Saat Sastra Mengkritisi Agama: 26 Tahun Pasca Fatwa Mati Salman Rushdie (1)

Dua puluh enam tahun tepatnya telah berlalu sejak sebuah fatwa hukuman mati yang menggemparkan jagat sastra diumumkan secara resmi oleh mendiang Ayatollah Ruhollah Khomeini, pimpinan Islam dari Iran. Tepat di hari Valentine tahun 1989, Radio Teheran menyiarkan pernyataan Khomeini yang menghukum mati novelis berkewarganegaraan Inggris kelahiran Bombay, India, Salman Rushdie. Sebuah pesan yang tentu menghenyak di tengah suasana penuh cinta kasih. Tiba-tiba dunia Rushdie seolah dirundung awan gelap. Alih-alih mendendangkan “Love is in the air, everywhere I look around,” yang terus terpikir dalam benak penulis novel The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) itu mungkin,”Death is in the air, everywhere I look around.” Dan awan gelap itu akan terus menghantuinya setidaknya hingga hampir satu dekade setelah fatwa itu diluncurkan dari bibir sang pemimpin besar Iran.

Begini kira-kira isi fatwa Khomeini:

“Saya memberitahukan pada umat Muslim di seluruh dunia bahwa penulis buku Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) adalah musuh Islam, Nabi Muhammad dan Al Qur’an. Semua pihak yang terlibat dalam penerbitan buku itu dan mengetahui isinya divonis hukuman mati.”

Rushdie mengetahui kabar tersebut segera setelah seorang staf BBC meneleponnya. Dan ia menanggapi serius berita itu. Rushdie bisa dikatakan ketakutan. Dalam sebuah wawancara ia berkata, “Ruangan saya ada di lantai atas dan saya kemudian turun ke bawah begitu mendengar berita itu. Saya kunci pintu depan dan menutup tirai jendela, dan saya berkata pada diri saya sendiri seakan saya adalah orang lain karena begitu terkejut,’Berapa hari atau jam lagi saya masih bisa hidup?”

Mungkin ini adalah salah satu insiden paling bersejarah dalam dunia sastra; bahwa seorang pengarang harus diperangi dengan cara dijatuhi hukuman mati karena karyanya. Ada benarnya juga kata-kata bijak “Temukan passion-mu, lalu biarkan ia membunuhmu”. Rushdie beruntung bakat sastranya yang luar biasa itu tidak sampai membunuhnya, setidaknya hingga detik ini. Namun, kebebasan hakikinya untuk menikmati kehidupan layaknya orang biasa sudah terenggut secara paksa. Ia kini harus berada dalam kawalan penjaga-penjaga (bodyguards) yang siang malam menjaganya dari ancaman pembunuhan yang siapa tahu mengintai kapan saja, di mana saja.

Sebuah ironi dalam dunia Islam yang terus saja mengemuka adalah bagaimana umat muslim terkoyak-koyak oleh pertentangan dalam tubuh mereka sendiri. Entah karena adu domba dari pihak luar atau karena memang ego yang meraja, tetapi saya pikir perpaduan yang tak bisa diukur dari keduanya, ditambah lagi dengan masuknya berbagai kepentingan ekonomi, politik dan sebagainya, kondisi umat muslim tak kunjung bersatu. Dan apa yang terjadi adalah kerinduan akan kebangkitan kejayaan khilafah, sebuah kerajaan atau negara yang menaungi semua umat Islam secara utuh dengan menggunakan syariat Islam sebagai pondasi dan sendi-sendi kehidupannya. Sayangnya, kerinduan itu kerap menjadi – jika boleh meminjam analogi kesehatan – ‘sel-sel kanker’ yang meskipun tumbuh pesat tetapi tidak bisa dikendalikan. Pada gilirannya, kerinduan akan kejayaan Islam itu menjadi layu sebelum berkembang dan membuat citra Islam dan umatnya makin terpuruk saja di mata dunia.

Salman Rushdie: Apa dan Siapa

Penyebab kehebohan ini adalah karya Salman Rushdie, The Satanic Verses. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kehebohan-kehebohan dalam umat muslim kerap bukan dipicu oleh kalangan eksternal tetapi internal. Apa pasal?

Rushdie yang lulusan King’s College, Cambridge, sebenarnya bukan orang yang sama sekali tidak mengenal Islam. Ia terlahir di Bombay, 19 Juni 1947 dalam sebuah keluarga muslim beraliran liberal di India. Ayahnya Anis Ahmed Rushdie adalah seorang alumni Cambridge University yang mulanya menjadi pengacara lalu berubah haluan menjadi pebisnis. Ibunya bernama Negin Bhatt, seorang guru. Jadi ia sebenarnya juga bisa dikatakan sebagai bagian dari umat muslim sejak kecil meski dalam perkembangannya ia mengklaim dirinya sebagai seorang “atheis garis keras”.

Namun demikian, Rushdie dengan jujur mengakui dirinya sudah tak lagi memeluk dan menjalankan ajaran Islam secara formal sejak usia belia. Ia berkomentar dalam sebuah wawancara,”I ceased to be formally religious from an early age, from the teenagehood I suppose and have never changed and have never been born again. But there was always a nagging space where the religion used to be.” Dan ruang kosong dalam kehidupan relijiusnya itu membuat Rushdie menjadi semakin ‘liar’ secara intelektual.

Sebagai seorang berdarah India yang tumbuh dewasa di tanah asing, Rushdie memiliki ketertarikan terhadap dinamika hubungan peradaban Timur dan Barat dan mengembangkannya sebagai tema-tema favorit dalam karyanya. Hal ini sedikit banyak mencerminkan kegundahan terhadap dunia sekitarnya dan keterikatannya pada tanah kelahirannya India.

