SETELAH presiden Joko Widodo mengumumkan masyarakat boleh copot masker di ruang terbuka beberapa waktu lalu dan penurunan level PPKM ke level terendah serta dibolehkannya mudik Lebaran tahun ini, masyarakat Indonesia seakan tumpah ruah ke berbagai wilayah untuk melampiaskan keterkungkungan mereka selama 2 tahun ini dalam rumah.
Saya sendiri melihat pusat-pusat perekonomian makin menggeliat. Mall mulai ramai lagi, bioskop pun dibuka kembali. Ini bisa dilihat dari berbagai unggahan di media sosial terutama Instagram stories yang menunjukkan kembalinya orang Indonesia ke fasilitas umum, layaknya sebelum pandemi menyerang.
Dan setelah apa yang terjadi selama 2 tahun ini, saya pernah mendengar seseorang bertanya: “Memangnya Covid itu ada ya?”
Haha serius. Saya tidak bohong. Ya begitulah kondisi di lapangan. Sudah dibombardir dengan berbagai berita dan informasi tapi kalau sudah tak percaya dari dalam hatinya, ya sudah. Tidak bisa dipaksa. Bahkan hingga ia sudah terjangkit pun, bisa saja lho masih berkata: “Ini bukan Covid.” Lalu harus bagaimana?
Pengumuman copot masker di ruang terbuka itu sendiri dikatakan sangat terlambat. Bahkan jadi lucu karena sesungguhnya di lapangan masyarakat sudah sejak lama sudah mencopot masker mereka. Imbauan pemerintah untuk selalu pakai masker saat di luar rumah hanya mempan saat di tempat umum dengan kepentingan ekonomi yang tinggi semacam pasar, mall, sekolah, pabrik, stasiun kendaraan umum, dan sebagainya. Tapi di luar itu semua ya masker tak pernah dipakai lagi. Bahkan aparat kalau keluar area kerja juga sudah copot masker meski belum dibolehkan presiden kok. Dan tak perlu ke kampung-kampung, Anda bisa temukan orang tak pakai masker di tengah Jakarta.
Setelah pengumuman presiden ini, masker menjadi semacam pernyataan sikap dan pemikiran seseorang mengenai kesehatan mereka. Mereka yang bersikap waspada dan hati-hati dengan kesehatan, masih memilih untuk mengenakan masker. Apalagi mengingat level pencemaran udara bagi Anda yang tinggal di perkotaan itu tinggi. Masker bisa mengurangi dampak pencemaran pada paru-paru kita. Lalu belum lagi virus selain Covid, misalnya TBC, flu, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang bisa menjangkiti kita semua di lingkungan yang makin tak terbendung saja.2
Meski RI ditunjuk menjadi tuan rumah Forum Penanganan Bencana PBB tahun ini, tapi untuk mengatakan RI sukses melewati pandemi ini, rasanya kok terlaku pongah ya.
Kita jangan lupa deh dengan berbagai pekerjaan rumah yang masih terbengkalai di dalam rumah. Termasuk penyesuaian hidup dengan perubahan iklim yang konon juga berkaitan dengan munculnya Covid-19 ini. Penularan virus hewan ke manusia ini awalnya ya dari perambahan hutan dan eksploitasi satwa liar yang seharusnya dibiarkan hidup di hutan, bukan dikonsumsi manusia.
Tapi namanya juga manusia. Makin dilarang, makin bernafsu malahan.
Soal keberhasilan vaksinasi, ada yang mengklaim kita bisa menghasilkan vaksin sendiri dari Biopharma. Tapi nyatanya di lapangan kan stoknya tak bisa mencukupi untuk satu negara. Malahan yang populer dan lebih membanjiri program vaksinasi itu jenis vaksin asing macam Pfizer, Moderna, Astrazeneca, Sinovac, dan sebagainya. Memang vaksinnya gratis tapi kita tidak tahu apa yang harus digadaikan negara demi mendapatkan hibah vaksin ini ya.
Sekarang pemerintah menepuk dada bahwa hasil penanganan pandemi mereka sukses. Hasilnya sekarang masyarakat Indonesia sudah bisa kembali beraktivitas, roda ekonomi kembali berputar, semuanya kembali bekerja seperti sediakala. Ekonomi pun digenjot terus demi mencapai target pertumbuhan di atas 5% tahun ini. Optimisme meluber ke mana-mana dengan dibukanya kran turis baik ke dalam dan ke luar negeri. Pokoknya optimis teruslah ya.
Resiliensi dan daya lenting masyarakat Indonesia memang mencengangkan tapi itu bukan berarti pemerintah bisa mengakuinya sebagian hasil kerja kerasnya selama ini. Itu prestasi milik rakyat. Please jangan diakui sebagai hasil kerja Anda, bapak-bapak birokrat.
Ketangguhan masyarakat ini bukan berarti pemerintah lalu membiarkan masyarakat begitu saja. Tetap dong bapak-bapak harus kerja keras memberikan perlindungan dan kemudahan bagi rakyat yang sudah bekerja membanting tulang begini. Jangan malah tambah dipajaki makin tinggi. (*/)
Olahraga seperti apa yang bisa dilakukan saat pandemi seperti sekarang? (Photo by Keiji Yoshiki on Pexels.com)
Mendengar Izak Latu, dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, menceritakan pengalamannya dirawat setelah terkena COVID-19 hingga sembuh cukup bisa menginspirasi kita semua mengenai pentingnya berolahraga di masa-masa seperti sekarang.
Semasa masih sehat dan belum terkena COVID-19, Izak gemar berenang. Ia yakin berenang membuat paru-paru, organ vital yang menjadi sasaran virus baru ini, menjadi lebih kuat. “[Kebiasaan berenang] itu membuat pekerjaan dokter luar biasa (mudah -pen),” ujarnya. Kebiasannya berenang, maksud Izak, membuat paru-parunya lebih kuat sehingga ia tidak sampai drop ke kondisi yang sangat kritis. Nadinya juga menjadi lebih stabil.
Semasa dirawat di ruang isolasi rumah sakit, ia tidak bisa berjalan ke mana-mana. “Saya hanya menggerak-gerakkan kaki,” ucapnya. Ia meniru gerakan mendayung bak orang berenang.
