputra pernah mengusulkan agar perusahaan-perusahaan besar menerapkan skema perumahan vertikal murah di tengah‎ kota bagi para karyawannya agar mereka – para pekerja – tak perlu bersusah payah menuju pinggir kota (suburbia) untuk berdomisili, yang akhirnya membuat kemacetan ibukota terus tidak terbendung. Skema ini mengharuskan pekerja merelakan gaji dipotong sekian persen untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak di dalam kota. Tapi apa mau dikata, usulannya mengambang di hadapan pemerintah.

S‎eperti kata-kata teman saya beberapa hari lalu yang selalu nyinyir tentang negeri ini, Indonesia masih terjebak di perkara-perkara yang itu-itu saja dan kerap teralihkan dari hal-hal esensial seperti urusan papan rakyatnya. Keriuhan panggung politik terus menjadi pemberitaan sampai akhirnya kita kehabisan tenaga dan pikiran saat harus mengatasi masalah yang lebih mendesak.

What I Experienced as a Voter in General Election 2014

image

It was advertised as a hassle free, time and power saving procedure. But the reality is just NOT. It is not enough just to show them my identity card or kartu tanda penduduk (KTP) or passport to be entitled to the right to vote in the legislative election today (9/4).

The KPPS Chairman of Karet Kuningan whom I met told us why passports or identity cards cannot be used to claim your right to vote. He argued that they needed more control over these non-residents so it would be easier to allocate them to any place where there are ballots left because they are second rate, additional voters as non-residents.

image

So I vote here in Jakarta for the first time in General Election this year. I have not been registered as a resident in the capital but thank God any non-residents still may participate and cast their ballots even if their origin or area of origin is not Jakarta. It says somewhere in the rules that we can vote outside our area of registration only if we get ourselves registered as a voter at a nearby general election committee.

With a catch…

image

Like each non-resident all over the country, I can only vote if there is a ballot left. If there is no ballots left in the box, I simply have to forget the idea that I will vote for the legislative candidates that I am in favor of, which I to a certain extent doubt to find out. But well, I still have to struggle as long as there’s any hope or chance open.

Last night (8/4), I failed to get ‘license to vote’ from the Karet Kuningan KPPS Chairman, South Jakarta. But this very morning, along with a friend, I at last managed to obtain the local neighborhood official letter stating I wanted and was allowed to vote at a nearby general election booth despite my non-resident status. It took me around 60 minutes to stand in line and got the license! What a day!

And here I saw young workers from various regions in Indonesia were standing in line to get the license to vote here without having to cast their ballots at home. They look young in their twenties and early thirties, just like me. And what made me cringe was they knew they had the chance to contribute positive things to the nation and country through general election. Some young generation don’t give this election a damn. They’d rather go out to enjoy one rare public holiday and ignore the opportunities to participate in the democracy festivity. This looks good and optmistic as it may seem, I know, even for me! I suddenly realize why Devi Asmarani (a journo cum yoga teacher) was trying to convince more people to vote, not to abandon their rights to vote. I thought it would take another decade for the failing country to be a superpower country just like China and the US. Now this is the time.

It might be nothing to be called substantial but this is what I can do and am willing to contribute as best as I could. Whatever happens next, only God knows.

If the general elections cannot make Indonesia a better country, I don’t know what can.

Mengapa Daerah Casablanca Jakarta Selatan Angker?

Jauh sebelum saya menghuni daerah ini, saya pernah mendengar film yang berjudul “Terowongan Casablanca” di media. Dikatakan film tersebut diangkat dari ‘urban legend’ masyarakat Jakarta. Terowongan itu sendiri benar-benar ada di ruas jalan Prof. Dr. Satrio Jakarta Selatan, yang ternyata sangat dekat dengan daerah saya tinggal saat ini.

Dengan berbekal rasa penasaran, saya melontarkan sejumlah pertanyaan bernada investigasi kepada bapak dan ibu kos. Mereka menjadi sumber yang tepercaya karena sudah sejak saya belum lahir tinggal dan mengais rupiah di daerah Karet Kuningan ini.

Dari penuturan pak kos saya yang sudah melanglang buana di ibukota sejak tahun 1970-an saat posisi gubernur dijabat oleh Ali Sadikin yang legendaris itu, diketahui bahwa dulu ada beberapa sebutan untuk area-area tertentu di Karet Kuningan dekat terowongan Casablanca tersebut. Yang sekarang ini diisi oleh ITC Kuningan dan sekitarnya termasuk Mall Ambassador bernama “Karet Komplek” dan area yang berada jauh dari ruas jalan disebut “Karet Sedikit”, mungkin karena dulu permukiman penduduk masih sangat sedikit, tidak sepadat saat ini. Dan area yang sekarang ditempati apartemen Somerset Grand Citra Mega Kuningan adalah ruas jalan kecil yang bernama “Gang Bernuk”.

Sebelum menjadi seperti sekarang, Karet Kuningan adalah pusat produksi batik yang cukup aktif. Pak kos masih ingat bagaimana ia bekerja setiap hari di pabrik pembuatan batik cap dengan menggunakan trolley dengan muatan 50-60 kodi kain batik cap, lalu mendorongnya dengan seorang teman kerja ke gang Genteng Ijo.

Kemudian saya bertanya pada mereka,”Apakah di sini daerah yang dulunya banyak pekuburan?” Ibu kos yang juga sudah lama tinggal di daerah ini sebelum saya lahir pun mengiyakan. “Termasuk kantor lama saya yang banyak pohonnya itu?”saya bertanya lebih spesifik. Ia mengangguk.

