Tentang Wawancara, Mewawancarai, Diwawancarai dan Membaca Wawancara

Wawancara. Bisa dianggap mudah saja atau tantangan luar biasa. Mewawancarai secara alami lebih dituntun oleh keingintahuan lalu terkumpullah serangkai fakta atau apapun yang diasumsikan seperti fakta. Klaim dan simpulan tak berdasar kadang menyelip di sana sini yang terpaksa muncul karena ingin hasil wawancara lebih bombastis dan menarik dibaca orang. ‎Dan mungkin, karena pemeriksaan fakta (fact checking) sudah harus mengalah oleh tenggat waktu. Maklum, pembaca makin tak sabaran. Dunia (merasa) makin tak sabaran. Ini sungguh membingungkan dan sejatinya mengibakan. Karena pewarta makin lama makin seperti budak saja. Upah tak seberapa, tetapi mesti bekerja menata kata dari berbagai fakta yang ditemuinya, tanpa kenal penat yang meraja dan redaktur yang semena-mena.

‎Wawancara kerap dilakukan secara impromptu. Alhasil pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkan sekenanya. Tak tersusun baik, teracak, tanpa alur. Kalaupun tersusun sebelumnya, hanya dilakukan di sela rangkaian aktivitas yang padat luar biasa. Bahkan karena otak beku, pertanyaan sering mengabaikan logika. Norma juga bukan kendala, etika juga. Lalu bagaimana? Ini semua sungguh membuat gila! Bagaimana bisa mencapai hasil sempurna?!

Tetapi mendapatkan kesempatan wawancara pun sudah beruntung kadang. Bukan sekali dua kali pertanyaan sudah tertuang rapi di lembaran dan ternyata harus dibuang ke keranjang karena ‎sang narasumber yang (berpikir dirinya) terlampau terkenal sulit ditemui langsung dan begitu sibuk, atau memilih menyibukkan diri dengan jurnalis-jurnalis media besar dan melupakan pewarta-pewarta media maya.

Sementara itu, ada sebagian mereka yang mati-matian menjerat wartawan. Membuatnya terpaku di suatu waktu dan bangku, mendengarkan perkataan narasumber gila publisitas tanpa‎ jeda lalu menyajikan berbagai suguhan menggoda. Dari voucher makan tanpa biaya, jamuan makan cuma-cuma, memiliki kesempatan mencicipi kemewahan yang tak terjangkau anggaran dari upah bulanan.

Pewarta mewawancara sering karena tak ada pilihan lain di mata. Ya sudah, apa adanya saja, gumamnya.‎ Tenggat waktu toh makin dekat. Jadi daripada hari ini kena damprat, kenapa harus kesempatan ini dibiarkan lewat? Tinggal rekam atau catat. Sisanya bisa dikembangkan dari fantasi atau hasil menjelajahi hasil yang disuguhkan mesin pencari.

Kecewa kadang mendera kalau narasumber incaran menolak menjawab pertanyaan yang merangsang perbincangan intens. Seolah ia menutup pintu. Terkunci di situ dan tak bisa melangkah lebih jauh. Yang hanya bisa dilanjutkan hanya isu-isu yang membuat jemu. Itu itu melulu. Rasanya sudah buntu.

Hati berubah gembira jika berhadapan dengan narasumber yang dermawan bukan kepalang. Satu pertanyaan sentilan membuka sekaligus banyak jawaban, bahkan yang tidak terlintas sebelumnya untuk ditanyakan. Terus, terus, terus gali saja sampai habis. Tandas hingga puas.

‎Sial, ada hal bagus untuk diberitakan yang keceplosan diucapkannya tapi ia beberapa detik kemudian baru sadar dan minta dirahasiakan. “Off the record ya…” Mungkin akan lebih mudah jika diabaikan saja dan tetap memuatnya dalam berita lalu menikmati pujian dari redaktur dan pembaca tetapi bagaimana kalau narasumber murka dan mencap tak bisa dipercaya? Susah juga ya.

Mendapat masukan tentang kesalahan padahal sudah menulis sesuai pernyataan? Bukan anomali. Bahkan frekuensi terjadinya bisa tinggi. Karena itu, jangan menggores pena tetapi rekamlah suara. Jari tak bisa bersuara, tetapi suara manusia yang bisa.

‎Diwawancarai apalagi. Tak kalah pelik. Apa yang harus dipersiapkan? Duh, nanti kalau tidak tahu harus menjawabnya bagaimana? Baiklah, jawab sebisanya. Ini bukan ujian. Rileks saja. Berpakaian terbaik, supaya kalau difoto tak akan mengecewakan orang tua dan kerabat serta sobat yang akan menjadi sasaran pameran. Percuma, karena si pewawancara tak bawa kamera. Punyanya Blackberry semata. Di hari mendung saja, hasilnya sudah kabur. Ia tak pernah meminta foto, jadi mungkin memang tak memerlukannya. Lalu setelah terbit, muncullah foto-foto di jejaring sosial. Sial! Baiklah, fotonya tak terlalu buruk tetapi bagaimanapun juga tak ada permintaan izin yang terlontar.

Spekulasi usia narasumber bukannya masalah raksasa. Bahkan bisa dikatakan propaganda biasa agar semua percaya itulah seharusnya usia berdasarkan tampilan di netra. Tak ada keberatan‎ karena kesalahan dari ketidaktahuan itu kadang sebuah kenikmatan. Namun, lain kali, akan lebih baik menulis yang benar-benar diketahui saja. Agar sang narasumber tak terkesan berbohong memudakan usia. Padahal ia tak juga berupaya menutupinya.

Waspada juga membaca hasil wawancara. ‎Mungkin yang berlebihan si pewawancara. Kadang juga si terwawancara. Acap kali dua-duanya. Atau kekurangtajaman pendengaran dan pemikiran yang perlu dimaafkan, bukan diperkarakan. Sepanjang tak ada yang merasa dirugikan atau disudutkan.

Pewarta Tanpa Kantung Mata

‎Pewarta tanpa kantung mata
Musykil itu namanya
Meski pakai kacamata
Tak jua membantu apa-apa

“Istirahatkan saja”
Saran dia yang memeriksa netra
Di sebuah optik tepercaya
Saat aku sudah putus asa

Tapi bagaimana‎ bisa?
Nasihat yang gila
Bisa-bisa semua kerja tertunda
Karena rehat mata belaka

‎Lalu harus bagaimana?
Protes saya
Dia menggelengkan kepala
Seraya berkata
“Pintu keluar ada di sana…
Sampai jumpa.”

‘Manfaatkan’ Jurnalis!

Pers  (Sumber foto: Wikimedia)
Pers: Dicinta tetapi disia-sia. (Sumber foto: Wikimedia)

Dalam banyak kesempatan, para jurnalis tidak banyak diperlakukan dengan baik. Semacam warga negara kelas dua, kalau saya bisa katakan. Meski diundang dalam sebuah event, misalnya, mereka tidak diberikan sebuah kursi untuk duduk dan berbincang dengan orang-orang yang mereka ingin jadikan nara sumber liputan. Kalaupun ada kursi untuk jurnalis, mereka akan diberikan tempat duduk di belakang, setelah para tamu undangan menduduki kursi masing-masing dan ada yang tersisa. Mereka juga mendapatkan bagian konsumsi sendiri, yang biasanya lebih murah daripada para petinggi. Jarang ada yang menyajikan makanan dan minuman yang sama-sama kualitasnya baik bagi jurnalis dan orang lain, terutama dalam acara-acara di dalam ruang. Saya merasakan semua itu sendiri. Dan saya tidak mengada-ada.

Tidak hanya oleh korporasi besar perlakuan semacam itu diberikan pada wartawan. Kerap kali para entrepreneur dan startup yang saya liput juga tidak menyambut hangat. Hanya suam-suam kuku, dan begitu mereka larut dalam event yang biasanya mereka adakan atau hadiri, mereka akan melupakan pewarta.

