Menyoal Nasionalisme Digital Kita yang Kurang Kental

Mungkin bagi sebagian orang meninggalkan dua jejaring sosial paling populer di jagad maya terlalu musykil. Jujur, saya baru saja beberapa hari lalu menutup akun Facebook dan Twitter saya. Tentu ini semua ada hubungannya dengan skandal penyalahgunaan data oleh Facebook yang membuat geger dunia.

Saya sendiri memang sudah mulai tidak meminati Facebook dan Twitter. Entah itu kebosanan atau sekadar ingin berbeda dari selera arus utama (mainstream).

Namun, saya memiliki alasan utama sendiri untuk meninggalkan jejaring sosial tadi. Karena saya ingin pengambilan keputusan saya dalam berdemokrasi nanti lebih murni karena apa yang saya yakini. Tidak goyah oleh hoax yang bertebaran di media sosial.

Dan yang terpenting, saya bisa menghemat waktu dan tenaga saya untuk mengerjakan sesuatu yang jauh lebih positif, seperti berjejaring soal profesi via LinkedIn atau berbagi informasi soal yoga dan kesehatan yang saya minati via Instagram. Di kedua jejaring sosial ini saya lebih pilih karena relatif lebih netral dalam hal berita palsu dan politik.

Memang masih ada yang mencibir,”Lha kan kamu masih pakai Instagram dan WhatsApp. Itu juga punya Facebook kan?” Tetapi alasan yang bisa saya berikan kemudian ialah saya setidaknya sudah berusaha memulai ketergantungan saya pada produk digital bangsa lain. Saya memiliki alternatif lain yang bisa lebih saya percayai karena dihasilkan oleh bangsa saya sendiri.

Ini juga menjadi awal untuk menegakkan kedaulatan kita sendiri. Selama ini Indonesia dan rakyatnya banyak dianggap sebagai pasar yang empuk. Dalam banyak kesempatan, orang-orang menyebutkan dengan bangga bahwa penetrasi internet di Indonesia terus naik dan pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter makin banyak.

Setelah skandal penyalahgunaan data oleh Facebook beberapa waktu lalu, harusnya kita makin sadar bahwa fakta itu bukan sebuah kebanggaan. Kita sebagai bangsa mesti segera sadar bahwa kita sudah ditelanjangi habis-habisan dengan menggunakan ‘pelet’ bernama media sosial. Kita ungkapkan data pribadi kita begitu saja di media sosial, menyebarkannya dan ini membuat kita makin mudah dikendalikan oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bayangkan bangsa sebesar dan semaju AS dan Inggris saja bisa digiring ke plot tertentu demi keuntungan pihak-pihak yang haus kekuasaan, apalagi kita yang masih banyak belajar dalam banyak hal seperti ini.

Namun, itu semua bisa kita ubah.

Kita mesti memiliki niat yang kuat untuk menjadi lebih mandiri di tengah perkembangan teknologi digital sekarang. Misalnya, untuk menggantikan Facebook dan Twitter, sebenarnya kita juga punya jejaring sosial produk anak bangsa.

Satu yang saya sudah pernah pakai empat tahun lalu saat diperkenalkan secara luas ke publik ialah Sebangsa.com. Menurut pengetahuan saya, aplikasi jejaring sosial Sebangsa ini lumayan bagus dan sudah bisa diunduh di dua platform ponsel cerdas masa kini, yakni Android dan iOS. Sementara itu, aplikasi jejarig sosial lainnya baru menyediakan versi Androidnya.

Lalu saya terpikir untuk mulai beralih menggunakan layanan email/ surel saya dengan produk dalam negeri seperti MerahPutih.id. Dulu saat zaman kuliah saya malah pakai Plaza.com, yang entah sekarang masih ada atau tidak. Baru dalam kurun 9 tahun terakhir saya sangat aktif memakai Gmail dan Outlook, yang notabene produk buatan Google dan Microsoft (baca: AS).

Saya memang masih mustahil meninggalkan GMail tetapi saya sudah mulai memakai email MerahPutih.id sebagai alat korespondensi saya sehari-hari. Seorang teman ‘bule’ saya bahkan terkagum dengan nama domain email saya yang menurutnya unik itu. “Wow, merahputih!” serunya saat saya katakan ia bisa menulis email ke alamat email baru ini daripada ke Gmail saya yang lama.

Tiba-tiba saya kembali teringat dengan kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mencekal Facebook dan Twitter di negerinya. Mereka pasti sudah memikirkan efek buruknya masak-masak. Mereka sadar bangsa mereka bisa dieksploitasi bangsa lain, dan mereka tidak mau itu terjadi. Ini juga didukung dengan pemerintahnya yang secara tegas melarang demi kepentingan bersama.