Begitu dewasa, Rushdie yang bersuku India Kashmir itu merintis karir di dunia industri periklanan. Ia bekerja sebagai copywriter di perusahaan iklan kenamaan yang didirikan oleh David Ogilvy, Ogilvy & Mather. Sembari bekerja di agensi iklan inilah, Rushdie juga menulis beberapa karya sastra yang berbau realisme magis dan fiksi sejarah. Novel pertama Rushdie, Grimus, dirilis tahun 1975. Karya pertamanya itu tak banyak diperbincangkan, apalagi mengundang polemik.

Muncullah novel keduanya yang berjudul “Midnight’s Children”, yang ditulisnya saat masih bekerja sebagai copywriter di Ogilvy & Mather. Tak disangka-sangka, novel itu membuatnya diganjar menjadi pemenang The Booker Prize, sebuah penghargaan sastra yang prestisius, di tahun 1981. Karyanya ini juga sudah mengundang hiruk pikuk, karena di dalamnya penggambaran seorang karakter mirip Perdana Menteri India yang saat itu berkuasa Rajiv Gandhi dipersoalkan. Alhasil, sang pejabat menyeret Rushdie ke meja hijau atas tuduhan fitnah. Namun, hal yang patut disyukurinya adalah karena kesuksesan Midnight’s Children ia berhasil keluar dari posisi copywriter dan mencari nafkah yang lebih menjanjikan sebagai penulis penuh waktu.

Novelnya yang ketiga, Shame (1983), juga menjadi buku yang laris manis di pasaran. Shame juga membuatnya terlibat perseteruan dengan otoritas sebuah negara. Novel itu dilarang beredar di Pakistan karena menyinggung wibawa Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq. Shame memenangi penghargaan Prix du Meilleur Livre Etranger (Buku Asing Terbaik) dan menjadi salah satu pemenang di The Booker Prizer.

Dari sini saja kita sudah ketahui bahwa Rushdie sudah akrab dengan kontroversi sebelumnya. Dan kelak reputasinya sebagai sastrawan sarat kontroversi akan makin memuncak.

Dalam berbagai kesempatan, penulis liberal itu menyampaikan pesan utamanya, yaitu bahwa Islam dan para pemeluknya harus menjadi lebih terbuka dan menerima kritik untuk berubah jika tidak ingin musnah akibat apa yang ia sebut sebagai “mutasi mematikan dalam jantung Islam”. Ia menuangkan pemikiran tersebut dalam sebuah tulisan yang dimuat The Washington Post dan The Times pada pertengahan tahun 2005. Ia menghendaki adanya sebuah gerakan di luar tradisi, “untuk membawa prinsip-prinsip utama Islam ke abad modern”. Rushdie juga
mendesakralisasi kisah-kisah yang menjadi bagian dari ajaran agama Islam dengan menganggapnya sebagai “peristiwa dalam rangkaian sejarah, bukan hal supranatural”. Tidak semua pemeluk Islam sependapat dengan pandangannya itu karena menganggap pondasi keyakinan mereka adalah sesuatu yang mapan, tidak bisa lagi diperdebatkan, dikritisi, apalagi direvisi.

Membedah The Satanic Verses
Pria yang memiliki dua orang anak kandung dan 4 mantan istri itu melejit menjadi selebriti justru setelah novelnya yang keempat The Satanic Verses (1988) meledak di pasar global. Sayangnya, resistensi yang tinggi juga muncul di beberapa negara, terutama yang dihuni oleh kaum muslim yakni Pakistan, Afsel, Bangladesh, Sudan, Srilanka, Kenya, Thailand, Tanzania, Venezuela, Singapura, India, dan Indonesia tentu saja.

Ide cerita The Satanic Verses, kata Rushdie, muncul saat ia belajar sejarah Islam di King’s College, University of Cambridge. Buku fiksi sejarah ini mengangkat tema kehidupan kaum pendatang India di Inggris dan memudarnya kepercayaan di dalam diri kaum imigran. Dibutuhkan waktu 5 tahun bagi Rushdie untuk menghasilkan novel setebal 547 halaman tersebut.Viking Penguin memegang hak penerbitan setelah membayarnya US$850.000.

Yang menjadi permasalahan adalah Rushdie menggunakan isu sejarah yang peka dalam novelnya itu. The Satanic Verses ditulis setelah Rushdie menemukan dalam sebagian catatan sejarah mengenai perkembangan Islam yang ia pelajari semasa kuliah. Kisah aneh itu bertema godaan setan. Dalam kisah sejarah yang ditolak mentah-mentah validitasnya oleh sebagian besar umat muslim ini, Nabi Muhammad dikatakan tergelincir oleh godaan setan saat membuat kesepakatan dengan warga Mekah yang menyembah berhala. Saat itu Rosul ingin membujuk mereka untuk ikut menyembah Allah SWT dan masuk Islam. Seperti diketahui, penyebaran Islam di masa itu sangatlah menantang, bahkan dapat dikatakan hampir mustahil sebab banyaknya hambatan dan tantangan dari orang-orang di sekelilingnya. Namun, menurut kisah yang dijadikan referensi Rushdie itu, entah bagaimana Rosul bisa tertipu oleh setan dengan
memperbolehkan warga Mekah yang telah mau menyembah Allah SWT untuk juga menyembah dewa-dewa mereka. Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam yang selama ini dipegang teguh dan menjadi inti dari Islam itu sendiri karena Islam adalah monotheisme. Menyandingkan Allah dengan pujaan lainnya – yang disebut syirik – termasuk dosa besar yang tidak terampuni kecuali jika seseorang bertobat secara sungguh-sungguh. Rosul dalam kisah sejarah itu seolah digambarkan sebagai seorang manusia biasa yang tidak kebal terhadap kealpaan.

