Suara (= Jeritan) dari Ruang Publik

wpid-IMG_20121028_064038.jpgDalam diskusi “Suara dari Ruang Publik” yang digelar di Taman Langsat Jakarta beberapa waktu lalu, didiskusikan bagaimana Jakarta sedang berjuang memperluas ruang umum terbuka hijaunya. Saya sendiri yang bukan penduduk Jakarta tetapi merasa memiliki Jakarta (Karena sudah tinggal di sini selama hampir 3 tahun) merasa sumpek karena memang di sini tidak banyak yang bisa dilakukan untuk bisa berwisata tanpa harus menempuh jarak yang jauh. Satu-satunya solusi ialah membuat sebanyak mungkin taman di sekitar kita. Karena Jakarta makin padat, tingkat stres meningkat, pada saat yang sama penduduknya juga makin butuh penyegaran, yang bisa dicapai dengan  mendekatkan diri dengan alam. Dan alam itu adalah tanaman dan hewan.

Kita patut bersyukur masih ada sebagian penduduk Jakarta yang peduli terhadap isu ruang terbuka hijau ini. Seperti apa yang dilakukan Yasminka Subekti dan Ages Dwiharso, pasangan pengajar biola di Taman Suropati (depan kediaman dinas gubernur DKI Jakarta) Menteng Jakpus, membuat Taman Suropati Chamber yang menjadi sekolah bagi para peminat biola.

Saya juga pernah mengenyam kursus biola di sana selama beberapa bulan sembari beryoga di tempat yang sama (dengan waktu yang berbeda, yoga di pagi hari, kemudian siangnya berlatih biola) meski akhirnya saya harus kewalahan karena tidak sempat berlatih selain jam kursus. Latihannya cukup merepotkan karena harus memilih tempat yang tidak mengganggu ketenangan orang atau setidaknya kedap suara. Dan kamar kos bukan pilihan yang tepat sepertinya. Akhirnya saya merasa tertinggal dari teman-teman kursus saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (bayangkan) dan saya pun memutuskan memilih yoga saja (karena di sana saya justru lebih berkembang dengan bakat saya, less effort, more result, haha).

Jika Anda ingin mengikuti kursus di Taman Suropati Chamber, tidak perlu cemas dengan biaya karena sangat murah. Bayangkan saja, cukup memberikan uang pangkal Rp 300 ribu, kita sudah bisa masuk dan seterusnya cukup membayar Rp 150 ribu per bulan. Bisa dibandingkan dengan sekolah lain. Untuk harga biola juga bisa pilih yang ‘miring’ di toko alat musik di Blok M. Saya pilih biola seharga Rp 750 ribu. Murah meriah dan cukup bagus untuk sekadar berlatih sebagai pemula (yang tidak ada tujuan menjadi profesional sama sekali). Anda boleh saja langsung beli yang bagus tapi pastikan tidak berakhir seperti biola saya; hanya disimpan di pojok almari. Haha…

Kembali ke ruang publik, pemanfaatan taman sebagai tempat mengasah bakat-bakat seni adalah sesuatu yang harus terus dipertahankan menurut saya karena inilah salah satu cara untuk meramaikan taman. Karena seperti kita ketahui taman yang ramai membuat manusia kota juga menjadi lebih waras karena mereka lebih sering bersentuhan dengan alam bebas, lepas dari sekapan gedung beton.

Agar ruang publik banyak dikunjungi masyarakat, faktor kebersihan, keamanan, tempat parkir, dan sebagainya perlu diperhatikan. Memang ini masih menjadi masalah utama, karena masyarakat pengunjung kadang belum menyadari pentingnya kebersihan. Buang sampah sembarangan di tempat umum.

Dan inilah yang menurut saya juga menjadi titik sengketa dari kasus penduduk dan pengelola pantai Ancol, yang juga ruang publik tetapi memiliki pengelola sendiri. Penduduk ingin masuk Ancol gratis, sementara itu jangan lupa, di sisi lain mereka juga buang sampah sembarangan. Padahal biaya masuk itu juga untuk menggaji para staf yang tugasnya memelihara kebersihan dan sarana prasarana di pantai. Jadi di sini, kesadaran dan kedewasaan penduduk Jakarta sendiri belum sepenuhnya sesuai harapan. Mau bersih, mau tertata, tetapi segan membayar. Setelah dibuka untuk umum dan gratis, mereka masuk dan mengotori, tidak mau memelihara.

Menurut Ridho dari Kementerian Pekerjaan Umum, masyarakat berhak mendapatkan minimal 30% ruang terbuka hijau yang dikelola oleh negara. Ruang publik ini tidak hanya taman tetapi juga pantai.

