Dilema Pengguna Teknologi: Antara Konsumerisme dan Keamanan Siber

TIGA tahun lalu saya beli smartwatch Garmin. Seperti arloji pintar lain yang mulai aus baterainya, begitu pun milik saya.

Karena saya sudah merasakan penurunan kapasitas baterainya yang signifikan, saya pun jarang memakainya. Bayangkan saja sudah cas 2 jam, dipakai 4-5 jam sudah modyar. Capek ngecasnya aja kan? Buang listrik aja.

Biasanya sih saya pakai kalau mau olahraga buat mengukur detak jantung atau kalori yang dibakar. Tapi karena sekarang sudah soak begini, ya sudahlah saya pensiunkan pelan-pelan.

Saya jadi ingin mengganti baterainya dan mengirimkan email pertanyaan ke alamat service.id@garmin.com dan inilah jawabannya:

Dear Bpk/Ibu Akhlis,

Mohon maaf sebelumnya, berikut kami informasikan bahwa produk ini sudah tidak diproduksi pada tahun 2018 dan berhenti menerima reparasi pada tahun 2020.

Mohon maaf sekali lagi, perangkat Anda dengan tipe Vivosmart HR+ sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Terima kasih telah menghubungi Garmin melalui jasa layanan e-mail.

Tim Layanan Garmin berterima kasih atas partisipasi Anda

Silahkan hubungi kami kembali apabila ada pertanyaan lain.

Terima Kasih!

Terima kasih telah memilih Garmin

Jennifer Tseng

Layanan Produk

Garmin APAC Customer Service

Kaget dong saya sebagai konsumen. Masak sih secepat itu lifecycle sebuah produk smartwatch? Cuma 2 tahun?? Serius?

Demi kenyamanan dalam mengukur detak jantung, jarak yang ditempuh, jumlah langkah kaki dan anak tangga yang sudah dilewati?

Otomatis saya memandang smartwatch saya dengan lesu. Masih bagus gini fisiknya sudah nggak bisa dipakai lagi?

Dengan jutaan kasus seperti ini, bagaimana tidak volume sampah elektronik kita menggunung dari tahun ke tahun??

Tangkapan layar Instagram saya

Belum pulih benar saya dari insiden smartwatch Garmin yang sudah dicap kuno dalam waktu kurang dari 3 tahun ini, saya kemarin malam diberitahu Apple bahwa MacBook Air milik saya yang keluaran awal tahun 2014 sudah tak bisa lagi mendapatkan sistem operasi versi terbaru mereka: Monterey.

Tapi tentu Apple tidak seperti Garmin yang baru 2 tahun sudah menghentikan layanan. Mengingat harganya yang juga hampir 7 kali lipat dari gawai Garmin ini, saya sih berharap masih bisa menggunakan laptop MacBook Air 2014 ini sampai 10 tahun. Pokoknya sampai benar-benar bobrok dan tak bisa dioperasikan lagi.

Soal dukungan dan layanan purnajual produk-produk teknologi semacam ini, saya sempat berdiskusi dengan seorang teman juga yang sedang mempertimbangkan mengganti laptop Asus Vivobooknya dengan yang baru dan lebih bertenaga.

Ia masih ragu apakah membeli MacBook yang berprosesor M1 tapi memiliki layanan purnajual yang buruk dan durasi garansi yang cuma 1 tahun dari iBox sebagai distributor resmi (dan kalaupun ada servisnya ya harganya bisa selangit jadi mending beli baru aja haha) atau pilih laptop Windows keluaran Dell atau Lenovo.

Dell karena menurutnya garansi laptop ini bisa sampai 3 tahun. Bahkan sampai 5 tahun kalau mau membeli garansi ekstranya.

Sementara Lenovo juga terkenal dengan sensasi penggunaan keyboard yang tiada duanya, nyaman sekali. Maklum mereka berpengalaman membuat laptop IBM yang identik dengan laptop bisnis yang tangguh dan tahan lama serta bandel saat dipakai lembur. Durasi garansi mereka juga sama kok seperti Apple, cuma 12 bulan.

Tapi dari riwayat brand Lenovo dan masih banyaknya beredar di marketplace laptop jenis secondhand Lenovo seri lama yang ternyata masih bisa dipakai sampai tahun 2022 ini, saya bisa katakan Lenovo juga sebetulnya bisa dipakai sampai satu dekade lebih kalau kita pintar mengoprek dan mengutak-atik.