Saya juga teringat dengan tetangga kos saya yang warga asli Korsel. Saban ponselnya rusak, ia pasti membeli Samsung atau LG. Seberapapun murah dan bagusnya merek ponsel lain, dua merek itu menjadi pilihannya karena itu merek-merek kepunyaan bangsanya sendiri. Ia tahu perkembangan ekonomi Korsel banyak bergantung pada performa bisnis kedua chaebol pemilik perusahaan raksasa tadi.

Jadi, walaupun kecil dan hampir terkesan tidak berarti, ia sudah merasa berkontribusi.

Saya tentu tidak menyarankan kita harus sampai seekstrem itu dalam menyikapi perkembangan dunia digital saat ini. Tetapi sudah saatnya kita sebagai bangsa bertanya pada diri sendiri:”Apakah kita akan selalu menjadi bangsa yang memakai produk bangsa lain?

Atau kita mulai mempercayai bangsa kita sendiri dengan menggunakan produk-produk yang saudara-saudara sebangsa kita buat dengan susah payah?” (*/juga ditayangkan di Kompasiana.com)

9 Jenis Judul yang Menarik Pembaca

Begitu pentingnya sebuah judul sehingga ia bisa turut menentukan menarik tidaknya sebuah tulisan. Kalau bisa saya katakan, judul juga sama pentingnya dengan sampul dan isi sebuah buku, jika tulisan itu bentuknya buku.Jika bentuknya sebuah artikel di media online yang tentu saja tidak memiliki sampul, tentunya judul itulah yang berperan sebagai sampul mukanya. Dalam banyak kasus, penggunaan judul yang berbeda (menggunakan kata-kata yang berbeda, atau menyusun kata dengan urutan berbeda meski maknanya sama) dapat membuat hasil yang berbeda pula. Karena itulah, kadang seorang copywriter harus melakukan eksperimen (A/B testing) terhadap judul naskahnya untuk menemukan tingkat efektivitas yang lebih tinggi dari masing-masing versi judulnya. Artikel yang isinya sama tetapi memiliki dua versi judul yang berbeda bisa menunjukkan jumlah pembaca yang berbeda pula. Itulah pentingnya sebuah judul. Dangkal memang kelihatannya kalau kita menentukan kualitas tulisan dari sebuah judul tetapi memang
demikianlah kenyataannya. Tidak banyak orang memiliki waktu dan kesempatan untuk menelaah semua tulisan atau iklan yang ia temui setiap hari, jadi membaca judul untuk menentukan akan membaca hingga habis atau tidak merupakan hal yang cukup masuk akal.

Menurut copywriter Bob Bly, ada 8 jenis judul yang telah teruji mampu membuat pembaca tertarik dan melakukan sesuatu, entah itu mengklik tautan, melakukan pemesanan/ pembelian, atau melakukan hal lain yang diinginkan oleh si penulis. Dan saya memasukkan 1 jenis lagi yang saya anggap patut kita ketahui sebagai pengetahuan atau sebuah ide untuk diterapkan dalam media Anda, jika Anda mau.

1. Judul langsung
Judul jenis ini seolah merangkum apa yang dikemukakan penulis dalam artikel atau tulisannya. Tidak ada upaya untuk menutup-nutupi atau membuatnya lebih menarik dengan distorsi yang bombastis. Contohnya yaitu “Seminar Copywriting Gratis!” Pembaca langsung bisa mengetahui isi tulisan yang dimaksud. Sayangnya, kadang jika terlalu sering dipakai, judul semacam ini terasa membosankan karena terlalu apa adanya. Orang menjadi tidak tergerak keingintahuannya. Namun, bila Anda memang ingin memberikan penjelasan yang gamblang lewat judul, silakan saja. Asal tidak dipakai terus menerus.

2. Judul tidak langsung
Kebalikan dari jenis pertama, judul semacam ini memberikan ambiguitas yang mendorong keingintahuan pembaca agar mengklik tautan Anda. Judul jenis tidak langsung biasa menggunakan kiasan atau kata-kata yang memberikan makna berbeda dan bermakna ganda. Seperti “Umpan Segar adalah yang Terbaik”. Nah, di sini konteks “umpan” belum diketahui pasti. Tergantung pada banyak faktor. Keingintahuan pembaca atas judul bisa membuatnya terpancing membaca. Bisa jadi ia puas atau kecewa setelah menemukan artikel Anda.

3. Judul berita
Anda bisa menemukan jenis headline seperti ini di situs-situs berita arus utama (mainstream). Misalnya, “Tentang Jurnalisme Warga” atau “Pro Kontra RUU Pilkada”.

4. Judul cara
Dengan menggunakan judul “Cara Me….”, biasanya orang yang sedang ingin tahu bagaimana cara melakukan sesuatu akan penasaran membacanya. “Bagaimana Menghasilkan Uang Online” membuat orang ingin tahu cara yang mungkin mereka belum tahu dalam menghasilkan keuntungan.

