Google Maps dan Privasi yang Terampas

smartphone car technology phone
Google Maps, buah simalakama. (Sumber foto: Pexels.com)

Turun dari ojek online yang saya tumpangi sore ini, saya terkejut.

Bukan karena saya menyaksikan pengemudi saya sedang menabrak sesuatu di depan kami. Ia mengendara dengan baik dan tertib. ia juga mengantarkan saya tepat di depan tempat tinggal saya.

Hanya saja, di depan kami ada seorang pria tinggi besar.

Bukan karena perawakannya yang demikian tetapi lebih karena barang bawaannya.

Barang bawaannya ini sangat menjulang. Bahkan sampai melampaui ubun-ubun kepalanya yang ditutupi oleh topi berwarna biru tua.

Sementara itu, barang bawaan di tas punggung besar tadi juga berwarna biru tua dan tampaknya sebuah kamera.

Kamera untuk apa?

Nah, karena penasaran saya terus ikuti gerak gerik pria itu hingga di ujung gang.

Benar saja dugaan saya. Alat yang ia bawa adalah perangkat kamera khusus dari Google untuk merekam lekuk-lekuk permukaan ‘tubuh’ Jakarta.

Saya jadi teringat dengan keisengan teman-teman kerja saya yang di suatu sore membuka Google Maps di komputer mereka dan secara virtual menelusuri rute dan lokasi rumah tempat tinggal masing-masing.

Area Jakarta dan sekitarnya tentu sudah bisa dirambah karena pada dasarnya semua sudah terekam jelas via satelit di atas bumi.

Hanya saja yang belum terekam adalah area permukiman yang masih belum ada akses memadai. Gang-gang sempit di permukiman urban yang kumuh dan padat penduduk.

Yang menurut saya agak mengejutkan adalah akurasi detailnya yang cukup ‘mengerikan’.

Betapa tidak?

Meskipun rumah asal saya bukan di ibukota, saya ternyata sudah bisa menemukannya di Google Maps. Itu artinya seseorang dengan mengendarai mobil (karena rumah orang tua saya tepat di depan jalan kampung) yang dilengkapi peralatan kamera Google Maps sudah melintas dan merekam tampilan fisik depan rumah kami. Tampak jelas properti yang dimiliki, misalnya berapa kendaraan pribadi yang dimiliki, berapa lantai di rumah tersebut, warna catnya, jenis gaya arsitektur rumahnya, dan kalau ‘beruntung’, terekam juga para penghuninya yang sedang berdiri atau duduk santai di teras rumah. Sekalian ‘mejeng’ dan terkenal di Google.

Untuk mereka yang hanya berpikir soal bagaimana menjadi terkenal dengan bisa dilacak orang lain dengan tampil di Google Maps, tentu hal ini dipandang sebagai suatu kecanggihan teknologi yang patut disyukuri. Belum ada teknologi semacam ini sebelumnya. Dan sangat membanggakan jika kita bisa menjadi bagian darinya. Setidaknya jika bukan sebagai produsen, menjadi konsumen juga tidak masalah. Asal tidak ketinggalan zaman!

Namun, tidak semua orang berpikiran demikian juga. Ada yang menyingkirkan pola pikir semacam itu dan justru berpikir sebaliknya, bahwa apa yang dianggap sebagian orang sebagai “kemajuan teknologi” ini adalah ancaman bagi privasi diri dan keluarganya.

Alasan ketakutan ini tentunya bukan tanpa alasan.

Ada risiko penyalahgunaan data tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan juga parahnya akan susah dilacak.

Keterbukaan akses menuju Google Maps ini patut menjadi perhatian kita semua.

Karena siapa yang mau rumahnya bisa diintai oleh oknum-oknum yang berniat kurang baik?

Kebetulan saja teman saya yang membuka Google Maps tidak berniat buruk dan cuma iseng ingin mengetahui seperti apa rumah saya. Bagaimana jika orang itu adalah mereka yang berniat mencuri, membobol rumah kita di musim Lebaran nanti?

Tentu saja skenario ini terkesan paranoid atau berlebihan. Namun, harus diakui bahwa ini celah yang bisa dimanfaatkan oleh para kriminal.

Dengan semakin ‘telanjangnya’ kita di depan Google, rasanya kita mesti mulai memikirkan bagaimana mengatasi risiko ini agar tidak menyesal di kemudian hari. (*/)

Mereka yang Memburu Bintang

Ekonomi berbagi (sharing economy) yang awalnya terlihat indah, adil, dan menyenangkan, lama-lama menampakkan boroknya juga.

Kemarin lusa saat saya menunggangi sebuah tumpangan dwiroda menuju ke tempat bernaung, saya dikagetkan dengan keluhan sang pengemudi.

Saya sudah pesimis. Sebab sebelumnya saya sudah salah menumpang kendaraan!

