Menyoal Nasionalisme Digital Kita yang Kurang Kental

Mungkin bagi sebagian orang meninggalkan dua jejaring sosial paling populer di jagad maya terlalu musykil. Jujur, saya baru saja beberapa hari lalu menutup akun Facebook dan Twitter saya. Tentu ini semua ada hubungannya dengan skandal penyalahgunaan data oleh Facebook yang membuat geger dunia.

Saya sendiri memang sudah mulai tidak meminati Facebook dan Twitter. Entah itu kebosanan atau sekadar ingin berbeda dari selera arus utama (mainstream).

Namun, saya memiliki alasan utama sendiri untuk meninggalkan jejaring sosial tadi. Karena saya ingin pengambilan keputusan saya dalam berdemokrasi nanti lebih murni karena apa yang saya yakini. Tidak goyah oleh hoax yang bertebaran di media sosial.

Dan yang terpenting, saya bisa menghemat waktu dan tenaga saya untuk mengerjakan sesuatu yang jauh lebih positif, seperti berjejaring soal profesi via LinkedIn atau berbagi informasi soal yoga dan kesehatan yang saya minati via Instagram. Di kedua jejaring sosial ini saya lebih pilih karena relatif lebih netral dalam hal berita palsu dan politik.

Memang masih ada yang mencibir,”Lha kan kamu masih pakai Instagram dan WhatsApp. Itu juga punya Facebook kan?” Tetapi alasan yang bisa saya berikan kemudian ialah saya setidaknya sudah berusaha memulai ketergantungan saya pada produk digital bangsa lain. Saya memiliki alternatif lain yang bisa lebih saya percayai karena dihasilkan oleh bangsa saya sendiri.

Ini juga menjadi awal untuk menegakkan kedaulatan kita sendiri. Selama ini Indonesia dan rakyatnya banyak dianggap sebagai pasar yang empuk. Dalam banyak kesempatan, orang-orang menyebutkan dengan bangga bahwa penetrasi internet di Indonesia terus naik dan pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter makin banyak.

Setelah skandal penyalahgunaan data oleh Facebook beberapa waktu lalu, harusnya kita makin sadar bahwa fakta itu bukan sebuah kebanggaan. Kita sebagai bangsa mesti segera sadar bahwa kita sudah ditelanjangi habis-habisan dengan menggunakan ‘pelet’ bernama media sosial. Kita ungkapkan data pribadi kita begitu saja di media sosial, menyebarkannya dan ini membuat kita makin mudah dikendalikan oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bayangkan bangsa sebesar dan semaju AS dan Inggris saja bisa digiring ke plot tertentu demi keuntungan pihak-pihak yang haus kekuasaan, apalagi kita yang masih banyak belajar dalam banyak hal seperti ini.

Namun, itu semua bisa kita ubah.

Kita mesti memiliki niat yang kuat untuk menjadi lebih mandiri di tengah perkembangan teknologi digital sekarang. Misalnya, untuk menggantikan Facebook dan Twitter, sebenarnya kita juga punya jejaring sosial produk anak bangsa.

Satu yang saya sudah pernah pakai empat tahun lalu saat diperkenalkan secara luas ke publik ialah Sebangsa.com. Menurut pengetahuan saya, aplikasi jejaring sosial Sebangsa ini lumayan bagus dan sudah bisa diunduh di dua platform ponsel cerdas masa kini, yakni Android dan iOS. Sementara itu, aplikasi jejarig sosial lainnya baru menyediakan versi Androidnya.

Lalu saya terpikir untuk mulai beralih menggunakan layanan email/ surel saya dengan produk dalam negeri seperti MerahPutih.id. Dulu saat zaman kuliah saya malah pakai Plaza.com, yang entah sekarang masih ada atau tidak. Baru dalam kurun 9 tahun terakhir saya sangat aktif memakai Gmail dan Outlook, yang notabene produk buatan Google dan Microsoft (baca: AS).

Saya memang masih mustahil meninggalkan GMail tetapi saya sudah mulai memakai email MerahPutih.id sebagai alat korespondensi saya sehari-hari. Seorang teman ‘bule’ saya bahkan terkagum dengan nama domain email saya yang menurutnya unik itu. “Wow, merahputih!” serunya saat saya katakan ia bisa menulis email ke alamat email baru ini daripada ke Gmail saya yang lama.

