Zero to One: Catatan Kampus yang Berisi Pemikiran Seorang Jenius

‎Blake Masters mungkin tak pernah menyangka catatan kuliahnya akan dibaca jutaan orang di dunia. Masters duduk di bangku kuliah Stanford Law School di tahun 2012, saat entrepreneur super sukses Peter Thiel menyambangi kampusnya untuk berbagi ilmu dan wawasan. Dengan tekun sekali, Masters mencatat pemikiran-pemikiran sang guru dalam catatan kuliahnya yang bertajuk “Computer Science 183: Startup”. Catatannya itu ia unggah ke dunia maya dan abrakadabra! Begitu banyak orang membacanya. Thiel pun turun tangan. Ia mengajak Masters merevisi catatan kuliah yang begitu bermanfaat itu bagi audiens global. Tahun 2014, buku ini pun lahir dan siap dikonsumsi pasar.

Dalam sebuah kesempatan, Thiel pernah mengatakan bahwa ia TIDAK menganggap kemajuan teknologi seperti iPhone sebagai suatu inovasi. ‎Tidak ada sesuatu yang benar-benar baru dan segar serta aneh dari iPhone yang telah sampai ke seri keenam itu. Bukan berarti ia benci terhadap semua perkembangan teknologi informasi yang terjadi dengan pesat ini, tetapi Thiel yakin bahwa semua itu cuma kemajuan horisontal. Thiel mau kemajuan vertikal yang lebih banyak terjadi dalam kehidupan kita sekarang. Dan buku ini tampaknya memiliki misi untuk menanamkan pemikiran itu dalam benak para pembacanya, yaitu agar mereka terdorong membuat sesuatu yang baru dan aneh. Bukan cuma mengekor dan memperbanyak sesuatu yang sudah ada dan sudah terbukti sukses.

Sebagai sebuah himpunan informasi , buku ini memang berbeda. Bagi penyuka buku dengan judul yang berpola bombastis seperti “kiat sukses (masukkan ambisi apapun yang Anda mau)”, atau “rahasia menuju (ketikkan cita-cita paling muluk-muluk yang Anda pernah bayangkan), saya sarankan jangan membeli buku ini. Pasti Anda akan kecewa. Anda juga tidak akan menemukan formula-formula sukses dari Thiel atau kumpulan kisah keberhasilan yang standar, monoton dan bisa ditebak yang digemari kebanyakan orang. Itu karena buku ini menyasar mereka yang mau diajak berpikir berat, sangat berat.

Yang menarik, Thiel berpendapat entrepreneurship tidak dapat diajarkan hanya dengan menyuguhkan formula, akronim, rumus atau jargon ‎penjamin sukses. Dalam sekapur sirih di awal buku, Thiel menjelaskan:”Paradoks dalam mengajarkan entrepreneurship ialah bahwa formula (untuk sukses -pen) tidak ada; karena tiap inovasi itu baru dan unik, tidak ada pihak yang bisa merumuskan dalam istilah nyata cara untuk berinovasi. Sungguh, satu-satunya pola yang paling menonjol yang saya ketahui ialah bahwa orang-orang sukses menemukan nilai di tempat-tempat yang tidak terduga, dan mereka melakukan itu dengan memikirkan mengenai bisnisnya dari prinsip-prinsip pertama daripada (mengandalkan -pen) formula-formula” (Zero to One, hal 2-3).

Zero to One yang terdiri dari 14 bab itu membuat kita berpikir keras untuk memahami hakikat teknologi, perkembangannya, kegunaan sejatinya bagi kemaslahatan manusia, dan lain-lain. Thiel mungkin dapat dikatakan sebagai filsuf teknologi abad modern karena ia menggunakan sejumlah sudut pandang keilmuan di dalam penjelasannya. Dalam bab “You Are Not a Lottery Ticket” misalnya Thiel memakai tinjauan sejarah, budaya, psikologi dan ekonomi dalam menjelaskan 4 kelompok besar berdasarkan perspektif terhadap masa depan. Di sini ia mencomot sejarah bangsa-bangsa dan masyarakat besar dunia untuk memberikan gambaran lengkap mengenai pemikiran dan sikap yang berbeda-beda dalam memandang masa depan. Anda bisa menemukan penjelasannya di halaman 62.

Dalam bab pamungkas “Stagnation or Singularity?”, Thiel mencoba mengajak kita kembali berpikir dan mengambil simpulan besar. Dari sana, ia mendorong kita yang membaca untuk bertindak dengan memberikan tugas agung. Berikut kalimatnya di halaman terakhir buku itu:

“Tugas kita saat ini ialah menemukan cara-cara tunggal dalam membuat hal-hal baru yang akan membuat masa depan tidak cuma berbeda tetapi juga lebih baik – naik dari nol menjadi satu. Langkah pertama dan utamanya yaitu berpikir untuk diri Anda. Hanya dengan memandang dunia kita dengan cara baru, sesegar dan seaneh para leluhur memandangnya pertama kali dahulu kala, baru kita bisa menciptakannya kembali dan melestarikannya untuk masa depan”. (Zero to One, hal 195)

‎Setelah membaca buku ini, perspektif kita mengenai entrepreneurship tak akan pernah sama lagi. Tiba-tiba kita menjadi lebih kritis untuk bertanya,”Benarkah mereka yang dilabeli atau mengklaim diri sebagai entrepreneur itu betul-betul entrepreneur? Atau cuma hebat dalam menjual dan mengemas lalu mengeruk untung untuk ditimbun? Apakah inovasi yang selama ini dibangga-banggakan itu sungguh suatu inovasi sejati yang mengarah ke atas (vertikal)? Atau jangan jangan cuma ilusi yang Thiel sebut sebagai kemajuan horisontal?”

“Hatching Twitter”: Dinamika Startup dalam Balutan Sastrawi

Jurnalis dan kolumnis New York Times Nick Bilton bisa dikatakan berhasil menciptakan sebuah biografi yang menarik. Hanya saja, karyanya yang satu ini bukan biografi yang membahas mengenai kehidupan satu individu. Bilton menuliskan Hatching Twitter, sebuah rentetan sejarah startup legendaris yang kerap disebut bersamaan dengan Facebook sebagai dua penguasa besar dunia jejaring sosial di dekade kedua abad ke-21. Ia menuliskan secara runut dinamika Twitter yang sebagaimana startup lainnya juga mengalami banyak momen-momen dramatis. Riwayat Facebook telah diprofilkan dalam film “The Social Network”. Sayangnya, Twitter belum. Namun, siapa tahu ada rumah produksi yang tertarik mengadaptasi karya Nick Bilton ini menjadi sebuah karya sinematografi yang elok dan sedap dihayati?