Di event yoga juga demikian. Peran media seolah dianggap remeh. Media ditempatkan di ruangan yang kurang representatif, padahal peralatan berharga mereka banyak. Bagaimana kalau ada yang mencuri laptop dan kamera kami? Tak banyak yang berpikir tentang keamanan dan kenyamanan jurnalis yang sedang bekerja. Wi-fi tak ada, meja untuk sekadar menaruh peralatan juga tidak disediakan.

Namun tidak semuanya demikian. Saya juga pernah menemui perusahaan yang cukup baik memperlakukan jurnalis. Mereka menyewa sebuah firma humas yang cekatan dan berpengalaman sehingga para pewarta sangat terbantu. Masuk ke ruangan konferensi pers, kami sudah diberikan media kit, berupa CD atau flash drive berisi foto-foto resolusi besar dari perusahaan dan si CEO, lalu ada selembar kertas berisi daftar nama-nama orang yang akan tampil memberikan keterangan dan beraudiensi dengan wartawan untuk wawancara yang lebih intensif.  Sungguh memudahkan kerja kami.

Ada lagi yang tidak segan mengundang wartawan untuk duduk bersama di meja dengan para pembicara kunci di sebuah acara besar. Bukan sebuah kehormatan, tetapi lebih pada memberikan kemudahan dalam menggali data dan informasi yang nantinya dapat dipakai dalam penyusunan berita. Dengan begitu, jurnalis juga menjadi lebih dekat dengan para pentolan acara sehingga nantinya bisa menjalin komunikasi yang lebih baik dan lancar.

Sayang sekali tak semuanya seperti itu…

Padahal jurnalis bisa ‘dimanfaatkan’. Maksud saya, dimanfaatkan sebagai alat promosi yang baik, tanpa biaya malah. Ini yang tidak disadari banyak orang.

Perbedaan New Journalism dan Investigative Journalism

Sebelum membandingkan keduanya, ada baiknya mencari tahu makna masing-masing istilah. Dijelaskan dalam britannica.com, New Journalism merupakan sebuah gerakan sastra Amerika di tahun 1960-an dan 1970-an yang mendorong pembentukan batas-batas baru dalam lingkup jurnalisme tradisional dan penulisan nonfiksi. Aliran tersebut menggabungkan riset jurnalisme dengan teknik-teknik penulisan fiksi dalam pelaporan berita mengenai kejadian nyata. Sejumlah tokoh yang dianggap berperan sebagai pionirnya ialah Tom Wolfe, Truman Capote dan Gay Talese.

Dalam aliran New Journalism (selanjutnya disebut NJ), seorang penulis diharapkan ‘menenggelamkan diri’ dalam subjek yang ditulisnya. Bahkan jika perlu hidup di dalamnya sambil mengumpulkan fakta dan melakukan riset mendalam dalam bentuk wawancara dan pengamatan langsung. Maka dari itu, tulisan yang menerapkan aliran ini akan sangat berbeda dari artikel-artikel jurnalisme konvensional di surat kabar besar. Kita bisa menemukan gaya jurnalisme ini di laman GQ.com, New York Herald Tribune, majalah Esquire, The New Yorker dan sejumlah majalah terkemuka lainnya di AS.

Ciri lain yang menonjol ialah saat mewawancarai tokoh, misalnya, wartawan memposisikan diri sebagai lawan bicara yang setara. DI dalam tulisan, wartawan memberikan berbagai deskripsi yang apik mengenai karakter si tokoh secara lengkap dalam penyajian detil-detil remeh namun humanis. Bahkan detil kejadian yang sebenarnya bukan mengenai tokoh itu pun, jika akan memberikan latar belakang yang komplit mengenai jati diri si tokoh, akan disertakan tanpa ragu. Hasilnya Anda akan membaca sebuah tulisan yang panjang, tampak bertele-tele tetapi menghibur, seolah membaca sebuah surat pribadi yang ditujukan hanya untuk Anda dari seorang teman. Sangat personal. Dari sinilah, kita bisa memahami bahwa anggaran untuk menulis sebuah artikel dalam aliran NJ sungguh besar dan waktunya relatif lebih lama. Teman-teman subjek itu

Sementara itu, Investigative Journalism (selanjutnya disebut IJ) memiliki makna yang kurang lebih adalah sebuah proses jurnalisme yang bercirikan adanya pendekatan yang kritis, subjek yang penting, inisiatif sendiri, riset mandiri, analisis mandiri dan eksklusivitas, demikian jelas jurnalis Nil Hanson dalam bukunya Grävande Journalistik (sumber di sini). Menurut asosiasi Investigative Journalism VVOJ, IJ merupakan jurnalisme yang mendetil (thorough) dan kritis. Kritis berarti jurnalis tak hanya menyajikan berita yang sudah ada. Jurnalis harus berjuang untuk menciptakan berita yang seandainya ia berpangku tangan tidak akan bisa muncul. Bentuknya bisa penciptaan atau penemuan fakta baru atau reinterpretasi atau korelasi fakta yang sudah ada dan beredar luas. Mendetil artinya seseorang membuat upaya besar dalam hal kuantitatif (dalam bentuk riset, berkonsultasi dengan banyak sumber, dan sebagainya) atau kualitatif (formulasi pertanyaan baru, penggunaan pendekatan baru, dan lain-lain). Ada 3 jenis IJ: penyibakan skandal, ulasan kebijakan atau fungsi pemerintahan, perusahaan dan lembaga lain, dan menarik perhatian publik pada masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam hal metode reportorial dan tujuan penulisan. Dalam UNESCO Global Casebook, Mark Lee Hunter menyatakan bahwa inti NJ adalah pengamatan yang lekat. Reporter dalam pendekatan NJ dibolehkan memberikan interpretasi pribadi mereka atau reaksi personal mereka terhadap isu yang ditulis. Anda bisa menemukan ini dalam karya Hunter S. Thompson. Alih-alih menggunakan sumber lain untuk mengatakan sesuatu untuk ditulis, reporter bisa menuliskan pendapatnya sendiri. Seorang pewarta bisa berimajinasi dan
bermain-main dengan kata-katanya untuk memperindah dan memperkaya tulisan. Kelemahannya pemikiran reporter bisa dianggap ‘mencemari’ subjek tulisan yang sebetulnya. Di sinilah bedanya IJ dan NJ. IJ tidak memperbolehkan ‘keliaran’ semacam ini merasuk dalam tulisan. Singkatnya, kata Hunter, si penulis bukan yang terpenting. Subjeklah yang lebih krusial dan pantas mendapat sorotan lebih banyak.

IJ tidak menggunakan pendekatan pengamatan tetapi invasif, menyerang. Jurnalis harus proaktif, tidak menunggu dan duduk mengamati hingga bahan berita itu terbuka secara otomatis tetapi ia harus mau bekerja keras membukanya. Ia harus mau turun ke lapangan, “memungut artefak dan menganalisisnya”, kata Hunter.

Tujuan IJ dan NJ juga berbeda. NJ ingin agar para pembacanya menyaksikan dunia dalam sebuah perspektif baru. Sementara IJ ingin mendorong para pembacanya untuk bertindak dalam cara yang baru.

15 Kualitas Penulis Unggul

‎Berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama bertahun-tahun dan berbincang dengan beberapa jurnalis, Roy Peter Clark yang pernah menulis “How to Write Short” menemukan kesamaan dalam diri para penulis terbaik.

Pertama adalah ‎mereka semua kecanduan membaca sepanjang hayat. Mereka melahap semua bacaan dari fiksi sampai non-fiksi, novel sampai film.