5. Judul pertanyaan
Pertanyaan akan membuat pembaca memunculkan empati dalam benak mereka atau menggerakkan mereka untuk melihat jawabannya. Gunakan pertanyaan tertutup (yang membutuhkan jawaban iya atau tidak) dan pertanyaan terbuka (yang membutuhkan jawaban yang lebih panjang) sesuai kebutuhan.

6. Judul perintah
Judul ini dengan lantang memberitahukan pada kita tentang apa yang harus ia lakukan. Pilihan kata kerja yang tepat akan membuat pembaca lebih terdorong berbuat sesuatu setelah membaca. Ambil contoh, “Beli Samsung Galaxy S5 Diskon Sekarang!”

7. Judul alasan
Pernah membaca judul yang menggunakan kata “mengapa” atau “kenapa” atau “alasan”? Inilah yang dimaksud dengan judul alasan. Judul ini memberitahukan pada pembaca bahwa penulis akan menyajikan sejumlah alasan. Contohnya, “Mengapa SBY Diam Plin Plan Soal RUU Pilkada?”

8. Judul testimonial
Jenis yang satu ini efektif dalam meyakinkan calon konsumen atau klien bahwa Anda memiliki kualitas yang mereka harapkan. Menuliskan kesaksian dari orang lain akan menambah kredibilitas Anda. Namun, terlalu banyak menggunakan testimonial juga membuat orang menyangsikan kredibilitas Anda, apalagi jika jangkauan reputasi Anda belum begitu luas. Bentuknya bisa berupa kutipan langsung, misalnya “‘Saya Menulis dengan MacBook Air,’kata Tim Cook” atau “Tim Cook: Saya Menulis dengan MacBook Air.”

9. Judul khas media baru
Judul-judul jenis sebelumnya sudah banyak dipakai di media lama seperti iklan cetak, surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya. Di media baru seperti blog dan social media, ada juga jenis judul yang khas. Bentuknya tidak lagi berupa frase tetapi sebuah kalimat utuh. Ada subjek dan predikat, bahkan keterangan. Dijejalkan banyak informasi di satu judul. Bila perlu, judul itu bisa berupa dua kalimat terpisah, yang bernada provokatif. Baca saja judul seperti berikut: “Aileen Lee’s Cowboy Ventures Is Raising A $55 Million Second Fund” atau “With Plans of Investing $100M Next Year, Israel’s OurCrowd Forges Its Own Path in Equity Crowdfunding” atau yang berupa dua kalimat misalnya:”Pornhub launches a record label. Wait, what?”

How Samsung Agressively Eats up Rivals’ Market Share

image

If you reside in Jakarta and own an old iPhone or BlackBerry or even Samsung  handset tha, you already think obsolete, here’s the chance for you to literally get a new phone with less money to spend. Look at the list. And this is apparently Samsung’s latest strategy to remain on top of the sales chart in the market of Indonesia, where it already is favored by most smartphone consumers.

Several weeks ago, at an outlet in Kota Kasablanka Mall they applied the same strategy; i.e. allowing old phones owners to trade their handsets with Samsung latest products like Samsung Galaxy S5 or whatever Tabs they recently released. This week they invade Lotte Shopping Avenue Jakarta, trying hard to win the hearts of many office workers nearby to come and swap. Crap! I need to go there too!!! It’ll last only till September 30th.

If you’re sick with small screens of iPhones, you might find this is your chance to convert.
Continue reading How Samsung Agressively Eats up Rivals’ Market Share

CS Samsung, Temannya Jaka Sembung

Setelah 1,5 tahun, charger ultrabook saya bermasalah (kadang berfungsi, kadang tidak) dan saya ragu apakah saya bisa mendapatkannya di Mall Ambassador karena letak Samsung Service Center terdekat di Jakarta Selatan adalah di Pondok Indah. Jauh!

Akhirnya saya ke situs resmi Samsung di Indonesia dan melayangkan pertanyaan via surel. Berikut interaksi saya dengan layanan pelanggan mereka. Surel saya kirim tadi malam dan balasan dari Samsung tiba pukul 9.30 pagi ini. Terhitung responsif tetapi… Silakan baca.

Pertanyaan saya
“Dear Samsung,

Di mana saya bisa membeli charger untuk ultrabook NP535u3C dan berapa harganya? Apakah bisa minta dikirim via JNE dsb?

Thanks”

Samsung membalas…

“Konsultasi Jawaban
Selamat datang di Pusat Pelayanan Konsumen Samsung Indonesia!

