KURNIA Effendi – yang akrab dipanggil Kef – duduk di depan audiens dalam sebuah bincang-bincang mengenai koleksi batik sekar jagad miliknya siang itu (20/ 12/ 2014) di Galeri Batik, Museum Tekstil, Jl. K. S. Tubun Jakarta Barat. Pria itu dikenal orang-orang di sekitarnya sebagai peminat, dan juga kolektor dan pemakai kain batik asli Indonesia.
Mengaku tanggung dalam berbagai hal yang ia tekuni, Kurnia duduk di bangku STM untuk belajar mengenai teknik bangunan gedung. “Kemudian saya bekerja di konsultan arsitektur, melanjutkan kuliah di ITB jurusan interior desain,” terang Kurnia. Kini ia bekerja di salah satu perusahaan otomotif.
Selain 3 dunia tadi, Kurnia juga penulis yang produktif. Hingga sekarang, buku-buku fiksinya telah mencapai 16 buah berkat kegemarannya menulis sejak usia belia.
Dari semua bidang tadi, ia kemudian tertarik pada batik. Alasan pertamanya menyukai batik ialah karena rasa tidak ikhlas saat di tahun 2000-an ada klaim dari Malaysia terhadap batik bahwa batik milik mereka. Kemudian tanggal 2 Oktober diputuskan batik menjadi warisan budaya adiluhung Indonesia, kata Kurnia.
“Saya sebagai orang Indonesia merasa prihatin. Mengapa orang Indonesia diam saja?”
Saat itu ia belum mengenal sosok-sosok yang menonjol dalam dunia batik seperti Iwan Tirta, Adjie Notonegoro, dan sebagainya. Sebagai peminat baru, Kurnia selalu terkejut saat mengunjungi bursa batik di acara-acara yang digelar di JHCC. Pameran-pameran itu biasanya Adi Wastra, Indo Craft, dan sebagainya.
“Saya semakin terkejut saat ada seorang teman Laila S. Chudori yang memiliki kakak yang menikah dengan orang Australia yang ditugaskan menjadi duta besar atau konsulat di Malaysia, sehingga saat liburan ia sempat berkunjung ke pameran Adi Wastra, ia merasa belum puas,” ujarnya. Kenalannya itu mengaku menangis karena mengetahui kekayaan budaya Indonesia yang begitu besar. Ia mengatakan negeri jiran itu tidak ada apa-apanya. Temannya itu menghabiskan puluhan juta rupiah demi memborong kain-kain yang menurutnya miliknya tetapi tidak terurusi dengan baik.
Awal mula mengkoleksi batik ialah saat ibunya meninggal dunia. Warisannya berupa kain-kain batik. “Saya juga tidak tahu apakah kain-kain itu berharga atau tidak,” kenangnya. Kain-kain itu banyak yang bermotif sogan yang kemudian ia bagi-bagikan dengan saudara-saudara kandungnya untuk kemudian disimpan. Demikian juga saat mertua meninggal, ia juga diberikan sebagian kain yang ditinggalkan almarhum.
Ia mulai tertarik membeli dan mengkoleksi kain batik. “Dari yang murah, seperti cap, printing.”
Kurnia mulai belajar pada teman-temannya bagaimana untuk mengumpulkan kain-kain batik tulis yang asli. Batik jenis printing memang murah tetapi cepat pudar warnanya.
Dari sana, ia bersama beberapa temannya menjual batik secara daring. Mereka mulai berjualan dari kain-kain batik cap yang murah seharga Rp200.000.
Setelah beberapa lama menjual kain batik yang murah, mereka menjajal menjual kain batik tulis yang harganya lebih mahal. Harganya sekitar Rp600.000 bahkan jutaan. “Eh ada yang beli, meskipun tidak banyak tetapi memang segmennya lain,” katanya.
Ia mulai mengetahui ada sebagian orang yang memahami kain batik lebih baik. Untuk menggairahkan semangat mencintai batik bagi orang awam, Kurnia mengaku ia menjual kain-kain batik cap yang motifnya bagus agar banyak orang tertarik membeli.
Bagaimana jika kain batiknya tidak terjual? Kurnia memiliki kiat. Ia tidak menjual kain yang tidak ia sukai. “Jadi kalau tidak terjual, bisa kami pakai sendiri.”
Suatu saat Kurnia memutuskan untuk lebih mengkhususkan koleksi kain batiknya dengan memilih tema sekar jagad yang menurutnya “memiliki ragam hias yang luar biasa”.
Kurnia beruntung karena ia dapat mengunjungi sejumlah sentra produksi batik Indonesia di sela-sela perjalanan bisnisnya. Pernah suatu saat ia menyambangi produsen batik di Jambi yang berlokasi di sekitar sungai Batanghari.
Tidak puas dengan hanya menjadi kolektor batik, ia juga dengan bangga memakainya dalam berbagai kesempatan. Semakin lama, semakin banyak orang di sekitarnya yang mengenalnya sebagai pemakai setia kain batik. Dan ini menjadi ciri khasnya.
Pengalaman pahitnya sebagai kolektor batik yang juga banyak menimpa kolektor lainnya ialah tertipu oleh penjual yang tidak bertanggung jawab.
Ia juga sempat kebingungan dengan klaim-klaim yang dilontarkan masing-masing penjual batik. “Setiap pembatik menjelekkan pembatik yang lain. Akhirnya saya paham masalahnya karena cuma masalah (persaingan -red) dagang saja,” kata pria yang juga menggemari fotografi itu. Semua itu akhirnya membuat pembeli menjadi korban juga.
Kurnia mengaku pernah tak bisa tidur karena batik. Ia menemukan sebuah kain batik yang indah di Purwotaman, Yogyakarta saat Waisak 2013 lalu. “Waktu itu harganya Rp3 juta.”
Ia nekat pulang tanpa membawa kain itu karena dianggap terlalu mahal. Alhasil, sampai di rumah Kurnia tak bisa tidur lelap. Esok harinya ia memutuskan menelepon si penjual. “Akhirnya saya mendapatkan Rp1.650.000 dan rugi Rp30.000 sebagai biaya kirimnya,” kenang Kurnia. (*/Akhlis)