Entah disengaja atau tidak, Nick Bilton menurut pandangan saya sudah menggunakan metode penulisan yang berhasil membuat naskahnya menjadi lebih filmis, alias layak dijadikan sebagai film. ‎Di sini, ia mengabaikan aspek-aspek kaku yang biasa dijumpai dalam dunia entrepreneurship dan bisnis. Anda sama sekali tidak akan menemukan kosakata khas keuangan seperti IPO, saham, atau sebagainya. Dengan begitu, tidak berlebihan kalau saya katakan buku ini bisa dikonsumsi siapa saja, tanpa membuat dahi berkerut, tanpa harus mencari kata yang asing di Google, tanpa harus merujuk glosarium. Singkat kata, Bilton meramu perjalanan Twitter hingga menjadi seperti sekarang agar mudah dicerna masyarakat awam, anak-anak sekolah dasar yang sudah bisa membaca sekalipun.

Pertama kali membaca, saya sudah bersiap untuk berpikir memahami kalimat-kalimatnya yang teknis dan pelik. Setelah banyak membaca artikel-artikel panjang di blog-blog teknologi dan startup seperti TechCrunch, Gizmodo, Pando, dan Recode‎ yang kadang tidak jelas konteksnya, saya merasa lebih nyaman membaca penuturan Bilton yang sangat sastrawi.

Jelas Bilton menanggalkan gaya bertutur seorang kolumnis dan jurnalis, serta mengadopsi gaya storytelling yang membuat alur dalam buku ini terkesan mengalir seperti aliran air. Karena menulis tentang Twitter, Bilton juga menggunakan jargon khas jejaring sosial itu. Dalam judul dan sub-judulnya, Bilton menuliskan tagar (hashtag) seperti #START untuk menandai bab pengantar yang berisi penjelasan kondisi Twitter tanggal 4 Oktober 2010 pukul 10.43 pagi. Terdepaknya CEO Evan Williams diceritakan di sini. Detil-detil remeh yang sebelumnya hanya diketahui pihak internal Twitter‎ kini terkuak dan justru menjadi kekuatan dari kisah itu karena Anda para pembaca bisa merasakan gejolak emosi para pelaku dalam kisah nyata itu. Misalnya, Anda bisa menemukan detil menarik di bab #START, saat Evan Williams merasa mual dan ingin muntah setelah “ditendang” dari kursi CEO dalam sebuah kudeta di ruang rapat direksi Twitter yang “berdarah”. Istrinya Sara yang juga bekerja di sana menghampiri Evan yang memiliki akun @ev dan bertanya,”Bagaimana perasaanmu?” Evan menjawab,”Sial (Fuck).” Ia harus mengumumkan pengunduran dirinya itu sembari memperkenalkan seorang suksesor, Dick Costolo.

Saya suka dengan gaya penulisan seperti ini. Sangat GQ. Maksud saya, mirip dengan gaya menulis para jurnalis Majalah GQ. Tulisan mereka berdasarkan fakta, bernilai jurnalistik, tetapi memiliki nilai sastrawi yang tinggi. Penuturannya lewat perspektif orang pertama. Di buku ini, sudut pandang orang ketiga tunggal dipakai agar penulis lebih bebas merangkai potongan-potongan kisah yang ia dapatkan dari “beberapa ratus jam wawancara dengan para pegawai dan eksekutif Twitter dan Odeo dan teman eksekutif, pejabat pemerintah, diskusi dengan hampir semua orang yang namanya disebut di dalam buku serta para pesaing mereka‎.” Jadi bisa dibayangkan betapa keras kerja Bilton mengumpulkan fakta dan informasi yang terekam dalam berbagai email internal, rekaman wawancara dan tentu saja data di jejaring sosial Twitter. Ia mengklaim telah memastikan kebenaran tempat, waktu terjadinya kejadian dengan melacaknya di Twitter.

Hatching Twitter cocok untuk Anda yang ingin membaca sesuatu yang bermakna tanpa harus banyak berpikir keras mengenai bisnis dan entrepreneurship. Anda akan dimanjakan dengan penuturan sisi-sisi humanis para entrepreneur ini, yang tentunya jarang dibeberkan di tulisan para jurnalis teknologi yang biasa menyorot angka dan data, untung dan rugi, tren dan pelemahan, dan hal-hal lain yang sangat jurnalistik.

Membaca buku ini membuat saya juga ingin bertanya,”Siapa yang perjalanan startupnya mau saya tulis jadi buku ya?” Seandainya ada yang bersedia.

On Being More Entrepreneurial without Becoming an Entrepreneur

Writing for an entrepreneurship website for the last 4 years made me in some way think about how overly hyped entrepreneurship has become these days. So overly hyped it resembles a new faith in the modern world, with Silicon Valley hugely successful entrepreneurs and CEOs as its gods and goddesses, seasoned entrepreneurs as priests, saints and prophets, and then new fledgling ones scattered all over the world as followers. And as historians, journalists are standing, observing, criticizing and praising over the time while taking notes on who should be the winners and losers along with the recounts of dynamics.

Awesome. Simply awesome.

Yet, I can’t tell I want to be an entrepreneur after listening and witnessing how they can transform into a profitable business entity in several years.

As Sarah Lacy of Pando.com put it, NOT everyone should be an entrepreneur (my editor deemed the line to be too risky as a title, and chopped it out). Not everyone should be a professional singer, or writer or basket player eventually but definitely anyone can sing or write or play basketball as they desire. I cannot agree more on that. She has a clear point on why transforming everyone into an entrepreneur is ridiculously impossible. And to me it could be a tragic attempt at making a nation more prosperous and developed. Even if you have pots of money saved in a limitless bank account to fund the entrepreneurship programs in a random, sporadic, moody, unplanned kind of fashion, you’ll only tire yourselves because there’ll be hardly tangible, satisfactory results. Ever. But kudos to those who initiated anything like this. I by no means look down on them and their hard work but I advise they go find better strategies.

But of course, apart from that controversy, anyone can still be more entrepreneurial without having to be an entrepreneur him/herself. In fact, s/he can just learn to improve life quality by using some simple but efficacious ‘innovations’ (you don’t know how terribly I’m cringing every time I – with zillions of people out there – abuse this magic word INNOVATION. For God’s sake!)