Begitu dinyatakan sembuh, Izak kemudian melanjutkan kebiasaan berolahraga itu dengan berjalan kaki dengan rutin di bawah sinar matahari. Ia juga menggerakkan tangan dan lengan dan melatih pernapasan. Menurutnya, olahraga dan latihan napas ini membuat paru-paru yang sudah terkena COVID-19 itu bisa kembali bekerja seperti sediakala.
Olahraga Tingkatkan Kekebalan Tubuh
Sudah bukan rahasia lagi bahwa olahraga secara rutin memang bisa meningkatkan kekebalan tubuh seseorang. Sains juga membuktikannya tanpa ragu. Sebuah studi yang dilakukan peneliti di University of Bath dan dirilis hasilnya pada Maret 2020 lalu menyatakan bahwa ditemukan adanya dampak positif dari kebiasaan berolahraga secara teratur bagi semua orang yang menginginkan kekebalan tubuh mereka tetap prima di masa pandemi agar Coronavirus tidak mudah masuk dan membuat kondisi tubuh hingga drop bahkan sampai mengalami kematian.
Meskipun kita tidak bisa berolahraga di pusat kebugaran atau studio atau tempat-tempat umum sebebas dahulu, tetap saja olahraga sangat dianjurkan tetap dilakukan. Selama 4 dekade telah dilakukan penelitian terhadap dampak olahraga terhadap kekebalan tubuh.
Olahraga Seperti Apa?
Olahraga yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh kita tidak perlu yang berintensitas berat. Cukup dengan melakukan olahraga berintensitas sedang saja kita sudah bisa mendapatkan manfaat peningkatan imunitas tersebut.
Bentuk dan jenis olahraga yang dimaksud misalnya berjalan kaki, berlari, bersepeda, dan olahraga aerobik lainnya. Durasi totalnya seminggu ialah 150 menit. Itu artinya Anda bisa melakukannya selama 30 menit sehari dalam 5 hari seminggu (istirahat di akhir pekan).
Anda yang terbiasa berolahraga di pusat kebugaran atau tempat lain mungkin beralasan bahwa olahraga di rumah dan sendirian kurang ‘afdol’. Alat-alat pun tidak selengkap jika Anda berlatih di gym-gym besar. Namun, para pakar menyarankan bahwa Anda tetap melakukan olahraga sebisa Anda karena ini lebih baik daripada sama sekali tidak berolahraga selama masa pandemi yang belum diketahui secara pasti kapan akan berakhir.
Lalu bagaimana jika Anda sudah terbiasa berolahraga dengan intensitas berat karena memang bekerja penuh waktu sebagai atlet profesional atau memang sebelumnya sudah berkebiasaan olahraga yang berat? Apakah olahraga intensitas berat justru memberatkan tubuh dan menurunkan kekebalan?
Memang ada sebagian kalangan yang berargumen bahwa olahraga berintensitas berat bisa menekan sistem kekebalan tubuh yang memicu adanya rentang waktu yang lebih lebar untuk terjadinya infeksi selama masa pemulihan pasca olahraga berat tersebut.
Namun, studi yang dilakukan di tahun 2018 membuktikan bahwa dugaan tersebut ‘lemah’ sebab tidak ada bukti yang cukup kuat. Peneliti menyatakan dalam jangka pendek olahraga bisa membantu sistem kekebalan tubuh menemukan dan menghadapi patogen. Dalam jangka panjang, olahraga secara rutin memperlambat perubahan-perubahan seperti penuaan yang terjadi pada sistem kekebalan tubuh sehingga bisa mengurangi risiko infeksi.
Faktor-faktor Risiko Infeksi
Jadi, Anda jangan takut untuk berolahraga sedikit lebih berat dan sering daripada biasanya (asal masih dalam batas kewajaran). Karena penelitian justru menemukan bahwa olahraga bukan faktor yang membuat risiko terinfeksi lebih tinggi. Faktor-faktor tersebut ialah asupan makanan yang kurang bergizi, stres atau tekanan psikologis, tidur yang kurang cukup secara kuantitas dan kualitas, perjalanan jauh, dan paparan terhadap pathogen di acara-acara olahraga berskala massal. Bukan olahraga yang dilakukan secara mandiri di rumah.
Olahraga sebagai Pencegahan COVID-19
Dalam konteks pandemi seperti sekarang, olahraga justru bermanfaat asalkan tidak dilakukan secara massal, bersama banyak orang di tempat dan waktu yang bersamaan. Kita jangan sampai meremehkan pentingnya menjaga kebugaran, gaya hidup aktif dan kesehatanselama masa pandemi ini. Olahraga mandiri di rumah tetap disarankan.
Jika berolahraga di luar rumah pun harus diingat anjuran jaga jarak (physical distancing) yang sudah diberikan pihak berwenang. Misalnya, tidak berdekatan dengan orang lain minimal 1-2 meter, mencuci tangan lebih sering dengan sabun atau cairan alkohol pembasmi bakteri saat berkegiatan olahraga, dan menggunakan masker muka.
Dan sekali lagi, meski olahraga bisa menjadi penyelamat, jika tidak diiringi dengan perbaikan pola hidup agar menjadi lebih sehat secara holistik, Anda tetap saja akan ‘kebobolan’. Maksud saya adalah percuma sudah berolahraga jika kita masih kurang tidur, atau makan secara sembarangan (kurang sehat dan seimbang), atau tidak menjaga kebersihan selama berkegiatan. Jadi, pendekatan yang holistik masih diperlukan. Tidak bisa setengah-setengah. (*/)
Welcome back to my podcast after a while yaaa. Haha.
Sebelumnya gw lebih banyak bahas soal tidur sebagai perbaikan kualitas hidup.
Nah, gw kayaknya masih mau fokus ke masalah itu karena seperti kita ketahui di masa pandemi dan isolasi mandiri ini, gw sering dengar keluhan ada orang yang insomnia.
Bukannya di rumah bisa tidur semau kita?
Ya iya sih kalau kita nggak ada tanggungan kerjaan.
Buat yang kerja dari rumah, tidur cukup juga masih bisa jadI masalah lho meskipun mereka tidak harus bangun lebih pagi buat commute atau melakukan perjalanan ke tempat kerja.