Istilah “ayat-ayat setan” yang dijadikan judul merujuk pada sepotong ayat yang memuat kompromi penyembahan Allah dengan berhala-berhala kaum kafir tadi. Dikatakan dalam kisah aneh tersebut juga bahwa Malaikat Jibril kemudian menyadarkan Muhammad bahwa pernyataannya yang membolehkan warga Mekah menyembah Allah dan berhala-berhala mereka sekaligus adalah bujuk rayu setan. Alhasil, ayat tadi pun dihapus dari Al Qur’an. Mayoritas muslim tidak meyakini hal semacam ini pernah terjadi karena mereka yakin Muhammad suci dari kesalahan-kesalahan manusiawi semacam itu. Akan tetapi, Rushdie tidak berpikir demikian. Ia menganggap Muhammad juga manusia biasa yang bisa salah.

Ayat-ayat setan yang dipertanyakan kebenarannya itu menjadi ide bagi Rushdie untuk menulis subplot di novelnya. Dan inilah yang menyulut kemarahan dalam diri umat muslim dan membuat Ayatollah Khomeini unjuk bicara. Bisa jadi karena Rosul diyakini memiliki sifat shiddiq (benar), sehingga tidak mungkin Rosul mengingkari atau mengatakan perkataan yang bertentangan dengan sesuatu yang ia yakini benar secara mutlak, yaitu ajaran monotheisme Islam. Dalam surat An Najm ayat 4-5, ditegaskan bawah Muhammad hanya mengucapkan wahyu yang dianugerahkan padanya.

Dalam sebuah wawancara di tahun 1988, Rushdie mengatakan bahan sejarah Islam yang mengundang polemik itu ia masukkan dalam novel. Ia mengubah nama-nama tokohnya agar berlainan dari catatan sejarah. Ia mengatakan tidak menggunakan nama Muhammad tetapi Mahound karena kisah itu ia pakai dalam konteks mimpi, bukan realita. Kisah-kisah ayat setan tadi dimasukkan oleh Rushdie sebagai isi mimpi-mimpi magis yang dialami karakter Gibreel Farishta. Jadi bisa dikatakan ia membuat karya fiksi dengan berdasarkan catatan sejarah yang menurutnya menarik.

Namun, terlepas dari subplot yang membuat geram banyak pemeluk Islam tadi, novel The Satanic Verses berkisah tentang dua orang imigran India yang bekerja sebagai aktor. Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha beragama Islam dan tak dinyana pesawat mereka dari India ke Inggris dibajak kemudian meledak di Selat Channel. Namun, keduanya secara ajaib bertahan hidup. Kisah menjadi makin menarik saat Gibreel dan Saladin menjadi dua pribadi yang berbeda setelah insiden naas tersebut. Gibreel berhalusinasi seolah dirinya adalah malaikat Jibril, mirip seseorang yang mungkin menderita skizofrenia dalam kehidupan nyata. Sementara rekannya Saladin mendekati kepribadian dan rupa fisik iblis dan setan. Ia pun harus menderita dalam siksaan polisi karena dugaan masuk ke Inggris sebagai imigran gelap. Gibreel dan Saladin sama-sama membangun kehidupan mereka kembali setelah kecelakaan pesawat itu. Gibreel kemudian memiliki kekasih. Karena merasa ditelantarkan setelah kecelakaan, Saladin ingin membalas dendam pada Gibreel sahabatnya. Ia menghasut Allie, kekasih Gibreel, untuk merasa cemburu hingga akhirnya berakibat putusnya hubungan asmara Gibreel dan Allie. Akhirnya Gibreel menyadari bahwa Saladin sahabat yang setia. Ia pun memaafkannya dan bahkan menyelamatkan jiwa Saladin. Suatu ketika mereka memutuskan kembali ke tanah kelahiran mereka India. Gibreel yang tersulut api cemburu membunuh Allie dan kemudian melenyapkan nyawanya sendiri. Saladin yang berhasil memaafkan Gibreel pun kemudian makin dekat dengan sang ayah yang sebelumnya ia jauhi. Saladin sejak itu tinggal di sana dan meleburkan jatidirinya sebagai seorang warga India.

Satu hal lagi yang tak dapat diterima umat muslim ialah bagaimana Rushdie menggunakan nama-nama dan kepribadian istri-istri Muhammad dalam 12 karakter pelacur di sebuah rumah bordil di sebuah kota bernama Jahiliah (yang mirip Mekkah) yang didatangi seorang pembawa pesan bernama Mahound (yang memiliki kemiripan dengan Muhammad, istilah ini sendiri digunakan untuk menyebut Muhammad oleh pasukan Perang Salib yang artinya nabi palsu).

Para Penentang dan Penengah
Apa yang dilakukan oleh Rushdie ini membuat pihak Penguin India juga was-was. Penasihat editorial Penguin India kala itu, Khuswant Singh, mengkritik karya Rushdie setelah membaca manuskripnya sampai habis,”Saya menemukan 2 referensi yang menurut saya tak bisa diterima di India. Yang satu adalah tentang Al Qur’an dan satu lagi tentang para istri Muhammad.” Singh menambahkan meski dirinya agnostik tetapi ia tak memahami alasan mengapa Rushdie harus mengisahkan sebuah rumah pelacuran yang nama-nama penghuninya menggunakan nama para istri Muhammad. “Sungguh sebuah perbuatan yang buruk!” kecamnya. Ia mengutip sebuah kalimat bijak:”Katakan apapun yang kamu kehendaki tentang Tuhan tetapi waspadalah jika membahas Muhammad.”

