Inilah Proses Produksi Buku Terjemahan

Ingin tahun bagaimana sebuah buku terjemahan bisa dihasilkan? Berikut penjelasannya, seperti saya kutip dari penjelasan penerjemah fiksi berpengalaman Dina Begum.

Akuisisi

Dalam tahap pencarian naskah, editor akuisisi mencari naskah asli bahasa asing. Bila dianggap bagus dan lisensi menerbitkannya ke bahasa Indonesia tersedia, naskah dibawa ke rapat redaksi. Di rapat redaksi, rapat ini biasanya juga diikuti pihak marketing dan keuangan dan membahas prediksi penjualan naskah, apakah akan diterima konsumen atau tidak. Memasuki tahap negosiasi, bila naskah disetujui, editor akuisis menghubungi agen atau penerbit naskah untuk memperoleh lisensi menerbitkannya ke bahasa Indonesia.

Editorial

Selama proses penerjemahan, editor menunjuk penerjemah yang akan menggarap naskah. Penrjemah menerima Surat Perintah Kerja (SPK) dari penerbit dan bekerja sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati. Pengeditan 1, editor mengedit naskah. Setelah selesai, naskah dikirim ke bagian tata letak (setter). Untuk tata letak, setter mulai mengatur tata letak dan menghasilkan cetak coba (pruf/ proofreading). Kemudian editor membaca cetak coba (pruf) untuk memeriksa apakah ada kesalahan dalam ejaan, tanda baca, tata letak, dan sebagainya. Tahap ini bisa berlangsung 3-4 kali. Naskah yang telah melalui tahap tata letak dan baca pruf akan kembali ke editor untuk disunting lagi secara keseluruhan sebelum diserahkan ke bagian produksi.

Produksi

Pembuatan sampul buku dan ilustrasi. Tahap ini biasanya berlangsung simultan dengan tahap-tahap di atas. Setelah itu, naskah yang sudah rampung dikirimkan ke percetakan. Untuk waktu pencetakan bisa beragam. Jika sudha tercetak, buku-buku akan didistribusikan ke berbagai tempat agar dapat dibeli konsumen. Sejumah salinan/ eksemplar buku akan dikirim juga ke pemegang lisensi buku asli dan penerjemahnya (sebagai bukti bahwa buku terjemahannya sudah diterbitkan).

Menerjemahkan Tumpulkan Bakat Menulis?

image

” A translator is a writer who fails.” Siapapun bisa setuju atau menolak kebenaran kutipan tadi. Ini negeri (pseudo) demokrasi. Semua orang (seharusnya) bisa dan boleh mengutarakan pendapatnya selama tidak melanggar hak orang lain juga. Menurutku (egoku besar juga ya) , kutipan tadi cukup valid. Setidaknya dalam kasusku sendiri. Menjadi seorang penulis (dan penulis ulang) konten dan admin jejaring sosial yang seolah tak pernah ada hari libur itu adalah hal yang kusukai karena luasnya ruang berkreasi dengan kata,gambar, dan semua jenis konten yang mungkin disebarkan di sana. Tapi entah kenapa rasanya tak berdaya saat harus mengejar kuantitas dan mengesampingkan kualitas. I still and always feel like a jerk every time I post things not my pure hardwork. Dan kemampuan menerjemahkan justru mempermudahku untuk meninggalkan kesusahpayahan berpikir mandiri dan berkreasi dengan dunia kata-kata. Ini kurang baik. Aku menjadi merasa seperti pengekor. I want to create high quality contents , and share them around the web. Viral atau tidak itu urusan belakangan. Entah dengan Anda semua, saat menerjemahkan rasanya pikiran ini terbimbing dan terkungkung dalam ide dan pemikiran penulis teks sumber. I want to break free! Write like no one else reads! Tak perlu editor. Tak perlu komentator. You like it or not, just read. Mungkin di blog ini saja aku bisa begini. Dan mungkin karena itulah blog ini tetap sepi pengunjung. Tak apalah.

