11 Kiat Rawat Batik Tulis bagi Para Kolektor

Telah mengenal dan mengoleksi batik tulis sejak 4 dekade lalu, Neneng Iskandar yang juga pengurus Persatuan Pencak Silat Seluruh Indonesia itu memberikan 11 kiat singkat merawat kain batik tulis yang harganya tidak murah bagi kantong kebanyakan orang. Berikut adalah 11 yang terpenting sebagaimana saya sarikan dari penjelasan beliau sepekan lalu (20/12/2014) di acara diskusi batik sekar jagad koleksi Kurnia Effendi di Galeri Batik, Museum Tekstil, Jl. KS Tubun, Jakarta Barat.

Hindarkan kain batik dari kelembaban tinggi
Tinggal di Indonesia yang tingkat kelembaban udaranya tinggi memang harus membuat kolektor batik hati-hati. Cara memerangi kelembaban ialah dengan membuka dan mengeluarkan kain batik itu dari almari atau peti penyimpanannya secara rutin. Istilahnya, diangin-anginkan di udara terbuka agar tidak lembab.

Almari atau tempat penyimpanan kain batik itu juga idealnya diberikan alas berupa kertas bebas asam yang biasa diimpor dari Jepang tetapi jika tidak memilikinya, gunakan kain belacu yang sudah dicuci atau direbus (agar kuman-kumannya mati). Dengan menaruh kain ini sebagai alas almari dan peti penyimpan kain batik, risiko kelembaban dan hewan kecil untuk masuk bisa ditekan.

Jika masih ingin memastikan agar koleksi batik tulis Anda yang berharga itu lebih terhindar dari kelembaban, gunakan saja silicon gel yang bisa didapatkan di toko-toko. Letakkan saja dalam bentuk kantong-kantong kecil dan masukkan ke tempScreen Shot 2014-12-26 at 09.34.30at penyimpanan batik tulis Anda.

Jangan diberi kapur barus
Serangan rayap atau binatang-binatang kecil memang masih susah dihindari. Namun, Neneng menyarankan sesuai anjuran dari gurunya mendiang Go Tik Swan:”Jangan diberi bahan-bahan apapun seperti kapur barus, akar wangi, dan sebagainya. Lebih baik diberi merica.” Pengasapan dengan ratus membuat kain batik lebih segar baunya tetapi menurut Neneng tidak banyak membantu mengusir hewan-hewan itu.

Sekali lagi Neneng menekankan, kalau Anda tidak mau menyesal, jangan diberikan bahan-bahan pewangi lainnya agar kain tetap awet.

Gunakan biji lerak
Lerak mungkin sudah lebih jarang dipakai oleh banyak orang saat mencuci pakaian dibandingkan deterjen kimia yang menggunakan surfaktan minyak bumi yang mencemari persediaan air bersih dalam tanah. Neneng mengatakan dirinya lebih memilih menggunakan lerak dalam bentuk biji utuhnya, bukan yang sudah dikemas dalam botol-botol. Ia mengaku ada seorang teman yang menjualnya. Atau kalau tidak, ia pergi ke Yogyakarta dan Solo untuk memborong biji-biji lerak untuk persediaan mencuci koleksi batiknya.

“Simpan saja biji lerak tadi di botol, kalau sudah agak kering, rebus dulu sebelum dipakai mencuci,” tukas Neneng. Ia menandaskan dirinya selalu setia memakai biji lerak, tidak pernah memakai yang lain. Sekalipun itu lerak instan.

Jemur di tempat teduh
Saat kain batik sudah selesai dicuci dengan lerak, rentangkan di tempat yang teduh atau tak terkena sinar matahari langsung.

Gunakan kanji
Berikan kanji pada kain batik Anda. “Karena kanji itu sifatnya melindungi kain (batik -pen),” imbuhnya.

Lipat di bagian berbeda
Setiap Anda melipat kain batik tulis, usahakan selalu ubah arah dan cara pelipatannya. Intinya selalu ubah cara pelipatannya. Intinya, lakukan rotasi. “Agar tidak ngecap, apalagi kalau kainnya tidak disentuh bertahun-tahun, bisa rusak kalau dilipat dengan cara yang sama.”