Someone invented the word “intrapreneur” to refer to employees with a streak of entrepreneurial spirit in them. They’re not the bosses but they think, speak and work like their employers. Under a controlled situation, they can be a huge asset to companies or startups they work for. But once they’re fed up and too brutal for employers to handle, they may launch a startup after leaving the company. Intrapreneurs are like entrepreneurs but in a milder version. Pseudo entrepreneurs, if I might say. They might be the phase an entrepreneur has to go through before hatching as a real one.

There’re other cases where you can see the recurring pattern as follows:
[Insert a word you like] + PRENEUR

Hence, we can discover a plethora of portmanteau words like mompreneurs (mommies + entrepreneurs), writerpreneurs (writers + entrepreneurs), and the list goes on.

How on earth can this be happening? Do they only want to show you how ‘tamed’ and lovely entrepreneurship is so it can be every word’s tandem? My hunch is they just won’t do it (making up these new words) to kill time. These people do want to be entrepreneurs but something holds them back to plunge in as a typical tech entrepreneur you easily find on mainstream media and blogs because it’s too far away and thus scary and intimidating. It’s their dedication, love or adoration of certain disciplines or walks of life that encourage them to be more wealthy or self sufficient or to be able to change the world in THEIR own manners, way different from the typical entrepreneurs like Mark Zuckerberg. Their definition of entrepreneurship is different from the Silicon Valley’s. Like me. I don’t want to be like Zuckerberg, as I know well I’m not playing to my strength by aiming high in tech realm. I naturally won’t do it. Rather, being a writerpreneur seems more reasonable and more friendly a way to approach entrepreneurship because writing is my biggest passion of all. It’s ok if I don’t make as much money as Ms. Rowling or Meyer or Steele, because I only need to earn a living for myself and my future family. If it works, good for me, I can develop. If it fails, no hurt feelings. Start again by consistently perfecting the writing skills and selling the hard-earned skills I’ve built up for years. So, to writerpreneurs their writing passion is the priority. Likewise, mompreneurs would be unwilling to relinquish their motherhood only for a handsome sum of money. It’s their being moms which matters most in their life. Business comes second.

What I’m trying to say is just be what you really are and approach entrepreneurship however you like and find most convenient. It’s ok to be pseudo-entrepreneurs like intrapreneurs or mompreneurs if it really fits your situation. Not an excuse, but a situation.

Jika Menulis Jadi Otomatis (Tren Robot Penulis Berita)

Berhati-hatilah dengan impian dan harapan Anda. Begitu kata pepatah dari negeri China. Jika Anda bekerja sebagai pewarta, dan Anda pernah mengeluhkan betapa beratnya beban kerja Anda selama ini (misalnya karena harus turun ke lapangan, mengejar narasumber, menjalani piket/ shift malam dan dini hari yang membuat jam tidur kacau balau) dan ingin proses membuat berita menjadi semudah mengayunkan tongkat sihir dan mengucapkan mantra, selamat! Impian Anda sudah terwujud.

Beberapa waktu lalu saya pernah membaca sebuah artikel tentang bagaimana menulis buku yang praktis, yang ternyata dilakukan dengan bantuan software tertentu. Saya anggap ‘inovasi’ itu sungguh absurd. Jikalau memang teknologi semacam itu akan marak nantinya, tak serta merta ia bisa menjamin kualitas buku yang dihasilkan. Tetap saja harus ada campur tangan manusia dalam prosesnya. Otomatisasi tidak akan bisa seratus persen menggeser peran penulis dan segenap intelejensia, pengalaman, gagasan dan emosi mereka yang khas dan tiada duanya. Inilah yang tidak akan bisa dimiliki oleh buku-buku yang dihasilkan dengan mekanisme otomatis semacam itu, terka saya. Intinya, software itu tetap tidak bisa menggantikan peran para penulis buku fiksi dan non-fiksi.

Itu pula yang terpikir saat saya mengetahui dua media di Amerika Serikat mulai mengadopsi teknologi dalam proses penyusunan berita mereka dengan lebih inovatif. Los Angeles Times dan Associated Press dikabarkan telah menerapkan robo-journalism dalam proses produksi artikel berita mereka.

Sejak Maret 2014 media Los Angeles Times, yang menjadi pers lokal bagi kota Los Angeles yang dikenal sebagai kota yang kerap digoyang gempa bumi, menghadirkan inovasi berupa Quakebot, sebuah software karya Ken Schwencke yang selain bekerja sebagai jurnalis juga adalah seorang programmer andal. Konon hanya diperlukan waktu 3 menit untuk menyusun sebuah artikel berita gempa, yang relatif lengkap dan memenuhi syarat jurnalistik 5W (who, why, what, where, when) dan 1H (how).

Sementara itu, Associated Press sejak bulan Agustus 2014 telah menggunakan software penulis berita Wordsmith buatan startup Automated Insights yang bertugas merangkum berbagai laporan finansial korporasi. Dengan Wordsmith, tugas pewarta AP jauh lebih ringan. Bila dikerjakan manual, pastinya akan lebih memakan waktu dan energi. Dalam kasus AP, teknologi diperlukan untuk efisiensi kerja dan penyajian berita.

Bagaimana proses software Wordsmith mengolah berita hingga siap saji? Pertama, data mentah dijaring dari pelanggan, penyedia data pihak ketiga dan repositori publik seperti jejaring sosial. Banyak sekali format data yang bisa dijaring sehingga akurasi dan kelengkapannya relatif tinggi. Selanjutnya, dilakukan telaah data yang terkumpul dengan bantuan matriks canggih pendeteksi tren menarik dan menempatkannya dalam konteks sejarah. Kemudian data akan diidentifikasi dan dibandingkan dengan data lain yang sudah ada sebelumnya. Tahap berikutnya yaitu penyusunan struktur dan format laporan. Di sini, algoritma akan menyusun kalimat-kalimat untuk menghasilkan jenis format berita yang dikehendaki, misalnya narasi panjang, artikel pendek, visualisasi, tweet, berita dan sebagainya. Akhirnya, laporan tadi siap dipublikasikan secara real time via API, Twitter, email, laman web dan perangkat digital. Tugas editor hanya memberikan polesan akhir agar artikel tampak natural saat dibaca.