Tiba-tiba saya kembali teringat dengan kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mencekal Facebook dan Twitter di negerinya. Mereka pasti sudah memikirkan efek buruknya masak-masak. Mereka sadar bangsa mereka bisa dieksploitasi bangsa lain, dan mereka tidak mau itu terjadi. Ini juga didukung dengan pemerintahnya yang secara tegas melarang demi kepentingan bersama.

Saya juga teringat dengan tetangga kos saya yang warga asli Korsel. Saban ponselnya rusak, ia pasti membeli Samsung atau LG. Seberapapun murah dan bagusnya merek ponsel lain, dua merek itu menjadi pilihannya karena itu merek-merek kepunyaan bangsanya sendiri. Ia tahu perkembangan ekonomi Korsel banyak bergantung pada performa bisnis kedua chaebol pemilik perusahaan raksasa tadi.

Jadi, walaupun kecil dan hampir terkesan tidak berarti, ia sudah merasa berkontribusi.

Saya tentu tidak menyarankan kita harus sampai seekstrem itu dalam menyikapi perkembangan dunia digital saat ini. Tetapi sudah saatnya kita sebagai bangsa bertanya pada diri sendiri:”Apakah kita akan selalu menjadi bangsa yang memakai produk bangsa lain?

Atau kita mulai mempercayai bangsa kita sendiri dengan menggunakan produk-produk yang saudara-saudara sebangsa kita buat dengan susah payah?” (*/juga ditayangkan di Kompasiana.com)

Jagonya Coklat yang Keok

‎Menemukan coklat Cap Jago bagi sebagian orang adalah sebuah bentuk nostalgia penuh makna. Persetan dengan rasa atau kualitas coklatnya. Brand ini memang bukan mengenai sensasi eksklusif atau mahal. Dengan harga yang begitu terjangkau bahkan bagi anak-anak sekolah dua dekade lalu, produknya tidak berbahan dasar coklat bermutu super tinggi dari Belgia, atau dikemas dengan material pembungkus yang ‘wah’. Kesan merakyat memang menjadi nilai jualnya.

Kesetiaan pelanggan coklat Cap Jago rupanya masih belum luntur jua. Pagi ini di Facebook, saya kebetulan temukan sebuah fanpage. ‎Coklat Cap Jago, begitu namanya. Trenyuh, karena di dalamnya saya tidak menemukan ada informasi menarik apalagi interaksi yang terbangun apik antara si pembuat laman dan para liker. Seorang di antara mereka meninggalkan pesan yang bernada nostalgia. Ia menyebut keakrabannya dengan brand coklat ini semasa kecil. Ada lagi yang membeli coklat itu dalam jumlah banyak. Mungkin ia akan menjualnya lagi. Sementara itu, ada seseorang yang tampaknya seorang mahasiswa yang tertarik mengangkat riwayat coklat Cap Jago dalam karya akademiknya.

Sayangnya, tak ada jawaban.

Ada keriaan tersendiri memang begitu kita menemukan sesuatu dari masa lalu kita hadir juga akhirnya di jagat maya. Sesuatu yang mengingatkan kita pada era pra-Internet, zaman pra-smartphone, yang ironisnya ikut tersedot pula ke layar perangkat kita.

Jikalau saya mendapatkan kesempatan dan wewenang PENUH (karena bagi saya akan sukar jika bekerja dengan penuh campur tangan) untuk menjadi pengelola ‎fanpage Coklat Cap Jago ini, saya akan pastikan semua cerita nostalgia itu menjadi kekuatan yang utama bagi kebangkitan brand ini. Its strength really lies in the brand’s story.

Taktik Social Media Terkeji yang Pernah Saya Temui

Screen Shot 2014-12-05 at 09.24.55Demi mengumpulkan likers di Facebook, sekelompok orang picik menggunakan foto-foto janin bayi yang dibuang. Di bawahnya, ada lagi foto bayi yang terlahir belum sempurna dan tampaknya tak bergerak, meninggal, dengan seorang pria yang mungkin ayahnya menggendong tertunduk.

