Sopir ojol (ojek online) saya kali ini memiliki pembawaan tenang. Dan saat saya suruh berputar di titik yang tidak ada rambu-rambunya, ia dengan penuh keyakinan menolak.
Wow, keren! Pikir saya.
Tetapi itu semua ada alasannya.
“Sekarang miris, mas. Kalau ketahuan melanggar bisa diaduin ke [sebut perusahaan pemberi kerja]. Plat nomor langsung dikirim ke perusahaan dan kita dipecat jadi pengemudi,” kata sopir saya ini.
“Oh ya?” Saya pura-pura antusias.
Ia mengimbuhi: Temannya baru saja mendapati dirinya menjadi korban pengaduan polisi. Entah apa pelanggarannya, ia tahu-tahu diberi suspensi atau hukuman sehingga tidak bisa bekerja alias ‘narik’ selama 3 hari berturut-turut. Alhasil, ia tak bisa memberi nafkah keluarga.
“Sekarang sadis, mas. Perusahaan makin agresif pecat sopirnya yang dianggap ‘nakal’. Berulah dikit, langgar dikit, langsung kena skorsing. Kalau masih kena lagi, langsung dipecat tanpa ampun!” keluhnya lepas.
Pahit memang hidup sebagai orang kecil di Jakarta yang begini ganas persaingannya.
Tetapi di sisi lain, ia juga membenarkan bahwa tampaknya perusahaan hanya ingin mempertahankan pengemudi-pengemudi yang berperilaku baik di jajaran mereka. Dan sebagai ganjarannya, jika pengemudi ini taat berlalu lintas, mereka akan dilindungi dengan asuransi.
“Seratus dua puluh juta rupiah kalau ada kecelakaan yang menimpa pengemudinya sekarang, mas. Penumpang juga dapat,” terangnya.
Makanya, ia kini sering merasa deg-degan jika ketemu polisi dan bahkan petugas DLLAJR dan pria berseragam yang mengatur lalin. Jika macam-macam, plat nomornya bisa difoto dan langsung dikirim ke perusahaan yang mempekerjakannya. Tamat riwayatnya sebagai pengemudi sebab aib itu akan juga diketahui perusahaan ojek online pesaing dan ia tak akan bisa mengemudi lagi sebagai sopir ojol di manapun.
Beberapa waktu lalu, lanjutnya, ada seorang wanita yang mengklaim asuransi tadi. “Ia kecelakaan, mas. Kakinya kelindes truk. Cacat deh seumur hidup! Terus mau klaim asuransi. Tapi nggak bisa,” tuturnya perih.
Cerita lengkapnya begini: Si perempuan mengemudikan kendaraan ojol di suami yang sedang sakit. Sudah dibilang tidak boleh tapi bersikeras. Di tengah jalan, ia mengemudi dan kaget serta kehilangan keseimbangan karena tidak menyangka ada lubang besar menganga di depan. Sejurus kemudian, ia tersungkur di bawah truk dan kakinya terlindas. Habis sudah!
“Masih hidup pak sampai sekarang?” tanya saya miris. Saya memiliki pengalaman buruk dengan kecelakaan lalin seperti ini. Saya pernah jadi korban juga.
“Masih. Mana anaknya masih kecil lagi. Makanya sekarang ia hidup mengenaskan. Sudah cacat, tidak bisa ke mana-mana, dan …yah gitu deh,” tambahnya dengan detail yang lebih mengiris hati.
Perusahaan mungkin terasa kejam di mata mereka tetapi bagi saya ini memang ada benarnya juga. Secara bertahap, kita memang harus mendukung berbagai upaya dari semua pihak yang berkepentingan untuk menjaga perilaku berlalu lintas di jalan raya. Meski itu awalnya terkesan sadis dan tidak tahu rasa kemanusiaan.
Masih mau melanggar aturan?
Makanya sebagai penumpang, kita juga harus mulai menghindari kelakuan minus yang menyarankan pengemudi untuk melanggar aturan lalin. Apalagi mengebut!
“Kebanyakan penumpang cewek tuh yang suka nyuruh saya ngebut. Takut telat ke kantor. Lha kenapa nggak berangkat lebih pagi aja?” pungkas sopir ojol ini lagi.
Yah, mungkin niatnya berangkat pagi tapi karena kelamaan mandi dan merias diri, eh tahu-tahu sudah hampir masuk jam kerja. Maklum saja ya, pak… (*/)