Kalau begitu mudah membuat berita sekarang, apakah para jurnalis tidak lagi dibutuhkan di masa datang? Editor pelaksana berita bisnis Associated Press Lou Ferrara tidak sepakat. Ia beropini bahwa robo-journalists ini justru memberikan banyak jurnalis manusia untuk melepaskan beban pemberitaaan yang simpel untuk lebih berfokus pada penyusunan berita-berita yang lebih mendalam. Argumen Ferrara menurut hemat saya memang cukup beralasan. Alih-alih membuat jurnalis kehilangan pekerjaan, inovasi robo-journalists justru harus dianggap sebagai pembebas dari rutinitas menulis berita yang membosankan dan itu-itu saja. Jurnalis tampaknya memang makin didesak untuk bisa berpikir dan menulis dengan sudut pandang yang khas dan pembahasan yang lebih analitis karena inilah yang tidak bisa dilakukan robot-robot itu!
Mengamini pernyataan Ferrara, Ken Schwencke dari LA Times juga menandaskan bahwa robo-journalists hanya melengkapi keberadaan human-journalists. Justru inovasi ini akan “membuat pekerjaan semua orang lebih menarik”, ujarnya.

CEO Automated Insights Robbie Allen juga memberikan pernyataan serupa, bahwa software buatannya bukan dirancang sebagai pengganti jurnalis manusia. Allen menambahkan kelebihan robo-journalists hanya ada pada ketepatan dan kecepatan pengolahan data. Sementara gaya bahasa, gaya penulisan dan sebagainya cuma bisa dihasilkan oleh human-journalists. Tugas robo-journalists jelas hanya menyajikan data agar lebih cepat dan layak baca. Titik.

Karena itu, jika Anda seorang pewarta yang setiap hari hanya bekerja untuk menyalin tempel artikel berita atau cuma menyadur tanpa membubuhkan kepribadian Anda di dalamnya, rasanya Anda harus siap-siap ditelan persaingan oleh robo-journalists ini.

Saya teringat dengan kata-kata jurnalis teknologi AS Kara Swisher, bahwa banyak jurnalis menyajikan berita dengan cara yang membosankan pembaca. Besar kemungkinan kemunculan robo-journalists akan memberangus jurnalis-jurnalis semacam ini, karena seberapapun cepat otak mereka bekerja dan jari jemari mereka mengetik, tetap saja tak akan bisa mengalahkan software-software seperti Wordsmith atau Quakebot. Maksudnya membosankan mungkin adalah penyajian yang mengikuti pola atau template tertentu, yang terus menerus berulang dan tak berubah. Alur cerita dalam berita juga relatif mudah ditebak. “Setelah itu, pasti membahas ini, ah basi,” begitu gumam pembaca. Tidak heran mereka juga bekerja seperti robot! Pastilah penyajiannya lebih kaku.

Dan satu poin yang menjadi perhatian bagi mereka yang mengaku jurnalis – bila mereka tak ingin tersingkir – adalah perhatian yang harusnya makin besar untuk membangun pemikiran sendiri dan tidak segan untuk menunjukkan kepribadiannya. Elemen kepribadian ini menjadi sorotan terutama jika Anda bekerja sebagai jurnalis online atau blogger. Tanpa kepribadian yang unik, karya-karya Anda akan kurang menarik minat pembaca. Bahkan jika kepribadian itu sangat sarkastis, atau emosional sekalipun, jangan ragu untuk menampilkannya dalam tulisan Anda. Karena kepribadian inilah yang sampai kiamat pun tidak akan bisa dimiliki oleh robo-journalists yang secanggih apapun. Contohnya, kata Swisher, adalah para jurnalis cum blogger teknologi di TechCrunch.com pasca keluarnya Michael Arrington, Sarah Lacy cs. Meski blogger-blogger TechCrunch itu kerap diremehkan dengan alasan memiliki bias atau sikap kurang objektif serta kurang piawai menggunakan prinsip jurnalisme dalam penulisan konten mereka, toh orang-orang itu sanggup menunjukkan kepribadian mereka yang menarik via jejaring sosial dan konten-konten yang mereka tampilkan. Tentu saja kata “menarik” di sini bersifat nisbi. Namun, yang patut digarisbawahi adalah bahwa kepribadian mereka menjadi salah satu faktor daya jual atau selling point yang turut mengungkit pamor konten berita yang disusun.

Jadi apakah masih ingin menjadi wartawan biasa-biasa saja? Itu terserah Anda. Namun alangkah baiknya bila mau berubah sebelum binasa.

Kara Swisher: Journalists Need to Be More Entrepreneurial, Too!

Kara Swisher, one of the best tech journalists ever lived (Image credit: Wikimedia.org)

So Kara Swisher urges journalists to be more entrepreneurial. She said so during her interview with Jason Calacanis as a response to a question from one of the people in the audience whether there is still more room for aspiring professional journalists out there trying to make a living and a lifelong career. She even got more convinced that there is more demand for high quality professional journalists. As she put it, it would “double.”

With a catch, that is to say that we journos have got to be “more entrepreneurial and creative,” she added. And I have to say she has got the point! Journalists are a bunch of people who are so familiar with risk taking and therefore could be great entrepreneurs.

Swisher also raised a question:”Does anyone have to be entrepreneurial now?” She thought so. Journalists to some extent have to be using their creativity and entrepreneurial spirit in some way to make their own living and to create more jobs for other people. To add, Swisher strongly believed that any successful people in the future has to have that streak of entrepreneurship in their mind.

“Journalists just have to be entrepreneurial like the rest of the world. […] They kind of do. You can do it in all the job. You just cannot go to an office now and sit there and do the same thing. Successful people in the future have an element of entrepreneurship no matter what they are in.”- Kara Swisher

Swisher, who is an American technology columnist for the Wall Street Journal, a co-founder of Re/Code  and commentator on the Internet, emphasized later on that to survive on the web, one needs to be either delightful and useful. It applies to apps and services like Twitter (which she claimed a lit bit of both), Instagram (delightful). Journalism, in order to thrive more in the future, has to be simultaneousy delightful and useful. Too many journalists are only pouring out too much information in a boring way. “You need to make information interesting!” Swisher almost screamed.

How to make our pieces more interesting?

She implied: write with interests, with analyses, with researches.

Anglophilia dalam Sastra, Entrepreneurship dan Yoga

Pertama kali saya mendengar istilah “anglophilia” adalah saat saya duduk di semester 6. Istilah ini merujuk pada kekaguman terhadap budaya dan adat Inggris dan masyarakat Inggris, intinya semua yang berbau Inggris (dan Amerika Serikat, karena secara historis Inggris juga menjadi nenek moyang sebagian warga AS). Saat itu dosen mata kuliah Kritik Sastra memberikan novel untuk dibahas. Novel itu berjudul “The God of Small Things” yang dikarang Arundhati Roy. Novel itu bertemakan kehidupan masyarakat di sebuah daerah di India yang sarat pemujaan dan kekaguman terhadap segala hal yang berbau Inggris (Barat). Seseorang dikatakan terpelajar dan cerdas serta berwawasan luas bila ia mampu menyerap pemikiran ala Inggris dan berprilaku layaknya manusia Inggris, meski pada dasarnya mereka orang India asli dan lahir dan tinggal bahkan mati di India juga.