Di masa pandemi ini mereka yang kerja dari rumah juga nyatanya masih ada yang merasa kurang tidur.
Kenapa?
Ya karena pekerjaan mereka masih bisa membayangi di mana saja di suddut rumah. Padahal rumah selama ini kita anggap sebagai sebuah istana yang memungkinkan kita istirahat, jauh dari hiruk pikuk kerjaan.
Eh, tapi di masa pandemi, rumah kita malahan jadi neraka dunia karena urusan kerjaan juga masuk ke dalamnya.
Dan bagi mereka yang sudah punya rumah tangga dan tanggungan anak, urusannya bakal lebih pelik lagi karena bayangkan saja harus mengurusi pekerjaan lalu tanggung jawab sebagai orang tua atau pasangan secara bersamaan.
Fiuh!
Buat mereka yang nggak ada kerjaan di rumah, masalah juga bukan berarti tidak ada.
Bisa jadi mereka yang tidak bekerja ini adalah korban PHK, atau perumahan, atau cuti tanpa dibayar oleh perusahaan mereka.
Mereka yang tidak ada kegiatan di rumah juga mungkin adalah pekerja lapangan yang bisanya kerja saat di luar rumah, misalnya supervisor proyek. Mana bisa kalau tidak ke tempat proyeknya langsung? Masak mau Cuma video call sama pekerja? Kan nggak bisa juga.
Belum lagi masalah terhentinya pemasukan buat mereka yang nggak ada kerjaan ini.
Klop, makin streslah. Akhirnya tidur juga tidak bisa.
Terbayang-bayang kan? Bagaimana dengan masa depanku?
Jadi singkatnya, yang masih bisa kerja, stres juga karena kerjaan terus membanjiri. Dan mungkin bertanya, sampai kapan bisa terus bekerja? Apakah jangan jangan aku akan di-PHK juga? Atau akankah ada pemotongan gaji?
Yang sudah tidak bisa kerja juga resah, tidak bisa tidur malam dengan nyenyak sebab masalah hilangnya sumber nafkah sudah di depan mata.
Besok saya, anak istri mau makan apa?
SALAH KAPRAH KERJA SAMPAI LELAH SELAMA PANDEMI
Oke pagi ini gw baca kalimat yang cukup menghenyak di instagram @theatlantic. Begini bunyinya:
“Have you been feeling pressured to use the pandemic as time to work longer and be more productive?
Are you more exhausted than before?”
Terjemahan bebasnya begini:
“Apakah selama ini kamu ditekan (atau tertekan) untuk memanfaatkan pandemi sebagai waktu untuk bekerja lebih lama dan lebih produktif daripada sebelumnya?
Apakah kamu lebih capek daripada sebelumnya?”
Kalimat-kalimat ini sangat relevan buat kita yang masih bisa bekerja di masa pandemi ini.
Ya gw juga denger bahwa ada sebagian yang berpendapat:” Udah deh nggak usah banyak ngeluh dengan kerjaan elu. Lihat orang lain sudah banyak yang mati nggak bisa makan, kelaparan, di-PHK, jadi kalau kami masih bisa kerja, bersyukurlah…”
Sekilas kalimat ini memang maksudnya baik ya.
Mengingatkan kita untuk bersyukur.
Oke, mari kita bersyukur.
Lalu what’s next?
Bagaimana dengan kelelahan kita?
Apakah perlu dipendam saja, disangkal dengan mantra “alhamdulillah, gw masih bsa kerja hari ini. Gw nggak boleh ngeluh. Gw harusnya bahagia.”
Kayak penyangkalan banget ya.
Dan itu sebetulnya nggak begitu sehat juga buat kesehatan mental kita.
Jadi kayak bingung.
“Loh kan memang merasa capek tapi kok nggak boleh bilang capek?”
Mungkin kayak gitu protes diri kita kalau ditekan untuk diam dan bersyukur.
Tapi kemudian gw merasa tersentil dengan kalimat Tricia Hersey yang mengusung #RestMovement, sebuah gerakan sosial untuk mendorong orang-orang yang bekerja sampai burnout untuk mengendurkan jiwa dan raga mereka sedikit lah selama pandemi ini.
Begini kata Tricia:
“We are brainwashed by grind culture. Productivity is a scam and it’s something that is socialized in us in Western Culture.”
Haha, sebenarnya gw agak nggak sepakat dengan bagian “western culture” karena kenyataannya budaya timur termasuk indonesia juga. Masih ingat kan peribahasa “rajin pangkal kaya”. Sebagian orang kerja rajin banget tapi toh mereka nggak kaya-kaya kan?
Grind cultureatau budaya kerja keras sampai tujuan tercapai itu sebetulnya bukan monopoli Barat saja kok. Di Timur kita juga mengenalnya. Terutama di budaya Asia Timur ya. Di budaya Indonesia sendiri mungkin ada tapi menurut gw ga terlalu sefanatik masyarakat di Asia Timur.
Di satu sisi grind cultureatau hustle culture ini bagus karena masyarakatnya jadi sangat terpacu untuk bekerja, produktif, menghasilkan. Lihat saja bangsa China, Korea, Jepang. Semangat kerja mereka gila-gilaan kan? Pun bangsa Amerika. Dan tunggu, kayaknya budaya kerja keras sampai mati ini memang sudah menjamur di seluruh dunia karena ya, dominasi dan hegemoni bangsa-bangsa tadi itu sangat kental di seluruh dunia. Makanya kita yang bangsa-bangsa lain merasa: “Wah, hebat banget ya, semangat kerjanya tinggi. Rajin banget dan profesional.”
Di Indonesia sendiri, gw merasakan grind culture ini makin kental. Apalagi dengan adanya semboyan “kerja kerja kerja” itu ya. Kerja terus? Kapan istirahatnya? Manusia kan bisa sakit. Bisa gila kalau terus menerus kerja.
Di sisi lain,masyarakat jadi kayak kehilangan semangat menikmati hidup karena hidup adalah kerja dan kerja adalah hidup. Jadi begitu pekerjaan mereka hilang atau gagal, hidup juga rasanya runtuh. Kiamat!
