Radio: Tetap Relevan di Abad Digital

SIAPA sih yang masih mendengarkan radio di saat teknologi digital sudah menjamur seperti sekarang ini?

Saya!

Iya, saya masih setia mendengarkan radio.

Dalam kehidupan saya, radio memiliki peran yang tidak tergantikan. Di saat saya kecil, saya masih ingat sebuah radio yang jika dijinjing dengan tubuh kecil saya saat TK dulu pastinya akan sangat berat.

Dulu radio memberikan saya kesempatan untuk mendengarkan banyak acara. dan sebuah kebanggaan tersendiri jika saya bisa terlibat di dalamnya.

Pernah saat saya masih duduk di bangku TK, TK saya diundang ke sebuah radio di kota asal saya. Radio Muria namanya.

Kami sekelas diberikan slot waktu tersendiri untuk berceloteh. Dan karena usia kami yang masih sangat muda, gaya bicara kami juga masih belum ‘mapan’, sehingga membuat orang merasa gemas dan terhibur.

Saya juga didaulat mengucapkan sepatah dua patah kata saat acara itu berlangsung. Kalimat apakah yang saya rapalkan, saya kurang ingat. Namun, setahu saya anak-anak TK yang diundang biasanya disuruh menjawab sejumlah pertanyaan, misalnya “sebutkan sila-sila dalam Pancasila”, “coba baca surat (nama surat pendek dalam juz ke 30 di Al Qur’an)”, dan sebagainya. Tahulah, sederet pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya mengandalkan memori. Guru-guru TK kami memang belum seperti sekarang yang sudah mengenal pentingnya daya nalar kritis. Ya sudahlah. Tapi toh itu saja sudah cukup untuk membuat audiens kami di rumah mereka ternganga dan terkagum karena otak kami yang begitu ‘cemerlang’ menghapal beragam pengetahuan yang orang dewasa saja sudah lupakan.

Begitu saya beranjak remaja, radio masih memegang peranan penting dalam mengisi waktu dan menghibur saya. Bahkan saya dan adik saya sampai berebut radio sehingga akhirnya orang tua kami membawakan satu radio yang tak terpakai di rumah kakek untuk digunakan.

Radio membuat saya juga bersemangat belajar. Di sebuah radio lokal, acara dikte syair lagu bahasa Inggris secara berkala diudarakan dan dari sinilah sedikit banyak saya mengasah kemampuan berbahasa Inggris saya.

Radio juga membuat jantung saya bisa berdegup kencang di tengah malam karena menyimak acara kisah misteri yang memberikan sensasi tersendiri. Dan lain dari film, kisah-kisah ini terasa begitu nyata sebab lokasinya biasanya ada di sudut-sudut yang saya juga pernah datangi. Itulah kenapa rasanya lebih mencekam dan intens.

Radio bagi saya sendiri sekarang lebih dari sekadar media informasi. Akhir-akhir ini saya lebih sering menyimak radio daripada media sosial dan lebih mengandalkan radio sebagai sumber informasi yang lebih tepercaya dan netral daripada situs-situs berita daring, akun-akun media sosial, terlebih lagi kabar burung di aplikasi chat WhatsApp yang akan segera menjadi aplikasi berbayar itu.

Untungnya ukuran radio sekarang sudah lesap ke dalam tipisnya ponsel pintar. Semua fungsi perangkat radio kuno kini bisa dikempeskan ke dalam sebuah chip yang kemudian bisa ditanamkan di ponsel. Untuk mengoperasikannya juga tak perlu menggunakan baterai sebesar botol atau mencolokkannya ke sumber listrik terus. Saya kini bisa membawanya ke mana pun saya pergi dalam kantong kemeja tanpa merasa keberatan dan kerepotan. Cuma butuh earpiece untuk memggantikan antena konvensional yang panjangnya mirip penggaris itu.

Bagaimana menurut Anda?

Apakah radio masih menjadi sumber informasi atau sudah terlupakan di tengah hiruk pikuknya teknologi digital yang sudah memperhamba kita semua? (*/)