Indonesia, seperti India dan negara-negara bekas jajahan negara Eropa, juga menderita sindrom serupa. Tidak perlu memiliki kecerdasan yang luar biasa untuk merasakan betapa masyarakat Indonesia masih sangat amat berkiblat pada Barat (AS, Inggris dan Eropa pada umumnya). Kebudayaan Anglo-saxon memang begitu merajalela di dunia dan kita tidak perlu heran. Karena sejak berabad-abad yang lalu, bangsa-bangsa Eropa terutama Inggris sangat maju dalam pemikiran dan agresif mengeksplorasi dunia. Saat saya membaca novel The Signature of All Things karya Elizabeth Gilbert, misalnya, saya makin paham bahwa bangsa Inggris memang sangat mengagumkan (saya juga seorang penderita anglophilia). Mereka sangat berani, penuh strategi, bervisi dan misi yang jauh ke depan, penuh inisiatif, dan mau berkorban (tidak takut sengsara).

Hebat memang, tetapi di saat yang sama juga miris. Bagaimana dengan kita? Budaya kita, bahasa kita, adat istiadat kita?

Dominasi ini selalu tercium di 3 bidang yang saya tekuni saat ini: sastra, entrepreneurship dan yoga.

SASTRA
Jujur saja, saya memilih untuk les bahasa Inggris di kelas 6 SD karena berpikir kemampuan berbahasa Inggris ‘keren’. Berbahasa asing itu penuh prestise. Orang akan kagum pada orang yang lancar berbahasa asing terutama Inggris. Dan itu juga karena bahasa Inggris memberikan nilai jual jika hendak bekerja nanti. Saya akhirnya mantap untuk mengabdikan diri pada bahasa Inggris di usia semuda itu. Tidak ada pelajaran yang membuat saya tertarik begitu hebat selain bahasa Inggris. Tak peduli guru bahasa Inggris saya payah, guru saya galak, atau pengucapannya amburadul, saya masih tetap menyukai bahasa Inggris. Dan saya cuma membayangkan kelak kuliah di jurusan bahasa Inggris, tidak ada bayangan lain. Hanya itu.

Saya tiap malam, sejak usia TK, akrab dengan tontonan Barat yang berbahasa Inggris. Saat kakek menonton Remington Steele yang dibintangi Pierce Brosnan, saya ikut menonton. Sampai habis lewat tengah malam. Lalu ada Melrose Place, Beverly Hills 90210, Full House, Silk Stalking, Little House on the Prairie, dan semua film kartun animasi di sore hari. Semuanya berbahasa Inggris. Tak ada sulih suara alias dubbing. Saya ingat frase yang pertama kali saya pelajari dari serial Bonanza adalah “what’s the matter?” Dan subtitle menunjukkan “Ada apa?”

Semua pengaruh itu meresap dan tertancap hingga saya tanpa ragu memilih jurusan sastra Inggris saat kuliah. Sebenarnya saya juga memilih Hubungan Internasional dengan alasan bisa menjadi diplomat yang nanti juga menggunakan bahasa Inggris saat bekerja. Tetapi untunglah tidak diterima karena Tuhan tahu saya benci politik dan intrik-intrik.

Selama 4 tahun penuh saya masuk ke jurusan sastra Inggris dan saya resmi menderita sindrom Anglophilia ini. Semua hal yang saya baca, dengar, bahkan gumamkan dan pikirkan diusahakan dalam bahasa Inggris: menggerutu dalam bahasa Inggris, bersumpah serapah dalam bahasa Inggris, melamun dalam bahasa Inggris. Saya mati-matian meniru pengucapan yang benar, logat dan nada para penutur asli alias native speakers dengan sebaik-baiknya dengan harapan 100% bisa menjadi “Inggris seutuhnya” meski tahu itu musykil semata.

Belum cukup 4 tahun, saya melanjutkan 3 tahun di studi magister saya yang konsentrasinya juga sastra Inggris. Saya berharap bisa menjadi “Inggris yang mabrur”. Entah kenapa saya bisa sedemikian terbiusnya. Saya hanya tahu saya suka. Alasannya? Saya tidak bisa jelaskan secara logis. “Suka ya suka. Titik,”begitu mungkin kalau saya didesak mengatakan alasannya. Kalaupun saya bisa menjawab karena faktor X, faktor Y, itu semua hanya karena ingin tidak terlihat bodoh saja. Semuanya ini saya lakukan secara naluriah. Saya tak punya penjelasan logis untuk menjelaskan kegilaan saya pada bahasa dan budaya Anglo-saxon ini. Semua yang berbau Inggris dan Amerika Serikat rasanya merangsang saya untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Kegilaan anglophiliac itu berlanjut terus sampai sekarang, saat saya bekerja sebagai penerjemah. Saya pun menjadi penerjemah bahasa Inggris ke Indonesia dan semua bacaan saya tiap hari bahasa Inggris. Konsekuensi pekerjaan yang tak mungkin dihindari.

Namun, di saat senggang entah kenapa saya juga tertarik membaca buku-buku berbahasa Inggris. Salahkan toko buku Periplus yang ada di lobi gedung kantor saya. Letaknya begitu dekat, tak habis 5 menit untuk menjangkaunya dari meja kerja saya di lantai 39.

Di sastra dan dunia kepenulisan, saya juga merasakan nuansa anglophilia yang kental. Misalnya, semua buku berbahasa Inggris rasanya lebih mahal dari yang berbahasa Indonesia. Di Periplus, “Madre” karya Dewi Lestari cuma 60 ribuan. Sementara yang karya berbahasa Inggris bisa 100 ribu lebih. Bahkan karya Pramudya Ananta Toer dan Umar Kayam dan Andrea Hirata yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris juga harganya lebih mahal daripada versi Indonesianya. Tentu karena harus ditambah biaya penerjemahan juga.