Hindari wiron
Wiron atau wiru adalah lipatan-lipatan kecil di kain batik khususnya jarik/ tapih yang dipakai oleh orang Jawa dahulu untuk membuatnya lebih rapi dan menarik dipandang mata. Menyimpan kain saat masih dalam bentuk wiron akan membuat kain batik makin lama makin keras (getas) sehingga jika dipegang nantinya akan rapuh dan bisa sobek dengan mudah.

Jangan pakai penjepit kertas
Terkait dengan wiron, Neneng juga mengatakan sebaiknya hindari menjepit kain batik dengan penjepit kertas dari bahan logam yang berpotensi merusak kain.

Setrika dengan suhu sedang
Neneng mengatakan boleh saja menyeterika kain batik tulis tetapi tidak dalam suhu tinggi. Untuk di-press boleh saja, katanya, karena bisa diberi kanji.

Beri furing
Kalau memiliki kain batik yang usianya sudah berpuluh-puluh tahun, jangan ragu untuk memberinya lapisan furing. Alasannya, menurut Neneng, agar kain yang amat berharga itu tidak mudah sobek saat dipamerkan, terutama karena terkena jarum. “Jadi yang kena jarum adalah furingnya, bukan kain batik aslinya,” jelas wanita kolektor batik itu.

Tisik jika sudah mulai robek
Bagaimana jika sudah mulai robek? Kata Neneng, jangan mengabaikan robek sesedikit apapun dalam kain batik tulis karena bisa tambah parah.

 

Semoga bermanfaat!

(Sumber foto: Kurnia Effendi)

Dari Bincang Batik Sekar Jagad (2)

kurnia effendi(Baca bagian 1)

Karena ia murid, ia pun menuruti perintah Go untuk belajar maes manten ke Astuti Hendratmo, seorang akademisi sastra Jawa yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dari Astuti, Neneng belajar banyak detil-detil menarik dalam budaya Jawa. “Yang namanya tibi dodo (untaian bunga melati di dada pengantin – pen) harus dironce (rangkai) sendiri. Tidak boleh beli di Rawa Belong. Ternyata memang ada hubungannya dengan batik, seperti wahyu tumurun.

Neneng adalah orang yang menyarankan Go untuk mengarsipkan karyanya dalam bentuk sebuah buku dwibahasa. Go sepakat dengan idenya tetapi memberikan syarat bahwa Neneng-lah yang barus menulis buku itu. Meski bukan seorang penulis, Neneng menyanggupinya juga. Begitu draft buku itu selesai dibuat dan siap dicetak, Go mengatakan Neneng harus secepatnya menerbitkannya. “Ora nututi (tidak bisa mengikuti – pen),” kata Goh. Neneng baru tahu bahwa kata-kata itu memberikan sebuah pertanda bahwa akhir hidup Go sudah dekat. Sebelum diterbitkan, akhirnya Go menghembuskan napas terakhir.

Sebagai seorang yang berdarah asing, Go menjalani kehidupan lebih daripada orang Jawa kebanyakan, apalagi jika dibandingkan orang-orang Jawa masa sekarang. Bekas rumah Go, Dhalem Harjonegaran di Solo, masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, misalnya. Karena Go sendiri tidak memiliki keturunan (ia pernah menikah kemudian bercerai dari Nora Gunawan), akhirnya rumah itu diwariskan ke pasangan suami istri yang menjadi abdi dhalemnya.

Sekar Jagad, Petanya Dunia

Filosofi batik sekar jagad bervariasi. Ada yang mengartikan nama itu sebagai “bunga” dan “dunia”. Jadi artinya dunia yang bermacam-macam. Ada juga yang mengartikan “sekar” sebagai “kart” (peta). Jika dicermati, bentuknya memang mirip peta atau pulau. Ada oranag yang mengartikannya sebagai “kehidupan yang bermacam-macam di dunia ini”.

Neneng kemudian mengambil contoh batik sekar jagad babaran Solo. “Kain sogannya berbeda dari sogan Yogyakarta.”

Inilah hebatnya batik Indonesia, di dalamnya ada banyak kisah dan filosofi hidup. Neneng menceritakan sejarah di balik kain batik yang ia pakai saat itu sebagai jarik. “Ini saat Yogya pertama kali kena gempa, semua tempat pembatikan hancur di sana. Ibu Suliantoro memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi yang namanya Sekar Jagad. Inilah kain batik yang mereka buat di bawah tenda-tenda (pengungsian korban gempa – pen),” kenang Neneng. Sogan ini pucat dan lebih putih, tidak kuning.