Padahal ya nggak segitunya juga, bukannya menggampangkan juga ya.
Tapi gw percaya semua masalah ada jalan keluar selama kita masih mau berusaha dan berdoa.
TUBUHMU PUNYA HAK REHAT
Kutipan dari Tricia Hersey berikutnya yang relevan dengan kondisi kita sekarang adalah:
“Capitalism wants you to believe that your body is a machine and it doesn’t belong to you. We’re saying no, your body is not a machine. It belongs to you. You can rest now and you have a divine right.”
Mungkin ini terasa sangat menggetarkan bagi mereka yang sekarang lagi punya pekerjaan yang menuntut untuk lebih produktif selama 24 jam 7 hari seminggu. Sudah kayak menggadaikan jiwa untuk kerja.
Dulu masa revolusi industri di Inggris orang bekerja sampai belasan jam sehari di pabrik. Kemudian diperjuangkanlah agar bisa bekerja 8 jam sehari dan 5 hari seminggu. Nah sekarang itu sudah tercapai tapi kemudian teknologi informasi membuat kita terus terkoneksi dan kita pun kembali ke masa kelam itu lagi, mau atau tidak kita mengakui. Buat buruh kasar, justru lebih mudah untuk memisahkan kerjaan dan kehidupan pribadi dan keluarga tapi buat buruh intelektual dan kerah putih tidak! Justru buruh kerah putih yang makin tidak terlindungi sekarang ini. Kantor bukan lagi ruang fisik tapi ruang mental yang bisa menyusup ke kamar tidur lewat satu pesan di WhatsApp, satu email di kotak masuk.
ATUR WAKTUMU
Jadi kembali ke pemikiran Tricia Hersey tadi, di masa pandemi ini mungkin kita memang harus bersyukur masih bisa bekerja di rumah. Tapi jangan lupa manajemen waktu kita agar tetap bisa beristirahat dengan baik dan optimal. Karena di rumah terus selama masa isolasi mandiri ini juga bisa melelahkan secara psikis dan emosional dan mental. Kalau kelelahan fisik sih mungkin tidak begitu terasa karena malah kita lebih sedikit bergerak.
Saat jam kerja, mari kita bekerja. Dan saat jam kerja usai dan tidak ada pekerjaan yang sangat amat darurat, akan lebih baik kita tak perlu bekerja sampai mati-matian hingga lembur dan mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan mental kita.
Podcast ini mungkin juga relevan dengan semangat May Day 1 Mei nanti. Selamat untuk para pekerja di rumah yang juga bergulat dengan risiko dan kelelahan mereka sendiri, yang berbeda dari pekerja medis dan lapangan. Jadi bukannya pekerja di rumah tidak alami stres. Mereka juga mengalami stres tapi jenisnya cuma berbeda dari yang bekerja di luar rumah. Jadi ‘privilege’ bekerja di rumah itu juga sebetulnya ada ongkos yang harus dibayar, yakni dengan kesehatan mental.
Saat seseorang mengatakan “capek”, “lelah”, biasanya ia mengacu pada aspek fisik atau tubuh kasar seorang manusia. Dan kelelahan ini biasanya terjadi pada mereka yang bekerja di tempat yang jauh dari rumah atau lokasi ia tinggal.
main qimg 10e6397a06762a9aaa8556627c74c747
Apalagi di Jakarta yang sudah dicap legendaris oleh orang-orang asing soal kemacetannya. Di Jakarta, lumrah menjumpai orang-orang yang tinggal di pinggiran Jakarta dan daerah penyangga untuk bangun pagi dan bergegas ke kantor mereka di tengah Jakarta sejak subuh.
Saya sendiri tidak tinggal di pinggir Jakarta atau daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sebagainya. Tetapi saya toh masih merasa harus bangun pagi dan berangkat kerja sedini mungkin karena lalu lintas terasa lebih ramah di pagi hari pukul 6 daripada saat pukul 8-9. Sesak dan panas!
Di saat-saat muak dengan lalu lintas ibukota inilah, sebagian orang memimpikan keindahan bekerja di rumah. Bagi saya yang sebelumnya juga pernah bekerja di rumah sebelum pandemi ini, bekerja di rumah memang memiliki banyak kelebihan.
Hanya saja sebagian besar orang melupakan atau memang belum tahu kekurangannya. Pertama, disiplin diri. Kalau Anda tipe orang yang memiliki tingkat disiplin diri yang tinggi, bekerja di rumah atau di mana saja memang bukan masalah. Tetapi tidak semua orang demikian. Ada sejumlah orang yang sangat mudah menuruti keinginannya (baca: kompulsif). Jadi, saat ada keinginan merebahkan diri dan memelototi Instagram sepanjang hari, maka ia akan melakukannya tanpa pikir panjang. Dan baru kemudian menyesal. Tidak heran orang-orang seperti ini merasa 24 jam selalu kurang karena manajemen waktu mereka agak amburadul.
Betul, bekerja di rumah juga ternyata masih bisa merasa lelah. Demikian kata seorang teman. Saya sendiri sangsi apakah kerja di rumah memang betul melelahkan. Tetapi bukankah itu tergantung pada banyak faktor seperti beban kerja yang ditanggung?
Bekerja di rumah juga ternyata berisiko mengalami “burnout” alias kelelahan yang amat sangat. Gejala burnout sendiri ialah depresi, kelelahan emosional dan perasaan kewalahan atau tidak berdaya menghadapi masalah yang ada. Dan ini bisa dipicu oleh konflik antara kepentingan rumah tangga dan profesi yang susah dibedakan dan saling berkelindan saat seseorang bekerja di rumah.
Ini bukan cuma asumsi saya tetapi hasil studi yang diterbitkan di Journal of Occupational and Environmental Medicine, yakni sebuah media cetak resmi dari the American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM). Peneliti mengamati kondisi hampir 4500 orang kembar. Di sini diamati dua jenis gangguan yang dialami seseorang saat bekerja di rumah. Saat kehidupan pribadi ikut masuk ke dalam pekerjaan, biasanya konflik akan muncul dan berkembang.
Bagi perempuan, ternyata risiko burnout lebih tinggi daripada pria. Sementara itu, konflik antara kepentingan kerja dan rumah tangga sama dialami oleh semua jenis kelamin.