Lalu seseorang menuliskan kalimat:
“”MOHON AAMIINKAN SAHABATKU”

Jangan abaikan gambar ini !!
Bagi yang melihat gambar ini,
sempatkanlah diri untuk
menulis ”AAMIIN” di ruangan komentar..
Bayi dengan ari-ari ini dibuang oleh orang tuanya.
1 like = insya Allah 10 kebaikan
1 BAGIKAN = insya Allah 100 kebaikan

Semoga anak ini khusnul khotimah dan masuk surga Allah. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin

Tuliskan kata “Aamiin” di Komentar, Semoga Allah mengabulkan Do’a kita Semua “MOHON AAMIINKAN SAHABATKU” Jangan abaikan gambar ini !! Bagi yang melihat gambar ini, sempatkanlah diri untuk menulis ”AAMIIN” di ruangan komentar.. Bayi dengan ari-ari ini dibuang oleh orang tuanya. 1 like = insya Allah 10 kebaikan 1 BAGIKAN = insya Allah 100 kebaikan Semoga anak ini khusnul khotimah dan masuk surga Allah. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin Tuliskan kata “Aamiin” di Komentar, Semoga Allah mengabulkan Do’a kita Semua”

Anda bisa temukan itu di grup “Facebook Toko Online Termurah” (https://www.facebook.com/groups/772058849518942/?fref=nf).

Yang saya tidak habis pikir ialah bagaimana mereka mengeksploitasi musibah menjadi penarik lebih banyak anggota di grup tersebut.

Dan yang saya heran lagi, banyak yang like dan mengucapkan AMIN!

Daripada Anda like status dan foto seperti itu, laporkan saja ke Facebook supaya dihapus.

New Indonesian-Flavored Social Media Sebangsa.com Tries to Gain Traction

The fact that American social media Twitter is set to open its new branch office in Jakarta and the strong interest of Bakrie Global showed in investing in Path (despite all the outcry and condemnation) indicates how promising our market has become to anyone who is willing to make money from social media niche. After Koprol emerged and got acquired by Yahoo years ago and wilted afterwards after Yahoo decided to let it go, a new social media startup once again emerges to attract the never-bored young (or young in spirit) consumers in Indonesia.

Sebangsa.com is another digital platform launched recently trying to blend the staple features of social media platforms (those we find on Facebook and Twitter) with local cultures. By default, you won’t see English is used in the iOS and Android apps of Sebangsa, because it’s aimed for Indonesians, which is great! But for those who preferr English, there’s an option of Eglish as well.

Founded by all Indonesian founders (Enda Nasution and Adi P. Widjonarko), Sebangsa could be the real Indonesia substitute for Facebook and Twitter.

As I explored the platform, I found I can post a bit longer than a tweet but not as long as a Facebook status, which confuses me. As a blogger who gets used to write longer than tweets, this is a ‘flaw’. But the concept of Sebangsa is more like Twitter than Facebook in my opinion. There are groups like what you can find on Facebook but there’s a follow button and timeline and hashtags.

But what sets Sebangsa apart from the rest of the social media services is two features called “Sebangsa 911” and “Sebangsa 1800”. In Sebangsa 911, you’ll find a panic message and precautionary message feature when emergency strikes or you’re under risky circumstances. Meanwhile, Sebangsa 1800 is very much like fanpages on Facebook or verified Twitter accounts of famous brands and public figures. You’re encouraged to ask information about service providers or corporates or small medium enterprises you wish to know more or think too cool to miss.

Like Path, Sebangsa also enables you to cross-update your thoughts and content on Facebook and Twitter, but not on Tumblr, WordPress or Foursquare.

Like I said on my first update on my Sebangsa account, I’m wondering whether this social media platform would become the next big thing or just vanish in a matter of years like Koprol. Time will tell.

Tampilan Baru Hootsuite Lebih Segar di Mata

Dasbor platform pengelola akun jejaring sosial Hootsuite versi web mendapatkan perombakan yang lumayan signifikan kali ini. Perbedaan yang paling menyolok adalah ukuran font yang makin besar dan spasi antara satu tweet dan yang lain yang jauh lebih lapang. Efek dari semua itu ialah lebih lapang dan segar bagi mata.

In the Era of Self-Appointed CEOs

Being a CEO or leader has never been this easy like now. You can easily claim you’re a successful person as you wish, merely because you claim yourself to be so on the social media, whether it be your LinkedIn profile, your Instagram or Twitter bio, even on your About.me page.

SILLY!