Dear : Bpk Akhlis

Menanggapi E-mail yang telah dikirimkan,
Kami sarankan untuk datang langsung ke samsung service terdekat kami, adapun cara pembelian adalah melalui pemesanan terlebih dahulu dan hanya bisa dilakukan pemesanan dengan datang langsung, paling cepat tersedianya barang adalah 3 hari kerja. dan bpk akan dihubungi oleh team samsung kami. untuk harga batere nya adalah berkisar Rp. 550.000,-(Ex Ppn).

Demikian Informasi yg bisa Kami berikan. Mudah-mudahan Informasi ini bisa membantu. Terima Kasih telah menggunakan layanan e-mail kami.

Hormat kami,

Samsung Service Center”

Saya tertawa membaca balasan ini. Pertanyaan saya tentang charger, malah jawaban yang diberikan tentang baterai (bukan batere ya).

Apakah karyawan Samsung yang membalas surel saya itu masih mengantuk atau apakah ia sedang berakting menjadi Bolot atau Jaka Sembung? Kalau pun tidak, April Mop kan masih lama juga.

Samsung Luncurkan Layanan Streaming Radio Khusus Seri Galaxy

Sebagai pengguna smartphone Samsung seri Galaxy, saya kehilangan satu fitur di ponsel saya. Saya bisa mendapatkannya di ponsel low-end tetapi di ponsel high-end justru fitur ini dihilangkan. Apa itu? Radio!

“Apa artinya radio sih?” Mungkin begitu yang dipikirkan orang tetapi kalau di saat-saat tertentu mendengarkan radio itu bisa mengobati kerinduan pada masa lalu lho. Kita masih bisa menikmatinya sekarang tanpa harus mencolokkan radio yang berukuran besar seperti abad ke-20. Radio sekarang sudah terbenam di kecanggihan ponsel. Sayangnya makin canggih ponsel tahun 2010 ke atas, fitur radio menjadi hilang.

Saya memiliki Samsung Galaxy Nexus dan BlackBerry Davis. Tentu Anda tahu ponsel yang lebih canggih. Tetapi justru BlackBerry murah itulah yang memiliki fitur radio. Aneh bukan? Apakah ada pergeseran pemikiran bahwa radio adalah hiburan yang kurang berkelas atau bergengsi? Entahlah.

Hari Jumat lalu (7/3/2014), Samsung malah mengeluarkan pengumuman penambahan fitur streaming radio pada smartphone seri Galaxy-nya yang dikenal laris manis itu. Ini berbeda dari fitur penerima siaran radio yang ada di ponsel fitur yang murah. Aplikasi streaming radio itu bernama “Milk”, yang gratis, bebas iklan. Sayangnya sekarang Milk cuma bisa dinikmati warga AS pengguna ponsel Samsung Galaxy. Namun, jangan berkecil hati karena Samsung mengatakan layanan itu akan diperluas ke negara-negara lain di dunia. Dan tidak hanya pemilik seri Galaxy saja yang akan bisa mendengarkan streaming radio dengan Milk, kata Samsung seperti dilansir dari laman Computer World.

Untuk memakai Milk, tidak diperlukan log-in yang rumit. Anda bisa menikmati siaran lebih dari 30 stasiun radio dan mendengar lebih dari 13 juta lagu. Samsung merancang Milk seperti kotak musik (jukebox) digital dengan memberi keleluasaan dalam menyesuaikan dengan selera, persis dengan Spotify dan iTunes Radio (yang harganya 24,99 dollar).

Kata wakil pimpinan divisi musik Samsung Media Solutions Daren Tsui, aplikasi Milk tersedia melalui Google Play Store dan akan bisa dipakai di seri Galaxy dulu.

Dari sudut pandang konsumen, langkah Samsung ini memang layak diapresiasi. Selalu ada inovasi meski itu imitasi dari layanan lain yang sudah ada seperti Pandora, Spotify, iTunes Radio. Tetapi sekali lagi, menjadi pionir atau pemilik ide pertama tidak akan menjamin kita sukses. Kadang mereka yang bisa meniru lalu memberikan modifikasi kreatifnya malah menuai sukses lebih besar dari si perintis yang brilian. “Be a follower better than the trend setter,”bisa jadi itu motto Samsung.

Tingkat Paparan Radiasi BlackBerry Lebih Tinggi dari Smartphone Merek Lain

image

Iseng-iseng saya menelusuri informasi di lembaran Informasi Produk dan Keselamatan – yang banyak diabaikan pengguna ponsel baru – dan menemukan fakta mencengangkan bahwa smartphone BlackBerry Curve 9220 saya memiliki tingkat paparan yang TERTINGGI dari semua ponsel yang pernah saya miliki, yaitu 1,35 W/kg atau untuk penggunaan di telinga.