Kondisi ini seharusnya disadari oleh para atasan/ manajemen top yang memberikan delegasi tugas yang lebih banyak di masa kerja di rumah seperti sekarang. Akan lebih bijak bila mereka mengambil langkah yang diperlukan untuk membantu para pekerja mengurangi gangguan dan masalah yang timbul di rumah akibat kebijakan WFH atau “work from home”.
Namun, di saat yang sama para pekerja yang bekerja dari rumah juga dituntut perlu untuk memberlakukan disiplin yang tinggi dalam mengatur urusan kantor saat bekerja di rumah. Apalagi saat mereka tidak ada pilihan lain selain bekerja di dalam rumah saat ini bersama anggota keluarga lain.
Menurut saya sendiri, bekerja di rumah memang menuntut stamina tersendiri. Bukan stamina fisik tetapi mental dan psikologis. Bagi mereka para pria pekerja baik yang sudah berkeluarga atau masih lajang, dampaknya lebih minimal dibandingkan bekerja di kantor.
Namun, saya melihat para perempuan terutama yang sudah menjadi ibu dan juga bekerja penuh waktu, memiliki konsekuensi yang lebih berat. Apalagi di masa pandemi ini mereka juga dituntut untuk menjaga kesehatan keluarga. Saya menyaksikan sendiri seorang teman yang menjadi ibu berjanji untuk memasak sendiri di rumah karena menurutnya makanan akan menjadi lebih aman dikonsumsi daripada membeli makanan dari luar rumah melalui jasa pemesanan makanan daring/ aplikasi. Dan komitmennya itu juga didukung oleh keluarga yang berusaha berpola hidup sehat di masa genting seperti ini.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah bekerja di rumah itu lebih enak atau tidak? (*/)
Ada tiga jenis perusahaan/ bisnis di kala pandemi ini. Pertama, perusahaan yang bisa dilakukan dengan bekerja di rumah. Misalnya, perusahaan yang berbasis digital seperti e-commerce. Kedua, perusahaan yang sebagian bisnisnya bisa dilakukan dengan bekerja di rumah dan sebagian lagi tidak bisa dikerjakan dari rumah. Sementara itu, ketiga ialah perusahaan yang sepenuhnya tidak bisa dilakukan dari rumah karena harus turun ke lapangan.
Masuk golongan yang manakah perusahaan tempat Anda bekerja?
Saya sangat beruntung bekerja di sebuah lembaga yang dengan lincah berpindah ke moda digital begitu pandemi ini benar-benar mencengkeram Jakarta, dan umumnya Indonesia. Ditambah dengan aspek pekerjaan saya yang tidak diharuskan turun ke lapangan, saya pun bisa tetap berkarya di dalam rumah. Kalaupun saya harus melakukan interaksi, saya bisa mengakalinya dengan alat-alat digital yang ada sehingga saya sebenarnya sangat terbantu dengan teknologi informasi dan Internet yang sudah sedemikian canggihnya saat ini. ‘Dapur’ saya tetap ‘ngebul’.
Pekerjaan saya sebagai penulis konten (content writer) atau penulis teks iklan (copywriter) beruntungnya bisa dilakukan di rumah. Dan saya pikir begitu juga dengan profesi-profesi lainnya yang basis keterampilannya adalah bahasa dan kemampuan merangkai dan menyusun kata-kata. Buktinya, teman-teman saya yang bekerja sebagai penerjemah buku, novel, dan sejenisnya masih belum mengunggah keluhan mereka soal surutnya industri mereka.
Namun, bagi para penulis yang harus turun ke lapangan untuk bisa mewawancarai narasumber atau berkeliling ke berbagai tempat seperti penulis perjalanan (travel writer), penulis artikel majalah, dan sebagainya, ternyata pandemi COVID-19 ini sangat signifikan dampaknya bagi ekonomi mereka.
Buktinya, salah seorang teman saya yang kebetulan mengais rezeki dengan menulis di waktu luang untuk sebuah majalah mengaku penyaluran kompensasi finansial ke pundi-pundinya menjadi terhambat karena pandemi ini mencekik Indonesia.
“Wawancara dibatalkan karena narasumber wawancara hanya mau diwawancara secara langsung, tatap muka. Maka dari itu, aku jadi pusing,” keluh teman saya itu. Maklum, ia butuh suntikan dana segera demi membiayai pengeluaran pendidikan anaknya.
Mendengar keluhannya itu, dalam hati saya muncul kegeraman sebetulnya. Mengapa di zaman secanggih sekarang, wawancara saja harus bertatap muka? Bukankah ada berbagai macam alat yang memungkinkan agar wawancara tetap terlaksana tanpa harus melihat batang hidung lawan bicara? Saya sungguh tidak habis pikir dengan kekolotan sebagian orang yang beranggapan bahwa berinteraksi secara daring kurang afdol.
Kekolotan itu mirip sebuah ketololan. Karena bukankah di abad lalu saja orang sudah melakukan wawancara dengan menggunakan telepon??! Lalu buat apakah ponsel cerdas semahal itu kalau tidak dipakai untuk berinteraksi demi menjaga jarak di tengah berkecamuknya pandemi seperti sekarang??!
Mungkin saya terlalu emosi untuk mengutuk tanpa memahami konteks tapi benarkah memang tidak bisa berbicara lewat telepon untuk menjawab pertanyaan wawancara?
Bagi para penulis fiksi,mungkin pandemi ini tidak banyak berpengaruh negatif pada mata pencaharian mereka. Mereka masih bisa memproduksi karya mereka di rumah. Duduk, mengetik, mengirim naskah via surel, pokoknya asal jaringan internet lancar, semua masih normal. Bahkan situasi genting dalam kesehatan publik seperti sekarang bisa memicu inspirasi untuk terus berkarya. Orang-orang makin butuh cerita untuk dikonsumsi demi membunuh waktu dalam masa isolasi fisik ini.