I’ve seen lots of people like this. They’re great except that they overestimate themselves. I tell you I’m not that good at tolerating this self-bragging attitude and behaviors. Hence, I’m venting here, on my own blog, which is legal but still I need to watch my words so as not to overly offend those who feel they’re part of the group. Here’s my disclaimer: only A LIMITED NUMBER of startup CEOs, NOT ALL OF THEM.

My story went like this. I met with a guy, a future entrepreneur, who claimed to be a CEO of an online business -which is nothing than a parked domain to me- but still works as an employee of an established corporation. And he claimed he is truly experienced in this field, in that sector, in this area, in that niche. Possibly he’s right in some statements, the rest of them? There’s a huge question mark hanging there. He has done A, been in B, as he claimed on the bio page. Also, he poured it all on his LinkedIn profile, crediting also some hard works of his colleagues. It’s so sickening that you feel this person must learn a lesson:appreaciating someone else’s hard work as well.

So much, I don’t want to be such a person. Awful and obnoxious on so many levels. Desperately seeking for attention of head hunters or potential investors or … ? Maybe that’s the way he is.

Too long a preamble, I suppose.

What I’m trying to say is this:Self-deprecating attitude and behaviors are very much welcome, more than the self-bragging ones. No matter how shiny the facade of a building may get, it won’t impress people much when they get into the building only to find crappy interior design and unclassy taste or savage dwellers inside.

Never brag too much. It won’t work anyway.

LinkedIn Buktikan Blogging Tidak Akan Pernah Mati

‎Saya benci judul yang terlalu bombastis, tetapi untuk kali ini saja, saya pikir saya HARUS. Kalau diedit menjadi lebih lunak, judul di atas akan berbunyi:”LinkedIn Buktikan Blogging Masih Perlu”. Seperti itulah.

Hari ini saya resmi menulis blog di sini selama 4 tahun persis. Sebuah pencapaian pribadi yang cukup membanggakan, bagi diri sendiri setidaknya. Kalau orang aktif selama bertahun-tahun di Facebook, Twitter atau Google Plus mungkin terdengar hebat. Tetapi yang lebih hebat lagi adalah menulis blog selama bertahun-tahun tanpa lelah mengenai tema tertentu. Saya bukan sedang membanggakan diri dan blog ini. Sama sekali tidak. Blog ini bukan blog profesional. Lihat saja domainnya. Temanya saja gratis. Hosting cuma-cuma. Semua gratis. Tema-tema tulisannya tidak menentu. Kadang yoga, kadang social media, kadang jurnalisme, kadang pepesan kosong, sesekali politik, fiksi, dan sebagainya. Saya kadang cuma mengunggah gambar tanpa teks atau cuma sebuah video dengan penjelasan singkat. Benar-benar tanpa perencanaan. Semuanya spontan saja.

Tetapi awal mula bersentuhan dengan dunia blogging adalah tahun 2009. Tahun itu menandai lebih intensnya saya menekuni blogging. Waktu luang yang melimpah, sebuah laptop dan modem dial-up Smart yang berkecepatan siput berhasil membuat saya kecanduan blogging. ‎Dari bangun pagi hingga dini hari, sering saya terpaku di kursi untuk menulis. Sembari bermain jejaring sosial Twitter dan Facebook, saya pastikan blog saya terisi tulisan baru yang kemudian siap saya promosikan dengan blogwalking (membaca, meninggalkan komentar dan berdikusi dengan blogger lain).

Hari ini pula saya diundang oleh LinkedIn untuk mempublikasikan konten saya di sana. Rupanya, usut punya usut LinkedIn sudah mulai memfasilitasi aktivitas blogging juga sejak beberapa waktu lalu. Mereka tampak bertekad memupuk tingkat kekayaan dan keragaman konten di sini. Kalau bisa saya bandingkan, fitur ini mirip notes di Facebook secara sekilas. Menulis blog di LinkedIn lebih mudah sehingga cocok bagi siapa saja yang merasa gagap teknologi.

Apa yang dilakukan LinkedIn ini bagi saya menjadi pembuktian bahwa blog tidak akan pernah usang. Inilah ‘fitrah’ para pengguna Internet, yaitu membangun interaksi dan tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada berbincang dengan teman akrab di rumah kita sendiri. Rumah itu adalah blog. Anda bisa membangun koneksi di mana-mana, berkenalan dengan orang baru di berbagai tempat di seluruh penjuru dunia tetapi mereka yang istimewa pastilah menyempatkan diri ke rumah Anda, blog Anda.