Untuk isen, sekar jagad selalu mengambil motif-motif yang sudah dipakemkan di dunia batik. “Misalnya ada kawung, grinsing, truntum, udan liris. limar dan sebagainya. Kawung itu filosofinya dari biji kawung yang artinya subur, selalu akan tumbuh sesuatu. Udan liris itu hujan gerimis, jadi kalau hujan tanah akan subur dan membawa rejeki. Ada truntung, sesuatu yang tentram, yang diwariskan ke keturunan kita. Kembang kenikir bermakna penolak bala, banyak dipakai di upcara siraman. Semua arti motifnya pasti bagus.”

Kain sekar jagad buatan Yogyakarta dan Sllo, kata Neneng, jenis isen-nya hampir sama. Tetapi dari batik sekar jagad pesisiran seperti Pekalongan, warnanya bukan jenis sogan. “Ada kepala (tumpal) dan badan kain dalam sebuah sarung,” terang Neneng sambil menunjukkan batik karya Norma Makarim, seorang perajin batik Pekalongan yang terkenal di dekade 1970-an.

Pengerjaan batik itu harus bolak-balik idealnya, ujarnya. Begitu selesai di depan, harus diteruskan lagi di bagian belakang kain mori. “Harusnya kain batik tulis itu begitu.”

Sayangnya, sekarang ini para perajin terburu-buru mengejar waktu agar bisa menjual lebih banyak ke pasar. Neneng menyayangkan pembatik yang hanya mengerjakan satu sisi kain demi komersialisme. Ia masih ingat dengan nasihat Go Tik Swan:”Batik itu seni dan seni tak bisa dinilai dengan uang.” Karena tidak bisa dinilai dengan uang itulah, pengerjaan batik idealnya tidak tergesa-gesa, apalagi mengejar setoran atau target. Neneng menyebutnya sebagai ‘batik tulis separuh’, bukan ‘batik tulis’ yang sejati. Tak heran harganya jauh lebih murah dari batik tulis yang benar.

Neneng mengambil sehelai kain batik koleksinya, dan mengatakan,” Kalau ini sekar jagad dari Lasem. Mereka mengartikannya sebagai kehidupan, karenanya isen-isen yang dipakai berupa semua kehidupan yang ada di Lasem.” Latohan dalam kain batik Lasem menjadi ciri khas utama. Apa itu latohan? Inilah jenis tumbuhan laut yang hanya ada di Lasem. Neneng bertutur ciri khas lain batik Lasem ialah motifnya lebih klasik dan tradisional. Sangat menaati pakem batik.

Tentang batik sekar jagad Cirebon, Neneng mengatakan ciri khasnya meski putih tetapi agak kekuningan. Kain yang ia tunjukkan beraliran klasik karena mirip dengan kain batik Yogyakarta dan Solo. “Ada kawung, ada parang, ada grinsing, ada truntung, ada kembang kenikir, macem-macem.” Kain panjang Cirebon juga memiliki tumpal, pinggir kain juga tidak ‘diseret’ (dibatasi dengan garis, semacam garis tepi di kain) tetapi diberikan hiasan lagi.

Neneng menegaskan,” Semua motif kain batik itu harus ditutup (diseret atas bawah). Kecuali motif parang, karena tak berpenutup. Itu pakemnya. Saya pernah bertanya ke mas Go, karena parang itu dulu yang memakai adalah raja-raja sehingga tak ada batasan seperti yang lain. Sehingga kain batik apapun selain parang harus ditutup atau diseret. Ini yang banyak belum tahu.”

Sejarah kain batik pagi sore juga disinggung di sini. Neneng bercerita bahwa kain batik pagi sore dibuat dari zaman penjajahan Jepang. Saat itu kain mori harganya sangat mahal. Jadi satu helai kain dibagi dua motif. “Satu yang pagi, satu yang sore.”

Neneng juga memiliki sebuah galeri batik, namanya Sri Hana. Karena ia dan temannya menyukai batik tulis, ia hanya mengoleksi batik tulis.