Setelah hadir di ASEAN Literary Festival hari ini di Taman Ismail Marzuki tadi, saya juga mencium atmosfer anglo-sentris. Mengutip kata-kata salah satu pembicara tadi,”Karya sastra berbahasa non-Inggris karya sastrawan negara-negara yang tidak memiliki tradisi bahasa Inggris berpeluang lebih tinggi untuk diorbitkan ke kancah dunia jika setidaknya sinopsisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.” Wow, sebegitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sebagai medium di dunia sastra! Bahkan sering karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa non-Inggris harus diterjemahkan ke bahasa Inggris dulu baru kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa lain. Inilah yang disebut penerjemahan cara “relay”, seperti lari estafet. Makna dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Dan bahasa Inggris menjadi mata rantai utama dalam arus estafet makna ini.

ENTREPRENEURSHIP
Sama saja. Di dunia wirausaha dan keuangan, semua masih berkiblat ke pusat-pusat bisnis di negara Anglo-saxon (AS dan Inggris). Siapa yang tidak mau sesukses alm. Steve Jobs, sekaya Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, Jan Koum? Semua entrepreneur hebat dunia rasanya cuma ada di satu tempat: Silicon Valley. Alhasil, banyak negara berlomba meniru Silicon Valley. Mereka ingin mengembangkan Silicon Valley di negara mereka sendiri-sendiri. Sebuah tempat yang dipadati dengan kantor-kantor startup digital dan teknologi yang ‘keren’, menghasilkan banyak uang dengan berbekal kemampuan coding dan pemrograman, kecerdasan teknologi dan sebagainya. Dulu di Depok pernah berhembus kabar akan didirikan semacam pusat komunitas entrepreneur dan startup digital yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Indonesia. Lalu ada di Yogya juga ide semacam itu. Apakah berhasil? Entahlah, saya tak begitu yakin.

Saat saya menghadiri acara diskusi bersama Saras Sarasvathy (pengajar entrepreneurship dan etika di Darden’s MBA Program, Amerika Serikat), ia juga mengatakan bahwa para entrepreneur di Asia dan negara berkembang lainnya masih belum banyak “bersuara” di kancah dunia. Asia masih menjadi seperti “misteri”, kata Saras. Itu karena entrepreneur di Asia masih percaya bahwa kiblat ada di Amerika dan Inggris, menganggap bahwa semua tren dan hal yang berasal dari sana juga pasti akan cocok dan “menjual” di sini. Entrepreneur negara-negara berkembang juga lebih suka mengadopsi ide-ide bisnis dari AS karena mereka yakin itu “keren” dan disukai konsumen domestik. Kalaupun tak mengadopsi mentah-mentah, mereka akan memberikan sedikit penyesuaian agar lebih disukai konsumen dalam negeri, dan penyesuaian itu biasanya berarti “penurunan” dalam banyak hal terutama kualitas, kenyamanan, keandalan, dan sebagainya.

Dan harus diakui bahasa Inggris juga berperan untuk membuat kiprah para entrepreneur negara berkembang lebih terdengar di dunia internasional. Teman saya misalnya mengeluhkan situs perusahaan yang tidak menyediakan konten berbahasa Inggris, padahal konten berbahasa Inggris diperlukan untuk menyampaikan ide dan pemikiran ke kalangan yang tidak familiar dengan bahasa Indonesia.

Tragisnya, bagi entrepreneur Indonesia yang kemampuan berbahasa Inggrisnya rendah, kemampuan mereka melaju ke kancah dunia juga menurun. Seperti yang saya saksikan dalam sebuah lomba pitching, sebagian entrepreneur yang berbahasa Inggris bagus bisa memukau calon investor, sisanya memprihatinkan dan kurang menakjubkan karena penyampaian dalam bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Ini juga berkaitan dengan banyaknya investor asing dari luar yang masuk ke Indonesia. Dan rata-rata adalah penanam modal dengan hubungan langsung atau tidak langsung ke negara-negara Anglo-saxon.

YOGA
Bahkan di dalam yoga yang notabene asalnya dari India, nuansa Anglophilia sangat “menusuk.” Jika dulu orang hanya mempelajari yoga dari teks-teks kuno berbahasa Sansekerta, kini buku-buku terkaya, terbaik, terlengkap serta terlaris tentang yoga justru ada dalam bahasa Inggris. Ambil contoh buku ‘canon’ atau bible-nya para yogi saat ini: Light on Yoga. Tulisan Yehudi Menuhin ini dibuat dengan mengumpulkan ekstrak pemikiran B. K. S. Iyengar lalu mendokumentasikannya dalam bahasa Inggris.

Guru-guru yoga dari AS juga merajai berbagai perhelatan yoga di tanah air. Lihat saja Namaste Festival. Orang lebih tertarik mengikuti kelas guru-guru asing dari AS yang berbahasa Inggris daripada guru-guru lokal, dengan alasan mengikuti kelas guru lokal lain waktu juga bisa, tidak harus sekarang. Dan guru-guru asing ini mematok harga workshop yang fantastis. Setiap orang bisa diharuskan bayar Rp1 juta hanya untuk 6-8 jam mengikuti pelatihan. Untuk biaya pelatihan guru yoga, harganya bisa lebih mahal lagi karena jamnya jauh lebih panjang.

Sertifikasi guru yoga juga dibuat oleh Yoga Alliance, sebuah organisasi yang bertujuan membuat standarisasi dalam profesi guru yoga agar tidak semua orang bisa mengklaim sebagai “guru yoga yang berpengalaman.” Namun, di sisi lain sertifikasi ini menimbulkan polemik juga karena tak semua guru bersertifikat ternyata kompeten dan tidak semua guru tanpa sertifikat tidak kompeten dalam mengajar. Buah simalakama memang.

On The Dark Side of Entrepreneurship: Arrogance, Unkindness and Being a Total Jerk

I tell you, entrepreneurship not only brings money to you but also brings out the worst in you. You may think I’m ranting groundlessly but that holds true in a (relatively huge) number of cases.

Only this afternoon, I heard sickening news from my fellow worker. He offered this generous advertising offer to one of the best culinary franchises in the country. The 29-year-young owner himself answered the call. The company I work at is not a small emerging startup. It’s huge, but the Achilles heel of it is that it does not specializes in culinary businesses or advertising.  And he blew my coworker off just like that. The highly pragmatic CEO asked if he would get what from the ad. “What benefits can you deliver to us for certain? Can you guarantee?”  My hunch is the man was talking like a boss to my coworker. I can tell that from the way my coworker told the story. It was a tragic phone call to him.

I, along with probably millions of people in the country, know who this man is actually. We know him by the well-known franchise. I knew also they are now aiming to expand overseas, too. But in spite of all the success, does he has the right to dish a company, which happens to be a lot bigger than him? I don’t know. I don’t  wish to be judging. I’m a yogi and being judgmental is not taught in our class.