IMG_3469.PNG

Membahas Strategi Kampanye Digital Obama dalam Pemilu

Tim kampanye digital Obama paparkan strategi mereka. (Image credit: Wikipedia)

Tim Obama di kampanye tahun 2008 mengumpulkan lebih dari 500 juta dollar dari sekitar 6,5 juta pendonor online. Ini menjadi yang pertama terjadi dalam sejarah di sana. Dan laman Facebook Obama mendapatkan 3,5 juta penyuka (likers). Naiknya Obama ke pentas politik AS melalui bantuan kanal jejaring sosial ini menjadi sorotan banyak pihak karena mampu menunjukkan bagaimana jejaring sosial mampu mengubah wajah birokrasi dan pemerintahan sebuah negara besar, sebuah fenomena yang juga terjadi di tanah air kita Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya akan merangkum pemikiran-pemikiran menarik dari Joe Rospars yang pernah menjabat sebagai Chief Digital Strategist dalam kampanye “Obama for America” yang menurut saya menarik untuk dipelajari dan menjadi catatan bagi Anda yang memiliki ketertarikan khusus dalam dunia jejaring sosial (social media).

Jejaring sosial bagi Rospars adalah pengelolaan komunitas (community organizing). Komunitas ini bukan buatan, tetapi organik. Dan mereka benar-benar ada dalam realita. Ini lebih mengarah pada jati diri Obama sebenarnya dan bagaimana Obama dalam kehidupan publik. Rospars memiliki tugas untuk mengedukasi para pendukung Obama bahwa Obama sendiri sudah memiliki rekam jejak positif dalam masyarakat AS sejak ia menolak posisi dengan bayaran tinggi untuk bekerja di Chicago sebagai community organizer. Ia berupaya untuk memberikan bantuan bagi masyarakat akar rumput yang membutuhkan dalam hal ekonomi dan hak sebagai warga negara. Obama muda ingin agar masyarakat menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri. Masyarakat diajak untuk memahami permasalahan dalam diri mereka agar bisa mengatasinya kemudian sehingga kemudian bersatu untuk berupaya mewujudkan perubahan nyata. Tim digital campaign pimpinan Rospars berusaha menyampaikan hal ini pada para pendukung Obama melalui Facebook.

Salah satu alasan mengapa kampanye digital Obama ini begitu sukses ialah dukungan yang diberikan oleh sang pasangan, Michelle Obama. Menurut Michelle (sebagaimana dikutip dari Rospars), ia “ingin melakukan ini (berkampanye via jejaring sosial -pen) tetapi ingin melakukannya dengan cara yang benar”. Community organizing kemudian menjadi semangat dalam kampanye digital Obama.

Obama termasuk sukses dalam menggalang dukungan dari masyarakat luas melalui penyaluran donasi ke rekening tertentu. Strategi itu menjadi salah satu strategi untuk mengatasi kurangnya koneksi Obama ke kalangan politisi di seluruh AS sekaligus mencari dukungan untuk menghadapi tantangan-tantangan yang makin besar. Obama membangun komunitas yang terdiri dari masyarakat akar rumput dari nol secara organik. Inti strategi dan pendekatan emosional tadi.

Rospars mengatakan banyak dijumpai kendala dalam mengubah jejaring sosial dan teknologi untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden saat itu. Kendala utama pertama ialah strategi digital masih (bahkan hingga saat ini) dianggap sebagai pelengkap (cuma ‘nice to have’, bukan ‘must have’), atau sesuatu yang hanya bisa dimainkan oleh para petinggi perusahaan atau kalangan penyuka teknologi namun bukan hal yang dianggap penting dalam berhasil tidaknya sebuah kampanye. Maka dari itu, percuma saja memiliki banyak pengikut dan penyuka di jejaring sosial tetapi tidak ada pengaruh positif yang signifikan pada performa di kehidupan nyata. Pasti ada yang salah, tandas Rospars.

Kendala utama kedua ialah bagaimana membuat teknologi yang memudahkan, bukan mempersulit, masyarakat yang ingin mendukung Obama untuk menyatakan dukungan dan mengajak orang lain berbuat sesuatu demi kemenangannya nanti di pemilihan. Rospars melakukan kampanye digitalnya dengan membangun sebuah platform yang terintegrasi dengan database kampanye dan organisasi terkait dan menghubungkannya dengan Facebook.