Dalam ingatan editor Channel 4 TV, Farrukh Dhondy, Rushdie juga telah diperingatkan akan risiko dikecam tetapi ia tetap membandel. “Saya katakan padanya,’Kamu akan bicara dari studio ke studio TV hanya untuk berdebat mempertahankan pendapat melawan para ulama!’ Ia menjawab,’Ah, silakan saja,'” kata Dhondy.

Pada kesempatan lain, Rushdie yang dikabari wartawan India Shrabani Basu bahwa Penguin India menolak distribusi dan penjualan novelnya di pasar India tersentak dan berkomentar,”Sungguh absurd jika berpikir sebuah buku bisa memicu kericuhan. Itu sebuah cara pandang nan aneh terhadap dunia.”

Dari semua kaum garis keras yang mengutuk karya sastra dan penulisnya tersebut, ada satu sosok yang menarik perhatian Rushdie kelak. Hesham El Essawy, seorang dokter gigi yang menghabiskan 6 jam sehari di waktu senggangnya hanya untuk melahap The Satanic Verses. El Essawy juga menjadi representasi wajah Islam yang lebih toleran dan moderat karena ia mewakili lembaga Islamic Society for the Promotion of Religious Tolerance di Inggris. Ia mengkritik The Satanic Verses dengan cara yang santun dan intelek serta tetap berkepala dingin, tidak sampai membakar dan mendukung fatwa hukuman mati Khomeini. Pria ini menyarankan agar penerbit Penguin dan Rushdie memberikan sangkalan (disclaimer) di novel itu, bahwa isinya bukan mengenai kejadian sejarah tetapi fiksi semata. “Itu saja yang saya himbau pada mereka.” Saran itu diabaikan.

Kondisi itu diperparah dengan diamnya pemerintah Inggris pimpinan Margaret Tatcher saat itu. Umat muslim Inggris yang mengetahui isi novel yang melecehkan agama mereka itu angkat bicara dan menuntut agar Rushdie diperkarakan dengan tuduhan pelecehan agama. Namun, ternyata UU yang mengatur tentang pelecehan agama di Inggris hanya berlaku untuk agama Kristen saja. Ditambah dengan fakta bahwa Rushdie menikmati ketenaran dari novel The Satanic Verses dan penghargaan untuk karya yang menyinggung keyakinan mereka, para muslim Inggris tidak bisa lagi berpangku tangan. Sebagai minoritas, umat Islam di Inggris pun merasa perlu mengambil langkah lebih lanjut.

Di kota Bradford, umat muslim yang merasa tidak didengar keluhannya itu pun mengadakan unjuk rasa yang menuntut penarikan novel The Satanic Verses. Sebelumnya telah ada unjuk rasa di Bolton, tetapi pers pun tidak mengindahkan. Ribuan muslim berkumpul di pusat kota Bradford pada 14 Januari 1989. Pers sempat mengabadikan pembakaran novel itu. Esok harinya pemberitaan media pun muncul. Nadanya memojokkan, sehingga akhirnya membuat umat muslim Inggris makin merasa merana karena dicap terlalu ekstrim karena harus membakar buku.

Ekskalasi kontroversi novel The Satanic Verses terus terjadi dan ribuan muslim membanjiri London untuk menyuarakan keberatan mereka dengan distribusi novel tersebut. Sementara itu, Rushdie juga berjuang membela haknya untuk mengkritisi Islam melalui karya sastra. Ia menjadi sasaran ancaman pembunuhan dan penerbit Penguin juga terdampak. Kantor mereka sempat menjadi target unjuk rasa, surat kaleng dan ancaman bom. Semua itu terjadi bulan Januari 1989.

Menyatukan, Memisahkan Sekaligus Memakan Korban
Diakui oleh aktivis muslim Inggris bahwa kontroversi The Satanic Verses memberikan dampak positif. Isu ini membuat mereka memiliki satu musuh bersama, yang berbentuk seorang novelis dengan ide dan fantasi liarnya yang telah menistakan kepercayaan mereka. Sebelumnya umat muslim Inggris lebih terfragmentasi berdasarkan kebangsaan. Mereka umumnya kaum imigran dari berbagai negara dengan jumlah penduduk Islam yang cukup signifikan dari Asia. Dari sinilah, muncul kebangkitan komunitas muslim Inggris yang lebih percaya diri dalam menyuarakan aspirasi mereka di kancah nasional.

Di skala internasional, novel tersebut mulai memicu keresahan sosial di berbagai negara. Pada tanggal 12 Februari 1989, 5 demonstran terbunuh dan ratusan lainnya terluka saat ratusan ribu orang berunjuk rasa di depan Pusat Kebudayaan Amerika di Islamabad. Ini hanya awalnya saja.
Konflik makin menghebat dan meluas begitu Ayatollah Khomeini mendengar kabar dan mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Salman Rushdie dan semua pihak yang membantu terbitnya karya itu.

Kehidupan Rushdie berubah drastis dalam beberapa jam begitu kabar fatwa diterima. Pemerintah Inggris berupaya melindunginya, karena Rushdie dianggap tidak bersalah dalam kacamata hukum Inggris.

Dalam kenyataan, di satu sisi fatwa Khomeini membuat banyak muslim mengelu-elukannya sebagai pembela Nabi Muhammad dan Islam serta umat muslim dunia. Namun, di sisi lain fatwa Khomeini juga membuat sebagian muslim yang lain – yang lebih moderat dan toleran – tidak setuju meski pada dasarnya mereka juga mengecam isi novel The Satanic Verses. Essawy sendiri menyatakan dirinya tidak sepakat dengan fatwa itu.

Untuk menuntaskan misinya, Khomeini menawarkan hadiah 1 juta poundsterling bagi siapa saja yang mampu membunuh sang novelis. Imbalan sebanyak itu tentunya setimpal mengingat tingkat pengamanan dari pemerintah Inggris di sekitar Rushdie sepanjang waktu yang begitu tinggi. Penulis itu selalu dikelilingi oleh pasukan bersenjata dalam pakaian sipil rapi 24 jam sehari 7 hari seminggu 365 hari setahun.