Pantas saja…

Bahkan di dekat tempat kami tinggal pun ada sepetak tanah yang dulunya adalah makam. “Itu rumahnya mbak X (sambil menunjuk ke salah satu rumah tetangga)dulunya juga makam,”katanya. “Makam apa? Makam Belanda, makam China?”cerocos saya, tidak sabar menelisik masa lalu. “Enggak, makam orang biasa aja,”tukasnya. Apa yang ia maksud dengan ‘orang biasa’ saya pun tidak terlalu jelas. Mungkin artinya orang pribumi muslim.

Di area berdirinya ITC Kuningan dan Carrefour saat ini, kata ibu kos, dulu dipenuhi tempat produksi konveksi. Dan saat proses pembangunan pondasi (paku bumi), sejumlah pekerja menjadi korban. Mereka terisap lumpur, menurut ibu kos. “Daerah itu kan dulunya rawa. Mega Kuningan itu semua rawa-rawa dulunya,”tandas bu kos.

Sementara itu, jalan Karet Pedurenan dulu dipenuhi dengan kali dan pabrik-pabrik konveksi yang kemudian digusur, karena dianggap mencemari lingkungan. Apa yang saya anggap sebagai saluran air buatan manusia yang terbentang dari gang Blumbang sampai ke bagian belakang kos saya itu ternyata menurut bu kos adalah kali kecil yang mengalir sampai aliran sungai yang lebih besar dan dalam di dekat Siloam Hospital dan di belakang bangunan Sampoerna Strategic Jakarta.

Hipotesis saya terverifikasi sudah. Setidaknya secara historis. Secara empiris, juga sudah banyak pengalaman misterius di sini. Secara ilmiah? Itu yang belum dan mungkin juga tidak perlu dilakukan karena sia-sia saja.

Makanya hati-hati kalau di sini!

Potret anak-anak Jakarta marginal: Saat bermain jadi kemewahan

Sore ini saya luangkan waktu sedikit bersantai. Cuaca gerimis, angin lumayan kencang. Membaca buku “Eat Pray Love” di teras atas kos mungkin mengasyikkan, kata saya dalam hati. Dan saya ikuti saja. Jarang bisa nikmati waktu santai yang amat berharga ini.

Setelah menyantap buah rambutan dan manggis yang cukup masam tadi, kini giliran makan berat: ikan lele goreng, nasi hitam dan oseng kecipir. Bukan makanan kegemaran tetapi saya coba melahapnya.

Dan tiba-tiba dari bawah terdengar suara berisik. Sekumpulan anak laki-laki bermain di lorong gang depan kos, tepat di bawah teras atas di mana saya menikmati waktu luang.

Mereka inilah ‘musuh’ para penduduk kos dan depan kos. Bisa dibayangkan sekelompok anak laki-laki ini (ini belum ditambah anak-anak perempuan yang suka main ‘mini sinetron’).

Saya pernah mendengar mereka dimaki-maki penjual toko kelontong di depan kos yang kesal karena riuh rendah yang ditimbulkan saat bermain. Saya pernah mendengar ibu kos saya menyiram air bekas cucian dari teras atas agar mereka pindah tempat bermain. Saya pernah juga mendengar bapak kos turun ke bawah demi membentak mereka agar enyah karena penghuni kos terganggu. Belum lagi gangguan tiap saat dari pengendara sepeda motor yang lewat.

Toh mereka kembali, dan kembali lagi. Seakan tak pernah jera, malu apalagi sungkan.

Saya? Bagaimana dengan reaksi saya saat mereka berteriak seperti itu di waktu saat saya seharusnya bisa rileks, tidur siang dengan nyenyak?

Reaksi awal saya juga sama. Saya mau menghakimi mereka sebagai anak nakal, tak tahu aturan tetapi sejurus kemudian, saya berpikir. Kenapa mereka ini bermain di sini?

Pedagang toko kelontong, ibu kos, bapak, penghuni kos dan semua pembenci anak-anak ini mungkin lupa. Daerah bernama Karet Kuningan ini tak memiliki sarana atau setidaknya sebidang lahan terbuka untuk tampung anak-anak ini. Semua penuh dengan bangunan. Bahkan di atas selokan pun didirikan kamar hunian, dengan biaya sewa 100-200 ribu per bulan.

Inilah kompleksitas kehidupan anak-anak di Jakarta.

Suatu ketika saya bertemu dan berbincang santai dengan seseorang yang membeli kopi Starbucks seperti membeli satu piece permen rasa kopi eceran di toko mungil di depan kos. Dengan terang-terangan, dia menyatakan bagaimana ia biasa membawa istri dan anak-anaknya ke mall untuk bisa sekaligus menemui kolega atau klien di sana. “Saya suruh anak-anak main di arena bermain, saya temui klien. Gampang kan,” begitu kurang lebih inti pernyataannya yang bisa saya tangkap. Saya meringis. Ini ironis.

Jadi sekarang tempat bermain anak-anak pun mulai bergeser ke mall?? Boleh saja, asal orang tuanya bisa membayar. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang orang tuanya tinggal mengontrak rumah petak di gang sempit seperti mereka yang bermain di sekitar kos saya ini? Apakah mereka harus terus bermain di gang-gang sempit untuk bisa sekadar berlarian, petak umpet, dan sebagainya?

Mengerikan memang. Hak-hak anak untuk bermain pun ikut terampas oleh ‘kemajuan jaman’.

image
Anak-anak ini tanpa sadar berlatih handstand. Bedanya, mereka lebih menikmati daripada peserta dewasa di kelas yoga eksklusif.