‎Kedua, mereka cenderung suka menulis panjang dan mereka menyadarinya. Mereka menulis dengan sepenuh hati dan itu terpancar dari semua kalimat yang dirangkai. Anda sebagai pembaca pastinya akan merasakan kejanggalan bila penulis atau wartawan tidak begitu menguasai atau tertarik pada satu topik. Tulisannya akan terasa hambar atau monoton. Penulis yang baik ingin memanjakan pembacanya dengan menyajikan karyanya yang terbaik, dan kerap karya itu menjadi begitu panjang. Namun demikian, mereka juga bisa menyesuaikan diri bila harus menulis dengan singkat dan padat.

Ketiga, penulis unggul memandang dunia sebagai tempat mereka bereksperimen. Dengan persepsi ini, mereka tidak segan turun ke lapangan, tidak hanya berkutat dengan buku dan komputer di ruangan sepi tetapi juga mengobrol dengan orang-orang baru, berkunjung ke tempat-tempat baru, ‎merasakan pengalaman baru. Semua itu pada gilirannya akan memperkaya cerita yang ia akan suguhkan ke pembaca.

Keempat, penulis berkualitas menyukai kebebasan dalam bekerja. Energi kreativitas mereka tidak bisa dikendalikan oleh orang lain termasuk editor. Mereka seolah memiliki kompasnya sendiri, semacam naluri yang mengatakan pada dirinya,”Ini pasti akan menarik untuk disajikan bagi pembaca saya.”

Kelima, penulis yang top tidak sungkan dan tidak malas mengumpulkan fakta dan informasi, termasuk anekdot, kisah yang membuatnya terkesan, dsb. ‎Mereka menggunakan berbagai alat yang ada untuk mengumpulkan dan menyimpan data berharga tadi, dari mencatat di buku harian, merekam di alat tertentu, mengetik di perangkat mungil seperti ponsel, atau mengandalkan catatan mental di benaknya.

Keenam, penulis unggul bersedia menghabiskan waktunya menyempurnakan bagian pembuka dalam karyanya. Karena ia tahu, tanpa pembuka yang baik, orang akan sulit tertarik membaca tulisannya lebih lanjut sampai habis. Dalam jurnalisme, kita kenal bagian ini dengan istilah “lead”, yang memuat gagasan utama tulisan dan sekaligus membuat pembaca makin penasaran.

Ketujuh, ‎penulis yang baik sanggup melarutkan diri dalam kisah yang mereka tuliskan. Ini berkaitan erat dengan totalitas dan fokus dalam berkarya. Mereka menulis dengan sepenuh hati, bukan hanya mencari uang atau memenuhi tuntutan editor dan pemilik modal.

Kedelapan, ketekunan selalu bersemayam dalam diri penulis-penulis unggul. Mereka sanggup bekerja sehari semalam untuk memberikan tulisan terbaik mereka.

Kesembilan, ‎mereka menyukai keteraturan terkait bahan tulisan yang akan digunakan karena mereka sadar pekerjaan akan jauh lebih mudah bila literatur dan sumber yang dibutuhkan dikelompokkan dengan baik.

Kesepuluh, penulis-penulis berkualitas “tega” untuk menulis ulang atau bahkan membuang bagian yang tak perlu. JK Rowling, misalnya, mengaku membuang bagian cerita tentang otopsi Barry Fairbrother dalam The Casual Vacancy meski sudah susah payah menulisnya selama berhari-hari hanya karena ia kemudian merasa bagian itu terlalu melenceng dari isi cerita.‎ Menyelesaikan draft pertama adalah sebuah langkah yang baik tetapi belum bisa disebut akhir proses kreatif penulisan. Menulis adalah menulis ulang, begitu kata seorang penulis. Buku-buku laris biasanya hasil dari penulisan ulang yang makin menyempurnakannya.

Kesebelas, mereka biasa membaca keras-keras tulisannya untuk mengetahui kejanggalan. David Sedaris membaca lantang hasil tulisannya sebelum menyerahkan ke editor atau penerbit. Sekali dua kali belum cukup. Belasan kali juga belum cukup kalau masih bisa diperbaiki lagi. Alasannya? Dengan membaca, kita bisa mengetahui seberapa mengalirnya kisah yang kita ceritakan dalam tulisan.

Keduabelas, penulis unggul suka bercerita. Elizabeth Gilbert mungkin contoh terbaik dari penulis yang begitu suka mengobrol tentang hal-hal konyol dan remeh temeh tetapi menarik dan menghibur. Ia kerap mengumpulkan anekdot-anekdot berharga dalam ingatan dan catatan hariannya untuk kemudian meleburkannya dalam karyanya. Daripada mentah-mentah menyuguhkan informasi dalam pola 5W dan 1H, ia memakai gaya bercerita yang mengalir dan menarik karena tulisannya padat dengan narasi, anekdot, kronologi dan suasana yang detil.

Ketigabelas, ‎penulis yang baik mampu memberikan keseimbangan antara memuaskan idealisme diri dan selera pembacanya. Mereka berusaha menarik tanpa harus menjadi orang lain dalam tulisannya.

Keempatbelas, penulis berkualitas tahu ia tidak bisa terjebak dalam satu gaya penulisan selamanya. Ia mau mengeksplorasi diri dengan mencoba berbagai bentuk dan gaya menulis. Dengan keluar dari zona nyaman itulah, ia akan memperkaya pengalaman dan ketrampilan menulisnya.

Itu semua menurut Clark adalah ciri-ciri umum penulis yang berkualitas. Dan menurut saya masih ada satu lagi ciri lainnya, yaitu kemampuan bekerja di dalam berbagai kondisi apalagi jika mereka diburu waktu. Mereka tidak memiliki ketergantungan yang begitu mengganggu pada suatu hal, dari kafein sampai keharusan menulis di tempat dengan kondisi tertentu. ‎ Kita tentu pernah menjumpai penulis-penulis eksentrik yang hanya bisa bekerja di dalam suasana tertentu atau dengan alat menulis tertentu. ‎Ini hanya akan menghambat produktivitasnya sebagai penulis.

Independensi Media Itu Bukan Omong Kosong, Asal…

‎Saya masih ingat kalimat pakar marketing pendiri Mark Plus Inc., Hermawan Kertajaya, dalam acara penghargaan Indonesia Wow Brand yang ia gelar 11 September lalu. “Menjadi media darling itu tidak perlu memiliki media sendiri,”terang pria yang penampilannya masih enerjik di usia senja itu. Saya manggut-manggut. Pernyataannya benar dan menohok, kalau melihat kenyataan lapangan di Pilpres 2014.

Serta merta kami diingatkan Hermawan tentang fenomena para pemilik media yang kalah telak dari Presiden Terpilih RI 2014-2019. Surya Paloh dengan Metro TV-nya kandas menuju kursi presiden dan kemudian memutuskan membela Jokowi-JK. Ada bos besar MNC Group Hary Tanoesoedibjo yang kerap dipanggil orang Ahok, padahal bukan. Kemudian yang paling sering diolok-olok, Aburizal Bakrie dengan TV One dan Viva News-nya yang diserang habis-habisan karena menayangkan hasil quick count paling abnormal dibandingkan stasiun-stasiun televisi lain di Indonesia.

Pernyataan Hermawan seolah mengamini gagasan Ignatius Haryanto yang menulis di kolom Opini Kompas ‎Rabu 23 April 2014. Di artikelnya “Nasib Media Partisan Setelah Pemilu”, Ignatius menulis:

“Oleh karena itu, penting kepada media-media mana pun untuk selalu menjaga independensi karena reputasi media akan ditentukan dari independensinya, dan bukan dari faktor dekat atau tidaknya ruang redaksi dengan perintah sang majikan utama.”