(Bersambung)

Referensi:
1. Salman Rushdie and The Satanic Verses Affair (BBC Productions, 2009), produser dan sutradara Janice Sutherland
2. Wikipedia

Allah di Indonesia, Saya di Tiongkok!

Selamat pagi!

Saya mau berbagi cerita tentang ‘ulah’ oknum turis Indonesia yang pernah saya temui. Turis Indonesia itu membingungkan ya. Saya pernah membawa rombongan turis Indonesia yang sebagian beragama Islam. Mereka ikut mengantre membeli siao lung pau, makanan khas Shanghai serupa roti dengan isi daging babi. Mereka ikut antre dan makan tanpa bertanya lebih dulu pada saya. Setelah mereka makan, mereka baru memberitahu saya. Tiba-tiba saya disalahkan,”Kenapa kamu tidak beritahu kami sejak awal, Candy?!! Kalau kamu beritahu, pasti kami tidak akan makan.”

Belajar dari pengalaman tadi, dalam tur berikutnya yang diikuti rombongan beragama Islam, saya pun menjelaskan dengan lantang:”Jangan beli apalagi makan siao lung pao karena ada daging B2 ya!” Pengumuman itu saya sampaikan di bus sebelum mereka turun. Sebagai gantinya, mereka bisa berbelanja benda lainnya.

Akan tetapi dari kejauhan terlihat oleh saya seorang bapak dari rombongan yang ikut mengantre di depan toko penjual siao lung pao.

“Bapak, kenapa Anda ikut antre? Anda tadi kan saya sudah beritahu di bus, itu mengandung babi! Anda tidak bisa makan!”Saya menjelaskan dengan emosi, karena saya merasa sudah memberitahu tetapi tetap tidak diperhatikan.

Bapak itu menjawab dengan nada tenang,”Saya tahu isinya daging babi. Sebelum berangkat ke sini, saya diberitahu teman untuk mencoba makanan khas Shanghai ini. Jadi saya tidak mau melewatkannya, katanya enak sekali. Saya juga mau coba.”

Saya pun bingung. Bapak ini beragama Islam tetapi kok masih makan babi?

Untuk menjawab keraguan saya, bapak itu berkata lagi,”Candy, Tuhan ada di Indonesia. Saya sekarang di Tiongkok.”

Sehabis memesan, ia mencari tempat yang aman untuk melahap siao lung pau tadi agar tidak kepergok teman-teman serombongan. Ia malu melanggar aturan agamanya rupanya.

Saya tanya rasanya. Katanya enak sekali. Kemudian saya berkata dalam hati,”Dasar Islam aspal!”

Salam hangat,

Candy

Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia (Kisah Nyataku-3)

(Kisah sebelumnya bagian pertama di sini dan bagian kedua di sini )

Setelah mushaf Al Qur’an itu terbuka, si B seolah mengeluarkan seluruh hafalan ayat-ayat pilihannya untuk mendukung gagasannya. Ia berkata dengan nada meyakinkan,” Indonesia adalah negara yang di akhir jaman nanti akan menjadi tempat terjadinya kebangkitan Islam yang sudah terpuruk selama beberapa abad.” Tanpa saya meminta, ia menjelaskan bahwa kesimpulan itu ia dapat dari terjemahan di salah satu ayat Al Qur’an yang saya baca setelah ia tunjuk.

Saya berusaha mencerna setiap kata dan gagasan yang ia lontarkan bertubi-tubi. Mungkin itulah tujuannya berbicara seperti salesman yang bersenjatakan katalog produk yang menunjukkan sejumlah keunggulannya.

Masalahnya, ia menggunakan kitab suci sebagai dasarnya. Saat pikiran saya masih berontak, ia menghujani saya dengan serentetan ‘bukti’ lain.

Dan saat si A yang juga masih bersama kami dan turut menyimak mengangguk-anggukkan kepala di samping saya menghadap si B dan berkomentar atas penjelasan si B, seketika saya terkesiap. Saya ibarat sebuah domba yang berada di muka 2 serigala berbulu domba yang saling berkonspirasi menjebak si domba dengan segala daya upaya.

Entah bagaimana, tiba-tiba saya berpikir si A berakting sebagai murid yang tidak tahu apa-apa di hadapan saya karena ia ingin saya meyakini dengan sepenuh hati semua yang disampaikan oleh si B. tapi akal sehat saya menolak.

Menolak Al Qur’an? Tentu tidak. Saya seorang muslim. Saya tentu meyakini kebenaran Al Qur’an. Jika tidak, saya sudah tidak berhak mengaku sebagai seorang muslim. Yang menjadi permasalahan di sini adalah bagaimana ia menggunakan ayat-ayat dan terjemahan literal Al Qur’an sebagai pondasi argumennya. Si B, yang saya yakin sudah demikian terlatih oleh apapun nama organisasi tempat ia bernaung, menggunakan ayat-ayat yang sudah secara cermat dipilih dan dihafal sebagai alat berkampanye tentang gagasan politiknya untuk membangun sebuah negara independen di luar kekuasaan presiden RI. Sekali lagi, ia memiliki penafsiran atas isi Al Qur’an yang memang jauh berbeda dari muslim kebanyakan.

Ia terus meyakinkan saya dengan interpretasi ‘ngawurnya’ itu. Dan saya semakin sadar, saya harus bisa keluar dari pembicaraan tak berujung yang bisa-bisa membuat saya makin terjerumus dalam sesuatu yang saya sendiri masih pertanyakan.

