Guru!!! (Bagian 3)

Udara dalam ruang apartemen mewahnya cukup membuat saya sedikit menggigil. Dari sebelah terlihat sebuah gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang megah.

Murid saya ini tidak memiliki mat yoga sehingga ia menggunakan karpet ruangan sebagai alas saja. Saya menyarankannya membeli di toko terdekat tetapi beberapa pekan kemudian ia tak jua mendapatkan mat. Entah karena tak ada waktu untuk membelinya atau karena menurutnya tidak perlu menggunakan mat saat berlatih.

Karena saya datang terlalu awal, tersedia sedikit waktu untuk mengobrol ringan. “Saya bekerja di Cengkareng, jadi lebih enak rasanya olahraga pas waktu sore. Kalau pagi hari, saya sering langsung berangkat kerja. Tidak ada waktu berolahraga,”ia berceloteh dalam bahasa Inggris. MC tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia lulusan New York University dengan pengalaman di dunia industri penerbangan komersial.

Kerja saya cukup menantang juga karena saya mendapati otot-otot tubuhnya yang kaku. MC, sebagaimana banyak orang Kaukasia lainnya, kurang biasa berjongkok. Saat saya melakukan jongkok dengan begitu alami dan tanpa upaya berarti, MC rupanya memiliki pinggul yang kaku dan otot kaki yang tegang juga akibat terlalu sering jogging.

Karena kelas kami berlangsung di malam hari dan MC mengatakan preferensinya adalah yin yoga, saya tidak mengajarkan gerakan yang terlalu menantang tetapi yang lebih menenangkan di waktu setelah bekerja di kantor. Lalu kami berfokus lebih banyak pada gerakan-gerakan peregangan dan restoratif.

Terungkap satu keunikan dalam anatomi tubuh MC. Saat saya menyuruhnya tadasana (pose gunung) dengan kedua telapak kaki paralel atau sejajar satu sama lain dengan jari jemarinya mengarah lurus ke depan, kedua telapak kaki MC selalu membuka. “Memang di keluarga saya begini, Akhlis. Saudara-saudara dan ayah saya kakiknya mengarah ke luar, tidak bisa sejajar, dalam kondisi normal. Posisi ini bisa dikoreksi tetapi tidak bisa bertahan lama. Saya sendiri tidak tahu mengapa,”terang MC. Saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasannya. Jadi ini keunikan anatomi genetis, saya menyimpulkan.

Keunikan itu pula lah yang membuat MC tidak dapat berdiri sebagaimana orang lain saat tadasana dan vrksasana (pose pohon). Saya pun memakluminya.

Kebiasaannya sebagai perenang dan pelari masuk dalam latihan yoga kami. Saat saya mengatakannya untuk bernapas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan, MC secara otomatis menggunakan mulut. “Sebaiknya pakai hidung saja, MC. Dalam berlatih yoga, biasanya kita pakai pernapasan dengan hidung, kecuali dikatakan secara jelas untuk bernapas melalui mulut seperti sitali dan sitkari. Filosofinya, jangan sampai membuang tenaga prana itu ke luar tubuh dengan menghembuskan napas ke luar tubuh lewat mulut. Dengan hidung, prana itu akan tetap bersirkulasi dalam tubuh kita,”jelas saya penjang lebar sembari mengingat sedikit penjelasan teman saat dulu saya membuat kesalahan yang sama.

20140628-141546-51346454.jpg

Guru!!! (Bagian 2)

MC tidak bisa disalahkan juga. Saya ingat yoga dianggap sebagai olahraga ringan nan feminin karena pencitraan yang salah kaprah yang diakibatkan kampanye pemasaran oleh pengusaha-pengusaha Barat. Padahal riwayat yoga sungguh patriarkal, macho. Inilah olah badan, jiwa dan semuanya yang didominasi kaum pria. Patanjali, Iyengar, Patabhi Jois, Krisnamacharya, bukankah mereka semua lelaki? Sayangnya, tidak demikian di Amerika Serikat. Yoga dikemas sebagai alat menarik ibu-ibu rumah tangga yang ingin menjadi lebih kurus kering seperti yogi-yogi India.

Pagi itu tanggal 15 Oktober 2013, kami merayakan Idul Adha. Usai solat Ied di masjid terdekat, saya kembali bekerja. Ya, Anda tidak salah baca. Saya masih bekerja meski di hari libur seperti ini. Sekadar memperbarui beranda depan situs pekerjaan saya. Demi traffic. Bah!

Lalu sekonyong-konyong masuklah surel dari MC. Isinya:
“Hi!
Apakah bisa latihan pertama hari ini saja? Saya libur. Apakah mungkin Anda mengajar hari ini?

MC”

Berkah Idul Qurban! Saya dapat pekerjaan! Tapi sedetik kemudian saya kebingungan karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya ajarkan padanya dan karena saya tidak tahu seperti apa MC sebenarnya, saya panik. Kemudian setelah sedikit menenangkan diri, saya membalas surelnya:

“Hi!

Pukul berapa? Bagaimana jika pukul 5 sore?”

Saya pikir akan lebih enak jika petang hari. Akan ada lebih banyak waktu untuk menyiapkan segalanya.

Sebentar kemudian saya mengaduk-aduk gudang informasi dalam perpustakaan pribadi sebagai inspirasi untuk nanti. Harus bagaimana? Apakah saya harus mengajar dengan pakaian seadanya? Apakah saya harus tampil sporty seperti guru yoga profesional dengan busana bermerek Nike atau Reebok? Bagaimana dengan mat? Ya ampun, mat saya kan biasa begitu? Bukan Jade atau Lulu Lemon. Lalu karena MC pernah cedera bahu, apa saja pose-pose yang aman dan mana yang harus dihindari? Karena dia mau lebih lentur juga, pose-pose apa yang mungkin bisa menambah kelenturan? Split? Tapi apakah itu tidak terlalu berat baginya yang mengaku beginner dalam yoga? Ahh, tiba-tiba semuanya jadi terasa kacau. Kondisi tiba-tiba menjadi rumit karena persiapan yang terlalu singkat ini.