Omong kosong! Tidak ada namanya independensi media setelah pemilik modalnya berafiliasi dengan arena yang diliputnya. Tilik saja kebijakan Kara Swisher dari Recode.net. Ia menolak SEMUA penanam modal dari Silicon Valley dan dunia bisnis pada umumnya. Mengapa? Karena ia terlalu pintar untuk tahu bahwa independensi medianya itu hanya akan menjadi angan-angan begitu ruang redaksinya didanai orang-orang yang juga memiliki hubungan dengan sasaran pemberitaannya.‎

Lalu bagaimana sebuah lembaga pers mendanai aktivitasnya dan menuai laba? Metode pendanaan patungan atau crowdfunding bisa dijadikan alternatif. ‎Kenapa? Karena risiko campur tangan menjadi lebih rendah dari yang dihadapi media dengan pemodal individual atau korporat yang memiliki kepentingan. Dengan banyaknya orang yang memiliki berbagai kepentingan di situs crowdfunding, kemungkinan penunggangan redaksi dengan kepentingan pemilik modal lebih kecil.

Jurnalisme Emosional

‎Era media baru yang ditandai dengan inovasi-inovasi teknologi yang memudahkan siapa saja membuat publikasi mereka sendiri (via blog, self publishing, dll) membuat norma-norma jurnalisme konvensional mau tidak mau, cepat atau lambat harus bergeser. Terjadi friksi, tumpang tindih, perselisihan di antara para wartawan dan blogger (narablog) yang saling mengklaim bahwa kelompok atau aliran atau medianya adalah yang paling baik. Fenomena ini sungguh menarik untuk diamati bila Anda adalah pewarta atau peminat jurnalisme media baru dan blogging.

Dalam pengamatan saya, ‎sekarang ini muncul sebuah aliran baru dalam jurnalisme:jurnalisme emosional. Para pelopornya adalah pendiri blog TechCrunch.com Michael Arrington, pendiri blog Pando.com Sarah Lacy, dan Kara Swisher yang mendirikan Recode.net. Mereka inilah orang yang membuat terobosan dengan memanfaatkan kanal penerbitan digital semacam blog dan jejaring sosial sebagai pengganti. Mereka membuat dunia jurnalisme menjadi lebih segar, tidak melulu menampilkan onggokan hasil wawancara, fakta dan data. Jurnalis-jurnalis kampiun media baru ini juga memiliki kepribadian (personality) dalam menyampaikan isi kepala mereka mengenai sebuah isu.

Beda yang pertama dan utama aliran jurnalisme emosional ini ialah mereka tidak segan menggunakan kata “I” (saya) dalam berbagai tulisan. Ego mereka memang besar dan mereka tidak menggunakan bahasa yang formal dan kaku bak pewarta media lama yang kerap menghiasi halaman surat kabar. Gaya menulis mereka sangat berkebalikan dengan gaya menulis wartawan di situs-situs berita mapan seperti BBC.co.uk dan VOANEWS.

Karena besarnya ego itulah, jurnalis-blogger di sini diperkenankan (baca : sangat didesak) untuk‎ menunjukkan kepribadian mereka secara blak-blakan. Arrington dan Lacy, misalnya, tidak malu menulis dengan nada memojokkan atau menggunakan kata kasar semacam “f*ck”. Swisher juga terlihat sangat liberal dengan penggunaan kata-katanya di berbagai kesempatan publik meski di tulisannya agak lebih terkendali. Emosi yang menjadi bagian dari watak manusia justru harus dipertontonkan di jurnalisme emosional dan media baru. Padahal di jurnalisme kolot, emosi sebisa mungkin dihindari agar tidak mencemari fakta yang disajikan pada pembaca. Jurnalis adalah mesin penyaji fakta dan peristiwa, tidak dianggap memiliki kepribadian atau sikap atau emosi yang manusiawi. Dalam jurnalisme emosional, justru kepribadian dan emosi harus dieksploitasi karena inilah komoditi.

Kecepatan juga menjadi prioritas di jurnalisme emosional. Sarah Lacy sendiri mengkritik bahwa dunia jurnalisme teknologi akhir-akhir ini menjadi semacam perlombaan bagi jurnalis-jurnalis agar bisa menghasilkan konten baru tentang pernyataan pers yang sama “lebih cepat dua detik” daripada para pesaingnya. Agar jurnalisme tidak semata-mata menjadi lomba kecepatan “salin tempel” (copy paste), ia menyarankan untuk menulis ulang pernyataan pers yang dikirimkan oleh startup atau berita apapun yang sudah ada agar konten yang disajikan lebih segar dan memiliki nilai tambah. Saya amati sendiri metode penulisan di Pando.com yang ia bawahi cukup menarik, karena kontennya lebih kaya referensi dari berbagai sumber. Banyak hyperlink menuju ke laman-laman lain yang bisa memperluas pandangan dan wawasan sehingga bias dalam penyampaian bisa ditekan.

‎Hal lain yang turut membedakan jurnalisme emosional ialah minimnya intervensi tim editorial. Di Techcrunch misalnya, menurut Eric Eldon (mantan editor Techcrunch) sebagaimana dikutip laman Poynter.org di artikel “Techcrunch’s Alexia Tsotsis‎: ‘I Like the Emotional Part of the News’, blog itu tidak memiliki proses ulasan editorial yang formal seperti halnya di media lainnya. Tetapi inilah yang membuat Techcrunch sanggup bertengger di peringkat teratas Techmeme Leaderboard. Artikel-artikel blogger mereka kerap mendapat kecaman, sindiran, olok-olok, karena dianggap bukan pekerjaan jurnalistik yang sesuai pakem. Namun demikian, mereka malah makin berjaya. Salah satunya menurut saya adalah karena blogger-blogger di Techcrunch menulis dengan gaya pribadi mereka sendiri. Dan mereka diberikan ruang yang hampir tanpa batas untuk itu. Begitu bebasnya ruang itu, sampai Tsotsis sendiri mengaku pernah menulis dan mempublikasikan artikel dalam kondisi mabuk setelah minum anggur. “Fuckers I am so sick of reporting on incremental tech news for fucking two years now, so sick I’m pretty much considering reverting full-time to fashion coverage,”tulis Tsotsis yang mabuk di sebuah malam Minggu di Techcrunch. Tulisannya langsung menuai kritik dan kecaman pedas.

Sarah Lacy yang juga pernah bekerja di Techcrunch menyoroti lemahnya pengawasan editorial di media baru seperti Techcrunch dan menerapkan penyempurnaan ‎itu di Pando. Penyuntingan naskah (copy editing) ia anggap sebagai bagian integral penerbitan sebuah artikel hingga pantas dibaca khalayak. Lacy mengatakan sendiri misinya adalah menggabungkan sisi posisif media lama dan media baru. Dan tampaknya ia belajar banyak dari kebebasan yang terlalu tinggi di Techcrunch.

Semua plus minus itulah yang membuat jurnalisme emosional ini menjadi begitu seksi, menantang persis seperti Alexia yang dulunya berprofesi sebagai model. Karena mereka mendobrak aturan formal yang sudah ada, dan makin dicerca, mereka makin disuka juga. Berita yang mereka sampaikan seolah menjadi lebih manusiawi dan tidak mengada-ada. ‎Saya menduga ada kriteria khusus supaya seseorang bisa sukses di jurnalisme emosional seperti ini. Mereka adalah orang-orang yang bersedia menerima kecaman kejam tanpa henti dari troll virtual yang kapan saja bisa meninggalkan komentar pedas di kotak komentar.

Di Indonesia, sepengetahuan saya belum ada yang benar-benar bisa merealisasikan jurnalisme emosional ini. ‎Dibutuhkan orang-orang dengan keberanian seperti Ruhut Sitompul atau Farhat Abbas untuk memancing emosi pembaca tetapi tentu saja, dengan memiliki kepribadian yang unik dan penampilan yang lebih menarik dari keduanya.