Salah satu cara pemerintah agar masyarakat mau mengunjungi ruang publik seperti taman ialah dengan menyediakan fasilitas wi-fi gratis. Per hari ini saja sudah ada 5 taman kota yang dipasangi wi-fi, ditargetkan di akhir tahun sudah ada 14 taman di Jakarta yang dipasangi wi-fi. Jika sedang berada di taman umum dan menemukan koneksi Internet nirkabel (wi-fi) bernama “taman” dan “dki”, berarti kita bisa mengakses Internet via koneksi tersebut secara gratis. Di Taman Langsat dipasangi wi-fi oleh Telkom dan ada 7 titik yang bisa diakses 200 orang secara bersamaan. Entah di Taman Suropati yang sering saya kunjungi. Mungkin jika Anda pernah berkunjung ke taman lain, coba saja hidupkan laptop atau ponsel berfasilitas wi-fi di sana. Namun, tetap saja saya pikir fasilitas wi-fi seperti ini mestinya diperbanyak di ruang publik yang lebih bersifat edukatif seperti sekolah dan perpustakaan daerah, yang di dalamnya orang sudah menyiapkan pikirannya untuk belajar, menerima informasi. Di sini mereka bisa mengisi daya perangkat mereka jika habis (ini penting sekali, di taman mana ada colokan listrik?) dan duduk lebih lama dan berkonsentrasi menyerap informasi. Di taman apalagi di halte busway, terlalu banyak distraksi. Orang akhirnya hanya membuka situs-situs yang kurang mendidik dan bermanfaat.

Syarat tata kota untuk ruang hijau di setiap kota adalah 30% namun saat ini di Jakarta saja baru mencapai belasan persen. Ini masalah utama banyak kota besar kita. Selain itu, banyak taman kota yang tidak diketahui keberadaannya di Jakarta karena tidak tersosialisasikan dan tidak ada papan penunjuk akses ke lokasi. Ini terjadi sendiri pada saya, saat saya mencari Taman Langsat pun saya tersesat ke Taman Ayodya yang letaknya tak jauh dari Taman Langsat.

Dinas Pertamanan mendukung segala kegiatan dan gerakan yang melibatkan taman dan ruang terbuka hijau, asalkan ada koordinasi. Untuk teman-teman yang ingin mendapatkan data tentang taman yang ada di Jakarta, dapat langsung mengunjungi Dinas Pertamanan.

Menjaga Kesehatan Mental dengan Beryoga

Perkembangan teknologi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membawa banyak manfaat. Dan di sisi lain, ia membuka celah masalah baru. Salah satu masalah yang paling menonjol dalam  kehidupan manusia yang diakibatkan paparan dengan teknologi ialah kesehatan mental yang tak lagi seimbang. “Begitu banyak orang depresi sekarang. Itu karena kita terlalu banyak terfokus pada hal-hal di luar diri kita, termasuk di dalamnya adalah TV, smartphone, dan lain-lain,” kata Rustika Thamrin pagi tadi (14/10/2012) di sesi berbagi Yoga Gembira, Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Topik ini berkaitan erat dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober 2012 yang baru saja berlalu minggu ini.

Menurut Rustika yang pakar psikologi itu, tak heran kita menjadi melupakan eksistensi atau keberadaan diri kita sebenarnya. Self-awareness atau kesadaran diri menurun. Sebagai konsekuensinya, orang makin sibuk untuk mengisi kekosongan dalam jiwa mereka dengan memburu ‘kebahagiaan’ di luar diri mereka. Sayangnya kebahagiaan eksternal itu tidaklah sejati. Semu dan temporer belaka.

Yoga dapat menjadi satu solusi bagi manusia modern yang telah kehilangan jati diri dan keseimbangan hidup dengan mengajak kembali melihat ke dalam diri. Yoga memberikan jalan bagi kita untuk melihat ke tubuh kita sendiri dan mengamati emosi-emosi yang muncul dan untuk kemudian membiarkan semua itu pergi karena kita tidak perlu menganalisisnya atau menghakiminya, ujar Yudhi Widdyantoro, pendiri Social Yoga Club atau Yoga Gembira. Menelisik kembali ke dalam diri juga menjadi bagian penting dalam mindfulness therapy yang kata Rustika selaras dengan prinsip yoga.

Satu pembahasan yang menarik oleh Rustika ialah ciri utama orang yang bermental sehat yang bisa kita gunakan untuk mengukur kesehatan mental kita masing-masing. Orang yang bermental sehat umumnya memiliki kemampuan untuk menertawakan dirinya sendiri. Mereka yang defensif (yang kurang sehat mentalnya), kurang mampu menertawakan diri sendiri tetapi justru melimpahkan ketidakberesan atau masalah dalam dirinya pada orang lain.

Kita juga diajak untuk tersenyum lebih banyak demi meningkatkan kesehatan mental. Mengapa harus tersenyum? Saat seseorang tersenyum kemungkinan besar ia merasa senang, terang Rustika. Dan saat seseorang merasa gembira tanpa ada tekanan, limbic system dalam tubuh akan terbuka dan saat itulah,informasi akan masuk dan terolah dengan lebih baik. “Pada gilirannya daya ingat jangka panjang kita akan membaik pula. Ini akan mencegah kita lebih mudah lupa dalam kegiatan sehari-hari akibat kebiasaan multi-tasking,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Rustika juga menambahkan perlunya biodansa (dansa kehidupan) yang bisa menghubungkan diri kita dengan mereka yang ada di sekitar kita. Digabungkan dengan yoga yang menekankan pengenalan diri sendiri, biodansa menjadi langkah penyempurna berikutnya untuk mengenal dan terhubung dengan lingkungan sosial. Keduanya memungkinkan kita menjaga keseimbangan dan kesehatan mental baik dari sisi internal dan eksternal.