Ya, jadi begini ceritanya: saya sudah tak tahan menunggu. Begitu ada sebuah sepeda motor dengan pengemudi berhelm hijau mendekat, saya otomatis melambai, mengangguk, naik dan melesat bersamanya sembari melambaikan tangan pada semua orang di halte tempat saya menunggu:”Bye, sobat-sobat misqueennnn!”

Kembali ke pokok pembahasan. Jadi saya sudah mapan di jok sepeda motor itu. Hingga di tengah jalan, saya dikejutkan dengan pernyataan si pengendara ojek daring:”Loh ada pesan dari penumpangnya!”

Saya tersentak.

“Duh, ini bukan pengemudi yang saya pesan ya?”

“Lho, tadi kata bapak ke (masukkan nama tempat di kolong langit ibukota)?” sergah saya.

“Lha tadi saya juga udah nanya. Namanya situ (masukkan nama seorang manusia yang pendek dan bersifat uniseks) nggak?”

Langsung ia berhenti dan menurunkan saya.

Saya duduk di pinggir jalan dengan rasa nelangsa.

Dasar penumpang buntung!

Lalu saya bertukar pesan dengan pengemudi yang saya pesan dan ternyata ia masih di suatu titik di dekat tempat saya tadi dijemput. Lalu lintas begitu padat tetapi setidaknya tidak hujan, saya pikir. Setidaknya 10-15 menit saya duduk di tepi jalan dengan perasaan tak sabar. Saya cemas ia tersesat dan kami tak bisa bertemu.

Untung ia segera menemukan saya. Wajahnya berbinar. Saya pun.

Saya sudah cemas dari tadi, apakah ia akan membatalkan order saya secara sepihak? Karena zaman sekarang, pengendara ojek bisa membatalkan order juga jika mereka merasa terlalu jauh atau repot atau macet untuk menjemput dan mengantar si penumpang ke tujuan.

Sementara saya cenderung tak suka membatalkan jika sudah sekali dapat. Lebih baik saya tunggu sampai benar sampai di titik penjemputan.

Begitu saya bicara dengannya, saya minta maaf sudah menambah drama pada proses penjemputan karena salah naik ojek.

Ia sendiri menjelaskan alasannya gigih menjemput saya.

“Sudah dua kali dibatalkan penumpang, pak. Makanya jangan sampai dibatalkan lagi hari ini,” ia berkeluh-kesah.

Perusahaan pemberi kerja akan memberi hukuman berupa pemberhentian sementara selama 3 hari untuk pengemudi mereka yang tercatat dibatalkan ordernya.

“Kalau dibatalkan lagi, bintang saya bisa turun, habis. Celaka saya!” ungkapnya dengan nada agak memelas. Rupanya ia mengais nafkah 100 persen dengan mengojek. Tidak menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan.

Kasihan memang. Apalagi jika sudah mantan bujangan, dengan tanggungan istri dan keluarga. Selain diri sendiri, ada beberapa mulut lain yang menganga meminta suapan makanan. Habislah penghidupan jika ia dicekal.

Lanjutnya,”Repot kalau customer batalin pak. Bintang bisa turun. Nggak bisa ‘narik’ tiga hari. Dulu mungkin kalau customer batalin, performa nggak kena dampak tapi sekarang sama aja.”

Perusahaan-perusahaan ojek daring memang sekarang diketahui makin ketat menyeleksi kandidat pengemudi. Yang sudah masuk jadi pengemudi pun belum tentu aman karena jika dilaporkan telah melanggar aturan lalin (misalnya mengebut, menerobos lampu lalin, tidak membawa helm, dsb) oleh polisi maka ia akan langsung diputus hubungan kerja. Tanpa basa-basi pokoknya. Dan tanpa pesangon karena mereka cuma mitra, bukan karyawan formal. Jadi, intinya jangan macam-macam! Ikut aturan kami atau enyah dari sini. Ya tapi masuk akal juga karena perusahaan-perusahaan itu kini juga menyediakan asuransi jiwa bagi si pengemudi. Besarannya lumayan juga. Dulu kalau celaka di jalan, ya sudah. Tidak ada pertanggungjawaban dari pemberi kerja informal itu.

Untuk mencegah turunnya jumlah bintang yang berakibat pada penurunan penilaian performa (yang menghambat pengambilan bonus juga), mereka yang menjadi pengemudi mitra mesti rajin, patuh dan tertib di jalan.

“Dan kalau sudah tahu di peta pengemudi posisinya jauh, langsung aja dibatalin sebelum satu menit sejak dapat, pak. Kalau lebih dari semenit lalu dibatalin, driver yang kena penalti,” pengemudi itu kembali merinci.

Kenapa bisa terlalu jauh? Nah, itu juga misteri. Kadang aplikasi mencocokkan pengemudi dengan penumpang yang lokasi penjemputannya relatif jauh dari posisinya. Dan kalaupun terlihat dekat, harus putar-putar sebab tahu sendiri bagaimana pengaturan lalin ibukota, bisa menjauhkan yang dekat, dan lebih menjauhkan yang sudah jauh. Makanya, tidak efisien. Boros bahan bakar fosil, psikis dan mental karena terlalu lama di jalan.