{image credit: Alexia Tsotsis/ Business Insider}

Jika Menulis Jadi Otomatis (Tren Robot Penulis Berita)

Berhati-hatilah dengan impian dan harapan Anda. Begitu kata pepatah dari negeri China. Jika Anda bekerja sebagai pewarta, dan Anda pernah mengeluhkan betapa beratnya beban kerja Anda selama ini (misalnya karena harus turun ke lapangan, mengejar narasumber, menjalani piket/ shift malam dan dini hari yang membuat jam tidur kacau balau) dan ingin proses membuat berita menjadi semudah mengayunkan tongkat sihir dan mengucapkan mantra, selamat! Impian Anda sudah terwujud.

Beberapa waktu lalu saya pernah membaca sebuah artikel tentang bagaimana menulis buku yang praktis, yang ternyata dilakukan dengan bantuan software tertentu. Saya anggap ‘inovasi’ itu sungguh absurd. Jikalau memang teknologi semacam itu akan marak nantinya, tak serta merta ia bisa menjamin kualitas buku yang dihasilkan. Tetap saja harus ada campur tangan manusia dalam prosesnya. Otomatisasi tidak akan bisa seratus persen menggeser peran penulis dan segenap intelejensia, pengalaman, gagasan dan emosi mereka yang khas dan tiada duanya. Inilah yang tidak akan bisa dimiliki oleh buku-buku yang dihasilkan dengan mekanisme otomatis semacam itu, terka saya. Intinya, software itu tetap tidak bisa menggantikan peran para penulis buku fiksi dan non-fiksi.

Itu pula yang terpikir saat saya mengetahui dua media di Amerika Serikat mulai mengadopsi teknologi dalam proses penyusunan berita mereka dengan lebih inovatif. Los Angeles Times dan Associated Press dikabarkan telah menerapkan robo-journalism dalam proses produksi artikel berita mereka.

Sejak Maret 2014 media Los Angeles Times, yang menjadi pers lokal bagi kota Los Angeles yang dikenal sebagai kota yang kerap digoyang gempa bumi, menghadirkan inovasi berupa Quakebot, sebuah software karya Ken Schwencke yang selain bekerja sebagai jurnalis juga adalah seorang programmer andal. Konon hanya diperlukan waktu 3 menit untuk menyusun sebuah artikel berita gempa, yang relatif lengkap dan memenuhi syarat jurnalistik 5W (who, why, what, where, when) dan 1H (how).

Sementara itu, Associated Press sejak bulan Agustus 2014 telah menggunakan software penulis berita Wordsmith buatan startup Automated Insights yang bertugas merangkum berbagai laporan finansial korporasi. Dengan Wordsmith, tugas pewarta AP jauh lebih ringan. Bila dikerjakan manual, pastinya akan lebih memakan waktu dan energi. Dalam kasus AP, teknologi diperlukan untuk efisiensi kerja dan penyajian berita.

Bagaimana proses software Wordsmith mengolah berita hingga siap saji? Pertama, data mentah dijaring dari pelanggan, penyedia data pihak ketiga dan repositori publik seperti jejaring sosial. Banyak sekali format data yang bisa dijaring sehingga akurasi dan kelengkapannya relatif tinggi. Selanjutnya, dilakukan telaah data yang terkumpul dengan bantuan matriks canggih pendeteksi tren menarik dan menempatkannya dalam konteks sejarah. Kemudian data akan diidentifikasi dan dibandingkan dengan data lain yang sudah ada sebelumnya. Tahap berikutnya yaitu penyusunan struktur dan format laporan. Di sini, algoritma akan menyusun kalimat-kalimat untuk menghasilkan jenis format berita yang dikehendaki, misalnya narasi panjang, artikel pendek, visualisasi, tweet, berita dan sebagainya. Akhirnya, laporan tadi siap dipublikasikan secara real time via API, Twitter, email, laman web dan perangkat digital. Tugas editor hanya memberikan polesan akhir agar artikel tampak natural saat dibaca.

Kalau begitu mudah membuat berita sekarang, apakah para jurnalis tidak lagi dibutuhkan di masa datang? Editor pelaksana berita bisnis Associated Press Lou Ferrara tidak sepakat. Ia beropini bahwa robo-journalists ini justru memberikan banyak jurnalis manusia untuk melepaskan beban pemberitaaan yang simpel untuk lebih berfokus pada penyusunan berita-berita yang lebih mendalam. Argumen Ferrara menurut hemat saya memang cukup beralasan. Alih-alih membuat jurnalis kehilangan pekerjaan, inovasi robo-journalists justru harus dianggap sebagai pembebas dari rutinitas menulis berita yang membosankan dan itu-itu saja. Jurnalis tampaknya memang makin didesak untuk bisa berpikir dan menulis dengan sudut pandang yang khas dan pembahasan yang lebih analitis karena inilah yang tidak bisa dilakukan robot-robot itu!
Mengamini pernyataan Ferrara, Ken Schwencke dari LA Times juga menandaskan bahwa robo-journalists hanya melengkapi keberadaan human-journalists. Justru inovasi ini akan “membuat pekerjaan semua orang lebih menarik”, ujarnya.

CEO Automated Insights Robbie Allen juga memberikan pernyataan serupa, bahwa software buatannya bukan dirancang sebagai pengganti jurnalis manusia. Allen menambahkan kelebihan robo-journalists hanya ada pada ketepatan dan kecepatan pengolahan data. Sementara gaya bahasa, gaya penulisan dan sebagainya cuma bisa dihasilkan oleh human-journalists. Tugas robo-journalists jelas hanya menyajikan data agar lebih cepat dan layak baca. Titik.

Karena itu, jika Anda seorang pewarta yang setiap hari hanya bekerja untuk menyalin tempel artikel berita atau cuma menyadur tanpa membubuhkan kepribadian Anda di dalamnya, rasanya Anda harus siap-siap ditelan persaingan oleh robo-journalists ini.

Saya teringat dengan kata-kata jurnalis teknologi AS Kara Swisher, bahwa banyak jurnalis menyajikan berita dengan cara yang membosankan pembaca. Besar kemungkinan kemunculan robo-journalists akan memberangus jurnalis-jurnalis semacam ini, karena seberapapun cepat otak mereka bekerja dan jari jemari mereka mengetik, tetap saja tak akan bisa mengalahkan software-software seperti Wordsmith atau Quakebot. Maksudnya membosankan mungkin adalah penyajian yang mengikuti pola atau template tertentu, yang terus menerus berulang dan tak berubah. Alur cerita dalam berita juga relatif mudah ditebak. “Setelah itu, pasti membahas ini, ah basi,” begitu gumam pembaca. Tidak heran mereka juga bekerja seperti robot! Pastilah penyajiannya lebih kaku.

Dan satu poin yang menjadi perhatian bagi mereka yang mengaku jurnalis – bila mereka tak ingin tersingkir – adalah perhatian yang harusnya makin besar untuk membangun pemikiran sendiri dan tidak segan untuk menunjukkan kepribadiannya. Elemen kepribadian ini menjadi sorotan terutama jika Anda bekerja sebagai jurnalis online atau blogger. Tanpa kepribadian yang unik, karya-karya Anda akan kurang menarik minat pembaca. Bahkan jika kepribadian itu sangat sarkastis, atau emosional sekalipun, jangan ragu untuk menampilkannya dalam tulisan Anda. Karena kepribadian inilah yang sampai kiamat pun tidak akan bisa dimiliki oleh robo-journalists yang secanggih apapun. Contohnya, kata Swisher, adalah para jurnalis cum blogger teknologi di TechCrunch.com pasca keluarnya Michael Arrington, Sarah Lacy cs. Meski blogger-blogger TechCrunch itu kerap diremehkan dengan alasan memiliki bias atau sikap kurang objektif serta kurang piawai menggunakan prinsip jurnalisme dalam penulisan konten mereka, toh orang-orang itu sanggup menunjukkan kepribadian mereka yang menarik via jejaring sosial dan konten-konten yang mereka tampilkan. Tentu saja kata “menarik” di sini bersifat nisbi. Namun, yang patut digarisbawahi adalah bahwa kepribadian mereka menjadi salah satu faktor daya jual atau selling point yang turut mengungkit pamor konten berita yang disusun.

