“Maybe Tomorrow”: Pengen Bunuh Diri Karena Pandemi? Mungkin Kamu Butuh Nonton Film Ini

LEBARAN yang penuh suasana desperate lagi tahun ini memang sangat menyesakkan ya. Terutama bagi kaum penganut mudik garis keras. Belum lebaran, kalau belum mudik tatap muka.

Sampai-sampai menteri pun sambat di singgasana gadingnya: “Heh jangan kan elu semua ye, eug aje silaturahim onlen juga kok. Udah dua lebaran ini! Udah deh jangan sok-sokan mudik ke kampung…”

Ya bu menteri siy enak, onlen sitaturahimnya pake wifi kenceng, gejet terkini, lha kita yang jelata ini megap-megap kalo ngomong di video call. Mau voice note aja kok ya nggak keliatan muka. Mau kirim-kiriman e-card kok ya, lama-lama mata pegel, jempol kram buat forward-forward ke orang se-WhatsApp. Kesel kan?

Karena itulah, eug mau menghabiskan waktu dengan lebih produktif (whatever that means).

Karena nggak langganan Netflix, Viu, dan layanan kayak gitu (ceritanya lagi bokek, pelit aja ding), ya udah ke Tubitv aja yang gretongan.

Eh setelah ngubek-ngubek kok nemu satu film yang bagus.

Temanya desperation gitu. Putus asa.

[SPOILER ALERT. Buat yang nggak suka dibocorin plotnya, jangan terusin baca ya.]

Dua karakternya remaja cowok dan cewek Perancis yang ketemu online buat merencanakan kapan mereka bisa bunuh diri bareng. Mereka chat intens. Belum membuka jati diri sih tapi udah tuker-tukeran gambar (kebetulan si cowok suka sketching dan si cewek suka menulis).

Si karakter cowok ini tipikal korban perisakan di sekolah. Dia itu nerd, berkacamata, anak rumahan, suka main gim komputer, nonton film porno, nggak demen olahraga jadi pas diajak si cewek mendaki gunung kepayahan gitu. Kasihan.

Sementara itu, si anak cewek ditelantarin ayah kandungnya dan memilih tebing di pedalaman Swiss sebagai tempatnya akan bunuh diri karena ayahnya pernah mengajaknya ke sana. Ia ke sana secara teratur berharap ayahnya ada di sana dan bertemu lagi tapi kok ya nggak nemu-nemu. Jadi, ini semacam keputusasaan dirinya dalam menemukan sang ayahanda yang bisa-bisanya menelantarkan dirinya. “Salah aku apa sih?” gumam dia.

Si cewek yang namanya Sarah ini karena kepahitan hidupnya juga menerima perundungan dari pria-pria di sekolahnya. Ia dikatai jelek (padahal ya nggak juga sih, dibanding Kekeyi aja dia masih lebih wow kok). Cuma memang Sarah ini suka ketus, sinis dan dingin, bahkan sama si Philip kenalan baru di internet itu.

Sementara itu, Philip ini cowok yang merasa dirinya lemah. Ia sejak dulu dirundung di sekolah dan bahkan guru-gurunya tak berbuat apapun untuk melindunginya. Seolah itu hal yang wajar tapi secara psikis, tindakan perundungan itu mengikis jiwa Philip. Ia jadi pribadi yang menutup diri. Ia pernah menjalani operasi usus buntu dan secara sadar ia mengorek-ngorek luka operasinya cuma agar tidak kembali ke sekolah terlalu cepat. ia tak mau kembali ke lingkungan yang membuatnya tersiksa secara batin.

Keduanya ngobrol-ngobrol santai malam harinya. Tapi obrolan santai itu merembet ke masalah-masalah filosofis dan eksistensialisme manusia.

Philip melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang meski terdengar klise namun terus saja relevan dengan apa yang dirasakan manusia. Misalnya:

“Manusia mengejar kebahagiaan yang tak kunjung datang.”

Duh perih kan, gan?

Lalu ia mengatakan manusia mirip hamster yang lari di sebuah roda. Lelah tapi tak bisa berhenti. Tapi anehnya orang tua tetap menganjurkan anak-anak mereka berlari dalam kehidupan meski mereka sendiri tak tahu esensi berlari seperti itu untuk apa.

Philip juga mengatakan kalimat yang mengiris: “Kamu bangun dalam kondisi depresi dan tak tahu alasannya.” Tapi manusia terus menjalani hidupnya dengan harapan hidup akan membaik padahal ya tetap gitu gitu aja.