“Where” dan “Di Mana”: Cermin Pengaruh Bahasa Inggris terhadap Bahasa Indonesia

Salah satu faktor terjadinya kesalahan berbahasa Indonesia ialah pengaruh bahasa asing pada bahasa Indonesia dalam berbagai aspek. Menurut seorang profesor yang juga pakar bahasa Indonesia di sebuah universitas di Australia, sebagian pengguna bahasa Indonesia akhir-akhir ini amat dipengaruhi bahasa Inggris. Salah satunya adalah penggunaan kata “adalah” yang kadang tidak perlu tetapi dipaksakan untuk ada karena dianggap sebagai keharusan untuk bisa sesuai dengan pola kalimat  bahasa Inggris yang mewajibkan adanya verba “be”. Misalnya, “I am a man” diterjemahkan sebagai “Saya adalah laki-laki”, padahal dalam bahasa Indonesia yang wajar kata “adalah” bisa dihilangkan. Dengan kata lain, tidak ada yang salah untuk menerjemahkannya menjadi “Saya laki-laki”.  Hal ini memang tidak salah tetapi tidak wajar dalam bahasa Indonesia.

Hal lain yang profesor tersebut soroti pula ialah penggunaan kata “di mana” yang sering digunakan sebagai konjungsi (kata sambung) , bukan sebagai kata tanya (yang menjadi fungsi yang sepatutnya). Ini menunjukkan pengaruh penggunaan konjungsi  “where” dan “which”. Parahnya lagi, penulisan “di mana” sebagai konjungsi (yang tidak disarankan) juga mengalami dua variasi: “di mana” dan “dimana”. Yang kedua jelas-jelas salah.

Menurut Ivan Lanin, sebagai penyunting yang berpatokan pada tata bahasa yang sudah tertulis di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) IV dan EyD (Ejaan yang Disempurnakan), kata “di mana” harus dihindari. Alasannya ialah kata “di mana” dalam bahasa Indonesia tidak dikenal sebagai konjungsi tetapi sebagai kata tanya.

Misal:

  1. Di mana buku saya? (Penggunaan yang benar karena “di mana” digunakan sebagai kata tanya)
  2. Ia meninggalkan kota di mana ia lahir. (Penggunaan yang salah karena “di mana” digunakan sebagai konjungsi)

 

Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kalimat yang menggunakan “di mana” sebagai konjungsi? Menurut Sofia Mansoor, ada dua opsi yang bisa dipilih. Pertama ialah dengan menggantinya dengan kata “tempat”. Dengan demikian, kalimat (2) bisa diperbaiki menjadi “Ia meninggalkan kota tempat ia lahir.” Kedua ialah dengan merombak kalimat tersebut menjadi lebih wajar dan berterima dalam kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Seorang rekan peserta pelatihan lain juga sempat menanyakan bahwa ia mengamati banyaknya penggunaan “di mana” justru bukan sebagai konjungsi yang menerangkan tempat atau lokasi. Saya sendiri juga sempat membenarkan dalam hati karena pertanyaannya itu belum sempat dibahas tuntas oleh Sofia Mansoor dan Ivan Lanin. Contohnya mudah saja, kita bisa temui penggunaan “di mana” yang tidak berfungsi sebagai konjungsi dalam berbagai pidato impromptu para pejabat. Kita bisa amati seorang pejabat yang ditanyai oleh nyamuk pers dalam berbagai kesempatan. Kemungkinan besar ia akan menggunakan kata “di mana” bukan sebagai konjungsi tetapi menurut saya hanya sebagai kata untuk mengisi jeda saat berbicara sehingga terkesan lebih lancar. Dalam bahasa Inggris kita bisa sebut sebagai “filler”. “Filler” ini tidak memiliki makna tetapi hanya untuk memberikan kesempatan bagi si pembicara untuk berpikir mengenai kata yang akan ia ucapkan berikutnya. Tidak mutlak salah mungkin tetapi penggunaan “filler” ini membuat kalimat kita kurang efisien dan ringkas. Lagipula “filler” adalah sesuatu yang mungkin masih bisa dimaklumi dalam taraf tertentu dalam ragam percakapan, tetapi tidak begitu mudah ditolerir dalam ragam tulisan.

(URL Gambar: http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSrlTIj2XW2eps42CzT2SbK7eYGf9rGod6-H2L6Kjr4nn7jrV6bueJexj6GKg)