Ambivalensi Pria Indonesia, Tariq dan Fogging Gratis

Film kekerasan seksual yang ditulis pelaku kekerasan seksual. [Wikimedia Commons]

BEGITU selesai menonton film “Penyalin Cahaya” (2019) saya langsung mengetik tulisan bernada komentar ini karena saking gatalnya. Meski secara umum saya bisa katakan film ini cukup mencerminkan kenyataan penanganan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus, ada beberapa hal yang mengundang komentar dari saya.

Saya yakin sudah banyak orang yang menonton film satu ini karena hype atau keriuhan pemberitaannya sudah dari lama. Saya sendiri bukan movie goer yang menderita sindrom FOMO, yang merasa harus menonton sebelum yang lain karena takut dianggap ketinggalan. Kalau saya sih ketinggalan ya ketinggalan saja. Santai.

Terus terang saat memasuki adegan penghapusan hak beasiswa Sur akibat unggahan foto-foto mabuknya di media sosial itu, saya langsung berkomentar di Instagram stories saya bahwa inilah kenapa kita tak boleh mabuk-mabukan. Bang Rhoma Irama itu benar 1000%, kan? Tapi ya meski anaknya sendiri juga terjerumus di penyalahgunaan obat-obatan.. That’s beside the point.

Tapi sejurus kemudian saya menyadari bahwa reaksi itu muncul dari pikiran patriarkal saya yang tumbuh dan dididik di lingkungan yang mengagungkan sistem patriarki.

Saya sadar dengan berkomentar demikian ternyata saya tak berpihak pada Sur yang jadi korban pelecehan seksual di sini. Saya malah menyalahkan Sur dengan berfokus pada asumsi “coba kalau Sur nggak mabuk atau menolak minum alkohol, pasti dia nggak bakal tertimpa kejadian tragis kayak gini…”

Di sini saya menyadari bahwa saya masih memiliki pola pikir konservatif, bahwa minum miras setitik pun terlarang karena ada akibat buruknya bagi diri kita dan keluarga dan orang lain (bisa lihat kasus Gaga Muhammad).

Tapi untuk itu saya tak perlu meminta maaf sepertinya karena memang itulah keyakinan saya. Kalau di kitab suci dilarang, pastilah ada kerugian yang lebih besar daripada manfaat di balik sebuah benda terlarang tadi.

Namun, di sisi lain saya juga tak setuju dengan representasi konservatif di film itu yakni bapaknya si Sur yang memang relijius tapi kok tidak ada empati dan kasih sayang sama sekali buat anaknya. Ia terkesan cuek dan tak membela anak kandungnya sama sekali. Ia tampak tak punya tanggung jawab keuangan karena ibunya Sur yang menjalankan warung makan dan dia-lah yang pertama mengeluh saat tahu beasiswa Sur dicabut.

Representasi konservatif lainnya yang membuat jengkel ialah bapak dewan etika yang menjadi tempat Sur memberikan dokumen bukti pelecehan seksual. Lha dewan etika kok malah tak punya etika, menyebarkan dokumen amanah orang yang harusnya dijaga ketat?

Tapi di samping secuil pola pikir konservatif dan patriarkis tadi, saya juga memiliki keberpihakan pada Sur sebagai korban. Saya juga pernah jadi korban perundungan senior kampus dan itulah kenapa saya bisa memahami kemarahan Sur yang ingin menyelidiki kasus ini sampai tuntas benar meski akhirnya… [no spoiler sorry].

Saya juga ingin ada perubahan di budaya masyarakat dan kampus kita yang dari zaman dulu sudah kental senioritas. Dan ini payahnya kok tak berkesudahan meski sudah digembar-gemborkan aturan anti perundungan di lingkungan kampus. Dengan begitu saya termasuk punya pandangan yang progresif, liberal, dan terbuka juga sebenarnya.

Saya malah curiga apakah saya menderita “ambivalensi”. Menurut KBBI, kata ini artinya “perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama.”