Maka dari itu, saya masih optimis dengan masa depan profesi kepenulisan di seluruh dunia. Umat manusia masih membutuhkan cerita. Apalagi di masa-masa seperti sekarang saat mereka membutuhkan harapan dan pengetahuan agar tetap bisa terus melaju dan menemukan alasan untuk tetap bertahan hidup di tengah absurditas hidup. (*/)
Di masa awal ditemukannya beberapa penderita COVID-19 di Indonesia, masyarakat fokus pada peningkatan gaya hidup sehat. Mereka meningkatkan kewaspadaan untuk menjaga sistem kekebalan tubuhnya dengan melakukan banyak cara, seperti makan makanan bergizi, mengonsumsi suplemen kesehatan (jamu, multivitamin), berolahraga (melalui kelas daring di aplikasi maupun YouTube dan platform digital lainnya). Mereka juga makin sering menjaga kebersihan tangan sehingga penjualan produk pembersih tangan (hand sanitizer), cairan disinfektan berbahan dasar alkohol, sabun antikuman meningkat tajam.
Akan tetapi, begitu pandemi mulai menyebar lebih luas dengan ditandai oleh terus naiknya jumlah penderita COVID-19, kecemasan menjalar dan perilaku masyarakat akan makin mengarah ke pembelian bahan pokok dalam jumlah besar (stock-piling) yang agresif. Dan karena kegiatan di luar rumah semakin dibatasi, masyarakat juga akan makin bergantung pada platform belanja daring. Semua kegiatan jual beli dilakukan secara daring dan pengiriman paket makin tinggi frekuensinya. Inilah yang terjadi di China dan Italia, dua negara yang paling banyak mencatatkan jumlah penderita COVID-19.
Dan karena masa pandemi ini masyarakat lebih mencemaskan keselamatan, mereka juga lebih fokus pada belanja barang-barang kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Mereka terutama cenderung banyak membelanjakan uang dalam bentuk makanan siap saji yang bisa disantap kapan saja saat diperlukan tatkala karantina di rumah diperpanjang, makanan kaleng juga menjadi buruan.
Bisnis jual beli daring seperti Amazon.com justru makin moncer di masa pandemi ini. Tercatat Amazon.com malah kerepotan melayani pesanan pembeli dan sampai harus menambah jumlah karyawan sebanyak kurang lebih 100.000 orang. Belum lagi ada kemungkinan suplai sulit sehingga diperkirakan harga-harga barang kebutuhan pokok akan makin membubung tinggi.
Sektor-sektor yang Gugur
Dengan begitu cepatnya pandemi ini menyebar, bisnis-bisnis di bidang pariwisata, akomodasi (seperti hotel, penginapan) dan transportasi (seperti travel agent, maskapai penerbangan) sudah dipastikan terpukul hebat sebelum sektor lainnya terkena. Di Amerika Serikat saja, maskapai-maskapai penerbangan sudah meminta suntikan dana dari pemerintah agar tetap bisa terus beroperasi, dan tidak jatuh pailit karena kekurangan kas yang bisa diibaratkan darah bagi tubuh perusahaan. Hal ini bisa dipahami karena larangan bepergian (travel ban) diberlakukan di mana-mana.
Dan karena masyarakat tidak keluar rumah dan membatasi tingkat konsumsi mereka secara drastis hingga ke level kebutuhan pokok saja, laju ekonomi makin berat. Tidak heran jika bisnis barang elektronik rumah tangga (lemari es, AC), otomotif, ponsel pintar, serta produk-produk kebutuhan sekunder dan tersier lain akan makin turun peminatnya.
Sektor transportasi online juga menurun setidaknya 30% di Jakarta dan menurunkan pendapatan mereka. Karena itu, pemerintah mengimbau mereka beralih dari mengantar orang menjadi kurir barang saja karena justru saat ini makin banyak orang yang membeli barang dengan jasa pengiriman atau kurir.
Sektor perbankan juga diperkirakan bakal terpukul karena bank-bank akan terkena ‘default’.
Skenario terburuk ialah akan terjadi kelumpuhan ekonomi. Untuk menjaga diri dari kemungkinan terburuk inilah kita harus bersiap dari sekarang.
Sektor-sektor Subur
Sejumlah sektor bisnis justru mengalami pertumbuhan tatkala masyarakat didera krisis akibat Coronavirus (COVID-19). Di antaranya ialah sektor ritel (retail) yang di awal-awal pandemi mengalami lonjakan permintaan dari konsumen. Sektor ritel yang berbentuk toko konkret mungkin akan terpukul juga tetapi khusus untuk ritel di dunia maya alias online retail tampaknya akan berada di taas angin karena orang-orang segan ke luar rumah akibat kecemasan pandemi sehinga ada kemungkinan perilaku semacam ini akan terus tertanam di benak konsumen meski COVID-19 nantinya juga akan berlalu. Seperti kita ketahui, begitu presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia sebagian masyarakat sudah melakukan panic-buying di mana-mana terutama di Jakarta sebagai episentrum. Produk-produk kebutuhan pokok (sembako) laku keras baik di toko offiline dan online. Hal ini sudah terbukti di China tatkala wabah SARS menyapu negeri itu tahun 2004, platform online shopping lokal banyak yang menuai laba berkat ketakutan masyarakat berbelanja secara langsung di luar rumah.
Di samping ritel sembako, sektor lain yang moncer ialah bidang kesehatan. Bisnis apotek tampaknya akan makin bersinar. Penjualan produk-produk kesehatan seperti vitamin C akan melonjak. Semuanya demi meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam menghadapi serangan virus.
Bisnis media seperti radio, berita daring akan terus bisa bertahan karena relatif aman sebab bisa dilakukan dari rumah atau dalam ruangan. Masyarakat yang tertawan di dalam rumah mereka sangat membutuhkan informasi untuk mengisi waktu. Konsumsi konten ini akan terus meningkat apalagi dengan berlakunya kebijakan bekerja dari rumah (work from home) sehingga makin banyak waktu untuk mengunjungi situs berita daring dan mendengar radio. Untuk bisnis televisi, mungkin akan terganggu sebab lebih membutuhkan kehadiran fisik secara bersamaan, misalnya dalam siaran langsung (live programs).
Bisnis gim daring (online games) juga diramal tambah menjanjikan sebab di rumah dengan banyaknya waktu, masyarakat terutama kaum millennials pasti mencari gim.
