
KALAU food bloggers sering menulis soal tempat makanan yang mesti dikunjungi di suatu daerah, saya kali ini mencoba berbeda.
Saya akan tuliskan di sini sebuah tempat makan yang sebaiknya JANGAN SAMPAI Anda kunjungi kalau Anda di Kudus. Kecuali benar-benar terpaksa.
Serius. Ini bukan candaan, bukan satir, atau sarkasme. Ini pernyataan yang tanpa niat buruk bagi sesama konsumen. Apalagi menyinggung saudara Ato Pujiharto yang namanya tertera di kuitansi di atas.
Karena saya punya pengalaman teramat buruk di tempat makan satu ini.
Namanya BERPIJAR COFFEE (atau seharusnya “CAFE”? Entahlah) yang berlokasi di Kompleks Wana Wisata Pijar Park, Kajar, Kabupaten Kudus, Jateng.
Awalnya saya dan saudara-saudara iseng ke sini karena suasananya sejuk dan hijau. Bisa sambil bermain dan berjalan-jalan di sekitarnya yang masih banyak pepohonan pinus ala gunung.

Kami pesan makanan seperti yang tertera di kuitansi. Taro milk, red velvet, boba, jahe susu, teh panas, dan air mineral.
Makanan yang kami pesan juga banyak. Sop iga, mendoan, pecel pakis khas Kudus, seblak.
Kami menduga memang bakal lebih lama. Ya paling 30 menitan lah ya. Kami paham kok sekarang Lebaran dan memang volume pengunjung pasti melonjak. Kami lihat di sekeliling memang orang banyak lalu lalang.
Lalu kami meninggalkan meja sejenak dan menyuruh satu orang dari kami untuk menunggu di situ agar pelayan tahu bahwa kami masih di sana menunggu.
Tapi ada yang aneh di kafe ini. Kami kebetulan duduk di belakang kasir. Beberapa pelanggan mendatangi mbak kasir sambil berbicara dengan nada ketus, tak enak, geram juga.
Tanpa harus menguping, saya tahu bahwa mereka kesal karena makanan yang dipesan belum juga keluar padahal sudah menunggu selama 2 jam. Dua jam!!!

Sudah tercium ‘bau amis’ di sini. Tapi kami masih belum mau pindah karena kami sudah membayar makanan kami itu lunas. Berhak dong kami menunggu.
Eh tak dinyana hal yang sama terjadi pada kami.
Satu jam lebih menunggu tak ada kejelasan juga kapan makanan keluar. Kami menelpon nomor di kuitansi.
Saat ditanya kenapa makanan belum keluar, suara di ujung sana menjawab: “Sudah diantar tadi tapi tidak ada yang menjawab atas nama XXXX.”
Padahal di meja kami ada satu orang saudara saya yang menunggu dengan kelaparan.
Memang aneh standar operasional di sini. Tidak ada nomor meja. Tidak ada pemanggilan nama pelanggan yang jelas dan berkali-kali. Yang tidak masuk akal adalah bagaimana orang meninggalkan tempat itu setelah memesan makanan yang sudah dibayar mahal!
Dan kasir juga cuma diam seolah tidak tahu bahwa orang yang memesan itu duduk di meja sekian. Itu aneh menurut saya karena dia sendiri yang menerima order dan melihat wajah orang yang memesan. Setidaknya teringat sedikit lah.
Penyaji makanan dari dapur juga tak datang lagi memeriksa orang yang memesan sudah kembali atau belum setelah tadi dipanggil tapi menurutnya tak ada. Bukannya sekali memanggil lalu sudah kembali ke dapur. Dia mungkin kesal dan capek tapi kami sebagai pelanggan juga sudah membayar. Di depan!
Akhirnya makanan sampai setelah kami menelepon nomor di kuitansi. Tentu kami geram karena sudah menunggu 2 jam lamanya dan sudah lapar bukan main.
Soal citarasa makanan rasanya kok seenak apapun kalau sudah begini payahnya pelayanannya jadi tak enak lagi. Kami sebagai pembeli tak lagi merasa nyaman makan di tempat yang harus menunggu dengan begitu ‘menyiksa’ begini.

Jadi intinya ya kami sebagai pembeli kecewa berat dan kapok datang ke sana lagi. Sumpah!
Kalau tidak ada keindahan pemandangan di sekitarnya, mungkin tempat ini bakal cepat tutup. Tapi mungkin karena mereka pikir dengan pelayanan ala kadarnya begini toh orang masih mau kok bertandang makan. Ya sudah, mungkin pelayanannya dibiarkan begini buruknya oleh manajemen dan pemilik.
Tapi saya sebagai konsumen ingin mengingatkan sesama konsumen lainnya. Please jangan buang waktu Anda di sini. Anda berhak mendapatkan tempat makan dengan kualitas pelayanan yang lebih baik dengan harga yang sama persis!!!
Untuk manajemen kafe ini, saya sangat menyanyangkan tidak adanya standar operasional yang baku dan jelas. Misalnya bagaimana jika makanan terlalu lama disajikan, durasi menunggu keluarnya makanan (lihatlah resto siap saji yang pakai standar sekian menit untuk menyajikan makanan sejak pembayaran dilakukan konsumen), dan sebagainya.
Jika memang belum siap dan tak ada perbaikan, tutup sajalah. Daripada menjebak konsumen-konsumen yang semestinya bisa menikmati hari dengan mood bagus tapi gara-gara ke sini malah jadi marah-marah dan kecewa. Sungguh, membuat konsumen kecewa dan marah itu menurut saya dosa terbesar untuk para pelaku industri hospitality termasuk kuliner. (*/)