So I found myself reading this aspiring writeup nicely crafted by Vinod Khosla, a far more seasoned entrepreneur and investor in the mecca of entrepreneurship ‘universe’, Silicon Valley, than our cocky franchisor previously mentioned. He nicely put there, “What matters is that you don’t have to make the above tradeoffs.” The tradeoffs Khosla meant refers to the proposition which Ben Austen of WIRED.com wrote, that  “you can either be a jerk and successful or decent and mediocre.” A very tough choice uh?

Austen points out the two extreme poles of being an entrepreneur which embodies in the figures of two Steves: Steve Jobs and Steve Wozniak. These two Steve are perfect models of the proposition above. Jobs was a jerk and damn successful as a world-calibre entrepreneur. His net worth was billions of dollars or more than that (couldn’t care less), which he couldn’t make use of to help cure the cause of the death (pancreas tumor, if I’m not mistaken) or regain his life which only spanned around 56 years. Jobs, unlike other generous entrepreneurs, was depicted as someone with outstanding level of kindness and generosity. Arik Hesseldahl of BusinessWeek magazine stated that “Jobs isn’t widely known for his association with philanthropic causes”, compared to Bill Gates‘s efforts, as stated by Wikipedia.

And in the other side of the spectrum is Wozniak. As a scientist and programmer, Woz does ace academically. Look at his list of honorary doctorates:

Steve Wozniak’s Honorary Doctor of Engineering degrees

  • University of Colorado at Boulder — 1989
  • Kettering University — 2005
  • North Carolina State University — 2005
  • Nova Southeastern University — 2005
  • ESPOL University in Ecuador — 2008
  • Michigan State University — 2011
  • Concordia University in Montreal Canada — June 22, 2011
  • State Engineering University of Armenia — November 11, 2011
  • Santa Clara University — June 16, 2012

Besides all the achievements, Woz still alocates his time for charity and the like:

Since leaving Apple, Wozniak has provided all the money, as well as a good amount of on-site technical support, for the technology program in his local school district.[1] Un.U.Son. (Unite Us In Song), an organization Wozniak formed to organize the two US Festivals, is now primarily tasked with supporting his educational and philanthropic projects.[1] In 1986, Wozniak lent his name to the Stephen G. Wozniak Achievement Awards(referred to as Wozzie Awards), which he presented to six Bay Area high school and college students for their innovative use of computers in the fields of business, art and music.(Wikipedia)

So if I happen to be asked, which one I would like to become, I think I am inclined to becoming Mr. Wozniak. How about you? Have your say in the comment box below.

Sarah Lacy’s Story: “Stop Worrying. It’ll Turn Out OK”

SarahLacy.com | Welcome to a day in the life of a (Silicon) Valley girl.

Just read Mrs. Lacy’s career journey. Found it quite inspirational, to me.

A few weeks ago someone asked me if I could go back in time and give my 12 year old self advice, what it would be. The only thing I could come up with is: “Stop worrying. It’ll all turn out OK.”

And I keep thinking how true that actually is. Like most kids, I used to agonize in those (very) awkward years (and later) over whether I’d ever find someone to marry and what on earth I’d do for a living. And somehow, it did all turn out OK. Better than OK.

This is the happiest I’ve ever been in a full time job, I’ve been lucky enough to spend two years traveling the world, I’ve written two books, I’m married to the best person I’ve ever met, expecting a healthy baby boy in eleven weeks and somehow on a writer’s salary we’ve managed to buy a house in San Francisco. I can’t really imagine what more I could want. I even get along great with my in-laws. 

I owe a lot of people for that. My parents, of course. A bunch of teachers. And my awesome husband for marrying me and solving that whole soul mate dilemma.

When it comes to my career– the unbelievable fact that I get paid to write about some of the most fascinating people in the world– there are also a lot of people to thank. But chief among them is a man named Barney DuBois. A lot of people have been hugely pivotal during my reporting career, but without Barney it may never have even begun. 

Barney was the founder and publisher of the Memphis Business Journal, but I knew him first as the father of a girl I went to high school with. My senior year I was the editor of the high school paper. I know in retrospect that sounds like I always knew I’d do this, but believe it or not, I had no interest in going into journalism. In fact, it didn’t even occur to me. Back then I associated being a journalist with daily newspapers and writing stilted AP style pieces about school board meetings. That didn’t sound too enticing. (Probably didn’t help that Memphis didn’t have the world’s greatest daily paper.) 

 At any rate, as editor I inherited a huge deficit. We were still publishing the paper by moving print and it was expensive. We only had enough money to produce six four-page issues for the year. Lame. I decided to get someone in the community to “underwrite” the paper, and picked Barney as my target. He was the only person remotely in the journalism world I knew. 

So I nervously went to his office downtown and pitched him on an offer he couldn’t possibly refuse: Help us move our paper over to computers, send your staff to train my team how to use the programs, let us use your scanners, and let us piggyback on your print run. And throw in a redesign. In exchange I offered our paltry budget and a line in the staff box that said we were underwritten by the Memphis Business Journal. He accepted, clearly out of a mix of pity, amusement and obligation since his daughter went to my school. The Business Journal underwrote my highschool paper until they were sold to American City Business Journals years later, totally changing what the students were able to produce. 

Over that summer and my senior year of high school, we put out more papers than the school ever had, with longer page counts, vastly improved photos and graphics and still ended with a surplus. Every month around midnight, I’d finish wrapping up each issue in the school’s computer lab. (My family didn’t have a computer.) I’d go drop off the floppy disks and the photos at Barney’s house. He’d open the door– sometimes in a bathrobe, usually holding a glass of scotch, still working late on his own paper. And every month he’d say the same thing: “You’re going to be a reporter. It’s in your blood.” 

Every month I told him he was wrong. 

Fast-forward three years and I was taking a semester off college and utterly disillusioned with other careers I thought I’d go into. A summer working for Memphis City Council convinced me politics wasn’t for me and an internship at a law firm dissuaded me against law school. My parents were teachers, but I didn’t think that was quite for me either. Someone suggested I go into PR. Or pharmaceutical sales. You know, the vague careers for outgoing girls with liberal arts degrees. Yeah….I didn’t have to do an internship to know neither of those were for me.

