Wawancara. Bisa dianggap mudah saja atau tantangan luar biasa. Mewawancarai secara alami lebih dituntun oleh keingintahuan lalu terkumpullah serangkai fakta atau apapun yang diasumsikan seperti fakta. Klaim dan simpulan tak berdasar kadang menyelip di sana sini yang terpaksa muncul karena ingin hasil wawancara lebih bombastis dan menarik dibaca orang. Dan mungkin, karena pemeriksaan fakta (fact checking) sudah harus mengalah oleh tenggat waktu. Maklum, pembaca makin tak sabaran. Dunia (merasa) makin tak sabaran. Ini sungguh membingungkan dan sejatinya mengibakan. Karena pewarta makin lama makin seperti budak saja. Upah tak seberapa, tetapi mesti bekerja menata kata dari berbagai fakta yang ditemuinya, tanpa kenal penat yang meraja dan redaktur yang semena-mena.
Wawancara kerap dilakukan secara impromptu. Alhasil pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkan sekenanya. Tak tersusun baik, teracak, tanpa alur. Kalaupun tersusun sebelumnya, hanya dilakukan di sela rangkaian aktivitas yang padat luar biasa. Bahkan karena otak beku, pertanyaan sering mengabaikan logika. Norma juga bukan kendala, etika juga. Lalu bagaimana? Ini semua sungguh membuat gila! Bagaimana bisa mencapai hasil sempurna?!
Tetapi mendapatkan kesempatan wawancara pun sudah beruntung kadang. Bukan sekali dua kali pertanyaan sudah tertuang rapi di lembaran dan ternyata harus dibuang ke keranjang karena sang narasumber yang (berpikir dirinya) terlampau terkenal sulit ditemui langsung dan begitu sibuk, atau memilih menyibukkan diri dengan jurnalis-jurnalis media besar dan melupakan pewarta-pewarta media maya.
Sementara itu, ada sebagian mereka yang mati-matian menjerat wartawan. Membuatnya terpaku di suatu waktu dan bangku, mendengarkan perkataan narasumber gila publisitas tanpa jeda lalu menyajikan berbagai suguhan menggoda. Dari voucher makan tanpa biaya, jamuan makan cuma-cuma, memiliki kesempatan mencicipi kemewahan yang tak terjangkau anggaran dari upah bulanan.
Pewarta mewawancara sering karena tak ada pilihan lain di mata. Ya sudah, apa adanya saja, gumamnya. Tenggat waktu toh makin dekat. Jadi daripada hari ini kena damprat, kenapa harus kesempatan ini dibiarkan lewat? Tinggal rekam atau catat. Sisanya bisa dikembangkan dari fantasi atau hasil menjelajahi hasil yang disuguhkan mesin pencari.
Kecewa kadang mendera kalau narasumber incaran menolak menjawab pertanyaan yang merangsang perbincangan intens. Seolah ia menutup pintu. Terkunci di situ dan tak bisa melangkah lebih jauh. Yang hanya bisa dilanjutkan hanya isu-isu yang membuat jemu. Itu itu melulu. Rasanya sudah buntu.
Hati berubah gembira jika berhadapan dengan narasumber yang dermawan bukan kepalang. Satu pertanyaan sentilan membuka sekaligus banyak jawaban, bahkan yang tidak terlintas sebelumnya untuk ditanyakan. Terus, terus, terus gali saja sampai habis. Tandas hingga puas.
Sial, ada hal bagus untuk diberitakan yang keceplosan diucapkannya tapi ia beberapa detik kemudian baru sadar dan minta dirahasiakan. “Off the record ya…” Mungkin akan lebih mudah jika diabaikan saja dan tetap memuatnya dalam berita lalu menikmati pujian dari redaktur dan pembaca tetapi bagaimana kalau narasumber murka dan mencap tak bisa dipercaya? Susah juga ya.
Mendapat masukan tentang kesalahan padahal sudah menulis sesuai pernyataan? Bukan anomali. Bahkan frekuensi terjadinya bisa tinggi. Karena itu, jangan menggores pena tetapi rekamlah suara. Jari tak bisa bersuara, tetapi suara manusia yang bisa.
Diwawancarai apalagi. Tak kalah pelik. Apa yang harus dipersiapkan? Duh, nanti kalau tidak tahu harus menjawabnya bagaimana? Baiklah, jawab sebisanya. Ini bukan ujian. Rileks saja. Berpakaian terbaik, supaya kalau difoto tak akan mengecewakan orang tua dan kerabat serta sobat yang akan menjadi sasaran pameran. Percuma, karena si pewawancara tak bawa kamera. Punyanya Blackberry semata. Di hari mendung saja, hasilnya sudah kabur. Ia tak pernah meminta foto, jadi mungkin memang tak memerlukannya. Lalu setelah terbit, muncullah foto-foto di jejaring sosial. Sial! Baiklah, fotonya tak terlalu buruk tetapi bagaimanapun juga tak ada permintaan izin yang terlontar.
Spekulasi usia narasumber bukannya masalah raksasa. Bahkan bisa dikatakan propaganda biasa agar semua percaya itulah seharusnya usia berdasarkan tampilan di netra. Tak ada keberatan karena kesalahan dari ketidaktahuan itu kadang sebuah kenikmatan. Namun, lain kali, akan lebih baik menulis yang benar-benar diketahui saja. Agar sang narasumber tak terkesan berbohong memudakan usia. Padahal ia tak juga berupaya menutupinya.
Waspada juga membaca hasil wawancara. Mungkin yang berlebihan si pewawancara. Kadang juga si terwawancara. Acap kali dua-duanya. Atau kekurangtajaman pendengaran dan pemikiran yang perlu dimaafkan, bukan diperkarakan. Sepanjang tak ada yang merasa dirugikan atau disudutkan.