Pukul 5 saya pun meluncur ke apartemen Ascott di dekat Bundaran Hotel Indonesia yang konon mirip desain iluminati itu. Ojek saya dalam 10 menit berhasil melesat ke sana. Saya bahkan sampai di sana terlalu awal.

Tentang tarif per kelas, MC keberatan dengan tarif yang saya ajukan. Itupun karena saya menanyakan pada seorang teman yang bekerja penuh waktu sebagai guru yoga. Katanya,”Naikin aja! Siapa tau dia mau!” MC keberatan dan menawar setengah tarif yang saya ajukan, yang pada dasarnya rekomendasi teman saja. Dan kini saya mungkin dicap MC sebagai guru yoga komersil, mematok harga seenaknya.

Tidak lupa saya mengatakan di awal bahwa saya belum bersertifikat bahkan sebelum saya menyanggupi permintaan MC untuk mengajar. Saya tidak ingin menutupi fakta bahwa saya belum lulus dari sebuah perjalanan panjang yang disebut pelatihan guru yoga yang mungkin juga tidak akan saya pernah bisa lalui dengan mulus apalagi sampai lulus. Tentang hal ini, lain kali saya bahas lagi. Panjang dan dalam ceritanya.

Saya sampai di lobi apartemen itu, menukar kartu identitas lalu ke lift dan menekan tombol 27. Untuk tidak setinggi kantor saya nanti di lantai 39.

Karena saya sudah melakukan sedikit penyelidikan di dunia maya tentang asal usul MC, saya tak terlalu terkejut saat menyaksikannya membuka pintu. Seorang pria Kaukasia tanpa sehelai rambut pun di kepalanya. Di surel, saya pernah menyertakan tautan berita lama dengan sebuah foto yang tampaknya adalah MC. Dia mengenakan setelan jas formal dengan beberapa orang di sampingnya, salah satunya adalah pemegang saham perusahaan yang dijalankan MC, Sandiaga Uno. Mereka tampak berpose di panggung sebuah jumpa pers, setting yang amat familiar dengan pekerjaan saya juga. Ia menjawab:”Benar itu saya, tetapi saya sudah melakukan pekerjaan lain sekarang.”

Tingginya sedang saja, untuk ukuran orang benua Amerika dan Eropa. Mungkin 180-an centimeter. Tetapi saya tidak sampai mendongak ke atas untuk berbicara. Usianya mungkin sekitar akhir 40-an atau awal 50-an. Tidak gemuk tetapi juga tidak kurus. Tidak banyak otot juga. “Lean” bisa jadi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Meski mengaku sebagai perenang, tingginya tidak sampai rangka atas pintu.

MC mempersilakan saya masuk ke apartemennya. Sendiri saja tanpa teman saya masuk ke dalam, seperti seekor ayam dipersilakan masuk oleh sesama ayam yang ramah, yang entah siapa tahu bisa menanggalkan bulunya dan menjadi serigala. Sebetulnya saya merasa biasa saja, tetapi begitu saya ditanya oleh sesama teman tentang murid privat saya ini, mereka menakut-nakuti dengan mengatakan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sedikit pun sebelumnya, seperti…hmmm, sudahlah tak perlu dirinci.

MC tampaknya tinggal sendiri di sini. Apartemennya senyap. Tak ada jejak khas keluarga di sini. Semuanya kaku dan dingin. Tidak ada foto keluarga, tidak ada jeritan anak kecil. Hanya dia sendiri, dan saya, guru yoganya.

(bersambung)

20140626-224057-81657183.jpg

Dedikasi dan Penghormatan untuk Yoga, Alasan B. K. S. Iyengar Latihan 2 Jam Tiap Hari Selama 80 Tahun

image

Berikut adalah petikan wawancara dengan tokoh yoga legendaris B. K. S. Iyengar yang saya kutip dan terjemahkan secara bebas dari laman Sakal Times.

Pertanyaan:”Apa yang memotivasi Anda berlatih yoga selama 2 jam setiap hari bahkan di usia 95 tahun?”

Jawaban:”Saya sudah berlatih yoga selama 80 tahun. Saya tidak perlu motivasi eksternal. Semua datang dari diri sendiri.

Yoga sudah memberikan saya nama, ketenaran dan semuanya. Maka dari itu, saya memberikan penghormatan pada yoga dengan melaksanakannya setiap hari. Dedikasi saya pada yoga adalah satu-satunya motivasi saya.”

Pertanyaan:”Apa pesan Anda pada generasi muda?”

Jawaban:”Tubuh ini seperti pakaian bagi jiwa. Tugas kita adalah memeliharanya. Ia wadah bagi jiwa. Tanpa pakaian ini, kita tidak bisa bergerak dan berbicara. Maka dari itu, badan harus dipelihara. Yoga tidak cuma memelihara badan fisik tetapi membawa kedamaian pada pikiran. Dengan ketenangan pikiran, Anda bisa menjadi lebih toleran, sabar dan penuh welas asih. Inilah yang paling diperlukan di masa sekarang. Ia akan mengajarkan pada Anda bagaimana membebaskan diri dari kesombongan. Yoga merupakan cara terbaik memelihara jiwa dan raga dan itulah mengapa yoga harus dilakukan setiap hari dengan sepenuh hati. Setiap orang semestinya melakukan latihan yoga setiap hari. Seseorang tak perlu mengorbankan kegiatan lainnya untuk berlatih yoga. Sembari kita menjalani rutinitas hidup, kita juga harus menyisihkan waktu untuk diri sendiri.”

