Pertama kali saya mendengar istilah “anglophilia” adalah saat saya duduk di semester 6. Istilah ini merujuk pada kekaguman terhadap budaya dan adat Inggris dan masyarakat Inggris, intinya semua yang berbau Inggris (dan Amerika Serikat, karena secara historis Inggris juga menjadi nenek moyang sebagian warga AS). Saat itu dosen mata kuliah Kritik Sastra memberikan novel untuk dibahas. Novel itu berjudul “The God of Small Things” yang dikarang Arundhati Roy. Novel itu bertemakan kehidupan masyarakat di sebuah daerah di India yang sarat pemujaan dan kekaguman terhadap segala hal yang berbau Inggris (Barat). Seseorang dikatakan terpelajar dan cerdas serta berwawasan luas bila ia mampu menyerap pemikiran ala Inggris dan berprilaku layaknya manusia Inggris, meski pada dasarnya mereka orang India asli dan lahir dan tinggal bahkan mati di India juga.
Indonesia, seperti India dan negara-negara bekas jajahan negara Eropa, juga menderita sindrom serupa. Tidak perlu memiliki kecerdasan yang luar biasa untuk merasakan betapa masyarakat Indonesia masih sangat amat berkiblat pada Barat (AS, Inggris dan Eropa pada umumnya). Kebudayaan Anglo-saxon memang begitu merajalela di dunia dan kita tidak perlu heran. Karena sejak berabad-abad yang lalu, bangsa-bangsa Eropa terutama Inggris sangat maju dalam pemikiran dan agresif mengeksplorasi dunia. Saat saya membaca novel The Signature of All Things karya Elizabeth Gilbert, misalnya, saya makin paham bahwa bangsa Inggris memang sangat mengagumkan (saya juga seorang penderita anglophilia). Mereka sangat berani, penuh strategi, bervisi dan misi yang jauh ke depan, penuh inisiatif, dan mau berkorban (tidak takut sengsara).
Hebat memang, tetapi di saat yang sama juga miris. Bagaimana dengan kita? Budaya kita, bahasa kita, adat istiadat kita?
Dominasi ini selalu tercium di 3 bidang yang saya tekuni saat ini: sastra, entrepreneurship dan yoga.
SASTRA
Jujur saja, saya memilih untuk les bahasa Inggris di kelas 6 SD karena berpikir kemampuan berbahasa Inggris ‘keren’. Berbahasa asing itu penuh prestise. Orang akan kagum pada orang yang lancar berbahasa asing terutama Inggris. Dan itu juga karena bahasa Inggris memberikan nilai jual jika hendak bekerja nanti. Saya akhirnya mantap untuk mengabdikan diri pada bahasa Inggris di usia semuda itu. Tidak ada pelajaran yang membuat saya tertarik begitu hebat selain bahasa Inggris. Tak peduli guru bahasa Inggris saya payah, guru saya galak, atau pengucapannya amburadul, saya masih tetap menyukai bahasa Inggris. Dan saya cuma membayangkan kelak kuliah di jurusan bahasa Inggris, tidak ada bayangan lain. Hanya itu.
Saya tiap malam, sejak usia TK, akrab dengan tontonan Barat yang berbahasa Inggris. Saat kakek menonton Remington Steele yang dibintangi Pierce Brosnan, saya ikut menonton. Sampai habis lewat tengah malam. Lalu ada Melrose Place, Beverly Hills 90210, Full House, Silk Stalking, Little House on the Prairie, dan semua film kartun animasi di sore hari. Semuanya berbahasa Inggris. Tak ada sulih suara alias dubbing. Saya ingat frase yang pertama kali saya pelajari dari serial Bonanza adalah “what’s the matter?” Dan subtitle menunjukkan “Ada apa?”
Semua pengaruh itu meresap dan tertancap hingga saya tanpa ragu memilih jurusan sastra Inggris saat kuliah. Sebenarnya saya juga memilih Hubungan Internasional dengan alasan bisa menjadi diplomat yang nanti juga menggunakan bahasa Inggris saat bekerja. Tetapi untunglah tidak diterima karena Tuhan tahu saya benci politik dan intrik-intrik.