Philip juga menggugat Tuhan (atau ‘tuhan’ dia sendiri?) dengan menganggap Tuhan sedang mempermainkannya dalam sebuah maze yang di dalamnya ia berlarian menemukan jalan keluar namun tak kunjung bisa keluar karena Tuhan menurutnya memblokade semua jalan keluar itu. Ia merasa seperti tikus lab yang cuma capek mondar-mandir.

Klimaksnya ialah saat keduanya mulai merasakan kedekatan dan bisa menghibur satu sama lain tapi kemudian Sarah menuduh Philip ini tak berani bunuh diri tapi cuma ingin tidur dengannya. Lalu mereka sudah bersiap terjun ke jurang tapi Sarah malah menghentikan upaya mereka dan ingin memeriksa surat bunuh diri si Philip. Ia berdalih ingin memastikan isinya sudah pas belum agar orang tidak berspekulasi nantinya.

Eh malah akhirnya mereka sibuk membaca surat terakhir untuk orang yang nantinya mendapati jenazah mereka. Isi surat Sarah menurut Philip lebih puitis dan menyentuh hati dan koheren. Sementara ia cuma menggambar sketsa dan puisi pendek. Ia merasa kurang berbakat, begitulah Philip.

Eh, Sarah yang tadinya menuduh Philip cuma bernyali kecil malah kemakan omongannya sendiri. Entah bagaimana ia terpeleset di bibir jurang dan hampir mati kalau Philip tidak mengulurkan tangannya dan menariknya lagi ke atas.

Sekembali di atas tebing, keduanya menenangkan diri sambil terengah-engah. Ternyata memang Sarah tak siap mati. Tubuhnya menggigil masih membayangkan betapa ngerinya bergelantungan di bibir jurang sesaat sebelumnya. Ia menemukan dirinya masih ingin hidup ternyata.

Dan keduanya malah sibuk mendiskusikan isi buku sketsa Philip yang menurut Sarah mengagumkan. Sebuah bangku yang ia anggap sebagai teman namun kemudian mesti dibongkar karena ada proyek konstruksi di taman itu. lalu ada juga sketsa manusia berhubungan seks, sebuah obsesi bagi Philip yang masih perjaka dan hanya bisa membayangkan seks melalui film-film porno di internet.

Akhir film ini cukup mengecewakan sih menurut eug, karena Philip dan Sarah yang sebenarnya sudah memahami satu sama lain dan Sarah juga sudah terang-terangan memuji Philip sebagai pria yang kiyut, humoris dan cerdas, eh malah Philip yang menampik. “Ah kamu becandain aku sekarang kan?” gitu katanya. Hambar deh jadinya.

Keduanya nggak jadi bunuh diri sih tapi malah meneruskan kehidupan masing-masing. Diringkas dalam sebaris teks di akhir film, Philip kemudian menuntut ilmu di universitas, dan lulus dari jurusan seni. Sementara si Sarah menekuni ilmu psikologi. Dan sehabis dari tebing Swiss itu, mereka diceritakan tak pernah bertemu kembali. Huh, padahal kupikir mereka akan menikah dan beranak-pinak.

Tapi eug tetap menganggap film ini oke sebab bisa mengecewakan aku. Nggak menuruti logika dan selera penonton. At least masih ada kejutannya. Dan ya memang aku terkejut sih, campur kecewa.

Satu pemikiran yang boleh diingat dari film ini ialah bunuh diri mungkin bukan jalan keluar, sebab manusia sewajarnya pasti masih ada hasrat bertahan hidup seburuk apapun kehidupan yang mereka jalani. Dan mungkin bukan karena terjalnya hidup ini yang menjadikan seseorang ingin bunuh diri tetapi lebih pada bagaimana menjalani hidup sesuai dengan panggilan jiwa masing-masing. Mereka yang terus menggunakan ‘topeng’ akan selalu ingin mengakhiri hidup. Tetapi begitu jiwa mereka bebas dan bisa menjalani hidup sebagai diri sendiri dan mendapat teman yang memahami, mereka pasti akan menemukan semangat hidup kembali. Bak sebuah bunga layu yang terpercik air, mekar perlahan.

Menonton film ini disarankan banget buat yang sedang capek dengan hidup, lelah dengan kondisi yang menghimpit kayak sekarang ini.