Pertanyaan:”Seberapa banyak yoga yang harus dilakukan setiap hari?”

Jawaban:”Seseorang seharusnya berlatih yoga setidaknya selama satu jam setiap hari. Itu yang paling minimum, tidak bisa lebih rendah dari itu. Sebagian orang berpendapat berlatih yoga selama 15-20 menit sudah cukup. Itu belum cukup. Jika Anda melakukan olahraga lain seperti renang, berjalan, lari, Anda masih harus sisihkan waktu setidaknya separuh jam untuk yoga. Itu karena yoga melatih pikiran Anda, sesuatu yang tidak bisa dilakukan olahraga lainnya.

Waktu yang Anda habiskan untuk berlatih yoga adalah satu-satunya waktu saat Anda fokus pada diri sendiri. Hanya inilah yang bisa membawa ketenangan dalam pikiran.”

Yoga Gembira Community Featured on Dahsyat

image

No one thinks “Dahsyat” (literally means “magnificent”) as a serious TV program we yoga community should go to to spread our healthy and balanced lifestyle message. But what is the medium, if you can tell more people about the cause?

As you can see, Olga Syahputra was seen in pain doing navasana or boat pose assisted by Yudhi Widdyantoro, the initiator and co-founder of Yoga Gembira Community.

The night before that, Yudhi was called and asked to be there. On TV. Some commenters thought it was a bad idea. They wanted Yudhi to stay away from such vanity show but he insisted on being there to let people know about the thriving community based at Taman Suropati, Menteng, Central Jakarta. He was there. And it wouldn’t hurt anyway.

So once again it is not about what you have but how you can leverage what you have. He has got the chance and he did never let it go away.

Berlatih Sendiri, Esensi Menjadi Yogi

image

Salah satu dari banyak alasan saya memilih yoga menjadi olahraga dan olahrasa utama saya ialah tidak adanya ketergantungan dengan peralatan apapun. Bandingkan kalau saya harus, katakanlah, lari. Saya perlu sepatu, jalur berlari yang lapang, pakaian yang tebal karena cuaca di luar lumayan dingin di pagi hari buta. Atau misalnya saja, saya harus berenang. Harus ke kolam renang terdekat, membeli atau menyewa celana dan kacamata renang, dan belum lagi harus menyisihkan waktu untuk ke sana, berganti pakaian, membilas badan setelah berenang. Belum lagi kalau kolam renangnya tutup di hari libur! Atau karena jalan macet bukan main! Batal semua rencana berolahraga. Dengan memilih yoga, saya tidak perlu mengalami kesusahan semacam itu.

Selain itu, alasan memilih yoga ialah karena yoga bisa dilakukan di mana saja sepanjang napas ini masih ada. Yoga masih bisa dilakukan di cuaca panas maupun dingin, hujan atau kemarau. Jadi kalau saat saya sakit, sebenarnya masih bisa beryoga juga karena yoga bukan melulu berasana yang menantang dan gila-gilaan. Karenanya, tidak ada alasan untuk melewatkan berlatih setiap hari, kecuali habis makan besar sebelum berlatih asana atau pranayama yang intens.

Sebagai pegiat yoga, berlatih secara individual atau self practice sebetulnya bukan barang aneh karena saya justru memulai berlatih dengan menjadi self practitioner. Saya belajar yoga sendiri, hanya bertanya jawab dengan buku, Internet dan diri sendiri. Rasanya asyik, bereksperimen dengan diri saya sendiri. Walaupun saya berlatih sendiri tanpa bimbingan, saya beruntung belum pernah cedera parah karena salah alignment, salah teknik atau semacamnya.

Terus terang saja, yoga terasa lebih sesuai untuk saya, karena saya memiliki pribadi introverted sehingga lebih menyukai ketenangan dalam melakukan apa saja. Pergi ke gym, pusat kebugaran, studi yoga, atau bahkan berlatih bersama dengan teman-teman memang mengasyikkan karena menurut orang menjadi lebih bersemangat. Dengan diiringi musik, makin enak rasanya. Saat kita sudah patah arang atau malas, teman-teman akan menjadi penyemangat. Namun, saya tidak merasa demikian. Meski saya akui saya juga menikmati latihan dalam kebersamaan yang hangat dengan teman dan panduan yang baik dari guru yang lebih berpengalaman, latihan sendiri tetap lebih saya sukai.

Apa pasal? Pertama, karena saya ingin menyelami diri lebih dalam. It’s all about my own Self. Saya lebih tahu apa yang saya sedang rasakan dan alami dengan lebih detil saat sendirian berlatih. Tanpa gangguan, tanpa bantuan juga. Hanya diri saya. Sukses atau gagal bukan masalah. Karena tidak ada tuntutan untuk ke arah tertentu atau target menguasai apapun. Just let it flow.

Kedua, berlatih sendiri meminimalkan keinginan berkompetisi melawan orang lain dan diri sendiri. Entah menurut Anda, tetapi yang saya rasakan adalah saat berlatih bersama orang lain, pikiran dan hati kita seolah tidak bisa tenang karena ego haus pengakuan dan superioritas, kemenangan. Ia takut dicela, dihina dan disindir tidak bisa, tidak kuat, tidak lentur, tidak spiritual dan sebagainya. Karena ego menuntut pengakuan dan haus prestasi itulah, ia senantiasa mencari pembanding, yang bisa berwujud orang-orang di sekitar Anda, yang juga berlatih yoga bersama Anda. Bahkan bisa juga ego membandingkan diri dengan guru yang mengajar di hadapan kita atau foto-foto asana junkies di Facebook dan Instagram di layar ponsel. Bagaimana agar mencegah masuknya unsur kompetisi dalam yoga memang tidak mudah. Saya juga masih harus berjuang membangkitkan kesadaran untuk memupus ambisi berkompetisi secara terus menerus karena saya sudah muak dengan kompetisi di hampir semua lini kehidupan. Di yoga, kompetisi itu tidak seharusnya ada dan kalaupun ada, sangat minimal. Dan jika pun memang banyak persaingan, tidak sepatutnya hasrat bersaing itu diumbar sedemikian nyata dan blak-blakan. Saya selalu mengingatkan diri kalau sudah muncul pemikiran,”Ayo, jangan mau kalah dengan si … (Sebut nama teman yang lebih lihai dalam suatu aspek latihan atau asana)” Menuruti bisikan itu mungkin tidak sehat. Sangat melelahkan.