Bisnis-bisnis hiburan digital semacam Netflix sedang di atas angin. Apalagi dengan tidak diperbolehkannya orang berkerumun di bioskop, mereka akan beralih ke hiburan yang lebih bisa diakses secara privat di rumah. Buktinya saham Netflix dan sejenisnya membubung tinggi setelah pandemi terus meluas ke berbagai belahan dunia.
Di dunia olahraga sendiri, bisnis fitness center akan menurun. Studio yoga juga akan menurun pengunjungnya akibat larangan berkelompok. Sementara itu, sebaliknya platform olahraga online akan menjamur karena orang selain segan untuk berjejal dan menempuh perjalanan jauh, mereka akan memilih untuk di rumah dan berolahraga sendiri tanpa ada risiko tertular penyakit.
Platform-platform online yang menjembatani komunikasi yang dilakukan dalam bekerja di rumah juga akan berkembang sangat subur. Di Indonesia, bekerja di rumah rasanya masih jauh dari angan karena sebagian besar masyarakat kita tidak mengenal pekerjaan di rumah. Kalaupun mereka mengakuinya, profesi atau pekerjaan apapun yang bisa dilakukan di rumah adalah jenis yang mereka anggap tidak bergengsi, dipandang remeh dan tidak ada prestisenya. Dan ini bukan omongan saya saja, karena saya saja pernah mengalami ditolak permohonan perpanjangan paspor gara-gara saya dulu sempat hanya bekerja secara lepas alias tidak berkantor. Negara seolah masih menganaktirikan mereka yang bekerja secara lepas di rumah dan tidak menghamba pada korporasi. Masyarakat Indonesia saat ini mau tidak mau diharuskan bekerja dari rumah. Dan meski tidak bisa semuanya mengadopsi cara kerja begini, yang penting adalah masyarakat kita mulai sadar bahwa bekerja dari rumah adalah solusi yang sangat jitu bagi masalah yang mereka selama ini harus hadapi, dari kemacetan, banjir, dan sebagainya yang sangat menguras kondisi fisik, psikologis dan mental para pekerja. Perusahaan-perusahaan dan instansi pemerintah yang selama ini masih setengah-setengah menjalankan kebijakan bekerja dari rumah dipaksa menyelami plus minus bekerja dari rumah dalam beberapa bulan mendatang. Sebelum ini, pola kerja dari rumah memang sudah populer di kalangan Millennials yang mendambakan fleksibilitas kerja di mana saja tanpa terikat waktu dan tempat. Dengan pandemi ini, tidak hanya Millennials tetapi generasi-generasi sebelumnya juga dipaksa untuk mengadopsi. Tidak heran mungkin saja pola kerja ini akan diterapkan bahkan jika pandemi COVID-19 ini sudah berlalu. Apalagi jika terbukti efektif.
Dampak diadopsinya pola kerja dari rumah (working from home) akan mendorong perubahan yang begitu luas dalam masyarakat kita. Misalnya, online delivery akan makin dianggap wajar dan bagian dari kehidupan. Dan perkembangan ini bisa jadi mendorong makin banyak bisnis untuk mengembangkan layanan pengiriman barang dan produk mereka sendiri tanpa menggantungkan diri pada layanan pihak ketiga.
Pandemi COVID-19 juga mendorong perbankan digital untuk terus meluas di tengah masyarakat kita. Makin banyak layanan yang tidak memerlukan tatap muka sehingga risiko tertular menurun. Saat ini perbankan kita memang sudah menuju ke arah tersebut, ditandai dengan maraknya perbankan online di ponsel pintar. Kegiatan perbankan seperti membuka rekening sudah bisa dilakukan secara daring, tidak perlu ke kantor cabang bank yang bersangkutan dan mengantre dan menunggu lama dan berbicara dengan teller bank. Dengan pandemi ini, masyarakat akan secara otomatis tergiring untuk memanfaatkan kemudahan bertransaksi jarak jauh dari rumah mereka sendiri. Meskipun nantinya pandemi bisa berlalu, bisa jadi perubahan perilaku ini akan terus menetap dan menjadi permanen.
Semua kegiatan ekonomi akan dipaksa oleh pandemi COVID-19 ini agar menuju ke ranah digital. Konsumen menginginkan kontak fisik yang seminimal mungkin karena cemas dengan adanya virus dan di sisi lain perusahaan dan brand juga dipaksa menuruti kemauan pasar. Bagi mereka yang masih menjalankan semua kegiatan ekonomi di ranah offline dan belum berniat ke ranah online, sekarang saatnya melakukan revolusi itu sebelum sepenuhnya terlambat agar bisa mempermudah transaksi/ pembelian setelah para konsumen enggan meninggalkan rumah.
Apa Yang Bisa Dilakukan Marketers?
Lalu dari semua kondisi dan prediksi tadi, apa yang bisa dilakukan oleh para pemasar atau marketers di Indonesia terutama? Menurut penulis Yuswohady, yang paling masuk akal adalah menggenjot aktivitas dan kampanye di Humas (Public Relations). “PR yes, marketing no, selling absolutely no!” kata pembicara tersebut.
Saat inilah menurut Yuswohady, saat masyarakat dirundung musibah, saatnya brand sebagai corporate citizens melakukan aktivitas yang menunjukkan empati tinggi pada masyarakat. Perusahaan atau lembaga adalah warga negara juga dan mereka idealnya juga tidak hanya menjadi makhluk ekonomi yang mengejar keuntungan semata tetapi juga menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
“Inilah saatnya brand itu harus memberi (giving), bukan menerima (getting) dengan menjadi bagian dari solusi bagi masalah yang menghadang (Coronavirus),” tuturnya.
Namun di saat yang sama, lazimnya semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak yang kita terima pula. Makin tinggi empati yang diberikan pada masyarakat yang terkena dampak pandemi, semakin tinggi juga peluang brand untuk mendapatkan citra positif di dalam benak masyarakat bahkan saat pandemi berlalu.
