Awalnya Marly, seorang gadis muda yang masih duduk di bangku kuliah, melamar kerja di sebuah perusahaan rintisan yang menjual layanan telepon seks di era 1980-an di negara kincir angin.
Di situ, ia membaca sebuah naskah dan membaca dengan nada datar. Dan tentu saja ia ditolak karena cara dan nada berbicaranya kurang ‘mengundang’, tidak membuat para konsumen pendengarnya bergairah. Dan sialnya, wajahnya tersorot kamera saat seorang reporter meliput bisnis pertama yang menjual layanan unik di Belanda.
Tak lama, perusahaan rintisan itu batal diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar dan mapan sehingga Frank dan Ramon dua pentolannya kebingungan.
Di saat yang sama Marly juga kesal karena ia tak dapat pekerjaan sampingan menjadi pembaca naskah seks tadi dan malah wajahnya tersiar di seantero negeri. Ia dicap menjadi perempuan muda yang jorok, kotor dan binal.
Stigma itu membuat kedua orang tua Marly yang konservatif mengusir Marly dari rumah.
Antara bersyukur dan sedih, Marly pun menjalani kehidupannya sendiri di luar. Dan ia dipaksa melakoni pekerjaan apapun asal bisa menyewa apartemen yang layak.
Marly kemudian bertemu Frank kembali dalam sebuah kesempatan. Saat itu ia mengusulkan pada si petinggi perusahaan bahwa ia tak seharusnya cuma melayani kelompok pria heteroseksual yang selera seksnya mainstream alias mudah ditebak karena saking banyaknya.
Marly mengusulkan Frank untuk membuka layanan telepon seks juga bagi konsumen homoseksual/ gay, lesbian, bahkan bagi mereka yang punya ‘fetish’ atau kecenderungan terpancing gairah seksualnya dengan benda atau objek tertentu yang tak lazim.
Setuju dengan ide Marly, Frank pun direkrut menjadi penulis naskah seks di perusahaan itu. Sebagai percobaan pertama, Marly wajib menghasilkan konten naskah untuk 300 saluran telepon yang berbeda untuk segmen konsumen yang non-mainstream ini.
Menyadari betapa berat tugas itu, ia pun menyesali ‘mulut besarnya’.
Tapi justru dari situ, Marly memiliki kesempatan besar untuk menggali potensinya karena sebenarnya ia memiliki jalur yang tepat untuk menghasilkan konten yang menarik. Marly sedang kuliah dan belajar soal seksualitas dan seks di kampusnya dan banyak mater kuliahnya yang sebenarnya bersinggungan dengan bidang pekerjaan yang banyak membahas soal seks ini.
Per minggu, gadis cantik berkulit cokelat dan berambut keriting yang terlahir di Belanda dari pasangan imigran Afrika itu harus menyerahkan 20 naskah seks untuk dibaca bagi konsumen layanan telepon seks ini.
Saya menemukan serial Dirty Lines ini di Netflix dan cukup menikmatinya sebab banyak adegan yang sangat menohok bagi kita yang mengakui sebagai orang Asia yang berpegang teguh pada adat ketimuran yang menjauhi obrolan kotor semacam seks.
Dari situ, Marly malah menemukan keasyikan dalam menulis konten ini. Ia mengadakan pengamatan pada teman-teman di asramanya yang berhubungan seks secara sembarangan bahkan di kamar mandi umum.
Lalu ia juga turun ke jalanan bertemu penjaja seks demi studi lapangan. Semua karena perfeksionismenya.
Seperti apakah perjalanan Marly yang diperankan dengan apik oleh aktris Joy Delima selanjutnya di sini? Ikuti saja serialnya. (*/)
