Ada dua alasan kenapa orang berubah baik secara tiba-tiba: karena bulan puasa datang dan karena hari ulang tahunnya akan tiba. Untuk kasus Prabowo Subianto, alasan kedua tampaknya lebih cocok.Di BBC (http://www.bbc.com/news/world-asia-29655872), ia diberitakan sudah “berdamai dan mendukung” musuh bebuyutannya di Pilpres 2014 yang sudah mirip Bharatayudha bagi bangsa ini. Entah kenapa BBC masih memakai tanda petik di judulnya: “Prabowo Pledges ‘Support’ for Indonesia Leader Jokowi” tetapi yang pasti mari kita ucapkan selamat pada Pak Wowo yang berulang tahun hari ini ke-63.
Berikut ucapan selamatnya dari Jaringan Partai Gerindra yang ia bina dan dirikan malam ini di email blast mereka.
“Segenap keluarga besar partai Gerindra,
pada hari ini ketua dewan pembina sekaligus ketua umum kita, Bpk. H. Prabowo Subianto berulang tahun yang ke-63. Mari kita sama-sama doakan agar beliau senantiasa dilindungi dan diberkati oleh Tuhan YME. Kami berterima kasih atas teladan yang sudah beliau berikan kepada kami, teladan agar kita semua menjadi warga negara yang mencintai bangsanya, berkomitmen, disiplin, tetapi juga penuh kasih kepada sesama. Selamat ulang tahun Pak Prabowo, semoga panjang umur.
Bagi sahabat yang ingin menyampaikan selamat kepada beliau bisa melalui sosial media pribadi Pak Prabowo. Twitter @Prabowo08 dan fb.com/PrabowoSubianto
Salam Indonesia Raya.”
Apakah Jokowi akan memberikan kado ultah bagi Pak Wowo? Mungkin dengan mengajaknya kirab di Monas tanggal 20 nanti. Ah, senangnya…
Tanda tangan Jokowi di prasasti Taman kota Waduk Pluit, Jakut, tahun 2013 lalu.
Bagian terakhir dari tanda tangan Jokowi penuh dengan kerumitan. Semua berjejalan. Tampak tidak ada banyak ruang antara goresan-goresannya seperti yang bisa kita jumpai di beberapa bagian sebelumnya. Apakah nanti di akhir karirnya sebagai pejabat publik, perjalanan Jokowi akan serumit goresan ini? Karena seperti kita ketahui, banyak pihak yang menjadi oposisi pemerintahannya seperti Koalisi Merah Putih yang membuat parlemen memanas akhir-akhir ini. Namun, optimisme akan selalu ada sepanjang Jokowi bisa membuktikan bahwa dirinya membela rakyat dan selalu bersih. Kita akan menyaksikannya sendiri di masa datang.
Yang menarik dari bagian akhir ini ialah garis di belakang yang memanjang ke atas tetapi juga memiliki cabang ke bawah. Menurut penjelasan Bayu Ludvianto, goresan berkali-kali di bawah tanda tangan yang seolah berfungsi sebagai penopang adalah tanda bahwa seseorang meminta untuk disanjung dan haus puja-puji (Analisis Tulisan Tangan, hal 176). Akan tetapi, di tanda tangan Jokowi, goresan itu tidak diberikan berkali-kali. Garis di bawah seolah juga menyangga garis yang mengarah ke atas. Bentuknya juga lurus, bukan berliku-liku, sehingga bisa dikatakan di sini maknanya bukan sanjungan yang muluk-muluk dan penuh agenda tersembunyi di baliknya tetapi sanjungan yang penuh dukungan tulus, pujian yang memang datang dari hati orang yang merasakan dampak baik dari hasil kerjanya (baca : blusukan). Jelas bahwa sebagai manusia, Jokowi juga membutuhkan dukungan dan sanjungan tetapi bukan yang dimaksudkan untuk “menjilat”, dan sebagai pribadi yang cukup bijak, ia mengetahui orang dan pihak mana yang “penjilat” dan yang memberikan sanjungan serta dukungan secara tulus.
Bila dukungan dari bawah – yang disimbolkan dengan garis penopang di bawah – ini memang tulus dan kuat, tidak heran jika Jokowi nantinya akan melaju ke posisi yang lebih tinggi dari posisi presiden republik ini, sebagaimana dilambangkan dengan garis yang panjang mengarah ke atas. Apakah ia, katakanlah, akan diangkat sebagai Bapak Revolusi Mental Indonesia? Entahlah saya bukan cenayang.