Si B tampaknya tahu bahwa saya sudah bosan. Ia belikan saya makanan. Gorengan yang ia belikan tidak membuat saya diam menyimak. Saya berulang kali melirik ke ponsel Motorola V3 saya yang sudah mulai habis baterainya. Saya panik juga. Muncul pikiran negatif: bagaimana jika saya tidak bisa menolak dan dibawa ke tempat mereka?

Kami pun bertukar nomor ponsel. Saya berikan ponsel saya dan si B memberikan nomornya pula. Inilah satu-satunya penghubung yang mereka pikir akan berguna untuk menjangkau saya tak peduli jarak yang memisahkan kami secara fisik. Namun saya berpikir lain, saya tak segan memberikan nomor saya agar mereka segera mengakhiri pembicaraan melelahkan dan saya tahu bahwa menggunakan alasan apapun untuk meninggalkan mereka akan sangat sulit.

Ponsel saya bergetar. Alhamdulillah! Begitu senangnya hingga saya mau sujud syukur di situ juga. Tapi itu akan mencurigakan tentunya. Pas, panggilan telpon ini bisa saya gunakan untuk mencuri waktu agar bisa mengatur siasat meninggalkan mereka.

Panggilan itu dari ayah. Sore itu saya rasanya menjadi orang paling beruntung memiliki ayah. He saved me by the phone call!

Saya berkata pada si A dan B, “Bentar ya, ada telepon nih.” Saya tak mau sebut siapa yang menelepon pada 2 orang ini.

Ayah menanyakan keadaan saya karena ia tahu saya sedang melamar kerja sendirian di tempat yang baru pertama kali saya kunjungi. “Bagaimana sudah selesai?” tanya ayah saya dalam bahasa Jawa, bahasa ibu saya. “Iya sudah pak, tapi mungkin harus menginap satu malam lagi untuk menunggu hasilnya,” jawab saya. Saya tidak mungkin menjawab:”Sudah selesai pak tapi di sini ada orang-orang dengan pemikiran khas aliran sesat yang mau merekrutku menjadi bagian dari jamaah mereka dengan mengajakku ke markas mereka di Lebak Bulus. Gimana nih pak? Please help!

Yang saya tak habis pikir adalah bagaimana tidak seorang pun yang merasa aneh dengan saya dan 2 orang ini yang di masjid dari zuhur sampai asar tiba, bahkan hingga pukul 4.30.

Well, setidaknya jika mereka niat melakukan brainwash pada saya, mereka memberikan saya makanan dan minuman yang proper. Yang layak. Masak hanya gorengan begini?

Setelah menerima telepon, si B kembali beraksi dengan agitasinya. Ia menceritakan bagaimana kini sedang dirintis sebuah negara Islam yang mandiri, terpisah dari Indonesia yang pemerintah dan rakyatnya sudah cenderung kafir dan durhaka terhadap Allah ini. Si B mengatakan pula bahwa tunduk pada pemerintah yang tidak Islami seperti sekarang dan perangkat-perangkat hukumnya yang jauh dari idealisme Islam dalam kitab suci dan hadis Rosul akan menyebabkan kita menjadi terlaknat pula.

Si B sekali lagi meyakinkan saya bahwa semua muslim dan muslimat di seluruh dunia perlu bersatu padu di bawah satu pemerintahan Islam yang ia sebut sebagai khalifah. Dan ia dengan nada mengajak mengatakan,”Kalau kamu mau bergabung, kami sambut dengan senang hati. Caranya mudah, jalani saja bai’at. Akan kami kenalkan kamu pada pimpinan kami. Kamu bisa tinggal dengan kami dulu di Lebak Bulus. Tidak usah khawatir, tempatnya lapang, bisa untuk menginap.”

Sang ‘juru dakwah’ kemudian bertanya dengan muka serius pada saya,”Siap bergabung?” Saya jawab dengan diplomatis saja,”Saya pikir-pikir dulu. Boleh kan?” Kabur tetapi cukup memberikan isyarat bahwa saya tidak tertarik. Tapi saya tahu orang-orang seperti ini tidak semudah itu menyerah, mereka tahu ‘calon anggota’ bisa berubah pikiran. Ibarat seorang swing voter dalam pemilihan umum, peluang saya untuk memilih dan tidak memilih sama imbangnya: 50%-50%.

Dan saya lapar. Mungkin satu pelajaran yang bisa dipetik oleh Anda yang mau menjadi juru dakwah andal (dalam pengertian apapun) adalah sediakan logistik (pangan) sebagai bahan bakar bagi otak untuk ber-logika (teringat kata teman penerjemah saya yang suka yoga, Dina Begum). Akan tetapi, bisa saja strategi mereka adalah dengan membuat si calon korban selapar mungkin hingga tidak dapat berpikir cermat dan kritis sehingga akan lebih mudah membujuknya masuk dalam organisasi mereka. Only Heaven knows. And why did I bother to find out?

To be continued…

When You Fast, Do Not Look Somber as the Hypocrites Do

waiting
waiting (Photo credit: Koshyk)

Though I’m a moslem myself, I think this quotation (which I assume is taken from the Christian Bible)  would serve as a good reminder for every moslem fasting today:

WHEN YOU FAST … Do not look somber as the HYPOCRITES do, for they disfigure their faces to show others they are fasting. Truly I tell you, they have received their reward in full.”
“But when you fast, put oil on your head and wash your face, “
“So that it will not be obvious to others that you are fasting, but only to your FATHER, WHO IS UNSEEN; and your FATHER, who sees what is done in SECRET, will reward you.”

Too often we see people work less efficiently in Ramadhan. And I am fully against this. It seems like fasting is the understandable excuse for the worsening productivity but alas, that’s such a lame excuse for devoted moslems to have.

Because devotion simply strengthens...