Membedakan Batik Cap, Printing, Printing Duplex dan Tulis

Batik cap memang tak semahal batik tulis, tetapi menurut Neneng masih termasuk kain batik. Di luar itu, banyak orang yang menyebut “batik printing” tetapi Neneng lebih suka menyebut “printing tekstil dengan motif batik”. Batik cap masih termasuk kain batik karena di dalam pembuatannya masih digunakan malam dan menggunakan cap (stamp) dengan malam. Meski pengerjaan batik cap terkesan lebih mudah, Neneng mengatakan ada tantangannya juga. Harus tepat dalam mencap kainnya agar hasilnya bagus dan ini bukan perkara mudah. Perlu presisi yang baik dan mesin tidak dilibatkan dalam proses batik cap. Sementara untuk kain printing tekstil bermotif batik, mesin lebih banyak berperan dan malam tidak dipakai. “Cap itu buatan tangan dan harus bolak-balik dan pengerjaannya sulit. Saya menyaksikan sendiri. Cap tembaga itu berat dan panas juga, dan harus tepat ngecapnya,” tukas Neneng.

Neneng mengimbau para kolektor dan pembeli batik agar lebih jeli, karena sekarang banyak juga printing duplex, yaitu kain yang mirip batik tulis tetapi pembuatannya memakai mesin di kedua sisi kain. Hasilnya mirip kain batik tulis asli.

Alat-alat cap batik dan canting juga makin langka zaman sekarang. “Ternyata di Jawa Tengah itu pembuat canting tidak sampai 10. Sudah makin punah, padahal canting Indonesia terkenal bagus dan berkualitas,” Neneng menjelaskan. Di Polandia, mulai diproduksi canting batik juga tetapi kualitasnya tak sebagus Indonesia.

Karena canting pulalah, Neneng sempat berdebat mati-matian dengan Menteri Ekonomi Kreatif. “Tadinya canting mau dijadikan (canting -pen) listrik. Saya mengatakan,’Tidak bisa! Apa roso-nya saya bilang.’ Seperti orang melukis, kuasnya dilistrikin.” Ia ingin tetap mempertahankan canting tradisional dalam pengerjaan batik. Dengan sang menteri, ia berdebat tentang itu dan ditanya sinis,”Memangnya ibu ini bisa batik?” Neneng menjawab mantap,” Saya ini guru batik! Baru mereka cep (diam, menutup mulut karena kalah debat -pen)!”

Roso atau rasa dalam membatik itu sangat penting bagi Neneng. Dalam membuat, semua emosi dan curahan perasaan itu akan tertuang di kain. Bagi pembatik yang sudah ahli, kain bahkan tidak dipola lagi sebelum pengerjaan. Ia cuma butuh garis dan memberikan isen-isen langsung, tanpa pola.

Batik yang saya pakai saat itu juga batik sekar jagad asal Solo. Neneng yang sempat menyaksikan saya dan Edy bermanuver dengan gerakan-gerakan ekstrim tadi sempat terpikir,” Aduh, dipakai split, jangan sampai sobek kainnya!” (Bersambung)

Dari Bincang Batik Sekar Jagad (1)

kurnia effendi
Perbincangan tentang kain batik sekar jagad dengan Kurnia Effendi, Neneng Iskandar dan Sartono di Museum Tekstil, Jakarta Barat Sabtu lalu (20/ 12/ 2014) . (Sumber foto: Kurnia Effendi)

Nama Sri Shinta Sari mungkin bukan nama yang terdengar familiar bagi para pecinta batik nusantara. Namun, begitu disebut nama Neneng Iskandar, mungkin akan ada lebih banyak yang merasa akrab.

Hari itu saya menyaksikan sebuah acara diskusi batik di halaman tengah Museum Tekstil, Jakarta dan di tengah acara, dipanggillah oleh si pembicara sekelompok wanita yang dianggapnya mengenakan busana tradisional khas Indonesia, bukan cuma pakaian yang terinspirasi oleh kebaya. Benar-benar kebaya yang sebenarnya. Neneng adalah salah satunya.

Entah berapa usianya, tetapi mungkin lebih tua dari ibu saya. Kebayanya putih, kain jariknya kecoklatan. Nama jenis kebaya dan batiknya saya juga tak tahu. Maklumlah, saya bukan pemerhati kebaya dan kain. Saya sungguh-sungguh awam tentang dunia batik dan kain meski saya orang Indonesia dan Jawa asli.