Saya beruntung diundang teman yogini Mona Jahja ke workshop yoga dengan Christina Frosolono Sell yang saya hadiri Sabtu (22/2/2014) kemarin di Gudang Gambar Kemang Timur 88, saya makin mantap meyakini bahwa self practice adalah inti dari menjadi seorang yogi. Dari keteraturan menjalankan latihan itulah, akan terpupuk dedikasi. Bisa jadi sukar untuk membedakan dedikasi dari fanatisme, euforia sementara, atau kecanduan tetapi itu masalah yang bisa dibahas tersendiri.

image

Dari apa yang saya pelajari dari workshop itu, saya menjadi yakin dengan makna penting latihan pribadi secara teratur. Jangan mengaku yogi kalau hanya latihan sekali seminggu seperti saya. Harus saya akui, saya memang bukan orang yang disiplin. Mungkin karena yoga, dalam kasus saya, berawal sebagai sebuah kegiatan pengisi waktu luang dan bersenang-senang daripada sebuah keharusan, kewajiban yang bagi saya menjadi bagian dari rutinitas yang membelenggu diri, alih-alih menyegarkan dan membuat pikiran. Saya ingin yoga menjadi bagian dari kegiatan menyenangkan di antara kesibukan, bukan melebur ke dalam kesibukan itu juga. Dengan kata lain, saya lemah dalam disiplin berlatih karena yoga hanyalah kegiatan suka-suka. Tak ada paksaan. Sayangnya hal itu malah menjadi bumerang bagi diri saya kadang. Saya hanya berkutat pada area yang sudah saya kuasai. Dengan berlatih dan belajar lebih rutin dan penuh disiplin, perkembangan saya sebagai yogi akan lebih pesat. Entah bagaimana dengan orang lain tetapi sampai detik ini, saya lebih betah menjadi pelaku yoga ‘hobbyist’ daripada yang serius. Mungkin suatu saat nanti saya harus bisa menjadi lebih dari itu.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri dan pada Christina, “Bagaimana agar latihan yoga saya menjadi sebuah kebutuhan, bukannya kewajiban?” Saya sebelumnya tidak mewajibkan diri untuk beryoga setiap hari secara militan. Belajar bahwa berlatih sendiri bukanlah sebuah kewajiban tetapi kebutuhan masih belum begitu tertanam dalam benak saya. Tetapi dengan padatnya kegiatan, bisakah latihan rutin sendiri itu dilakukan? Tentu selalu ada jalan jika dan hanya jika kita bertekad baja. Dan kadang kita harus menyelami diri dan merasakan dorongan itu muncul secara alami dari batin kita. Sebuah dorongan halus yang mengatakan,”Ayo latihan yoga! Kamu butuh itu agar bisa tetap waras!”

image

Saya juga mendapatkan masukan baru, bahwa memiliki tujuan yang dangkal (baca: tidak terlalu spiritualis apalagi filosofis) untuk memulai latihan yoga – seperti ingin memiliki tubuh semolek Sophia Latjuba atau perut serata Adam Levine atau ingin berhasil melakukan headstand – sah-sah saja dilakukan. “Vanity can be a good motivation,”kata Christina. Hal-hal sesepele itu mungkin bisa mengantarkan kita ke pemahaman lebih mendalam tentang makna yoga yang lebih lengkap. Christina bertutur bagaimana seseorang yang ia kenal sanggup berlatih yoga selama bertahun-tahun secara rutin. “She went to classes because she said she could see a cute man there!”ujarnya. Temannya rutin beryoga karena ia bisa melihat pria ganteng di sana. Tidak ada yang mengatakan itu terlarang karena setiap orang berhak memiliki tujuan masing-masing. Yang penting di awal mereka sudah mau berkomitmen untuk beryoga. Itu saja sudah cukup. Selanjutnya, seiring dengan makin sering berlatih, pikiran makin terbuka dan kaya, akan ada peluang untuk berubah menjadi lebih baik bukan?

Satu pelajaran lain yang saya petik dari workshop tersebut ialah bahwa memiliki tujuan berlatih boleh-boleh saja asal realistis. Jangan mematok terlalu berlebihan atau akan membuat kita terlalu lelah. Kondisi badan yang terlalu dipaksa dalam peregangan berlebihan (over stretching), membuat badan kita menjadi kaku setelah beberapa lama tidak berlatih, tetapi rasa kaku itu mungkin – ujar Christina – karena badan kembali ke kondisi semula. Maka dari itu, menurut hemat saya, agar berlatih bisa rutin, tetapkan pola latihan yang realistis bagi diri kita. Jangan memaksa berlatih 2 jam di pagi hari seperti seorang guru yoga yang masih lajang jika Anda memiliki anak kecil atau bayi yang harus dirawat, pekerjaan lain yang harus dilakukan sehingga cuma ada 15 menit waktu luang misalnya di pagi atau sore hari. Berapa pun waktu yang luang untuk beryoga, lakukan saja. Jangan menunggu sampai punya waktu 2 jam penuh baru beryoga. Jangan lupa pula bahwa bagaimana pun ada tugas-tugas utama yang lebih penting dari berlatih asana setiap hari. Yang perlu dipikirkan ialah bagaimana yoga bisa dileburkan di dalamnya, di dalam setiap kegiatan sehari-hari kita. Jadi berlatih yoga itu bukan cuma di atas mat, di studio yoga, atau dengan teman-teman yoga kita. Dengan pemikiran yang lebih terbuka, kita bisa melakukan yoga di mana saja, kapan saja, tidak peduli profesi, usia, kondisi fisik.
image