Jadi apakah masih ingin menjadi wartawan biasa-biasa saja? Itu terserah Anda. Namun alangkah baiknya bila mau berubah sebelum binasa.

Rasanya Masuk Koran

Apa sih keistimewaan masuk koran? Banyak orang masuk koran, toh hidup mereka tidak kunjung membaik, rejeki mampet, aset bersih tidak bertambah, saldo rekening juga stagnan saja. Malah kalau mau masuk koran untuk beriklan, bayarnya mahal bukan kepalang.

Mereka yang masuk koran biasanya cuma kaum pesohor yang sedang tertimpa masalah pribadi yang pelik, atau para pakar yang sangat disegani orang awam seperti Roy Suryo. Selain itu, koran juga kerap meliput mereka – orang awam – dengan prestasi luar biasa. Luar biasa dalam arti positif dan negatif. Lihat saja Florence Sihombing yang sampai meluas ke mana-mana. Penghinaannya pada Yogyakarta begitu epik hingga membuat banyak orang antusias mengikutinya.

Saya bukan ketiga golongan tadi tetapi toh saya pernah diliput oleh koran. Terdengar layaknya sebuah prestasi besar . Ada foto diri saya di situ, tampak dari samping saat saya sedang melayani pertanyaan dari seorang pewarta muda. Ia tampak terburu. Wawancaranya singkat, cuma membahas tentang pendidikan terutama pendidikan di tingkat dasar, karena saat itu saya mengajar di sebuah jurusan yang beraroma pendidikan. Ada semacam ekspektasi yang bisa saya tangkap dari si wartawan. Ia ingin saya menjawab layaknya pakar pendidikan padahal meskipun saya mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, saya tidak pernah secara intensif belajar mengenai pendidikan. Bahkan bisa dikatakan karir mengajar saya yang pendek itu cuma keterpaksaan dan saya hanya masuk kelas dengan logika sederhana: bagaimana agar mereka yang saya ajar bisa membentuk pengetahuan mereka sendiri tentang topik yang diajarkan dan saya sebagai fasilitator semata.

Maka Anda bisa bayangkan bagaimana rasanya diberikan pertanyaan yang di luar bidang penguasaan saya. Saya memutar otak sepanjang wawancara, mencari jawaban yang pas dan logis. Tetap saja bagaimana pun juga jawaban saya dangkal.

Keesokan harinya artikel hasil wawancara itu ditemukan seorang kerabat di koran lokal. “Kenapa tidak beritahu kalau masuk koran?”tanyanya. Entahlah, mungkin karena saya malu dengan publisitas dan utamanya ialah karena kurang puas dengan jawaban saya. Wajar saja karena wartawan muda itu menemukan narasumber yang kurang kompeten di bidang yang ia ingin bahas. Dan memang benar saat saya nekat membacanya, isinya bernada normatif. Dengan kata lain, jawaban saya standar saja, tidak mendalam. Semua orang dengan akal sehat bisa melontarkan jawaban semacam itu. Tak perlu sekolah yang tinggi apalagi gelar dari kampus negeri bergengsi.

Artikel dan foto yang menampilkan saya itu tidak saya kliping atau laminating. Buat apa? Toh tidak membuat saya bangga masuk koran.

IMG_3631.PNG

Belajar Jurnalistik dari SpongeBob

‎Dibandingkan serial kartun Barat lainnya, saya suka SpongeBob Squarepants, makhluk rekaan berwarna kuning yang bentuknya mirip spon cuci piring kita. Serial The Simpsons sebenarnya juga menarik dan guyonan serta satirnya sangat menohok dan cerdas. Pada kenyataannya, bagi saya The Simpsons dan SpongeBob sama menariknya karena buktinya diputar berulang kali pun kita tak akan bosan (bahkan Doraemon pun kalah).Jalan ceritanya lumayan menarik dan leluconnya segar, bisa dinikmati semua usia. Dan yang penting bagi audiens mainstream Indonesia, SpongeBob tidak terlalu blak-blakan mendukung LGBT seperti The Simpsons yang dalam satu film layar lebarnya pernah menggambarkan dua orang polisi pria yang tengah mengendap-endap. Seolah mereka hendak menangkap seseorang di kamar hotel, tak tahunya saat lampu patroli meredup, mereka malah berciuman dan masuk ke kamar itu. Mengena sekali bukan? Saya sampai tak sempat bereaksi dan cuma menganga karena begitu terpukau.

IMG_2521.PNG

Becermin dari Krabby Kronicle

Dari ratusan episode Spongebob Squarepants yang saya saksikan sejak pertengahan 2000-an, saya paling suka dengan “Krabby Kronicle” (musim keenam) yang ditayangkan perdana 8 Agustus 2008. Alasannya sederhana saja:karena episode ini berkisah tentang jurnalistik atau journalism!‎ Bagi Anda yang belum pernah menonton, begini kisahnya secara ringkas‎.

Mr. Krabs yang terkenal pelit itu ingin mendapat pelanggan baru dan beriklan di surat kabar lokal “Bikini Bottom Examinor” yang dari namanya saja sudah berkonotasi serius dan investigatif. Pembaca kebanyakan tidak begitu menyukai‎nya. Oplah Bikini Bottom Examiner kalah dari oplah The Bottomfeeder, yang dari namanya saja sudah memberikan tema jurnalisme bombatis dengan berbagai berita, yang menurut kalangan awam, “menarik”. Mr. Krabs yang selalu jeli dengan peluang bisnis yang bisa menjadi tambang uang itu kemudian terinspirasi oleh The Bottomfeeder yang bisa meraup uang dari basis pembaca yang luas meski hanya menyebarluaskan berita yang kurang benar dan berlebihan. Krabs menganggap dunia jurnalisme sebagai sumber pundi-pundi uangnya setelah bisnis restoran yang mulai stagnan. Dan Krabs yang rakus kekayaan itu pun nekat mendirikan bisnis korannya yang pertama:Krabby Kronicle. Lalu siapa karyawannya? Bukan Krabs namanya kalau ia tak bisa memeras tenaga 2 karyawannya yang setia. SpongeBob dan Squidward Tentacle diangkat menjadi reporter-reporternya sembari tetap menjalankan pekerjaan mereka di Krusty Krab yang mulai sepi pengunjung (karena itulah Krabs mengiklankan restorannya di koran). Protagonis kita SpongeBob pun dibekali kamera agar bisa turun ke lapangan dan memotret kejadian-kejadian menarik sebagai bahan berita. Karena terlatih sebagai koki, naluri pencarian berita SpongeBob belum terasah dan ia cuma memberitakan hal-hal yang kurang menarik padahal ada begitu banyak kejadian yang lebih layak diberitakan. Alih-alih ‎memberitakan perampokan bank, ia malah menceritakan Patrick yang sedang memandangi sebuah tiang di jalan. Membaca berita tadi, Mr. Krabs sebagai pemilik modal sekaligus pimpinan redaksi Krabby Kronicle marah besar. Pada reporter barunya, ia mewajibkan penggunaan imajinasi sebagai ‘bumbu’. “When you write these stories, you’ve gotta use a little imagination, boy,”ucap kepiting tua mata duitan itu. Mr. Krabs mengubah berita Patrick menjadi “seorang warga menikahi tiang” agar lebih menarik pembaca. SpongeBob ragu bahwa yang dilakukannya itu etis karena tidak jujur, yang melanggar etika jurnalisme. Mr. Krabs berkelit,”Think of it as…uh… a practical joke.” SpongeBob menelan mentah-mentah nasihat Mr. Krabs. Di hari berikutnya, SpongeBob meliput orang-orang di sekitarnya lalu memberitakannya di Krabby Kronicle dengan menggunakan pemutarbalikan fakta agar terkesan lucu, menarik dan sensasional, yang pada akhirnya menaikkan oplah dan jumlah pembeli. Mr. Krabs tak peduli bahwa berita-berita yang termuat di surat kabarnya menyebar kebohongan dan masa bodoh dengan konsekuensi pemberitaan yang bernuansa fitnah itu pada tiap individu yang diberitakan. Larry dipecat setelah ia diberitakan oleh Krabby Kronicle bahwa ia dipukuli habis-habisan oleh Pipsqueak yang berbadan kecil dan lemah. Reputasinya sebagai lobster perkasa jatuh dan manajer gym tempatnya bekerja merumahkannya karena takut reputasi Larry mencemari nama baik gym miliknya. SpongeBob merasa bersalah tetapi Mr. Krabs yang sedang terbuai keuntungan dari penjualan Krabbby Kronicle yang menanjak itu malah mengabaikannya. Ia hanya peduli keuntungannya sebagai pebisnis dan pemodal. SpongeBob ingin menulis berita tanpa harus mencederai nama baik orang dan atasannya tak mengizinkannya. Profit menjadi prioritas utama dan pertama. Plankton menjadi korban berikutnya. Bisnis restorannya Chum Bucket ditutup pihak berwenang karena diberitakan di Krabby Kronicle telah mendapatkan bahan baku yang tidak higienis. SpongeBob tetap bekerja dan menulis berita fitnah meski nuraninya tersiksa. Sandy sang tupai diberitakannya sebagai makhluk dengan IQ jongkok sehingga sejumlah ilmuwan datang untuk mencabut semua penghargaan sains yang Sandy terima. Krabby Kronicle makin sukses, oplahnya kini 5 juta eksemplar. Tetapi SpongeBob makin sedih dan tersiksa karena menyaksikan hidup banyak temannya hancur karena pemberitaan Krabby Kronicle yang bernada fitnah.