Beberapa poin yang menarik untuk dikupas juga ialah bahwa tanda tangan Jokowi memiliki ukuran yang relatif standar, artinya tidak terlalu besar atau tidak terlalu kecil bila dibandingkan dengan tulisan di sekitarnya. Anda bisa lihat sendiri di gambar tersebut. Seseorang yang memiliki tanda tangan lebih besar atau lebih kecil dari tulisan sekitarnya menunjukkan adanya pergulatan batin dalam diri,tulis Bayu Ludvianto di bukunya “Analisis Tulisan Tangan” halaman 174. Dengan demikian, dapat disimpulkan Jokowi memiliki batin dan pikiran yang relatif tenang. Ia tidak menunjukkan perasaan inferior atau rendah diri yang amat sangat, sesuatu yang bisa kita jumpai pada para pemilik tanda tangan yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran tulisan tangannya sendiri. Perasaan rendah diri itu mungkin ada di masa-masa awal kehidupan Jokowi tetapi kita bisa lihat, makin dewasa, makin stabil kepribadiannya. Tidak lagi meletup-letup dan mudah ‘ngambek’ seperti saat masih muda. Tampaknya ia banyak belajar tentang pengendalian diri memasuki masa jabatan sebagai pejabat publik.
Satu poin lain yang patut diketahui ialah tidak dijumpainya bentuk-bentuk tajam dan meruncing di tanda tangan Jokowi. Sangat cocok! Karena menurut penjelasan Bayu Ludvianto di halaman 172 di buku yang sama, bentuk meruncing di tanda tangan seseorang menunjukkan agresivitas. Kemiripan bentuk dengan mata pisau atau panah memang bisa disamakan dengan naluri menyerang atau ofensif yang relatif tinggi. Jokowi sama sekali bukan pribadi yang agresif atau memiliki potensi menyerang apalagi menjadi garang bak Ahok. Gubernur DKI Jakarta itu sendiri menegaskan dalam wawancaranya dengan Tempo edisi 25-31 Agustus 2014, bahwa Jokowi bukan orang yang agresif. “Strateginya [strategi Jokowi-pen] dia selalu bilang ‘jangan dulu’ atau ‘sebentar’. Kalau saya tidak ada strategi seperti itu,”terang Ahok yang kerap berang dengan pihak-pihak penentangnya.
Tanda tangan presiden terpilih kita ini juga tidak menunjukkan adanya kebencian pada dirinya sendiri, terutama tampilannya sendiri di depan publik. Ia merasakan kenyamanan dengan menjadi dirinya yang apa adanya. Tidak dibuat-buat atau yang kita sering sebut sebagai “pencitraan”. Bagaimana bisa? Tanda tangan Jokowi tidak memiliki coretan di tengah-tengahnya. Dan patut diketahui bahwa tanda tangan adalah salah satu wajah yang kita perlihatkan di depan publik. Sehingga logis jika Anda mencoret tanda tangan Anda sendiri, seolah-olah Anda “menolak dan menyalahkan diri” atas kondisi yang ada dalam diri terutama saat harus menghadapi orang lain.
Politik itu cuma permainan. Tak sebaiknya dianggap terlalu serius seperti urusan hidup atau mati, ya kecuali kalau Anda dan keluarga sudah terjun serius ke dunia politik. Silakan saja berjuang sampai titik darah penghabisan.
Tetapi untung bu kos dan keluarganya tidak. Ada 3 orang yang sudah memiliki hak pilih dalam keluarganya tetapi toh mereka masih bersatu. Tidak sampai saling adu mulut.
“Kalau bapak pilih Prabowo,kak,”tukasnya. Kok tahu? Suaminya sendiri yang mengakui. Saat saya tanya mengapa suaminya memilih Prabowo, bu kos cuma menggeleng lemah,”Kurang tahu.”
Ia sendiri lebih nyaman menjatuhkan pilihan pada Jokowi. Ia pernah berkata pada saya,”Para nelayan di Cirebon tuh pada ikrar coblos Jokowi, karena mereka takut ditembakin Prabowo kalau kepilih. Tau sendiri kan Prabowo.” Dengan latar belakang sederhana, bu kos bukan orang yang muluk-muluk tetapi juga tidak suka pasrah. Ia mau anaknya lebih sukses. “Harus jadi orang,”tegasnya seolah itulah misi dan visi utamanya dalam bekerja setiap hari. Dari memasak, mencuci pakaian orang lain sampai menyeterika di malam harinya ia lakukan demi masa depan anak-anaknya.
Lain lagi dengan anak laki-lakinya yang jelang dewasa. Ia sudah mantap dengan Prabowo, seperti sang ayah. “Hebat Prabowo, mah. Naik kuda, pesawat, gagah. Kalau Jokowi… apanya???” Tempo hari saat ia bersama saya menghadiri aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia yang kebetulan dihadiri Prabowo Subianto dan politisi-politisi rekanannya, ia tampak senang dan gembira. Ia merasa menemukan kawanannya, sementara saya kebingungan dan miris. “Potoin yah,”pintanya saat menemukan spanduk bernada pembelaan habis-habisan pada Palestina di sore itu. Saya potret ia saat memegang spanduk itu dengan bangga. “#SaveGaza,”demikian yang tertulis di permukaan spanduk itu. Lalu ia unggah ke Whatsapp, BBM, dan Facebook. Jadilah profile picture yang menarik.
Tidak ada yang bisa memaksa memilih yang lain. “Pilihan kan sendiri-sendiri,”tuturnya. Ya, begitu juga pikirku. Tak perlu terlalu serius kan menyikapi politik?