Mengapa Seseorang Perlu Berhenti Lakukan Yoga?

image

Kita selama ini sering disuguhi dengan berbagai uraian yang meyakinkan agar mau melakukan yoga secara rutin. Betul bahwa yoga memang bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga. Ia berguna bagi mereka yang mendambakan ketenangan spiritual, kebugaran fisik di masa paruh baya dan senja, atau sekadar bersenang-senang di waktu senggang. Yoga bisa dilakukan di mana saja, selama Anda masih bisa bernafas, demikian kata seseorang yang pernah saya dengar.

Akan tetapi belum ada, atau belum banyak, yang berani menyarankan mengapa kita harus berhenti beryoga. Terlepas dari preferensi pribadi dan isu sensitif yang berkaitan dengan keyakinan, ada banyak hal yang mengapa seseorang perlu berhenti, entah sejenak atau seterusnya, untuk melakukan yoga.

Topik ini seolah tidak pernah tersentuh, sepanjang pengetahuan saya. Seorang teman dari negeri seberang pernah menanyakan ini dalam perkenalan tatap muka kami yang singkat, “Mengapa orang berhenti beryoga?” Dan saat itu, saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Saya spontan menjawab,”Mungkin orang perlu berhenti dari yoga karena ia sudah muak dengan komersialisme, intrik-intrik persaingan, fanatisme, dan sejenisnya yang ada di dalam yoga.” Saya menjawab demikian karena saya tahu yoga sudah menjadi sebuah industri yang tidak bisa diremehkan potensinya. Miliaran dollar AS bisa dihasilkan dari kelompok orang yang mencandu yoga di seluruh dunia, demikian sekilas saya pernah baca dalam sebuah artikel.

Kemudian saya teringat dengan seorang teman yang sudah lebih dulu berkecimpung di dunia yoga bahkan sudah relatif berpengalaman dalam mengajar, yang juga menempuh langkah yang sama: mundur dari dunia yoga. Ia memutuskan pergi begitu saja, tanpa pamit. Tetapi ia masih berhubungan baik dengan kami, hanya saja tidak lagi di ruang studio yoga, atau dalam percakapan di atas matras yoga, atau dalam diskusi hangat tentang gaya beryoga terbaru dan perkembangan trik mencapai asana tertentu yang sungguh menantang dan banyak orang gagal melakukannya. Ia sudah menganggap lalu semua itu dan menerjunkan diri ke dunia kerja sosial dan amal yang sama sekali lain dan tidak bersentuhan dengan yoga. Sekilas, ia tampak sebagai seorang pengkhianat, prajurit yang desersi dari medan laga tempat ia ditugaskan. Kala itu, saya memang kurang paham alasannya. Namun, kemudian saya sadar itu speenuhnya pilihan pribadi yang bersangkutan. Tidak ada hak yang saya miliki untuk menariknya kembali atau menghakiminya dalam bentuk apapun.

Saya pun mulai melontarkan pertanyaan di jejaring sosial untuk menjaring berbagai pendapat dari teman-teman yang juga kebetulan menekuni yoga, lebih lama dan lebih mendalam daripada saya. Pertanyaan itu adalah:”Kapan dan mengapa seseorang perlu berhenti melakukan yoga?”

Berikut adalah beberapa jawaban.

TELAH ‘TERCAPAI’ TUJUAN BERLATIH YOGA

Stefano, seorang teman, mengatakan semua alasan seseorang berhenti beryoga bisa dirunut dari pangkalnya, yaitu alasan mengapa seseorang memulai berlatih yoga. Ada banyak orang yang memulai yoga karena tergiur iming-iming memiliki keindahan tubuh model cantik seperti Miranda Kerr, tubuh sintal penyanyi Jennifer Lopez, stamina penyanyi pop Adam Noah Levine atau keperkasaan penyanyi gaek Sting. Semua sah-sah saja. Tidak ada yang bisa melarang kita memiliki tujuan berlatih apapun.

Tetapi tujuan inilah yang akan membedakan apakah seseorang benar-benar akan menjadi yogi/ yogini atau hanya seorang penggemar yoga sesaat dan kemudian bosan atau putus asa lalu meninggalkannya.

Jika tujuan kita cuma mencapai aspek fisik, yang didapatkan dari latihan yoga juga semata peningkatan unsur ragawi dalam diri kita. Jika seseorang merasa sudah mencapai tujuannya, tentu saja ia akan berhenti. Perjalanannya akan berakhir begitu apa yang ia cari sudah ditemukan, yang mungkin berupa tubuh yang lebih ramping dan langsing, lengan yang lebih kencang dan kekar karena chatturanga berratus-ratus kali dalam seminggu, atau mampu kayang sedemikian rupa hingga tangan sudah dapat menyentuh kaki. Sebagian dari kita memiliki target-target seperti ini, hal-hal yang bersifat fisik yang menjadi tujuan dalam berlatih.

Lain lagi dengan orang yang ingin mencari ketenangan batiniah dengan yoga. Ia lebih suka bermeditasi, dan meskipun berasana, ia lebih menekankan penghayatan spiritual dalam berasana itu. Atau lebih lama melakukan meditasi dan pranayama daripada berpeluh dalam berbagai asana yang menantang.