The Religious Dilemma (Position among the Stars- Part 3)

I wrote the draft of this post in the Jakarta-Bogor commuter line train. Great experience to write! Writers must love trains! And the notebook -one with paper not running on battery- is the most loyal and easy-to-use tool to document every train of thoughts.

It’s always nice to see how people live side by side despite being different. Being different at times separates us apart. I’m not like you. You’re not like me. Thus we should never be agreed on any things. But life keeps a zillion mysteries.

I haven’t watched the previous installment (a friend of mine said this is the third of a trilogy) but I thought there is something missing before this. And I was right.

In the previous trilogy, , it is told that the son has converted himself to Islam. The old lady wasn’t really pleased to learn this but she eventually came to terms with it.

After converting to Islam to his own will, the son didn’t seem to be fervent enough to learn his new faith he just declared to embrace.

In one early Sunday morning, the old lady who was a Catholic had to go to church to attend the Sunday morning sevice. She needed company but Tari was still asleep. The old lady continually woke her up yet in vain. Then came the uncle. He wanted Tari to accompany the old lady attending the service. “Come on, there’re only a flock of old women at the church!” Tari tousled her hair, still yawning and unwilling to leave the bed. It was early in the morning, for God’s sake! Yet it didn’t stop him to drag her out of the bed. Feeling upset, Tari asked her uncle in a bitter, flat tone, “Why don’t you accompany her instead?” “But I’m a moslem. How come a moslem goes to church??” the uncle got even more irritated. “You’re a moslem but we’ve never ever seen you praying (: shalat, Ind),” Tari protested. “Uhm, well… ,” he muttered, followed with a considerably long pause, unable to supply a logical argument. “Chekmate!” said the old lady, giggling. ” “That is absolutely true!” she found it particularly hilarious. Anda she continued giggling. Few moments later, the mother and mildly insulted son were seen on a motorbike, heading to the church. The church turned out to be less than majestic (don’t even think of a towering, classic-styled one like the cathedral downtown Jakarta). Nothing looked churchlike about it, except the congregation.

That’s the hard cold fact that any Christian or Catholic must deal with in several parts of this Moslem-dominated country. Once I overheard a Catholic priest talking with the you-know-who most prominent entrepreneurship evangelist in the country. He said, as far as I’m concerned, an opinion which would sound more or less like this: “(Indonesian) moslems are generally irritated when the neighborhood they’re living in shows a huge cross.” The cross or the symbol of Christianity seemes too either unbecoming or improper. One shouldn’t do it no matter what. It is intolerance, which the state and the laws have no approval of but the rest of the nation always clings to. It is natural, in fact. Human beings are selfish by nature. Once you’re considered a threat for their ego, you’ll be eliminated. That simple!

Tari was actually torn between these two older adults: her grandmom and her uncle.  She found it quite enigmatic to see two faiths embraced in the family. It was no easier for her at school. She was a moslem by law and school regarded her so. Nonetheless, deep down inside her conscience, Tari or Theresia loved Jesus (as written stealthily on the door of the rented house the family lived in). After all, Theresia sounded like a baptist name given after the shower ritual (excuse my inapt description, I myself am a moslem). My hunch is, thus, she was baptized early by the parents or grandmother.

And then another scene showed Tari and the grandmom went to a place looking a lot like a school auditorium. It was spacious, much bigger than a classroom. There were a lot of students in uniform. I don’t knw exactly what it was but what happened there was she, along with several other students who freshly graduated, was interviewed by a teacher. Perhaps it was an interview of scholarship application. Tari was asked whether she knew the 5 pillars of Islam. Tari cast a blank stare and kept silent, while the teacher passed the question to another student. The student being asked answered in an effortless manner, “Syahadat (pledge), salat (pray), zakat (alms),  puasa (fasting, and haji (hajj- pilgrimage trip to Madina and Mecca).”

There was nothing that Tari could do but leave the room with her last shred of dignity. But before she could flee, another humiliation was awaiting. The teacher- wearing veil- mumbled that Tari only wanted the money (scholarship fund) but didn’t even give a damn about the most basic questions of all. She looked uneasy, ashamed, guilty (maybe because she felt like she wouldn’t make it), as she  kept on scratching her head during the interview.

As Tari went out of the auditorium, her grand mother asked how the interview test was going. Tari was silenced by the question. She nodded weakly, only making sure the grandmother wouldn’t notice her troubled heart. She clearly wasn’t fully recovered from the great humiliation she just experienced. That was hard on the teenage girl. But the grandmom wouldn’t  find out that anyhow Tari was still conflicting against the other self inside. What doubt? I guess it has something to do with the question: “Is she supposed to be a Catholic or a Moslem?”

P. S. : Read the previous related posts:

The Amazingly Mixed-up Indonesia

The Anger and Disappointment 

Drive Books Jakarta: Books Flea Market and Charity

The less premium books are displayed on this counter. Metta Anggriani, my buddy at Yoga Gembira, was spotted behind it wearing sunglasses.The other counters seeling books look particularly swarmed by passers-by on the Jakarta Car Free Day. The books there are sold even cheaper, only 5k.
How can I not love Hotel Indonesia Turnaround (Bundaran HI) on Car Free Days like this?
This is where the exclusive, premium books are sold. Only as much as Rp.50k! And I got Elizabeth Gilbert's "Eat, Pray, Love" .
I got seven lovely books in my hand, and practically had to bring them from EX to Karet Kuningan ON FOOT. I spent more than the actual budget but for (extra affordable) books, I won't complain.

Iftar at My (Boss’) Office

]

How to Work Out in Ramadan without Leaving Us Dead Tired

Marine of the United States Marine Corps runs ...
Afraid of dehydration while fasting? Running in a creek like this marine guy may suit you. No, I'm joking! (Image via Wikipedia)

As a disclosure, I should declare that this post is (again) based on what @erikarlebang tweeted. What I did is rearranging the whole tweets and makes this a nice-to-read blog post for you.