Then I ran into Barney’s wife, who edited two of the MBJ’s smaller publications. She asked what I was up to, and I asked if I could have an internship. I remembered what he’d said and how much I’d enjoyed editing my paper in highschool. I still didn’t think I’d go into journalism, but thought it could look nice on a resume and could be fun. She said sure. And within the summer, I fell in love with the paper the two had created and began an all-consuming life-long career of business reporting. A few years later, the editor of the Business Journal came to my desk and asked me if Memphis had any venture capitalists– a chance conversation that ended with me moving to Silicon Valley in 1999. You know the rest.

For the Memphis Business community, Barney and his wife Debbie created something that was every bit as powerful as TechCrunch is for the Silicon Valley business community. It dug out fascinating stories of very private business moguls the world might not have ever read about, covered the large public companies based in Memphis better than anyone else, and championed the small business man.

It was the place where I learned the basics of how to report, where I learned never to be intimidated by any CEO, where I learned to camp out in someone’s office until they gave me an interview, where I first felt the rush of knowing something that no one else knew and splashing it across the front page.

Playing on the Memphis Business Journal softball team also gave my husband– who played on an opposing team– the opportunity to court me. Never mind my boss heckled him for taking too many pitches. It’s never embarrassing when you are 22 and your Ed Asner-like boss yells at the guy you like, “SWING AT THE BALL, BOY!” 

Mr. Lacy and I were driving around last Saturday talking about all of this. How weird it was that we’d fallen into such a great life, just by following a chance path that so easily could have not happened at all. Specifically how crazy it was that except for one person telling me I’d definitely be a reporter every month of my senior year of highschool, I might have never have even gone into an industry that has been such a perfect fit for me and consumed most of my waking thoughts since then. Not thirty minutes later we got an email from Memphis with the news that Barney DuBois had died. I felt like someone had punched me in the gut. 

I read all the tributes to him in the Memphis area papers about what a great journalist he was, about the paper he created, about the wealth he amassed when he sold the paper and everything he’d been doing in recent years for Memphis businesses. But what was missing in that coverage were tiny stories like mine of people whose lives Barney changed just by intersecting with them for a year or so and giving them a little bit of his time for no ROI-driven reason. 

I’m going back to Memphis in a week. I’m doing a book event organized by the Memphis Leadership Academy that’s semi-ridiculous. FedEx CIO Rob Carter– who really I should be the one interviewing– is interviewing me about entrepreneurship and the Mayor is introducing the whole thing. It’s all a big honor for me, and I’m happy my parents who are celebrating their 50th anniversary that weekend will be there.

But I can’t help but think fondly of the last book event I did in Memphis, which was much more casual and low-frills. The one where the Barney introduced me, told embarrassing stories about what a freak I was in highschool and reluctantly took credit for unleashing me on the business world. I’m glad I got the chance to tell him how much he’d changed my life before it was too late. 

 

I don’t know but some lines are so…indescribable. Especially this.

I still didn’t think I’d go into journalism, but thought it could look nice on a resume and could be fun.”

If a girl as outgoing and carefree as her might not consider journalism as her career path, then what about me? A silent, anti-social guy, and a crowd hater? Above all, I hate writing with deadline looming in my head.

And this….

And every month he’d say the same thing: “You’re going to be a reporter. It’s in your blood.” 

Every month I told him he was wrong.

No one told me I’d be a reporter, or a translator, or a writer. They keep telling me I’d be a teacher or lecturer. I am not, in a full-time sense, but still am a teacher though. Life’s weird. It IS.

And why does Lacy tell this, too?

My parents were teachers, but I didn’t think that was quite for me either.”

I can feel it, too. I never thought teaching would be my lifetime career. And I figured out why. Because I have this in my mind: One can educate others without being a teacher, either formally or informally. A teacher is merely a title but educator is NOT. Being a teacher requires me to observe a set of rules I can’t stand, getting along with the bureau-crazy that twists my mind. Besides, I’m not really skillful at dealing with not-so-well-behaved students, subjectivity,vested interests, and imperfection.

So what will I be? A reporter, translator, teacher, or….I have no idea but like she said: “Stop worrying. It’ll all turn out OK.”

We’ll never know what the future holds for us :))

Sarah Lacy on the Emerging World (a.k.a. Indonesia) -part2

The Oprah of Indonesia who empowers women with her company, Puri Ayu Martha Tilaar.

Previously on my last post, we read how Lacy compared Martha Tilaar to Oprah Winfrey. It tickles me a bit to spot this line:

[…] Heavily perfumed and air-conditioned, it’s an estrogen oasis in this hot, humid country. […] (BCC, p 191)

The word ‘estrogen’ serves pretty well to mark the transition from the manly world of erecting skyscrapers represented by Ciputra to a ladylike industry of cosmetics portrayed by Tilaar.  Lacy relates how Martha Tilaar has been taking part in female empowerment, something that goes beyond making money from natural makeups, grooming and pampering.

The proud Javanese woman entrepreneur also teaches women how proudly revealing one’s chronological age is NOT a shame as in:

[…] “I’m 74 years old,” she says proudly. “No facelift and no Botox! Can you imagine if I didn’t look good? Who would buy my products?” She exudes a confident, yet appropriately self-deprecating, charm that any finishing school student could learn from. […] (BCC, p 191)

I myself have hardly ever encountered a woman ‘voluntarily’ confessed her age in public. Tilaar is perhaps a totally different case considering how much time she’s devoted to maintaining her looks. But the grandma’s just not a pretty face. She’s reached the ultimate level of confidence as a business owner since 1960s. Tilaar has the ‘it’ factor an astounding entrepreneur should possess; i.e. idealism (which occasionally leads to a head-to-head battle with the male CEO Hartanto Santosa).

In spite of the differences, it turns out Ciputra and Martha Tilaar share the similar childhood lesson: don’t let anyone, even your parents, say you’re a failure for good! Ciputra was the last born kid in the family. He was the least expected offspring of all to excel in life. Even his dad, as long as I can remember, once said the young Ciputra was the blacksheep of the family. While Ciputra’s peers were already moving on to the higher education, Ciputra (at 12 then) still stayed in elementary school as a second grader. The young boy was wayward, difficult in any possible way.

Martha Tilaar grew as a fragile little girl, lacking health and vitality. A doctor’s verdict stated she was only going to be a not-so-brainy grownup, which she managed to prove wrong later on (Really, how can you call someone whose company’s revenue is worth US$100 million dumb?). Like Ciputra who was looked down by the father, even Tilaar’s mother wasn’t quite impressed by what Tilaar thought of as the acme of her academic achievement (she was the third from the last in class). So the desperate mom saw entrepreneurship as an ‘exit strategy’. She simply wanted Tilaar to lead a better life with entrepreneurial skills because to her the young girl seemed to lack academic skills.