Lalu mana yang lebih baik? Mana yang lebih benar? Semua baik dan benar, tergantung pada kebutuhan dan kondisi masing-masing individu. Asal kita sudah merasa nyaman dan mantap dalam berlatih, itu berarti sudah benar bagi diri kita, dan tidak perlu menghakimi dan mencap apa yang lebih baik bagi orang lain dengan mengandalkan pengalaman dan pengetahuan kita karena belum tentu sesuai dengan apa yang mereka alami dan rasakan. Karena beryoga pada substansinya bukanlah penyiksaan diri tetapi seharusnya menjadi arena berekspresi, melepas penat dari kehidupan sehari-hari sehingga bisa menjadi diri sendiri, bukan untuk mencapai standar kesempurnaan yang ditetapkan orang lain.

MELUKAI DIRI DAN ORANG LAIN

Jika berlatih yoga membuat Anda cedera sebaiknya memang Anda berhenti melakukan yoga, terutama dalam artian berasana. Seperti yang dikatakan oleh Anne Kreamer yang sudah beryoga sejak umur 20 tahun dan sekarang sudah berusia senja, bahwa beryoga (berlatih asana) memang perlu penguasaan dan pengendalian diri (baca: ego) yang terlatih.

Lama berlatih yoga bukan jaminan seseorang bisa lebih piawai dalam mengendalikan sang ego. Bahkan seorang guru dengan pengalaman berpuluh-puluh tahun lebih berisiko memiliki ego yang lebih tinggi dari murid-muridnya, karena ia diposisikan sebagai panutan, teladan yang sepatutnya tidak bisa disetarakan atau dikalahkan dengan mereka yang masih awam. Panggilan guru sendiri sudah menjadi risiko membesarkan ego seseorang karena membuatnya bisa melakukan dan berwenang lebih dari yang lain.

Seseorang perlu berhenti melakukan yoga, kata Kreamer dalam tulisannya “What I Learned from Giving Up Yoga” di HuffingtonPost.com, jika sudah merasa tidak mau kalah dari yang lain. Dalam kasus Kreamer, ia merasa lebih dari orang lain yang berlatih dengannya di satu kelas yang sama karena ia sudah melakukan yoga sejak 30 tahun lalu. Ia sudah banyak makan asam garam beryoga. Seiring dengan berjalannya waktu, tubuh Kreamer mulai menua dan menunjukkan keterbatasan. Namun, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa badannya sudah tidak sebugar dan sekuat tubuhnya dulu saat lebih muda. Dan ego yang terluka ini seolah ditaburi garam dan perasan jeruk nipis saat ia masuk ke kelas yoga yang di dalamnya dipenuhi anak-anak muda yang jauh lebih sehat, lincah, bugar secara fisik. Hingga suatu ketika, ia harus menderita pecahnya pembuluh darah di mata akibat tidak menuruti kata egonya dengan melakukan headstand. Padahal tubuhnya telah menua dan berubah (ia menderita tekanan darah tinggi akibat konsumsi obat dari dokternya) lebih lemah. Di kelas, ia mengaku tidak bisa duduk diam saja menyaksikan semua orang berasana menantang, dan ego itu pun mendorongnya melewati batas. Berkaca dari pengalaman Kreamer itu, mari kita mengevaluasi diri apakah kita sudah melukai diri dan orang lain (Anda bisa melukai orang lain juga, terutama jika Anda seorang guru yoga) saat beryoga? Apakah selama ini dengan beryoga, kita menjadi lebih sehat ataukah malah lebih sakit karena menderita berbagai cedera? Jika memang sudah demikian, bisa jadi guru kita belum sepenuhnya memahami yang kita butuhkan dan kita sudah melakukan yoga dengan cara yang kurang sesuai. ada baiknya berhenti sementara, atau jika sudah merasa cukup, berhentilah beryoga (baca: berasana) dan fokuslah pada aspek lain dalam yoga yang tidak kalah bermanfaat seperti nilai-nilai kebajikan universalnya, meditasi dan pranayama.

PIKIRAN DAN HATI BERHENTI

Saat seseorang menjadikan yoga sebagai rutinitas sehari-hari, ada risiko yoga menjadi sebuah beban baru daripada sarana pelepasan beban. Karena terus menjadikannya sebagai kewajiban dan beban baru dalam kehidupan, seseorang juga bisa merasakan kebosanan, stagnannya semangat, pikiran dan hati dalam beryoga. Bisa jadi karena tidak ditemukannya dinamika, atau kejutan-kejutan baru dalam berlatih.

image

DIMINTA GURU BERHENTI

Santhip Kanholy, seorang yogi yang saya pernah mintai pendapat melalui Quora.com, mengatakan bahwa seseorang harus berhenti berlatih yoga jika ia memiliki guru yang memintanya secara langsung untuk berhenti berlatih yoga yang diajarkannya. Dengan syarat si guru adalah guru yang sejati, tulus yang memberikan perhatian pribadi dan hanya membutuhkan perhatian publik yang berlebihan untuk keuntungan pribadi dan sudah tercerahkan. Kemudian apapun yang dikatakan sang guru adalah sadhana sang murid, kata Santhip.

EGO SPIRITUAL YANG MENINGGI

Bagi para guru dan murid yoga, risiko ego spiritual mungkin menjadi salah satu bahaya laten yang paling halus dan membahayakan karena tidak terdeteksi dengan mudah. Relatif lebih mudah untuk mengetahui seseorang yang memiliki ego tinggi saat ia berasana daripada seseorang yang tengah diam bermeditasi. Orang lain tidak akan pernah mengetahui apa yang sebenarnya ia pikirkan dalam meditasinya itu. Apakah ia akan mengagumi dirinya sendiri yang sudah terkesan begitu bijak di hadapan para murid? Atau benar-benar menelusuri ke dalam dirinya sendiri tanpa peduli apa yang dipikirkan murid-muridnya? Mungkin tidak akan ada orang yang benar-benar bisa 100% fokus pada dirinya sendiri tanpa peduli opini orang lain, tetapi setidaknya tarikan mana yang lebih kuat dalam diri seseorang, apakah ke keinginan tampil sebagai panutan yang bijak dan sempurna meski palsu atau fokus pada diri  dan kebajikan?