Yang menarik ialah tim ini berusaha untuk tidak hanya memberikan kesan bahwa Obama memiliki kepekaan terhadap kemajuan teknologi, terlibat aktif dalam interaksi dengan komunitas yang ada di dalamnya tetapi juga memfokuskan diri pada bagaimana melibatkan orang-orang awam dalam proses politik yang berlangsung saat itu untuk meyakinkan mereka bahwa suatu perubahan positif akan terjadi jika mereka mau bahu-membahu bersama memilih Obama.

Teddy Goff (Digital Director kampanye “Obama for America”) menjelaskan tim kampanye digitalnya terdiri dari staf kreatif, desainer, developer web, video, penulis, social, mobile, email, iklan. Masing-masing memiliki manajer proyek sendiri. Kemudian yang tidak kalah penting ialah analytics.

Elemen AUTHENTICITY atau ketulusan menjadi hal yang penting dalam kampanye digital mereka. Bagaimana hal ini bisa diwujudkan? Berikanlah akses pada orang awam menuju sosok nyata yang tidak bisa mereka jumpai secara tatap muka, misalnya Obama, istrinya, Joe Biden, dsb.

Email pun dijadikan sebagai salah satu alat menjangkau pendukung. Bentuknya yang konvensional dan sederhana memudahkan lebih banyak orang mengaksesnya. Isinya sebisa mungkin mencerminkan karakter orang yang diwakilinya. Dalam contoh yang diberikan Goff, Joe Biden tinggal menyetujui sebuah komposisi tulisan untuk disebarkan via email. Dan tulisan itu mencerminkan kepribadian dan pesan yang ia ingin sampaikan. Saat orang membacanya, diharapkan akan terbangun hubungan yang tulus dan nyata.

Elemen lainnya yang sama pentingnya ialah TRANSPARANSI. Saat menerima dan mengumpulkan sumbangan dana tunai dari berbagai pihak yang menyatakan dukungan, tim kampanye digital Obama kemudian menyusun sebuah infografis berdasarkan data faktualnya untuk disajikan secara terbuka di Internet. Ini membuat orang lebih bisa memahami bahwa sumbangan mereka, tidak peduli berapapun jumlahnya, adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan sensasi kepuasan dan kebanggaan menjadi bagian dari sebuah gerakan menuju perubahan yang berskala masif dan luas itu sungguh tidak tertandingi, apalagi jika Anda warga akar rumput yang kerap termajinalisasi.

Elemen selanjutnya ialah ENGAGEMENT, atau hubungan timbal balik yang terbangun antara berbagai pihak yang ada di dalam kampanye digital ini. Interaksi dua atau banyak arah menjadi suatu hal yang krusial di sini. Agar lebih banyak orang yang mau bergabung, tim kampanye digital Obama membuat berbagai strategi yang ditujukan bagi mereka yang akab dan melek teknologi, misalnya dengan membuat kalender elektronik yang bisa diintegrasikan dalam iCalendar atau Google Calender pribadi pendukung yang ingin menyumbang tenaga menjadi relawan.

STORYTELLING menjadi elemen terakhir yang turut berkontribusi dalam keberhasilan kampanye digital Obama. Kisah hidup Obama sendiri memang sudah menarik, tetapi itu saja belum cukup.

Tim ini juga harus cerdik dalam mengemas pesan yang ingin mereka sampaikan. Kreativitas tinggi dibutuhkan agar pesan itu dapat diterima oleh masyarakat dengan lebih baik atau yang kita bisa katakan mengena atau ‘nyambung’. Tim tersebut berbicara dalam bahasa orang yang mereka ajak bicara dengan merilis sebuah video jenaka yang kemudian dipublikasikan dan beredar secara viral di Twitter dengan tagar # youngerthanmittspoliticalcareer, yang isinya menyindir pernyataan rival Obama, Mitt Romney, yang berkata bahwa dirinya bukan politisi karir.

Being fun, being real, showing personality” menjadi motto mereka dalam berinteraksi dengan para pendukung Obama di jejaring sosial dalam bahasa yang mereka sukai dan pahami.