Lalu bagaimana solusinya?

Mungkin pihak pembuat aplikasi abisa merancang perbaikan dalam sistem mereka agar pengemudi bisa ditemukan dengan penumpang yang terdekat dengan mereka. Agar penumpang tak menunggu lama. Agar pengemudi tak capek berputar-putar di jalan. Dan agar jumlah kasus pembatalan yang seharusnya tidak terjadi bisa dicegah sebisa mungkin. (*/)

Verstuurd vanaf mijn iPhone

Kenapa Sopir Ojol Makin Tertib

Sopir ojol (ojek online) saya kali ini memiliki pembawaan tenang. Dan saat saya suruh berputar di titik yang tidak ada rambu-rambunya, ia dengan penuh keyakinan menolak.

Wow, keren! Pikir saya.

Tetapi itu semua ada alasannya.

“Sekarang miris, mas. Kalau ketahuan melanggar bisa diaduin ke [sebut perusahaan pemberi kerja]. Plat nomor langsung dikirim ke perusahaan dan kita dipecat jadi pengemudi,” kata sopir saya ini.

“Oh ya?” Saya pura-pura antusias.

Ia mengimbuhi: Temannya baru saja mendapati dirinya menjadi korban pengaduan polisi. Entah apa pelanggarannya, ia tahu-tahu diberi suspensi atau hukuman sehingga tidak bisa bekerja alias ‘narik’ selama 3 hari berturut-turut. Alhasil, ia tak bisa memberi nafkah keluarga.

“Sekarang sadis, mas. Perusahaan makin agresif pecat sopirnya yang dianggap ‘nakal’. Berulah dikit, langgar dikit, langsung kena skorsing. Kalau masih kena lagi, langsung dipecat tanpa ampun!” keluhnya lepas.

Pahit memang hidup sebagai orang kecil di Jakarta yang begini ganas persaingannya.

Tetapi di sisi lain, ia juga membenarkan bahwa tampaknya perusahaan hanya ingin mempertahankan pengemudi-pengemudi yang berperilaku baik di jajaran mereka. Dan sebagai ganjarannya, jika pengemudi ini taat berlalu lintas, mereka akan dilindungi dengan asuransi.

“Seratus dua puluh juta rupiah kalau ada kecelakaan yang menimpa pengemudinya sekarang, mas. Penumpang juga dapat,” terangnya.

Makanya, ia kini sering merasa deg-degan jika ketemu polisi dan bahkan petugas DLLAJR dan pria berseragam yang mengatur lalin. Jika macam-macam, plat nomornya bisa difoto dan langsung dikirim ke perusahaan yang mempekerjakannya. Tamat riwayatnya sebagai pengemudi sebab aib itu akan juga diketahui perusahaan ojek online pesaing dan ia tak akan bisa mengemudi lagi sebagai sopir ojol di manapun.

Beberapa waktu lalu, lanjutnya, ada seorang wanita yang mengklaim asuransi tadi. “Ia kecelakaan, mas. Kakinya kelindes truk. Cacat deh seumur hidup! Terus mau klaim asuransi. Tapi nggak bisa,” tuturnya perih.

Cerita lengkapnya begini: Si perempuan mengemudikan kendaraan ojol di suami yang sedang sakit. Sudah dibilang tidak boleh tapi bersikeras. Di tengah jalan, ia mengemudi dan kaget serta kehilangan keseimbangan karena tidak menyangka ada lubang besar menganga di depan. Sejurus kemudian, ia tersungkur di bawah truk dan kakinya terlindas. Habis sudah!

“Masih hidup pak sampai sekarang?” tanya saya miris. Saya memiliki pengalaman buruk dengan kecelakaan lalin seperti ini. Saya pernah jadi korban juga.

“Masih. Mana anaknya masih kecil lagi. Makanya sekarang ia hidup mengenaskan. Sudah cacat, tidak bisa ke mana-mana, dan …yah gitu deh,” tambahnya dengan detail yang lebih mengiris hati.

Perusahaan mungkin terasa kejam di mata mereka tetapi bagi saya ini memang ada benarnya juga. Secara bertahap, kita memang harus mendukung berbagai upaya dari semua pihak yang berkepentingan untuk menjaga perilaku berlalu lintas di jalan raya. Meski itu awalnya terkesan sadis dan tidak tahu rasa kemanusiaan.

Masih mau melanggar aturan?

Makanya sebagai penumpang, kita juga harus mulai menghindari kelakuan minus yang menyarankan pengemudi untuk melanggar aturan lalin. Apalagi mengebut!

“Kebanyakan penumpang cewek tuh yang suka nyuruh saya ngebut. Takut telat ke kantor. Lha kenapa nggak berangkat lebih pagi aja?” pungkas sopir ojol ini lagi.

Yah, mungkin niatnya berangkat pagi tapi karena kelamaan mandi dan merias diri, eh tahu-tahu sudah hampir masuk jam kerja. Maklum saja ya, pak… (*/)