Memiliki ego spiritual seperti ini membuat kita merasa lebih paham dan memiliki penguasaan yang lebih baik dari semua orang mengenai yoga dan kita merasa mampu memberikan nasihat dan bimbingan spiritual yang meyakinkan berdasarkan pengalaman yang bisa dikatakan baru sangat terbatas. Biasanya akan ada guru yang terlibat dalam proses itu, tetapi jika Anda pikir Anda tidak mungkin ‘terjangkit’ sindrom ini sampai Anda merasa tidak bersedia berlapang dada menerima kebenaran dan fakta yang benar-benar terjadi di depan mata, dapat dipastikan Anda perlu berhenti beryoga secara spiritual.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencuci bersih diri kita dari ego spiritual semacam ini? Menurut Santhip, kita perlu kembali melakukan ‘seva’ yang membuat kita membumi kembali. Lakukan kegiatan-kegiatan semacam bercocok tanam, membersihkan tempat beribadah, menyumbangkan tenaga dan waktu sebagai relawan untuk kegiatan amal, dan sebagainya. Kemudian setelah kita merasa telah netral dan seimbang dari kesombongan itu, dan saat guru kita sudah melihat perubahan dalam diri kita, sang guru mungkin akan memberikan saran atau nasihat lebih lanjut. Namun jika Anda tidak memiliki guru, begitu Anda melihat bahwa Anda sudah merasakan perubahan dalam hati Anda, akan lebih bagi Anda untuk memulai berlatih kembali dengan cara yang lebih seimbang, daripada melakukan kesalahan yang sama.

MENINGGAL

Ada ungkapan yang menyatakan semua orang bisa beryoga asal ia masih bisa bernapas dengan kedua paru-parunya. Karena itulah, seseorang juga akan berhenti beryoga, jika ia sudah tidak lagi bisa bernapas.

Menurut Anda, apa lagi alasan agar seseorang berhenti beryoga?

Berapa Kali Idealnya Frekuensi Latihan Yoga?

Pertanyaan ini sebenarnya tidak bisa dijawab dengan satu jawaban yang pasti dan baku karena saya yakin bahwa setiap orang melakukan yoga dengan tujuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Bagi saya, yoga tidak perlu dilakukan setiap hari karena tubuh saya memerlukan istirahat dan meskipun yoga baik untuk tubuh, saya tidak mau sampai berlebihan karena apapun yang berlebihan sekalipun bermanfaat akan memberikan imbas negatif juga. Saya hanya ingin keseimbangan. Jadi saat tubuh saya ‘menjerit’ ingin rehat, saya tidak akan memaksanya ikut kelas yoga yang terlalu menguras tenaga.

Akan tetapi ada juga teman-teman yang berlatih setiap hari, bahkan dua kali sehari untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya menyempurnakan pose-pose mereka, berlatih sendiri karena diberi tugas oleh guru saat pelatihan atau setelah workshop, dan sebagainya. Seorang teman, misalnya, sedang berniat membuat headstandnya lebih baik lalu berlatih setiap hari untuk membuat tubuhnya lebih kuat melakukan headstand. Atau satu lagi yang ingin membuat hanumasananya lebih sempurna.

Lalu manakah yang benar? Semua benar menurut kondisi masing-masing. Tidak ada yang bisa mencegah kita melakukan apa yang kita yakini benar, kecuali saat kita sudah merasa nyaman, baik secara fisik (cedera) dan psikologis (iri berlebihan karena seseorang tidak bisa Anda ‘kalahkan’ kelihaian berasananya).

Itu menurut saya. Lain halnya dengan jawaban guru yoga Deera Dewi yang memaparkannya di sela kelas yoganya yang saya ikuti kemarin.

Ia mengatakan latihan yoga bisa dilakukan tiap hari, bahkan dua (2) kali dalam sehari.

Latihan bisa dilakukan di pagi hari dengan meditasi dan pose-pose yang memberikan energi (energizing) pada tubuh kita. Asana-asana jenis backbend bagus untuk memberikan semangat dan membuat kantuk sirna. Inversion efektif untuk membuat peredaran darah di otak bagus. Pose-pose twisting membuat proses detoks lebih lancar di pagi hari saat tubuh harus membuang zat-zat racun. Pose-pose berdiri juga baik untuk dilakukan di pagi hari untuk meningkatkan fokus sebelum memulai kegiatan sehari-hari, misalnya pose pohon (vrksasana/ tree pose).

Sementara itu latihan yoga di sore hari menurut Deera perlu menekankan pose-pose “restorative”, yang artinya asana-asana dan teknik pranayama yang memberikan efek menenangkan tubuh setelah kelelahan seharian beraktivitas sejak pagi.

Jadi berapa sering Anda harus beryoga? Hanya Anda yang bisa menjawabnya. Yang penting, ketahui apa yang Anda butuhkan.

Dice Iida-Klein Shares His Journey to Yoga

Image

This yogi is well known for two things: his fabulous arm balancing poses on the mat with Briohny Smyth and his stunning looks even a straight man will honestly admire. As superficial as it may seem, Dice (thank God he is not cubic in form) shows a new approach to yoga by introducing some transitions and sequences that mostly involve inversion and arm balancing asanas, called “Brice Yoga Method”. Along with her wife, he arranged some inversions and arm balancing poses into a sequence not every yogi and yogini can follow smoothly. Seriously, it’s designed mostly for advanced learners who know well their bodies and safety aspect of doing challenging asanas. So if you as new comers want to try, no one can prevent you from trying but try at your own risk. Believe me, you’ll be physically challenged by the entire exercise. I can say this after last December took his short class. And I, who happens to be a lover of inversions and arm balancing, felt his transitions and sequences are too challenging I want to only sit on my mat, seeing what others can do.