Selama 4 tahun penuh saya masuk ke jurusan sastra Inggris dan saya resmi menderita sindrom Anglophilia ini. Semua hal yang saya baca, dengar, bahkan gumamkan dan pikirkan diusahakan dalam bahasa Inggris: menggerutu dalam bahasa Inggris, bersumpah serapah dalam bahasa Inggris, melamun dalam bahasa Inggris. Saya mati-matian meniru pengucapan yang benar, logat dan nada para penutur asli alias native speakers dengan sebaik-baiknya dengan harapan 100% bisa menjadi “Inggris seutuhnya” meski tahu itu musykil semata.
Belum cukup 4 tahun, saya melanjutkan 3 tahun di studi magister saya yang konsentrasinya juga sastra Inggris. Saya berharap bisa menjadi “Inggris yang mabrur”. Entah kenapa saya bisa sedemikian terbiusnya. Saya hanya tahu saya suka. Alasannya? Saya tidak bisa jelaskan secara logis. “Suka ya suka. Titik,”begitu mungkin kalau saya didesak mengatakan alasannya. Kalaupun saya bisa menjawab karena faktor X, faktor Y, itu semua hanya karena ingin tidak terlihat bodoh saja. Semuanya ini saya lakukan secara naluriah. Saya tak punya penjelasan logis untuk menjelaskan kegilaan saya pada bahasa dan budaya Anglo-saxon ini. Semua yang berbau Inggris dan Amerika Serikat rasanya merangsang saya untuk mempelajarinya lebih lanjut.
Kegilaan anglophiliac itu berlanjut terus sampai sekarang, saat saya bekerja sebagai penerjemah. Saya pun menjadi penerjemah bahasa Inggris ke Indonesia dan semua bacaan saya tiap hari bahasa Inggris. Konsekuensi pekerjaan yang tak mungkin dihindari.
Namun, di saat senggang entah kenapa saya juga tertarik membaca buku-buku berbahasa Inggris. Salahkan toko buku Periplus yang ada di lobi gedung kantor saya. Letaknya begitu dekat, tak habis 5 menit untuk menjangkaunya dari meja kerja saya di lantai 39.
Di sastra dan dunia kepenulisan, saya juga merasakan nuansa anglophilia yang kental. Misalnya, semua buku berbahasa Inggris rasanya lebih mahal dari yang berbahasa Indonesia. Di Periplus, “Madre” karya Dewi Lestari cuma 60 ribuan. Sementara yang karya berbahasa Inggris bisa 100 ribu lebih. Bahkan karya Pramudya Ananta Toer dan Umar Kayam dan Andrea Hirata yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris juga harganya lebih mahal daripada versi Indonesianya. Tentu karena harus ditambah biaya penerjemahan juga.
Setelah hadir di ASEAN Literary Festival hari ini di Taman Ismail Marzuki tadi, saya juga mencium atmosfer anglo-sentris. Mengutip kata-kata salah satu pembicara tadi,”Karya sastra berbahasa non-Inggris karya sastrawan negara-negara yang tidak memiliki tradisi bahasa Inggris berpeluang lebih tinggi untuk diorbitkan ke kancah dunia jika setidaknya sinopsisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.” Wow, sebegitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sebagai medium di dunia sastra! Bahkan sering karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa non-Inggris harus diterjemahkan ke bahasa Inggris dulu baru kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa lain. Inilah yang disebut penerjemahan cara “relay”, seperti lari estafet. Makna dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Dan bahasa Inggris menjadi mata rantai utama dalam arus estafet makna ini.
ENTREPRENEURSHIP
Sama saja. Di dunia wirausaha dan keuangan, semua masih berkiblat ke pusat-pusat bisnis di negara Anglo-saxon (AS dan Inggris). Siapa yang tidak mau sesukses alm. Steve Jobs, sekaya Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, Jan Koum? Semua entrepreneur hebat dunia rasanya cuma ada di satu tempat: Silicon Valley. Alhasil, banyak negara berlomba meniru Silicon Valley. Mereka ingin mengembangkan Silicon Valley di negara mereka sendiri-sendiri. Sebuah tempat yang dipadati dengan kantor-kantor startup digital dan teknologi yang ‘keren’, menghasilkan banyak uang dengan berbekal kemampuan coding dan pemrograman, kecerdasan teknologi dan sebagainya. Dulu di Depok pernah berhembus kabar akan didirikan semacam pusat komunitas entrepreneur dan startup digital yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Indonesia. Lalu ada di Yogya juga ide semacam itu. Apakah berhasil? Entahlah, saya tak begitu yakin.