Pertama-tama kita harus tahu angka SAR (specific absorption rate: angka yang menunjukkan paparan frekuensi radio terhadap tubuh manusia untuk berbagai perangkat nirkabel yang ditentukan lembaga berwenang; makin rendah, makin aman) yang bisa ditemukan tercantum produsen smartphone dalam kemasan setelah pengujian laboratorium. Angka SAR juga bisa dibaca di keterangan spesifikasi produk yang lengkap di situs-situs ulasan smartphone seperti GSMArena. Dari pengamatan saya selama ini, angka SAR sering ditempatkan paling bawah karena dianggap tidak banyak dibaca, dan kalah populer dibandingkan dengan detil spesifikasi lain semacam ketajaman kamera, besar layar, jenis sistem operasi, dan lain-lain.

Sebagai perbandingan, tingkat SAR maksimum yang tercatat untuk model Samsung Galaxy Nexus GT-I9250 adalah 0,303 W/kg. Ironis bukan? Angka SAR BlackBerry model Curve 9220 yang mencapai 1,35 W/kg itu ironisnya terhitung 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan SAR smartphone Samsung Galaxy Nexus saya yang notabene lebih canggih dan sarat aktivitas data 3G (sementara BlackBerry Curve ini cuma bisa beroperasi di jaringan 2G dan EDGE alias 2,5G). Jika dibandingkan dengan tingkat paparan ponsel LG GS290, misalnya, selisihnya lumayan. LG GS290 itu cuma 0,993 w/kg, sementara ambang batas yang diperkenankan oleh International Commission on Non Ionising Radiation Protection adalah 2 w/kg; ambang batas SAR yang diberikan Dewan Uni Eropa ialah 2,0 W/kg. Sementara batas SAR yang disarankan FCC (Federal Communications Commission)/IC (Industry Canada) ialah 1,6 W/kg.

Mengetahui tingkat paparan yang lebih tinggi yang dipancarkan perangkatnya, BlackBerry memberikan peringatan untuk MENJAUHKAN smartphone BlackBerry sedikitnya 0,59 inci atau 1,5 cm atau 15 mm dari tubuh kita jika ponsel sedang melakukan transmisi (misal menerima atau melakukan panggilan telepon). Bila sedang menggunakan suatu fitur data, dengan atau tanpa kabel USB, pegang ponsel sedikitnya 0,59 inci atau 1,5 cm dari tubuh. Jika menggunakan aksesori yang dikenakan di tubuh yang disetujui RIM saat menggunakan BlackBerry, pastikan aksesori tidak mengandung logam dan jauhkan ponsel dari badan setidaknya 1,5 cm saat melakukan transmisi.

Penggunaan BlackBerry dan perangkat komunikasi nirkabel yang intens pada wanita hamil dan anak-anak memang perlu dibatasi sampai hanya seperlunya, bahkan jika darurat saja. Jika perlu, dan memang sangat perlu, selalu pakai earphone atau speakerphone untuk menelpon, karena dengan begitu, tingkat paparan bisa dikurangi seminimal mungkin dengan menjauhnya ponsel yang bertransmisi dari sel-sel tubuh terutama sel otak yang sering terkena akibatnya saat seseorang menelepon dengan ponsel dalam waktu lama. Sekali dua kali memang tidak akan membuat kita mengidap kanker atau tumor otak atau gangguan kesehatan lainnya, tetapi jika itu terjadi tiap hari selama bertahun-tahun, dampaknya bisa berakumulasi bukan?

Selain menggunakan perangkat smartphone sejauh mungkin dari badan, diperingkatkan pula agar kita tidak menggunakan ponsel saat berada di daerah yang sinyal nirkabelnya lemah. Semakin lemah sinyal seluler yang tampak di layar ponsel, semakin tinggi output daya yang dikeluarkan ponsel agar bisa tetap terhubung dengan menara pemancar sinyal (BTS). Karena itu, hanya gunakan ponsel jika sinyal sedang kuat (3-5 bar di indikator sinyal). Jika sinyal lemah (1-2 bar, atau bahkan SOS) di satu tempat, pindahlah dan carilah tempat yang jangkauan sinyalnya lebih stabil dan kuat lalu baru lakukan panggilan atau menggunakan ponsel lagi. Di mana saja tempat-tempat dengan jangkauan sinyal seluler yang biasanya lemah dan membuat ponsel mengeluarkan radiasi lebih kuat? Gedung parkir bawah tanah, di dalam kabin kereta api, di dalam mobil atau bus. Bagaimana jika darurat? Gunakan pesan pendek (SMS) atau layanan pesan instan seperti Whatsapp, Line atau KakaoTalk (sehingga Anda masih bisa berkomunikasi tanpa mendekatkan ponsel ke kepala, atau badan, termasuk perut bagi yang sedang mengandung atau bagi anak-anak kecil yang masih rentan), atau gunakan earphone saat menelepon dengan tetap menjauhkan ponsel dari badan. Saya sendiri lebih nyaman dan yakin dengan earphone atau handsfree berkabel daripada headset tanpa kabel yang menggunakan koneksi bluetooth, karena pada dasarnya bluetooth juga frekuensi radio.