As for me, I know folks who think fasting is a perfect excuse NOT to work out or exercise in Ramadan. But that sounds pitifully misleading an assumption because in my opinion, a decent amount of physical workout when timed and done appropriately can help revitalize the overly-clogged system over 11 months.

When it comes to exercising in Ramadan, Erikar said it’s all about adapting to the changes. This especially holds true for those who don’t make money or earn a living as a professional athlete. Indeed, you don’t have to make yourself dying of hunger or thirst even before reaching the end of the day.

Why still work out in Ramadan?

With an apt method, fasting month is the best time for the body to detox itself. In terms of detoxification, lymphatic glands play a key role. Lymphatic glands resemble blood vessels, but it has no ‘generator’ (a group of muscles to pump the fluid just like the heart muscles) so it heavily depends on how active we move throughout the day. Physical workout really helps the performance of lymphatic glands so the detoxification occurs way better.

So here’s the DOs and DON’Ts list.

DOs

  1. Work out 1-2 hours prior to eating iftar. You don’t have to suffer from dehydration for too long a time. As soon as you’re done with the exercise, you can drink.
  2. As the sun sets (maghrib comes), end the workput and slowly take a sip of one or two glasses of room-temp water (Erikar said ‘cool’ -sejuk- but I guess he refers to a type of fresh, previously boiled water that is neither cold nor hot).
  3. Eat easily digested foods.
  4. If you want to resume your workout after that, please do but try to add some natural honey to your water.

DON’Ts 

  1. Morning workout is just NOT a wise idea. Rather, it ‘kills’ us. Dehydration or fatigue risk is, I suppose, the best, most logical explanation. Instead of draining your energy (calories) and most importantly your water supply in the beginning of the day, try move your workout to afternoon hours.
  2. Drinking high-caffeine beverages dehydrates you. Coffee or tea may be your favorite early breakfast drink but you’ll soon find yourself urinating quite a lot, because caffeine provides dieuretic effect to the urinary system. In other words, it drains your water supply. Unlike tea or coffee or alcoholic drinks, fresh water can do us good.

That’s all folks! 🙂

The Advisable Eating Pattern that Keeps Us Healthy in Ramadan

Wax apples Taken June 30, 2005 by Allen Timoth...
Image via Wikipedia

First of all, I need to disclose that all the ideas stated in this post are based on what Erikar Lebang said on Twitter (@erikarlebang). I only copied, pasted, added (just a bit here and there) or edited, rephrased and/ or translated the ideas into English. Here we go…

Prior to fasting discussion, we’d better recall some basics of human beings’ biological cycle regarding digestion system, usually referred to as ‘circadian cycle’.

In a nutshell, there’re 3 periods in human beings’ biological cycle, namely:

  1. Intake period (12.00 – 20.00): This is a phase when our body ( the digestion system) is fully ready to welcome foods. Our energy is mainly focused on the digestion system during the period. Other types of bodily activities are still in progress but in a minor state.
  2. Processing period (20.00-04.00): All of the foods consumed during the intake period are then slowly processed by the system at its best. The body itself does anything to survive, such as regenerating cells, repairing the damaged cells, and so forth. This way another type of energy is lowered at the minor level, which explains why the Almighty designs the body to take a total rest during the processing period.
  3. Secretion period (04.00-12.00): This is a phase when the body needs to get rid of the waste resulted by the digestion process. The waste could be in the form of vapor, perspiration, urine and / or faeces. The amount of energy to perform this task is a lot, leaving a little for other processes, including digestion system. This is the main reason why we ought to eat easily digested foods at such hour (early in the morning) to prevent disturbance to our digestion system.

Based on the circadian cycle, we’re able to define what it takes to fast in a healthy way. Fasting doesn’t change much the way our body works. The difference lies in the time when foods are consumed on a daily basis.We thus are expected to adapt our food types consumed during Ramadan to the natural cycle of body. Otherwise, various digestion and health problems may arise. Diarrhea, constipation, dehydration are several commonly found ailments during Ramadan.

We need to understand that sahur (or early breakfast/ meal before the daybreak) occurs when the body is at the end of processing period and about to commence secretion period. People need to choose types of food that may assist digestion system over foods that give extra burden to the body.

 

Do’s

The core principle  of eating healthily for sahur/ early breakfast is  to eat as light as one can so as not to disrupt the circadian cycle. But this light meal shouldn’t mean a skimpy one that leaves us dying in hunger before the dusk. The challenge is how we can choose the appropriate foods without torturing the body, because overeating is just as bad as undereating.

These are several steps to take to eat early breakfast healthily:

1. Before munching anything, drink a big glass of fresh water. Yes, Fresh water! That means no syrup, or sweetener, or additives added to it. Give time to yourself around 20-30 minutes before eating something else. In the meantine, you can pray tahajjud or read the Quran.

2. Start eating sweet, high-fiber, juicy fruits like apple, pineapples, oranges, guavas, pears, etc. But leave fruits containing alcohol, e.g. durian, jackfruit, etc. Bananas and other fruits containing lots of carbohydrate requires a little treatment (which I have no idea) before one can eat it.

3. Eat 1-2 kinds of fruit that you consider enough. Wait for another 20-30 minutes and you may eat ‘the main course’.

Dont’s

Eating too much food containing nutrition may not be quite bad but sahur is an exception. It’ll only leave you a series of digestive problems because the time is just NOT right. High protein foods, foods with additives and preservatives, processed foods are definitely NOT foods to eat for sahur. Bread, pasta, noodles are NOT advisable to eat either.