Ini linknya ya: https://tubitv.com/movies/559346/maybe-tomorrow?start=true

Jadi buat teman-teman yang berjuang untuk menemukan tujuan untuk bertahan hidup di masa pandemi yang mencabik-cabik jiwa ini, kuy kamu bisa! (*/)

Ethical Reflections for Teachers (From “The Red Teacher”)

The movie gives me a glimpse of promise that writing can prevail even in the toughest times of our mortal lives.

What can teachers give to their students?

People would most probably answer: knowledge and wisdom.

But sometimes teachers can give their – almost – whole livelihood and future career, like Tae-nam.

Depicted as a young, faint-hearted man who happens to teach at a local small school for girls, he is not a favorite teacher among students. Instead, he won the heart of the authoritarian principal to pave a smooth way to his future career.

But things were about to change after Tae-nam found out a red book at a small bookstore. The book tells a fictitious story of a Korean general, and most importantly, the romantic affairs between his wife and a good-looking young officer that directly reported to the general.

There was not supposed to be any problems for reading the book. However, the book was banned by the government as it was assumed to humiliate the Korean leader at the time.

Tae-nam knew this and stealthily devour the book, from cover to cover and immediately got rid of that the next day.

Unbeknownst to Tae-nam, Soon-duk who was his student and had a difficulty to respect authorities at school and showed a tendency of being a rebel found the red book (it was called so as the cover was red in color) and read it, too.

Non only was the book read by Soon-duk, it was also read by the entire class.

The story escalated when the classmates could hardly wait for the next sequel of the adult novel.

Soon-duk, having a streak of literary talent in her, tried to compose her own sequel of the novel to quench her classmates’ thirst of romantic stories.

Using her late father’s typewriter, Soon-duk finished her novel and published it on her own. Copies of Soon-duk’s prose were then circulated and sold by her trusted circle of friends.

[Spoiler alert!]

The conflict arises when the principal found Soon-duk’s novel after Tae-nam accidentally threw the book out of the classroom’s window.

An investigation was then launched to discover the writer. A band of government agencies got involved in the process of investigation. They studied the copies and found that the typewriter had a certain defect on it.

Being guilt-ridden, Tae-nam helped Soon-duk hide the typewriter so she could escape the punishment: being expelled from the school.

Instead, to protect Soon-duk better, Tae-nam confessed that the typewriter belonged to him and it was he who wrote the sequel of the novel. His motif should be to save Soon-duk from the government sanction, which could make her future life even more miserable. The fact that her father used to be a suspect of the similar offense also made her position even more difficult. Once she was caught and brought to trial, her social life seemed to be over. Soon-duk would be stigmatized for the rest of her life.

No students knew this confession as Tae-nam left the school without prior notice.

Soon-duk’s life went well. She even went to university years after. And somehow she found out that Tae-nam had to work at a smaller private school with a much lower salary, making even harder for him to be confident to find a woman to marry.

But then a questions arises:

Is Tae-nam’s action an ethical one?

Though Tae-nam is described as a teacher that finally took the best decision to protect his student, ethically it is not right.

By taking the blame, Tae-nam did not allow Soon-duk to learn her lesson. The hard way of course. But at the very least, she could take charge of her own bold action of publishing such a novel.

However, Soon-duk was also unaware of the fact that the book was banned and thus whoever wrote it could be sent to prison.

In this case, Tae-nam took charge of his fault for letting Soon-duk know about the book (by not properly disposing of the book, by burning it down, for example). And it was also his fault that the principal found the copies of Soon-duk’s novel.

Socrates said: “The truly wise man will know what is right, do what is good, and therefore be happy.”

I’m wondering whether Tae-nam was happy with his own decision. But what I am sure of is that he is proud of his own bold actions for taking side with the oppressed young soul. (*/)

5 Pelajaran Hidup dari Freddie Mercury di Bohemian Rhapsody

gray metal statue of man raising hand near dock
Photo by bruce mars on Pexels.com

Sebelum menonton film biopic Freddie Mercury ini, saya cuma sepintas lalu mengenal band bernama Queen. Karena genrenya yang kurang familiar plus periode kepopuleran mereka yang jauh sebelum kesadaran musikal saya terbangun, saya terus terang kurang paham siapa saja personel band tersebut, lagu-lagu hitsnya, kehidupan mereka sebagai seniman, musisi dan pribadi.