Saat saya menghadiri acara diskusi bersama Saras Sarasvathy (pengajar entrepreneurship dan etika di Darden’s MBA Program, Amerika Serikat), ia juga mengatakan bahwa para entrepreneur di Asia dan negara berkembang lainnya masih belum banyak “bersuara” di kancah dunia. Asia masih menjadi seperti “misteri”, kata Saras. Itu karena entrepreneur di Asia masih percaya bahwa kiblat ada di Amerika dan Inggris, menganggap bahwa semua tren dan hal yang berasal dari sana juga pasti akan cocok dan “menjual” di sini. Entrepreneur negara-negara berkembang juga lebih suka mengadopsi ide-ide bisnis dari AS karena mereka yakin itu “keren” dan disukai konsumen domestik. Kalaupun tak mengadopsi mentah-mentah, mereka akan memberikan sedikit penyesuaian agar lebih disukai konsumen dalam negeri, dan penyesuaian itu biasanya berarti “penurunan” dalam banyak hal terutama kualitas, kenyamanan, keandalan, dan sebagainya.
Dan harus diakui bahasa Inggris juga berperan untuk membuat kiprah para entrepreneur negara berkembang lebih terdengar di dunia internasional. Teman saya misalnya mengeluhkan situs perusahaan yang tidak menyediakan konten berbahasa Inggris, padahal konten berbahasa Inggris diperlukan untuk menyampaikan ide dan pemikiran ke kalangan yang tidak familiar dengan bahasa Indonesia.
Tragisnya, bagi entrepreneur Indonesia yang kemampuan berbahasa Inggrisnya rendah, kemampuan mereka melaju ke kancah dunia juga menurun. Seperti yang saya saksikan dalam sebuah lomba pitching, sebagian entrepreneur yang berbahasa Inggris bagus bisa memukau calon investor, sisanya memprihatinkan dan kurang menakjubkan karena penyampaian dalam bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Ini juga berkaitan dengan banyaknya investor asing dari luar yang masuk ke Indonesia. Dan rata-rata adalah penanam modal dengan hubungan langsung atau tidak langsung ke negara-negara Anglo-saxon.
YOGA
Bahkan di dalam yoga yang notabene asalnya dari India, nuansa Anglophilia sangat “menusuk.” Jika dulu orang hanya mempelajari yoga dari teks-teks kuno berbahasa Sansekerta, kini buku-buku terkaya, terbaik, terlengkap serta terlaris tentang yoga justru ada dalam bahasa Inggris. Ambil contoh buku ‘canon’ atau bible-nya para yogi saat ini: Light on Yoga. Tulisan Yehudi Menuhin ini dibuat dengan mengumpulkan ekstrak pemikiran B. K. S. Iyengar lalu mendokumentasikannya dalam bahasa Inggris.
Guru-guru yoga dari AS juga merajai berbagai perhelatan yoga di tanah air. Lihat saja Namaste Festival. Orang lebih tertarik mengikuti kelas guru-guru asing dari AS yang berbahasa Inggris daripada guru-guru lokal, dengan alasan mengikuti kelas guru lokal lain waktu juga bisa, tidak harus sekarang. Dan guru-guru asing ini mematok harga workshop yang fantastis. Setiap orang bisa diharuskan bayar Rp1 juta hanya untuk 6-8 jam mengikuti pelatihan. Untuk biaya pelatihan guru yoga, harganya bisa lebih mahal lagi karena jamnya jauh lebih panjang.
Sertifikasi guru yoga juga dibuat oleh Yoga Alliance, sebuah organisasi yang bertujuan membuat standarisasi dalam profesi guru yoga agar tidak semua orang bisa mengklaim sebagai “guru yoga yang berpengalaman.” Namun, di sisi lain sertifikasi ini menimbulkan polemik juga karena tak semua guru bersertifikat ternyata kompeten dan tidak semua guru tanpa sertifikat tidak kompeten dalam mengajar. Buah simalakama memang.
Like this:
Like Loading...