Penting juga untuk mengemas satu pesan untuk disajikan dalam berbagai format. Mengapa? Agar lebih banyak swing voters (mereka yang belum menentukan pilihan) tertarik atau bagi mereka yang sudah merasa mantap memilih tetapi merasa ragu, bisa mengubah pilihannya setelah diyakinkan dengan pesan tertentu. Tim ini misalnya menggunakan data resmi dari badan pemerintah yang berwenang dalam urusan ketenagakerjaan (US Bureau of the Labor) untuk menyajikan perubahan positif dalam pasar tenaga kerja yang menunjukkan prestasi ekonomi Obama selama menjabat di periode pertama sebagai presiden AS.

Pendekatan komunikasi yang bernuansa PERSUASI melalui INTERAKSI juga ditekankan dalam tim ini, kata Goff. Salah satu contohnya yang menarik ialah kalkulator pajak Obama yang dapat diakses secara online oleh siapa saja. Mereka mampu menarik perhatian dengan memberikan informasi berupa hasil kalkulasi pajak yang unik untuk setiap orang.

Tim digital campaign Obama juga memberikan sentuhan yang berbeda dalam pengumpulan dana agar tidak terkesan terlalu biasa. Mereka menghadirkan program “Dinner with Barack” yang memungkinkan para donatur di atas 3 dollar yang beruntung terpilih bisa bersantap malam dengannya. Program itu sesuai dengan misi Obama agar tidak hanya merangkul kalangan elit ekonomi tetapi juga rakyat biasa yang tertarik dengan diri, visi dan misinya sebagai pejabat publik.

Prinsip utama mereka adalah bagaimana agar mempermudah masyarakat dalam mendukung kampanye Obama di setiap tingkat engagement dan bagaimana mengajak mereka yang sudah masuk untuk berkontribusi nyata dalam pemenangan Obama di pemilihan. Untuk memudahkan masyarakat tadi, salah satu usahanya ialah dengan membuat sebuah situs yang berdesain responsif, yang artinya situs itu akan bisa dengan mudah ditampilkan dan dijelajahi meskipun diakses melalui berbagai perangkat digital dari yang berlayar sekecil ponsel cerdas sampai ke komputer desktop di rumah.

Bagi mereka yang menginginkan pesan yang lebih ‘muluk-muluk’ atau penuh idealisme dan bervisi jauh ke depan disertai makna yang lebih dalam dan filosofis, tim ini juga memberikan pesan serupa dalam format yang lebih serius dan berat, yaitu dengan menampilkan salah satu relawannya. Relawan itu seorang pria dengan 4 anak, yang memiliki harapan agar bangsa Amerika lebih baik di masa mendatang sebagaimana yang diharapkan Obama untuk anak-anaknya dan bangsanya. Mereka mencoba merangkul kalangan yang memiliki ekspektasi lebih tinggi daripada hanya sekadar perubahan temporer dan dangkal di masyarakat serta melibatkan tanggung jawab yang lebih mendalam. (Sumber: Team Obama Talks Digital Vision – Strategies and Tools for 2012 and Beyond)

Kebijakan Baru Twitter Hapus Konten Orang yang Sudah Meninggal

Twitter umumkan Selasa kemarin (19/8) bahwa pihaknya akan menghapus foto-foto orang yang sudah meninggal jika diminta oleh pihak keluarga yang bersangkutan. Isu ini mengemuka setelah foto-foto dan video jurnalis AS James Foley menyebar luas di jejaring sosial.Kebijakan itu dimunculkan sepekan setelah anak perempuan almarhum Robin Williams, Zelda Williams, mengumumkan bahwa dirinya meninggalkan dunia jejaring sosial setelah sejumlah oknum melakukan ‘trolling’, yang menggunakan foto-foto sang ayah yang diedit untuk melucu.

“Menggali akun-akun kami untuk mencari foto-foto ayah atau menghakimi saya adalah hal yang sangat kejam dan tak perlu,”papar Zelda dalam tweet terakhirnya.

“Untuk menghormati permintaan orang-orang terkasih, Twitter akan menghapus foto orang-orang yang sudah meninggal dunia dalam kondisi tertentu,”ujar jubir Twitter Nu Wexler.

“Saat mengulas permintaan penghapusan konten media, Twitter mempertimbangkan faktor-faktor kepentingan publik seperti faktor berita konten yang dimaksud dan mungkin tidak bisa memenuhi semua permintaan yang diajukan,”imbuh Wexler.