Hingga suatu saat, tibalah SpongeBob pada suatu titik saat ia merasa tidak ada bahan pemberitaan lagi. Semua penghuni di Bikini Bottom sudah ia liput dan hancurkan hidupnya. Mr. Krabs menantang SpongeBob untuk menelurkan berita yang paling spektakuler. Esoknya, benar saja. SpongeBob menuliskan berita yang paling menggemparkan di Bikini Bottom dengan mengabarkan secara detil ekspolitasi tenaga kerja yang berlangsung di bisnis restoran dan surat kabar Mr. Krab. Spongebob menuliskan di halaman depan Krabby Kronicle:”Krabs overworks employees, reaps reward. Krabby Kronicle mastermind behind bogus stories pays his tired, under-age reporter pennies while he rakes in the dough.” Kerumunan massa pembaca yang marah mendatangi Krusty Krab dan meminta kebenaran dari Mr. Krabs. Mereka nekat mengambil semua keuntungan penjualan Krabby Kronicle untuk dibagikan kembali untuk semua orang yang sudah merasa dirugikan oleh pemberitaan surat kabar tersebut. Dasar Krabs tak mau rugi, mesin cetak koran yang sudah terbengkalai karena bisnis korannya ambruk pun jadi ia gunakan untuk mencetak uang saja.

‎Untuk ukuran sebuah episode serial kartun yang dipasarkan untuk pemirsa anak, kisah Krabby Kronicle itu sungguh menohok dalam pengamatan saya. Isu-isu yang disorot memang bukan hal yang baru di dunia pers nasional dan global tetapi toh sampai saat ini masih sangat relevan dan aktual. Apalagi kalau kita kaitkan dengan kondisi pers dalam negeri pra, selama dan pasca Pilpres yang teramat hiruk pikuk, penuh dinamika dan kejutan-kejutan. Sejujurnya, kondisinya sangat memprihatinkan karena berbagai pelanggaran prinsip jurnalisme kategori berat dan fatal sudah kita saksikan dalam skala yang luar biasa kolosal dan berulang-ulang.

Pewarta ‎yang ‘Salah Asuh’

Kita patut maklumi bahwa era kebebasan pers sejak masa Gus Dur memberikan implikasi tersendiri. Semua orang tiba-tiba bisa mendirikan bisnis media dan pers sendiri. Semua orang bisa menerbitkan apapun, baik cetak hingga digital lalu mendistribusikannya. Faktor pendorong utama ialah tujuan ekonomi, sehingga motivasi ekonomi sangat menonjol dibandingkan idealisme dan prinsip jurnalisme. Akibatnya, prinsip-prinsip jurnalisme terlanggar setiap saat oleh banyak pelaku pers sendiri, karena acuannya adalah PROFIT semata. Pemodal lebih kuat daripada para jurnalis bahkan dalam struktur internal perusahaan mereka sendiri.

‎Satu prinsip jurnalisme yang kita lihat paling sering dilanggar selama ini ialah kewajiban berpihak pada kebenaran. Ini adalah prinsip pertama jurnalisme sebagaimana disimpulkan oleh Comittee of Concerned Journalist. Sebagaimana dilakukan oleh SpongeBoob dan sejumlah pewarta di negeri ini, fakta sering dimanipulasi, konteks juga kerap diubah sedemikian rupa sehingga pewarta dan medianya tak bisa lagi dipercaya sepenuhnya. Banyak orang dan entitas pers memilih memihak salah satu calon presiden padahal seharusnya mereka mengutamakan keberpihakan pada kebenaran. Lain dari prinsip jurnalisme abal-abal ala Krabby Kronicle, kebenaran jurnalistik harus disertai disiplin profesional dalam mengumpulkan dan verifikasi data. Wartawan hanya bertugas membeberkan peristiwa secara deskriptif, bukan persuasif apalagi agitatif dan provokatif. Apalagi imajinatif, seperti yang disarankan Mr. Krabs pada SpongeBob yang naif.

‎Karena itu, wartawan-wartawan baru kita perlu diasuh oleh sosok-sosok jurnalis yang kompeten dan berdedikasi dala‎m bidangnya. Bukannya ditatar dan diberi wejangan oleh para pemilik modal, atau jurnalis yang senior tetapi hanya menjadi corong instruksi pemilik modal.

Konflik antara pemilik modal dan ruang redaksi (newsroom) sudah sering dijumpai. Menurut Abdullah Alamudi (mantan wartawan Bisnis Indonesia dan The Jakarta Post), haruslah ada otonomi bagi newsroom untuk mengambil keputusan, yang membuatnya tidak bisa diganggu gugat oleh pihak pemodal demi menjaga idealisme jurnalismenya.

Jadi, jangan kita biarkan reporter-reporter ‘hijau’ seperti SpongeBob yang masih berhati nurani begitu saja disetir oleh pemilik modal nan rakus seperti Mr. Krabs‎! Karena di tangan para jurnalis inilah, nasib pers kita sebagai tiang penyangga demokrasi dan nasib bangsa dipertaruhkan.

Jurnalisme ‘Positif’ vs Jurnalisme Investigatif

‎Sekitar setahun yang lalu, saya berkesempatan menghadiri sebuah seminar yang digelar IFC (International Finance Corporation) dan sempat ada pertentangan antara para jurnalis yang ada di dalamnya. Salah satunya ialah karena satu orang pembicara di depan mengatakan pihaknya hanya akan mendukung publikasi berita yang “positif”, sementara untuk publikasi berita yang bersifat investigatif, mereka tidak akan mempublikasikannya. “Kami ingin menyebarkan kabar baik, bukan kabar buruk,”begitu katanya pada kami yang hadir.