Saya sendiri masih membiasakan untuk tidak membiarkan ponsel terus ON (sinyal seluler terus menyala) di samping kepala sepanjang malam. Jika mau menggunakan ponsel sebagai alarm, hidupkan ponsel dalam modus OFFLINE sehingga kepala dan badan tidak terkena radiasi sinyal seluler atau frekuensi radio secara terus menerus saat tertidur. Pun saat saya mengantongi ponsel, saya pastikan ponsel sudah dalam modus offline sehingga tidak memancarkan radiasi saat berada di kantong celana, kantong baju, yang artinya dekat bahkan melekat dengan badan. Jika mau menggunakan, saya keluarkan saku dan ubah ke modus online. Sedikit repot agar tidak menyesal di kemudian hari. Takut melewatkan panggilan atau pesan penting? Bawa saja ponsel dalam genggaman tangan agar lebih jauh dari badan dan kepala. Atau masukkan ponsel dalam tas yang cukup tebal agar tidak terlalu dekat dengan badan tetapi nada deringnya cukup nyaring agar Anda tahu ada panggilan atau pesan masuk. Repot? Pasti sangat repot, tetapi lebih merepotkan jika harus menanggung sakit di masa datang yang sebenarnya bisa dicegah dari sekarang.

Mungkin tidak hanya produk BlackBerry saja yang bisa memiliki SAR yang relatif tinggi dan mendekati ambang batas, tetapi dari pengalaman dan apa yang pernah saya baca, beberapa model BlackBerry memang pernah disebutkan sebagai produk dengan SAR yang relatif tinggi, menurut situs aplikasi pengukur tingkat radiasi ponsel Tawkon.com. Selain itu, masih menurut Tawkon.com, iPhone dari Apple juga pernah dikatakan memiliki SAR yang relatif lebih tinggi, terutama jika dibandingkan smartphone-smartphone Samsung yang menjadi pesaing utamanya di pasar dunia.

Bagaimana dengan ponsel Anda? Sudahkah Anda tahu berapa SAR ponsel yang Anda, atau yang lebih penting lagi, anak-anak Anda gunakan? Atau baru kali ini Anda tahu ada istilah SAR?

An Open Letter to Miss Samsung

image

Dear Miss Samsung,

You know it is hard for me to say this because you’re too artificially cute, slim and seductively pleasant to flirt with and behold. That is exactly what you got paid for, to deal with a weak-hearted customer like me who all of a sudden turns dumb when you’re around.

image

To be brutally honest though, your keyboard kind of sucks. No, I mean, I like its being tactile and comfortable but look at my N!!! It is not even 365 days yet but one of the keys starts disappearing already. Do I type too enthusiastically or this keyboard isn’t quite durable?

image

And by the way, look at this! That MacBook Air has got juicier, way more long lasting battery and backlit keyboard which I guess would be nice to type in the dark. Remember that I am a yellow mellow person, and darkness intensifies my being mellow, which is sometimes good to boost my creativity. Yet, your ultrabook cannot be lit that way, which somehow lets me down.
But what can I say? I just got this with the price less than the half price of a MacBook Air.
Despite everything, I still adore you so please don’t let me down.

Kisses,

A Samsung fanboy

Why I will Never Ever Install Facebook and Twitter

Why will I never ever install Facebook and/or Twitter app for Android again on my phone? It is not a trick question. Maybe some already have the answer in their mind but let me tell you this: Never download or by any means install those two Android applications?
I have an Android handset as my everyday sidekick. A full touch screen Samsung Galaxy Nexus. It is not as pricey as HTC-produced ones, I know, or even the later more sophisticated Samsung Galaxy 3 my coworker just bought. But guess what? My Nexus is just affordable and the best thing to buy in terms of both price and functionality aspects.
Having no external data storage, Its memory capacity though is limited to 16 GB. But it turned out to be a few GBs smaller as I learned while using this. I definitely can hold all the data and apps here. No problems at all. If I record or store too much stuff on this phone, I can copy the files and save it on to my laptop. No big deal.
But when it comes to applications, your phone memory capacity needs to be ready for upcoming updates. The updates are random in frequency but one thing I know for sure is that the update fills your phone up with accumulated amount of data. I am not a geek so excuse my inability to explain this subject matter in a technical sense that looks cool to you but I am just a lay man in this case, an everyday user of Android with less than ample amount of knowledge. Yet I know for certain that the more updates we donwload and install on phones, the less storage memory capacity is left. No brainer, right?
That brings me to this idea of refusing to download mobile apps because you cannot risk that loss of memory space. So how can I access my Facebook and Twitter accounts? Installing social media apps which simplify everything like Hootsuite or Seesmic or Tweetdeck has become my solution. But if I really have to be on these two social media sites, I would just log in on my mobile browser. That is it! Accessing them on a browser looks frustrating I know but my phone has been so much calmer and works faster with roomier memory since I uninstall all apps by resetting my phone and ONLY install apps that won’t eat the memory up with such greed like Facebook and Twitter. To add to my point, my carrier is so generous by not charging us while we are on mobile sites of Facebook and Twitter on a mobile browser. Thus, my data plan is relatively ‘untouched’ and ‘intact’.
What do you think? Do you have an Android phone like me and have another point of view? Let me know in the comment box below.