Tentu saja karena ini jenis film biopic, kendalanya ialah ketimpangan antara film dan ‘kenyataan’ versi para pelakon peran di kehidupan nyata. Ada banyak selentingan bahwa film itu kurang pas menggambarkan Freddie. Ia bukan biang kerok bubarnya Queen karena sebelum ia merintis karier solo, sebelumnya ada juga anggota Queen lain yang sudah melakukan hal serupa. Lalu ada juga yang mengritik film ini karena dianggap melenceng dari sejarah. Untungnya semua itu bukan masalah bagi saya yang bukan penggemar berat Queen.
Tanpa ekspektasi macam-macam sejak awal, saya duduk di bioskop dan cuma mengharap adanya hiburan yang cukup layak untuk mengisi waktu senggang.

Kisah hidup Mercury ini berawal dari dirinya yang masih bekerja serabutan sambil mondar-mandir mencari posisi sebagai penyanyi profesional. Dan di dalam film, saya menemukan banyak pelajaran hidup dari jalan hidup Freddie yang tidak lazim. Berikut di antaranya.

PELAJARAN 1: “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan tapi bisa memberikannya.”
Orang kaya yang tidak bahagia memang menyedihkan. Tetapi lebih menyedihkan lagi orang miskin yang tidak bahagia. Saya sepakat dalam hal ini. Uang memang bisa membebaskan manusia dari tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Uang memberikan kita pilihan. Orang kaya dan miskin bisa saja sama-sama jalan kaki tetapi bisa saja karena si orang miskin terpaksa jalan kaki karena tak punya uang. Sementara itu, si orang kaya bisa saja naik mobil tetapi memilih berjalan karena ingin menikmati suasana, berolahraga, atau menikmati udara segar. Motifnya sudah lain sama sekali. Yang satu karena tidak ada pilihan, yang lain karena sengaja memilih. Yang satu merasa terpaksa dan berat hati, yang lain merasa rela dan senang.

PELAJARAN 2: “Saat saya mati, saya ingin diingat sebagai musisi yang punya nilai dan substansi.”
Freddie tidak berkarya hanya karena ia ingin keuntungan finansial atau ketenaran. Ia menggubah lagu agar lagu itu bisa diingat sepanjang masa. Melewati generasinya sendiri jika bisa. Dan itu terbukti.
Idealisme Freddie juga ditunjukkan dengan karakter keras kepalanya saat berhadapan dengan seorang produser musik kenamaan yang tak memahami keunikan Bohemian Rhapsody. Jadi, walaupun usianya tak bisa dikatakan panjang, hidup Freddie lumayan bermakna karena idealisme, nilai dan substansi tadi.

PELAJARAN 3: “Saya selalu tahu saya seorang bintang dan sekarang semua orang sepakat dengan itu.”
Meski sering dipanggil pemuda ‘Paki” (karena ia anak imigran Pakistan), Freddie mengetahui panggilan jiwanya dari muda, yakni menjadi penampil yang berkualitas. Ia menolak anjuran ayahnya untuk hidup selayaknya pemuda lain seumurannya yang kuliah, mengantongi gelar dan merintis karier yang bagus dan membanggakan hingga pensiun usia tua nanti. Freddie yakin ia tak dilahirkan untuk menjalani kehidupan semacam itu. Bukan berarti kehidupan berkarier semacam yang banyak dari kita jalani itu lebih buruk tetapi ia hanya yakin bahwa ia memiliki pilihan yang lebih sesuai dengan jiwanya. Dan ia tidak cuma meminta profesi idamanya itu datang kepadanya. Ia berusaha keras untuk itu.

PELAJARAN 4: “Saya hanya seorang pelacur musik.”
Di balik glamornya profesi seniman dan musisi yang ia lakoni, Freddie tahu dirinya tetap manusia biasa. Yang membuatnya luar biasa adalah optimisme dan semangatnya dalam berkarya secara maksimal dalam rentang waktu hidupnya yang relatif pendek tetapi bernas. Kehidupan sebagai rock star juga tidak membuatnya berubah kepribadian. Ia tetap tahu esensi pekerjaannya: pengamen. Ia menyanyi dan tampil untuk menyenangkan orang. Dan ia melakukan tiap pekerjaannya dengan tingkat keseriusan yang tinggi.