Nah, masalahnya saya bukan tipe orang yang paham hacking hardware komputer kayak gini. Maunya yang praktis aja lah, nggak mau mikir repotnya, beli antivirus atau stres karena data dan file sirna kena ulah virus. Ini sesuatu yang traumatis dan saya tak mau alami lagi. Makanya saya ‘cerai’ dari segala produk Windows.

Sempat seorang teman berkeluh-kesah juga pada saya: “Gila itu Apple ‘jahat’ banget lho. iPad aja baru berapa taun udah harus ganti karena aplikasi-aplikasi sekarang nggak bisa dijalanin di situ lagi. Akhirnya terpaksa beli baru deh…”

Kata “jahat” ini memang agak kurang enak tapi bagaimana ya, memang dari sisi konsumen, kita kan beli produk elektronik maunya ya supaya bisa dipakai selama mungkin tapi apa daya perkembangan teknologi juga sangat pesat. Produk sekarang jadi tak sanggup mengakomodasi perkembangan yang terkini. Begitulah jadinya, mesti ganti barang baru lagi saban beberapa tahun. Yang hasilnya juga volume sampah elektronik menumpuk parah di negara kita yang masih payah banget banget manajemen sampah elektroniknya. Jangankan pengelolaan sampah elektronik, smapah rumah tangga saja masih keteteran. Plastik dibuang di sungai dan laut. Hadeh!

Tapi kalau dipikir lagi dari sisi produsen juga memang harus ada pergantian supaya mereka juga bisa cuan terus lah. Kalau sekali beli terus produknya tahan seumur hidup, wah bagaimana bisa meningkatkan angka penjualan??

Dan dari level harga juga, kalau memang harga lebih mahal seharusnya lifecycle-nya juga lebih lama. Misalnya katakanlah laptop 2 jutaan saja bisa dipakai sampai 5 tahun, laptop 10 jutaan seharusnya ya lebih lama dari itu. Tapi sayangnya kenyataanya tidak demikian. Ongkos ekstra itu kita bayar demi mendapatkan kenyamanan ekstra juga seperti prestise (dari memakai brand yang bernilai tinggi), atau keamanan siber yang memang tak kasat mata dan belum dianggap penting semua orang di Indonesia.

Faktor keamanan siber inilah yang saya anggap makin penting bagi konsumen dan pengguna laptop apapun mereknya. Kenapa? Karena insiden peretasan makin sering dan bisa menimpa siapa saja. Bukan cuma orang kaya atau terkenal. Kita yang jelata dan bukan siapa-siapa juga bisa jadi korban kalau lalai dengan data pribadi kita sendiri.

Saya terkesan rewel dengan berhentinya dukungan pembaruan sistem operasi dari Apple untuk MacBook Air saya ini karena saat sistem operasi laptop atau ponsel atau produk teknologi apapun yang kita pakai itu sudah dihentikan dari pihak produsennya, otomatis kita akan kehilangan perlindungan dari risiko peretasan. Ibaratnya serangan hackers dan virus itu makin hebat kayak coronavirus. Variannya makin lama makin tak terhitung dan agar kita aman tentu saja haruslah kita pakai software terbaru yang sudah diperbaiki dan ditutup celah-celah keamanannya. Software dan sistem operasi lama lebih rentan terhadap hackers karena pastinya mereka sudah tahu celah-celah keamanan yang bisa dimanfaatkan. Tapi di software dan sistem operasi terbaru, semua celah sudah ditambal.

Nah, kita dalam kurang dari 2 tahun saja sudah harus suntik vaksin booster supaya lebih kuat dalam menahan serangan varian baru seperti Delta, Omicron, dan entah apalagi itu nanti yang keluar. Bayangkan jika itu laptop dan ponsel Anda yang dipakai untuk bekerja, mencari nafkah, berkomunikasi secara privat, bertransaksi keuangan. Jika privasi dibobol, data pribadi di laptop dan ponsel kita diumbar dan duit yang kita simpan di bank ditarik hacker ke rekening lain, kita bakal susah mendapatkan kembali semua privasi dan aset tadi (kalau dibilang tak mungkin sama sekali).

Jadi, mau mengutamakan keamanan siber (yang artinya harus beli baru segera) atau menghemat saja meski keamanan sudah menurun?

Akhirnya semua ini kembali ke isi saldo rekening masing-masing. Chuaksss! (*/)