Cara-cara membangun citra positif itu seperti biasanya adalah mengadakan kegiatan-kegiatan bertema tanggung jawab sosial korporat (Corporate Social Responsibility). Hal ini bahkan sudah diterapkan oleh beberapa perusahaan seperti Kimia Farma yang sudah membatasi pembelian masker dalam jumlah besar. Saat pihak lain menimbun dan mengekspor masker demi keuntungan pribadi, justru apotek Kimia Farma menyediakan masker dalam harga jual normal (Rp2.000 per lembarnya). Ruangguru juga mengizinkan platformnya dinikmati secara gratis saat pandemi berlangsung sehingga sekolah-sekolah ditutup sehingga proses belajar mengajar di sekolah tidak memungkinkan dan harus diganti dengan proses belajar mandiri di rumah. Beberapa media daring juga secara khusus berempati dengan menggratiskan konten premium mereka. Sekilas omset mereka justru menurun tetapi ini semua sejatinya adalah investasi jangka panjang sehingga konsumen akan terus mengingat brand mereka.
Sebenarnya ini adalah saat yang tepat bagi brand dalam membangkitkan kesadaran (awareness), kesetiaan (loyalty), sehingga advokasi bisa muncul dengan sendirinya. Advokasi ini terjadi saat sejumlah konsumen bangkit membela brand yang mereka anggap memiliki visi dan misi yang mulia dan selaras dengan pandangan mereka.
No Opportunism and Hard Selling!
Bahkan bagi brand-brand yang sedang menikmati keuntungan atas pandemi ini, ia menyarankan juga tidak secara blak-blakan melakukan kegiatan ‘hard selling’ sehingga mereka terkesan menikmati penderitaan orang banyak. Brand mereka akan dianggap masyarakat kurang empatik dan buruk. Ia menandaskan pentingnya menghindari strategi marketing yang oportunistik, terkesan memanfaatkan musibah. “Yang saya sarankan CSR dan lebih ke PR,” tegasnya.
Kondisi pandemi ini memberikan ruang bagi kehumasan (PR) yang selama ini dianaktirikan oleh brand karena dianggap tidak menghasilkan keuntungan secara langsung. “PR selama ini dicap sebagai kampanye pencitraan dan menghasilkan ‘image‘ semata tapi justru di masa-masa sulit seperti sekarang ini, PR itu yang paling kuat dan berdampak (powerful and impactful),” ungkapnya. Kegiatan CSR sebagai bagian dari kehumasan misalnya dianggap kurang ‘nendang’ dan hanya sebagai formalitas bagi brand padahal ada juga dampak positifnya bagi brand dalam jangka panjang. Dan memang hasilnya tidak bakal dinikmati saat ini juga (karena bagaimana mau mendapat untung karena masyarakat toh daya belinya melemah di saat pandemi). “Jadi (brand-brand -pen) sekalian ‘nyemplung’ dan empatik, menunjukkan itikad baik untuk menjadi warga negara yang baik untuk membantu masyarakat luas di tengah kondisi sulit.”
Brand-brand yang sudah menunjukkan aksi cepat tanggap dalam pandemi ini misalnya Grab Food memungkinkan pengiriman makanan tanpa ada kontak fisik antara si pembeli makanan dengan si kurir. Fitur ini diberikan demi memenuhi imbauan pemerintah agar masyarakat menerapkan ‘social distancing‘. Di sini brand masih bisa melakukan selling secara halus (soft), melakukan kegiatan bisnis mereka dengan tetap semaksimal mungkin menekan kontak fisik antarmanusia. Brand ini sukses mengedepankan solusi bagi masyarakat.
Mencontoh dari sini, brand-brand di Indonesia bisa mulai bekerja keras mencari masalah-masalah yang ada di masyarakat saat ini dan mempersembahkan solusi bagi mereka yang membutuhkan di masa kita semua harus bekerja dari rumah dan menjaga jarak dengan individu lainnya.
Resep Bertahan Bagi Bisnis Rentan
Bagi bisnis-bisnis yang rawan dengan efek negatif pandemi COVID-19 ini, sangat disarankan untuk mengamati perilaku konsumen dan mengubah strategi bisnis mereka agar bisa terus bertahan melewati krisis ini. Akan ada banyak sekali perilaku konsumen yang berubah setelah mengalami pandemi COVID-19 ini. Misalnya bisnis restoran yang saat ini lesu karena siapa yang mau makan di luar dengan risiko tertular virus?
Nasihat pertama dan paling utama ialah dengan segera beralih ke platform online. Ini sudah tidak bisa ditunda. Jika Anda ingin bisnis terus bertahan dan dapat melewati krisis, bangun strategi Anda sendiri untuk menuju ke kanal daring. Ibarat katalisator, COVID-19 terus mendorong terjadi revolusi digital dan online.
Yuswohady juga menyarankan agar brand-brand berlomba menjadi yang pertama dalam menyuguhkan solusi di bidang mereka terkait pandemi COVID-10. Misalnya langkah yang dilakukan Ruangguru membuatnya menjadi yang terdepan dan paling diingat (top-of-mind) di antara banyak platform belajar daring sejenis. Begitu juga Telkomsel yang memberikan bonus paket internet bagi pengguna untuk bisa belajar di rumah.
“Karena itu carilah masalah-masalah yang berkaitan dengan pandemi COVID-19, kebijakan working from home dan social distancing ini dan memberikan solusi inovatif berupa program CSR/ PR yang pertama di bidang kita masing-masing agar terus diingat masyarakat. Karena siapa yang mau mengingat yang kedua dan ketiga dan seterusnya?”
Bagaimana dengan brand-brand produk tersier semacam otomotif, peralatan elektronik rumah tangga, dan sejenisnya yang masyarakat akan lebih jarang butuhkan selama pandemi ini? Yuswohady mengatakan memang sulit. Salah satu jalan bertahan ialah dengan membangun brand saat mempertahankan penjualan sangat sulit. Bisa saja masih menjual tapi caranya dengan halus (soft selling), bukan hard selling.
Brand juga semestinya sadar bahwa penjualan mereka akan menurun dalam waktu dekat ini. Dan untuk merespon penurunan ini, mereka bisa mengandalkan PR (humas) untuk sekali lagi membangun brand. Karena toh mau berjualan sampai diskon habis-habisan pun akan percuma juga dengan melemahnya daya beli masyarakat dan pembatasan keuangan mereka untuk konsumsi barang-barang primer yang saat pandemi akan menjadi prioritas tertinggi. (*/)