Tapi seketika itu juga saya sadar bahwa ini jugalah yang korban-korban juga bisa rasakan terhadap para peleceh mereka. Peleceh ini bukan orang yang sepenuhnya jahat. Sering mereka adalah sosok ‘pengayom’ di sekitar kita. Mereka bisa baik, dermawan, penuh kharisma seperti Rama. Tapi mereka juga merusak, memperlakukan dengan hina, meludahi martabat korban. Sangat kompleks.

Lain kalau mereka tokoh antagonis sinetron Indonesia yang simpel: kalau jahat ya jahat banget dan kalau baik ya baik banget. Itu sih lebih mudah untuk menghakimi tapi sayangnya di dunia nyata tak begitu.

Dan saya curiga apakah pria-pria di Indonesia yang menonton ini juga merasakan ambivalensi ini atau mereka pura-pura tak mengalaminya?

Ambivalensi ini juga tecermin nyata dari terkuaknya rekam jejak Henricus Pria, penulis naskah film ini. Beberapa waktu lalu ia dikabarkan tersandung skandal pelecehan seksual juga. Bayangkan syoknya jadi cewek korban pelecehan seksual yang suka film ini karena sudah bisa menyuarakan aspirasi mereka tapi juga jadi eneg dan geram karena film ini dihasilkan dari otak seorang pelaku pelecehan seksual. Inilah ambivalensi yang saya maksud itu!

Lalu soal tokoh Tariq yang kelihatan seperti Alpha Male di sini tapi ternyata juga budak Alpha Male lain. Kenapa ia tak mau menuliskan kisahnya di selembar kertas atau menyuarakan itu lebih lantang? Bahkan saat korban perempuan lainnya dengan berani bersuara, ia cuma menyebarkan salinan luka sayatan di pergelangan tangannya.

Lho kok cuma segitu? Jelas dia masih setengah hati dalam membeberkan kisahnya sebagai kaum minoritas di semesta pelecehan seksual yang populasinya didominasi perempuan. Mungkin saja ia merasa minder dan tertekan lebih berat karena statusnya sebagai pria (tapi kena tindas pria lain yang lebih berkuasa dalam grupnya) dan sebagai pasien dengan kondisi kejiwaan tertentu.

Tariq juga menjadi cerminan pertemanan cowok zaman sekarang yang mungkin sekilas mirip keluarga. Tapi hanya karena saling menyapa “bro”, bukan berarti juga semua masalah pribadi bakal diceritakan. Ini lain dengan cewek yang cenderung lebih terbuka soal perasaan dan beban pikirannya dengan sesamanya. Ya ini mungkin juga andil dari toxic masculinity yang mengharuskan cowok-cowok harus tampil kuat dan teguh dalam kondisi apapun.

Terakhir, pengasapan (fogging) gratis itu sangat mengganggu pikiran saya. Kenapa sih ditampilkan dengan porsi yang menyita perhatian? Apa pentingnya sih sampai sutradara memberi ruang khusus untuk pengasapan pencegahan demam berdarah ini?

Kalau saya terawang, bisa jadi upaya untuk menyelipkan sebuah pesan melalui metafora bahwa fenomena pelecehan seksual itu mirip betul dengan penyakit demam berdarah di Indonesia. Dia itu laten. Bakal selamanya ada. Fogging gratis sebanyak apapun juga mustahil memusnahkan DB selama-lamanya. Nyamuk Aedes Aegypti itu bakal terus beranak pinak sampai kiamat nanti kok saya yaqin. Dan kalau fogging ini kebanyakan dilakukan malah bisa menyesakkan dan meracuni manusianya sendiri. Nyamuknya klenger memang tapi manusianya juga. Mirip dengan pengangkatan isu kekerasan seksual ini sebagai wacana atau diskursus di mana-mana tapi malah kita lupa di dunia nyata, penanganannya tak ada kemajuan. Buktinya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tak kunjung disahkan sampai detik ini.

Jadi, kok naif sekali ya kalau kita berpikir bahwa suatu saat pelecehan seksual sirna 100% dari Indonesia bahkan dunia. Cuma, yang bisa kita lakukan memang terus berjuang menegakkan keadilan untuk para korban pelecehan dan kekerasan seksual tanpa memandang gender dan hal lainnya bahwa ini tak semestinya terjadi karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan juga agama (kan katanya bangsa ini super relijius!). (*/)