Situs jejaring sosial Twitter dibanjiri dengan tangkapan layar video grafis yang menunjukkan eksekusi jurnalis malang Foley dan mengunggah tweet dengan tautan menuju video mengerikan tersebut. Twitter mengatakan pihaknya akan menghapus konten semacam itu berdasarkan permintaan anggota-anggota keluarga dekat atau individu yang berwenang. Namun, Twitter masih menolak memberikan akses ke akun apapun, bahkan pada kerabat orang yang meninggal.

Pejabat Gedung Putih mengatakan pada The Washington Post bahwa para pejabat Departemen Pertahanan AS mengamati situs jejaring sosial untuk menginformasikan mereka mengenai video Foley. Twitter memblokir dua akun yang mengirimkan foto-foto eksekusi dan menyatakan pihaknya akan terus mengulas kebijakan-kebijakan untuk melindungi para penggunanya.

XeeFunApps is Too Creepy an App

Wow how accurate this application can measure my personality shown on social media really amazes and cringe me at the very same time. XeeFunApps.com enables you to get to know yourselves with a single click, and voila! Your personality or aptly said “online personae” your face shown to the external world may be described very well.

What algorithm was employed in the app so it generated precise results like this? I’m still wondering.

Asal Kata “Meme”

Siapa yang belum tahu artinya “meme”? Tidak usah malu karena memang kata satu ini masih termasuk baru.

Kata ini dikenal di dunia maya. Menurut Maria Veloso dalam “Web Copy that Sells” edisi ketiga, kata tersebut ditemukan pertama kali oleh Richard Dawkins di tahun 1976 (hal xxvii). Kata “meme” adalah portmanteau, alias gabungan dua kata yang berbeda dengan makna yang juga kombinasi kedua kata penyusunnya. “Meme” berasal dari kata “mime” dan “mimic”, yang mewakili gagasan budaya yang disebarkan dari satu orang ke orang lain dengan cara yang mirip dengan penggandaan gen dalam ilmu biologi, tulis Veloso masih di buku dan halaman yang sama. Meme disebarkan secara viral (layaknya virus yang berkembang biak secara liar dan luas) serta verbal.

Meme seringkali berupa olok-olok dan sindiran pada suatu fenomena, misalnya pernyataan atau perilaku sosok terkenal atau sebuah institusi yang berkuasa tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi meme juga bisa digunakan sebagai alat kritik sosial bahkan politik, seperti dalam pilpres yang lalu. Saat kandidat membuat kesalahan dalam debat atau semacamnya, ada saja orang yang membuat dan menyebarkan meme unik melalui jejaring sosial.

Dalam dunia bisnis, masih menurut Veloso, meme berguna untuk membuat “keramaian” (perbincangan yang intens) atau buzz mengenai produk atau layanan tertentu (Web Copy that Sells, p. xxvii). Diskusi atau obrolan itu juga bisa seputar “online personae” (orang atau sosok tertentu dalam dunia maya).

Meski kebanyakan bernada satir dan komedi, bila kita cermati dalam perkembangannya meme juga bisa mengandung pujian meski secara sekilas ia tampak ‘menjatuhkan’. Ambil contoh saja saat Jokowi dikatakan sebagai pemeluk kepercayaan tertentu dan bersuku tertentu, berpaham politik komunis dan sebagainya. Semua itu dirangkum dalam satu kolase atau mozaik dari berbagai foto sang tokoh dan caption yang berbeda dan disebarkan begitu saja sampai ke mana-mana.

Panduan Hootsuite untuk Pemula

Bagi Anda yang ingin mempelajari bagaimana menggunakan platform manajemen akun jejaring sosial Hootsuite secara praktis dan efisien serta GRATIS, video tutorial ini tepat untuk memberikan sekilas gambaran mengenai caranya. Dikemas dalam bahasa yang lugas, simpel dan mudah dipahami, Anda akan tahu mengenai dasar-dasarnya. Dan jika Anda memang memiliki kebutuhan berjejaring sosial yang lebih intens lagi, Anda bisa mendaftar untuk berlangganan Hootsuite Pro, yang keistimewaannya adalah memungkinkan Anda mengelola 6 akun jejaring sosial lebih! Belum lagi berbagai fitur analytics yang memudahkan marketing yang lebih jitu. Selamat menyimak