Di balik kebaya putihnya yang menawan dan anggun itu, Neneng yang juga bersanggul dan rambut putihnya dibiarkan tak diwarnai itu ternyata menyimpan kejutan. Ia bisa silat. Bukan “silat lidah” seperti sebagian ibu-ibu, tetapi ia memang benar-benar bisa silat, seni bela diri asli tanah air. Dan tak hanya sampai di situ, Neneng juga menjadi pengurus penting di asosiasi pencak silat kita. Sangat di luar dugaan mengingat ia demikian fasih berbicara mengenai kain dan segala seluk beluknya.

Di Galeri Batik dalam kompleks bangunan Museum Tekstil Sabtu itu (20/ 12/ 2014), Neneng melangkah masuk  ke dalam untuk menjadi pembicara dalam acara diskusi lain mengenai batik sekar jagad yang dikoleksi oleh Kurnia Effendi. Saya tak menyangka wanita yang saya saksikan tadi siang di panggung acara di halaman tengah juga ikut menghadirinya.

Saya dan teman saya Edy didaulat menjadi peraga koreografi yoga yang sederhana. Menyebut kami sebagai penari rasanya kurang tepat, menyebut kami yogi juga agak terlalu berlebihan. Pegiat yoga, mungkin lebih pas di telinga tanpa menimbulkan kesan pongah. Kami cukup lama memperagakannya, tanpa henti, terus mengalir hingga lagu latar kami habis diputar.

Sehabis koreografi yoga kami suguhkan, acara diskusi batik sekar jagad pun dihelat. Ruangan depan Galeri Batik memang tak seluas auditorium atau aula. Namun, tak bisa dipungkiri ada antusiasme di dalam diri para hadirin yang menyimak informasi batik dengan tekun dari dua sosok di depan kami ini. Sebagian ada yang benar-benar awam seperti saya, ada juga yang sudah menyatakan ketertarikan untuk mengkoleksi batik tulis dengan lebih serius. Yang lain ada yang sudah bergelut dengan batik sejak kecil dan masih ingin menggiatkan semangat membatik di kalangan orang muda. Ada juga yang datang karena merasa familiar dengan batik, yang dikenakan juga oleh ibunya.

Neneng mengakui dirinya terpukau dengan koreografi yoga yang kami bawakan. Akan tetapi, akan lebih pas rasanya kalau diiringi alunan gamelan, saran Neneng pada kami. Benar juga, pikir saya. Neneng mengatakan gamelan memiliki pesonanya sendiri. Alunan gending Jawa, kata Neneng yang teringat dengan satu penelitian di AS, bisa mengendalikan emosi. Gending, khususnya dari Jawa, memiliki khasiat penyembuhan alami. “Ada alunan-alunan lembut dalam gending Jawa yang memang bisa menyentuh ‘roso’ (rasa, perasaan – pen) dan menenangkan emosi kita,” ujarnya.

Keterlibatannya dalam Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia yang bermarkas di Masjid At-Tiin dekat Taman Mini Indonesia Indah bersama sang suami selama 3 periode hingga tahun 2016 juga didasari oleh ketertarikan Neneng pada hal-hal yang berbau tradisi Indonesia.

“Ternyata batik itu juga ada hubungannya dengan silat karena kalau kita membatik yang betul itu harus ‘jejeg’ (tegak, tegap -pen),” terang Neneng. Membatik itu sebaiknya dilakukan dalam kondisi badan yang tegak. Membatik dalam keadaan badan membungkuk sebenarnya tak disarankan. Mengapa ini penting? Karena semua hasil membatik itu nantinya juga akan terpengaruhi oleh postur tubuh si pembatik.

Neneng telah mulai menekuni batik sejak berdirinya Museum Tekstil di Jl. K. S. Tubun, Jakarta Barat itu. Inisiatif pendirian Museum Tekstil ialah dari gubernur Jakarta yang menjadi role model Ahok, mendiang Ali Sadikin. “Beliau ke Belanda, masuk ke sebuah museum, isinya barang-barang Indonesia khususnya kain-kain kita padahal kita sendiri belum punya. Setelah kembali ke Jakarta, Ali Sadikin mengatakan,’Harus ada museum (kain – pen)!’” Begitulah awal mula Museum Tekstil.