My Two-Week Experience with Samsung Notebook Series 5 535 (AMD Ultrathin)

“The first AMD Ultrathin in Indonesia”, Samsung says on its official site.  Without even knowing this tagline though, Samsung NP535U3C-A01ID is still impressive no matter what. The 535 is part of Samsung Notebook 5 Series product line.

By and large, it’s been fun and relatively flawless experience. That’s all I can say if I was asked about my general verdict. This light ultrabook seems so appealing to me thanks to its very thin thickness and light weight. Samsung Series 5 535 is only 14.9 – 17.6 mm and weighs 1.52 kilogram. The color is elegant, doesn’t sting the eyes but still attract attention in a manly way (whatever that means but it managed to wow my coworkers).

Samsung Series 5 AMD Ultrathin as it looks on Samsung official site. Don’t be fooled. The machine is prettier than this photo.

Besides, it doesn’t look so plastic. It’s as solid as an ultrabook can get. And the hinge is, contrary to my previous belief, quite robust. The design is fabulous. The boot time is faster, compared to my old netbooks (yes, I worked with netbooks that to some extent suck in terms of speed). And no more Shockwave plug-in crashes which irks me a lot these days!!  The audio quality is something a decent music listener like me can’t complain about. The battery seems decent so far. Around 4,5-5 hours, depending on so many factors. I expect more, but then I think I have to sacrifice the juicier battery for a slim look, which is forgivable, totally.

When it comes to the keys, I have to say it’s not that excellent. Maybe that’s because I love how the old netbook’s keyboard felt on my fingers. But fortunately enough, I love the spaciousness of the keyboard. That matters as the large keyboard is something luxurious for a netbook user. And this has no backlight, so I can’t type in complete darkness, which is good because that means I can take a rest.

Let me give you the key specifications:

  • DOS ( I was lucky to find a store which already installed it with Windows 7 Home Premium. It’s pretty much hassle-free and I could work as soon as I bought this on October 4)
  • AMD Dual Core A6 4455M (2,1GHz) : Why settle for Intel’s if you can get the more affordable with more or less similar function?
  • AMD Radeon™ HD 7500 Graphics: I’m no fan of 3D games so this won’t bother me that much.
  • 13,3″ SuperBright Anti-Reflective HD LED Display:  I do really appreciate the crisp colorful screen. It’s more than a game hater could ask for.
  •  HDD 500GB: Considerably spacious for my future articles, photos, or novels?

I know I sound like a broken old record. But I can’t help saying the design is top notch. You’ll be less likely to find fingerprints on its surface. And if I’m not mistaken the material is from aluminum and the unibody rocks as well. Obviously enough, though it’s not the most expensive slim machine produced by Samsung, the Korean manufacturer seems to be quite generous with the lovely design and high quality material.

Ah! Before I forget, as someone with extremely huge concern with environmental issues, energy conservation and efficiency, I admit this is the best machine I’ve had in my gadget history. Just inside the “Easy Settings”, you can find “Power Management” and later choose “Samsung Eco Mode“. Samsung claims the mode can minimize carbon dioxide generation and energy consumption when activated. That means wireless LAN, wireless WAN and bluetooth are deactivated. That said, I also lower down the brightness level which in turn can strain the eyes less and save more energy.

 Another eco-friendly feature the machine offers us is the battery endurance in the long run. Here we’re not talking about how long it’ll last in a whole day but how many years it can still function after hundreds or thousands of charging-draining cycles, for the entire machine life cycle perhaps. Samsung claimed the Battery Life Plus technology it applies on the notebook can extend the cycle up to 1,500 cycles/ 3 years. Shown in a chart, it is explained how other brands’ notebook battery performance without the technology can plumet to 20% within a couple of years of use. With the technology, this laptop’s battery is expected to still remain able to stay at 70% of its original capacity and performance. And the disclaimer is it depends on how you adjust the settings.
The AMD ultrabook in reality, with ketoprak beside it.