Opininya itu disanggah oleh seorang jurnalis lainnya yang menganggap hal semacam itu sebagai penyia-nyiaan hak pers media yang bisa mengabarkan hal-hal yang tak kalah penting daripada berita-berita manis dan normal belaka. ‎Sangat disayangkan kalau wartawan hanya mengangkat hal-hal yang diinginkan tetapi enggan membeberkan hal lain yang kurang mengenakkan tetapi patut diketahui orang, demikian kurang lebih si jurnalis membantah.

Hal yang sama juga terjadi di negeri Paman Sam lho! Kalau Anda pikir kondisi semacam ini cuma ditemui di tanah air, Anda salah besar. Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel yang ditulis Paul Carr di blog teknologi dan startup Pando.com yang berisi pergulatan serupa. Dalam sebuah diskusi panel yang melibatkan dua jurnalis perempuan terkemuka di dunia teknologi dan startup, terjadi sebuah pembeberan publik yang bisa dikatakan cukup sadis. Alexia Tsotsis (editor blog Tech Crunch) dan Kara Swisher (pendiri blog Re/Code) masing-masing menunjukkan perbedaan sikap dalam meliput dan bekerja sebagai jurnalis. Tsotsis terkesan lebih lunak, lebih jinak dan mencerminkan kebijakan umum Tech Crunch yang menjilat penguasa, dengan memberitakan hal-hal yang menyenangkan. “Kami hanya penggembira,”begitu kata Tsotsis. Lebih lanjut Tsotsis berkata betapa ia terus berdoa agar dalam kotak masuk surelnya tidak dimasuki bocoran informasi dari pihak-pihak kontra pemerintahan Obama seperti informasi dari Edward Snowden yang amat kontroversial itu. Ia bahkan mengatakan menolak untuk mengangkat informasi seperti itu dalam blog yang dikelolanya.

Lain dengan Kara Swisher yang telah dikenal dengan reputasi jurnalismenya yang telah teruji dan tak peduli dengan pihak yang berisiko dibuat berang dengan pemberitaan yang ia turunkan, yang menolak untuk menulis hanya untuk menjilat satu pihak saja. Carr pun memuji:”Setidaknya Swisher adalah jurnalis yang hebat. Re/Code juga situs berita yang bagus.” Swisher menegaskan dirinya tidak pernah menolak bocoran informasi seperti milik Edward Snowden dan seolah “memaksa” Tsotsis untuk mengakui keunggulan jurnalisme dan integritas editorial Red/Code. Tsotsis pun menyatakan dengan jujur,”Karena itulah kau lebih baik dari kami.” ‎
Berikut kutipannya:

“”I never say that,” Swisher said.

“That’s why you’re better than us,” Tsotsis said sweetly.”

Carr yang menganut idealisme dalam bekerja ini mengatakan betapa memalukannya pengakuan Tsotsis sebagai editor sebuah organisasi media besar seperti Tech Crunch itu. Bagaimana bisa ia mengakui bahwa organisasinya tunduk di bawah kekuasaan lain?

Yang tak kalah menyedihkan: Inilah fakta yang juga merundung banyak organisasi berita di Indonesia dari jaman baheula sampai SBY berkuasa.

20140718-184304-67384137.jpg

Kiat Tentukan Format Cerita dalam Tulisan

Juerg Vollmer, Journalist
Juerg Vollmer, Journalist

Menemukan sebuah bahan berita yang menarik di mata pembaca dan ‘menjual’ di mata pengiklan adalah satu kerja keras tersendiri. Ada sebuah keseimbangan yang harus dicapai di sini: keseimbangan antara aspek jurnalisme dan sisi komersialisme. Jurnalis perlu memegang teguh nilai-nilai idealisnya sembari tetap memburu nafkah dengan memberikan berita-berita yang ‘menjual’ bagi medianya.

Setelah hal itu tercapai, kerja tidak berakhir begitu saja. Pewarta harus mengolah bahan tadi agar layak muat dan layak baca. Dan untuk mengolah, tidaklah mudah.

Kiat-kiat berikut ini saya sarikan dari Panduan Pemberitaan tentang Corporate Governance yang diterbitkan oleh International Finance Corporation (IFC). Semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin menjadi pewarta profesional dan sebagai catatan bagi diri saya juga supaya tidak hanya jadi wartawan penyadur dan jangan sampai menjadi wartawan salin rekat alias “copy paste”.

Pada intinya, sifat dasar cerita menentukan formatnya. Ada berita, feature, feature berita, profil dan investigatif.

Dalam memilih sebuah format berita, seorang pewarta perlu melontarkan 3 pertanyaan utama.

Pertama, apakah cara terbaik untuk menceritakan kisah tersebut untuk menari perhatian pembaca dan bertahan memperoleh perhatian mereka?

Kedua, format apakah yang cocok untuk bahan dalam cerita ini?

Ketiga, mengapa para pembaca harus membaca cerita ini sampai tuntas?

Berikut merupakan penjelasan singkat berbagai macam jenis cerita.

BERITA
Jika cerita itu bersifat baru (belum pernah muncul) baik yang sudah atau akan terjadi, formatnya akan menjadi cerita tradisonal dengan paragraf pertama berisi informasi penting lalu menuliskan informasi lain dengan gaya piramid terbalik (makin kurang penting, makin di bawah). Hindari penggunaan terlalu banyak angka saat menulis pembukaan berita.

FEATURE
Cerita yang relatif timeless (elemen waktunya tidak kuat), topiknya umum atau mengenai perspektif tertentu dari kisah dapat dimasukkan dalam jenis berita feature. Misalnya berita tentang struktur organisasi sebuah bisnis yang ditulis pasca munculnya kasus hukum yang membelit seorang petinggi perusahaan.

FEATURE-BERITA
Sebagian kisah tidak bisa dibedakan secara jelas antara kedua kategori sebelumnya. Cerita jenis ini biasanya mencakup peristiwa yang baru terjadi atau tulisan tentang tokoh dalam berita terhangat, contohnya bagaimana direktur baru pengaruhi pengambilan keputusan dalam perusahaan, bagaimana perusahaan- perusahaan bangkit pasca ambruknya sektor industri yang terkait.

PROFIL
Profil hanya memuat kisah satu orang dan membahasnya secara intensif. Wartawan bisa memperkaya tulisan dengan tidak hanya mewawancarai si sosok itu tetapi juga teman-temannya, anggota keluarganya, bahkan rival-rivalnya. Profil pun bisa difokuskan pada bisnis tertentu, misalnya anggota-anggota keluarga yang lebih muda dalam suatu bisnis keluarga, atau seorang pemegang saham yang vokal menentang kebijakan perusahaan.

INVESTIGATIF
Cerita investigatif memiliki unsur-unsur cerita jenis berita dan feature. Ciri khasnya ialah adanya penguakan pelanggaran dan menjadikannya berita utama untuk pertama kali. Panjangnya melebihi berita atau fitur biasa dan bisa disajikan sebagai satu rangkaian cerita selama beberapa hari dengan sidebars (kotak cerita). Sidebars adalah cerita-cerita lebih kecil yang menyertai cerita utama dan setiap cerita memusatkan diri pada satu sub topik tertentu yang ditujukan dalam cerita tersebut, memberi detil dan latar belakang lebih. Misalnya, kisah-kisah mendetil tentang praktik akuntansi perusahaan dapat menjadi ceria investigatif bila dapat membuka kasus pelanggaran tertentu.

KOLOM OPINI
Jenis cerita satu ini mirip dengan “opinionated bloggers”, menurut saya. Hanya saja yang menulis adalah jurnalis. Di dalam kolom opini, Anda dapat temukan ulasan, kritik dan spekulasi atau asumsi sang jurnalis berdasarkan fakta yang sudah ada.