Riwayat Museum Tekstil

Sebelum tahun 1976, bangunan yang sekarang adalah Museum Tekstil itu digunakan sebagai kantor Departemen Sosial RI. Karena bangunannya sudah tua dan cocok sebagai museum, kantor Depsos itu dipindah dan kemudian diisi dengan kain-kain koleksi pribadi sekelompok penggemar batik yang nantinya adalah cikal bakal perkumpulan Wastra Prema. Beberapa di antaranya adalah Aji Damai, Gusti Putri, Herawati Diah, Min Syafi Alim, Tin Sofyan.  Mereka inilah yang mengisi museum tersebut pertama kali. Dari 500-600 kain, jumlah koleksi Museum Tekstil hingga saat ini sudah mencapai 3000-an.

Lebih lanjut Neneng menceritakan bahwa asal mula nama Wastra Prema dipilih ialah karena ide dari ibu Syamsu Rizal, istri salah satu gubernur Jakarta dahulu. “Usulan pertamanya ‘tapih’ dan ‘jarik’, cuma terlalu (bernuansa- pen) Jawa. Diambillah ‘wastra’ yang dalam bahasa Sansekerta artinya kain, ‘prema’ itu pecinta.”

Belajar dari Go Tik Swan

Neneng mencintai batik sebagian juga karena dididik oleh sang ibu untuk mengenakannya dalam berbagai kesempatan. Suatu kali ia pernah menemukan kain batik milik ibunya. Di dalamnya tertera nama seseorang berdarah Tionghoa yang memakai nama Indonesia juga:” Go Tik Swan”. Ibunya kala itu mengatakan Go adalah pembuat batik yang berkualitas.

Ternyata Go Tik Swan bukan cuma pembatik ulung. Ia juga ahli tosan aji (keris), seorang penari Jawa, dan ahli gamelan. Neneng remaja sampai terkagum-kagum padanya.

Setelah menikah tahun 1969, Neneng mulai sering memakai kain batik produk Go. Saat itu ia belum pernah bertemu dengan Go.

Dalam satu kesempatan, ia sempat ditegur oleh istri menteri Chairul Saleh yang juga penggemar batik. Ia yang belum banyak berpengalaman dalam berbusana di acara-acara publik pun kini selalu ingat dengan nasihat: “Dalam berbagai kesempatan, tunjukkan jati diri kamu.” Saat itu Neneng hanya mengenakan long dress bermotif batik dan blus lengan panjang, yang menurutnya sudah bagus. Namun, di mata mereka yang menggemari batik, busananya belum menunjukkan jati diri Indonesia Neneng. “Saya memang sering pakai kain tetapi di acara-acara tertentu, dan saya tidak pakai saat itu karena pikir saya itu acara biasa,” terangnya. Dari sini, pemikirannya mengenai berbusana pun berubah. Tak peduli acaranya, jika memungkinkan, ia memakai kain bahkan dalam kegiatan sehari-hari.

Tahun 1972 menjadi tonggak yang bermakna dalam bagi perjalanan Neneng sebagai pecinta batik. Saat itu, kakak iparnya mengajaknya berdiskusi mengenai bagaimana mengangkat prestasi seseorang yang karyanya sangat adiluhung ke muka publik.

Menurut penuturan Neneng, Go Tik Swan mengaku diamanahi oleh Soekarno pada tahun 1950 untuk membuat batik yang khas Indonesia. Kala itu batik-batik sogan banyak dipakai di Solo dan Yogya, sementara batik-batik berwarna cerah di daerah pesisir. Go memadukan kedua jenis batik itu menjadi sehelai kain batik parang dengan warna-warni berani. Karyanya itu dilegitimasi oleh Bung Karno sebagai batik Indonesia, kata Neneng yang menulis sebuah buku tentang perjalanan hidup Go.

Neneng terkejut saat ia sadar bahwa kain yang dikatakan karya adiluhung itu adalah kain yang dimiliki ibunya juga. “Saya pikir ibu saya keren juga ya, sudah memilih pembatik yang bagus,” kenang perempuan dengan satu anak itu.

Sejak tahun 1972, Neneng berkenalan dengan Go kemudian berinteraksi dengannya. Ia menjadi muridnya selama 35 tahun sampai Go meninggal dunia. “Darinya, saya belajar banyak sekali tentang seni budaya.”

Neneng mengatakan seni batik terkait erat dengan aspek-aspek budaya lainnya. Ia juga terkejut saat Go menyuruhnya belajar seni merias pengantin (maes manten). “Saya bilang,’ Apa hubungannya?’ (Bersambung ke bagian 2)