On YouTube, I saw this ultrabook with an internal optical drive but at the store where I bought this, I couldn’t find it. Samsung is telling a lie? Absolutely not. It seemed that Samsung released 2 variants of the AMD ultrathin type. The first one is  with 13.3 inch screen and the other is one inch wider. The first, which I happened to have purchased, has no internal optical drive. But the latter has and hence a bit heavier.

Just to show you how much I love this ultrabook. If only it’s legal, I’d really like to marry ‘her’, like most 21st century male geeks trading their quality bed time with their spouse for curling up with this gorgeous inanimate object in the couch.

Apart from my sleek sophisticated objects fettish, I just realized how painful it was for my back and shoulders to carry along the bulky cumbersome HP Presario V3803 I had like 3 years ago. It weighed 2.4 kilograms! Almost a kilogram heavier than the ultrabook.

Koreans as Seen (by Me) on TV and Reality

As you can watch the video above, there were three Koreans talking with each other. I stealthily recorded them. There was one girl. She looked a bit chubby but ok, she’s Korean, what can I do? She looked just enchanting to me though. The other two males seemed to be her brother and father. Could NOT care less about them.

But then I decided to show off a bit. Just a bit. I collected pieces of my basic Korean scattered somewhere in the brain. A moment later, I interrupted in English, “Hi people, are you Koreans?” My opening remark didn’t work well. The father answered , not in English, but in a stattered Indonesian. Using English turned out useless in this very case. None of them spoke English. And then I broke the silence with this line: “Je ireumeun Akhlis imnida”. I was so nervous I forgot how to pronounce “Annyeong haseyo” correctly before that. But I liked it when the girl and the father (the brother didn’t even speak a word or look at me at all, which was acceptable and normal) showed surprise in their face. “Ah bisa bahasa Korea,” the girl, who speaks Indonesian best, responded. I might be blushing at that moment.

Another Korean I meet on daily basis is Mr. Ahn Bak-hyun. We live in the same rented house. This middle-aged man leads too modest a life for Korean standard of living, as far as I know. He lives in a rented room with so small size and no air conditioner in it. Even to me, his room is much too humid and smoldering hot (only having an exhaust fan and a huge standing fan). The room he’s sleeping in has no window.

Not all portrayed in Korean dramas you watch is true. Some Koreans are not as lucky as Coffee House drama's protagonist Lee Jin-soo (Kang Ji-hwan) who gains fame and fortune at the very same time. Millions of them are struggling against unemployment and poverty, TOO.

So the other day he happened to see me working on my netbook. He approached me, shirtless. Yeah, that was one hot afternoon in Jakarta.  Being topless is forgivable, of course. He asked me about my password the days before and I knew he’d ask the same question that time. My hunch was right. He came back with his 14′ Samsung laptop. The laptop looked so old. No battery was attached to it. Completely understandable as there’s no battery on earth can survive 7 years of usage. The operation system is Windows XP. When he started Skype-ing with his daughter, he had to attach the external web cam (which he’d bought after he borrowed my web-cam-embedded netbook) to chat online. With the upcoming Windows 8, XP is close to its end and I expect this laptop is about to be  kept as an artefact of the Samsung museum in a few decades ahead.

Mr. Ahn works, as he said to some of us, in mining industry. He admitted he has roamed several corners of Indonesia which I myself as Indonesian have not visited. Interesting and pitiful at the same time I felt. I mean, what brought him here? Is Korean too overwhelmed with job scarcity that they set Indonesia as their workplace?

Comparing those three Koreans and Mr. Ahn’s lives to what is served on Korean dramas I get addicted to is slightly painful.  The first time I had contact with Korean culture is through its Korean Waves stars and dramas. I got to know a native Korean too in 2006. Kang Song-hoon, my Korean tutor, taught me basics of  Korean. And when I thought every Korean used Anycall fancy clamshell cell phones, I saw with my own eyes that Mr. Kang got that Sony Ericsson candy bar phone with him. Disappointing, I know. My horizon of expectation was somewhat unmet. There’s a huge gap between the fact and expectation.

Besides, I used to believe that Koreans use high-end gadgets. But what I saw in reality is sometimes quite the opposite. Mr. Ahn proved my assumption wrong. As explained before, his laptop is old if I cannot say it antique. And his phone? It’s only a cheap EDGE qwerty cell phone. Not a glossy pricey slim Android LTE smartphone with a 4-inch screen and glaring vivid colors.

Lesson to learn? Never expect too much, you’ll be let down upon learning the harsh cold facts. LOL!

 

P. S.: It doesn’t mean I officially quit my addiction to watching K-dramas.

P. P. S. : I plan to arrange a short trip to South Korea to learn the society and culture and entrepreneurship thriving there (For God’s sake, it’s the land where Samsung and LG were born) so it has got to be fun! Look forward to having sponsors though!