PELAJARAN 5: “Perbuatan yang baik, perkataan yang baik, pemikiran yang baik”
Filosofi ini didengungkan oleh ayah Freddie yang datang ke Inggris sebagai seorang kepala keluarga imigran. Sebagai seorang ayah, ia berharap Freddie bisa membanggakan dirinya dengan mengikuti jalur yang diterima oleh masyarakat kebanyakan. Tetapi Freddie bukanlah pribadi yang biasa sehingga ia tidak sanggup mengungkung dirinya dalam kehendak sang ayah dan tuntutan masyarakat. Untungnya Freddie memiliki seorang ibu yang mendukung apapun yang dilakukan anaknya. Adegan tentang Freddie yang menuju ke rumahnya untuk ‘sowan” ke orang tuanya sebelum tampil di panggung konser amal Live Aid cukup mengharukan karena di situ, Freddie akhirnya menyaksikan ayahnya luluh dan mengakui bahwa pencapaian anaknya di dunia musik memang membawa kebaikan bagi banyak orang. Freddie, seburuk apapun ia di mata diri ayahnya, memiliki dedikasi yang tidak terkira pada dunia musik dan ia menggunakan popularitasnya untuk membantu orang lain yang dekat dengannya dan bahkan yang jauh darinya seperti orang-orang di Afrika yang rentan terjangkit AIDS.

The Returning (Sebuah Ulasan Penuh Kesan)

Karena bukan jenis orang yang suka berkali-kali menonton satu film yang sama (sebagus apapun itu), akhirnya saya memutuskan menonton sebuah film yang meskipun judulnya dalam bahasa Inggris ternyata diproduksi para pelaku sineas Indonesia.

Bintang yang saya langsung kenali sudah pasti ialah Laura Basuki. Sementara itu, muka lawan mainnya yang pria kurang saya ketahui. Mungkin karena wawasan film Indonesia saya kurang banyak. Jujur, ini kali pertama saya menonton film horor produksi Indonesia setelah sekian lama. Lagi-lagi karena di jam pemutaran yang sama, saya tidak mau menonton Bohemian Rhapsody (biopic Freddie Mercury) lagi apalagi menonton film remake The Nutcracker yang klasik dan plotnya sudah tertebak. Saya berharap setidak film Indonesia ini bisa menawarkan sebuah plot yang terpilin dengan aneh dan tanpa dugaan.

Apakah film ini berhasil memenuhi ekspektasi saya tentang film dengan plot twist yang menarik?

Baca terus saja ulasan suka-suka ini.

Jadi begini ceritanya kalau saya bisa mampatkan jadi satu alinea: seorang ibu dengan dua anak mengalami tragedi dalam kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Tak disangka-sangka sang suami yang hobi bertualang mengalami kecelakaan dan tak ditemukan jasadnya. Istri yang setia itu pun syok. Hingga 3 bulan pasca menghilangnya sang suami, ia tak bisa menerima kenyataan bahwa ia itu sudah menjanda. Janda cerai mati, tepatnya. Meski jenazah suaminya belum ditemukan, tetap saja harapan itu tipis. Anaknya yang pertama mencoba mengingatkan bahwa ayahnya sudah tiada dan ibunya mulai harus melanjutkan hidup dengan menatap masa depan. Teman dekatnya juga mengatakan hal yang sama, bahwa ia harus berhenti berharap. Dan saat ia merasakan masih adanya kehadiran sang suami, justru ia disarankan menemui psikiater karena dianggap berhalusinasi dan mengalami depresi. Semua itu ditambah dengan tekanan dari ibu mertua yang meski terlihat perhatian tetapi tidak pernah menganggapnya becus mengurus anak. Kemudian entah bagaimana suami yang sudah hilang itu mengetuk pintu rumah. Tanpa ada luka dan cedera, pria itu mengisi kembali kekosongan dalam keluarga kecilnya. Semua berbahagia. Hanya saja ada satu yang mengganjal: sang suami bukan orang yang sama. Entah kenapa ada keanehan-keanehan yang menampakkan bahwa si suami ini ada sisi gelap yang tak tersembunyi. Ia ditampilkan terlihat makan berbutir-butir apel di tengah malam. Anak-anak mereka diteror sosok kelelawar raksasa yang mirip monster di pepohonan depan rumah. Istri dan anak-anak terus bergelut dengan kejutan-kejutan yang menunjukkan keanehan-keanehan dalam diri suami dan ayah ini. Kecurigaan pun muncul: apakah ia masih orang yang sama atau bukan? Ternyata memang keanehan itu bukan tanpa alasan. Pelan-pelan suaminya menemukan sebuah altar pemujaan dengan patung manusia kelelawar. Karena tak tahu altar itu milik siapa, ia mengkonfrontasi istrinya. Mengakulah sang istri bahwa di tengah kegundahan dan kerinduannya pada sang suami, ia membuat kesepakatan dengan makhluk berkekuatan gelap. Wujudnya mirip kelelawar. Seorang pria tua ternyata secara tak diundang memberikannya kitab untuk meneken perjanjian dengan siluman kelelawar agar suaminya bisa kembali. Dan sang istri, dengan penuh semangat, melakukan hal itu agar suaminya lekas kembali, agar dapat kembali hidup bersamanya dan membimbing anak-anak mereka dan menghadapi ibu mertua yang meremehkan kerja kerasnya. Singkat cerita, sang suami dan istri bersatu padu menghadapi siluman kelelawar yang menuntut tumbal. Sang istri secara licik sudah mengajukan sang ibu mertua sebagai tumbal tapi karena kalung yang dijadikan mahar itu ternyata dihadiahkan kembali ke cucunya, akhirnya diceritakan agar sang anak selamat, si istri sekaligus ibunya merebut kalung itu dan merelakan dirinya direngkuh sang siluman kelelawar ke alamnya (yang diibaratkan berada dalam tungku pemanggang tembikar). Akhirnya, sang suami tetap hidup bersama dua anaknya.

Ekspektasi saya terpenuhi. Plotnya cukup tak terduga. Saya pikir suaminya yang jelmaan setan atau manusia jadi-jadian tetapi saya salah besar. Wajar saja, karena penulis skenario dan sutradaranya mengarahkan sedemikian rupa agar ia tampak aneh, dan bukan lagi dirinya. Saya terkecoh. Apalagi di sini ditampakkan sang istri yang digambarkan sebagai karakter yang baik, kuat, tabah, dan setia. Tetapi siapa sangka ia bisa bersekutu dengan siluman demi sesuatu yang dicintainya? Dalam hal ini, saya angkat topi untuk penulis skenarionya.

Hanya saja, ada sejumlah kejanggalan logika di situ. Pertama, sang suami dikisahkan mengalami kecelakaan tapi bagaimana ia bisa kembali dengan kondisi sehat walafiat tanpa lecet sedikit pun? Tentu kritik ini bisa ditangkis dengan jawaban bahwa ia sudah diselamatkan siluman itu dari maut. Tapi kalau untuk saya, itu jawaban yang tak logis dan terlalu instan.

Kemudian bagaimana bisa pria tua pembawa kitab itu tahu bahwa si istri ini baru kehilangan suami dan begitu ingin sekali suaminya kembali ke rumah? Janggal bukan?

Kejanggalan lain ialah akting si ibu mertua alias ibu kandung si suami. Ekspresinya saat bertemu anaknya kembali setelah berbulan-bulan tak bertemu sungguh tidak wajar. Kurang ‘dapat’, istilahnya. Jangankan berbulan-bulan tak bertemu setelah anaknya dinyatakan hilang dalam kecelakaan tragis, seorang ibu tak bertemu anaknya sehari saja sudah rindu dan terus menangis. Dan menyaksikan ibu mertua ini menyuruh sang istri menerima ‘kenyataan’ bahwa suaminya sudah mati karena berbulan-bulan tak muncul itu juga aneh bin ajaib. Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal itu? Kalau ada yang seharusnya paling tidak bisa menerima dugaan kematian sang anak justru itu ialah ibu kandung. Saya curiga ini bukan ibu kandung si suami. Tetapi sang penulis skenario tampaknya tak ingin mengulik lebih dalam soal ibu mertua itu jadi asumsi ini mengambang saja jadinya.

Soal efek visual, saya juga harus katakan sudah lumayan halus. Adegan-adegan saat siluman keleawar itu muncul, cukup meyakinkan. Adegan klimaks pamungkas saat si istri direnggut secara paksa oleh siluman kelelawar itu untuk diboyong sebagai tumbal juga relatif bagus dan meyakinkan.

Terlepas dari semua itu, saya harus mengapresiasi kerja keras insan perfilman kita yang sudah melakukan yang terbaik. Akting Laura Basuki, misalnya, terbilang ciamik. Ia mampu memerankan sosok istri yang begitu setianya pada suami dan mendedikasikan diri pada keutuhan keluarganya meskipun itu artinya mengorbankan perasaan bahkan nyawanya sendiri.

Tiga bintang dari 5 yang tersedia untuk film bergenre horor ini. (*/)