“My name is Dice Iida-Klein and I love yoga, simply put,”says the yogi to Hipwidth when interviewed in Sunny Venice Beach, California. From his build, I knew Dice did some ports before plunging into the yoga routine. He admitted he’s been physically active since his childhood. “Baseball, hockey, basketball… Play them all pretty competitively. Through high school, a varsity tennis player, and a wrestler and a cross country runner. And at college, I lifted a lot of weights and got pretty stocky and big but I’ve always changed sports, and kind of I think because I can’t stick with one thing too long,”he adds. And apparently weightlifting credited for these muscular torso and arms and shoulders, which play significant role in arm balances. So does that mean in order for a yogi to do a better handstand or other arm balancing poses, he has got to hit the gym first to lift weight with those gym rats? Perhaps…

His first encounter with yoga in August 2007, he recounts, involved abundant sweat. It was Sarah Ivanhoe’s class in Santa Monica. “I had my butt handed to me,”Dice recalls. He never sweated so much before,”I’ve never been so sore the next day!” He never worked so hard physically that his mind mentally so absolutely pure. “So calm and relaxed and able to assess things better than normal…I think that’s what pulled me in. As much as I love the physical side of yoga, the physical side is what really gives me mental stability.”

What does yoga mean to Dice? According to the 29-year old yogi, everyone is entitled to his or her own opinion of what yoga means to each of them. It should be different because we’re allowed to define yoga ourselves.”For me, it sounds like a way of selfish things but it’s a very self introspective, self-studying thing, it helps me become a better person so I can be better for other people around me and the world around me. Sometimes selfish comes up with the negative connotation but I think yoga starts off selfish but it turns into something that is very selfless.”

For a yoga guru who travels around the world, Dice has his own rule of home practice. He says he practices alone spans at least 30 minutes to 2 hours a day. And of course, it involves “tons of arm balances”, which he confesses would really love to do.

My First Day of Teaching Yoga in Public

image

It was quite a surprise, to be blunt. Everything was ill-planned this very morning. I had to teach in a very short notice. I was called on the phone and within 15-20 minutes I simply had to be at the park teaching. Saying no was not an answer apparently. He just called in a rush and hung up the phone, leaving me all alone in complete panic.
“How am I supposed to do now?” I asked myself frantically. Still dumbfounded by the shocking request, I said to myself I might have run away, fled the situation but how about responsibility? Gosh, I was such in awe because under such a circumstance I was still taking that into account.
Another yoga friend was asking on the messenger how long I would arrive there and I felt horrible for coming unfashionably late! This was not what I pictured in my mind about my first class attended by a lot of people (around 10-20 people at a public area). Complete chaos was what I would shortly undergo, I shouted at myself.
And the people were sitting there while I was dashing with my mat on my back. I was trembling to tell you all the truth but there was no time to complain, I knew I could only rely on no one but myself and the Divine.
So with my greatest effort, I tried my best to calm myself first, accompanied with the emerging sense of self confidence. I guessed everyone there read my body languages, that I was not fully prepared for this. I was struggling inside out!
Apart from the panic and fuzzy hatred out of my helplessness, I stealthily gathered my shattered courage because no matter what I had to lead the class waiting for me impatiently. Inhale deeply and focus as I was sitting down on the rolled blue mat one of my teachers gave me. Damn hard but I tried to proceed and survive. I said to them, “Centering. Focus on your inner self…” But that was directed to myself as well. The student inside me was dragging me down with the instruction, but the teacher of me pushed me back to the hard cold truth that morning: “You’re a teacher, the authority here. Stay aware of students and of course yourself. Take that responsibility and suck it up.”
I opened my eyes and here was a flock of people in front of me, staring at me, watching closely what I did. “Forget it and show them what you want to share,” a voice inside me whispered. That’d be easy, I supposed. Just focus on sharing what I have got, period. Who cared if someone sneered at my techniques or asanas or cues or … Whatever. It was a struggle to remain ignorant of these things throughout the practice.
So I started the practice with some gentle stretching here and there. And oh I forgot twisting poses but that was absolutely ok because I just realized now, not before the class. That was not a big deal. No one noticed, or no one dared to question me. Yoga students are mostly too polite to challenge novice teachers. And thank God, I was spared.
But the self critic inside me constantly blurting, “Tsk, you forgot that and this..and these and those.”
And came an Iyengar yoga teacher, catching me off guard. I had literally no idea about his presence, which was good. My single-mindedness (or nervousness) seemed to be working best. A friend who taught yoga several weeks ago here lost his focus while teaching as he knew this Iyengar yoga teacher. He was so scared of being visually observed and thus judged and criticized. You know when it comes to perfection pursuit, Iyengar teachers teach with utmost discipline like that of soldiers. Obviously, ignorance is a total bliss!
Unlike the asanas captured on the majority of photos I always upload on the web, the asanas I chose to perform during the class were considerably easier and way less challenging to even a beginner (so I thought). But as I observed the participants, I discovered one or two with advanced yoga skills. That could be either because they are regular students somewhere else or they’re basically light and found it effortless to stand upside down.
A caucasian lady in her 50s was among the crowd. In an instant, I knew she is an avid yogini. She was quite familiar with the atmosphere of yoga class. She even could smart-guess my gesture without listening to my bilingual instructions. I spoke both English and Indonesian while teaching, in order not to leave her puzzled. She wasn’t but I was! I was puzzled because I failed to arrange the flow of the class in an orderly way. Blame it on the nervousness. I came from sitting poses to standing, squatting, and then standing in balance, and backbending and finally inversion poses. As random as the order might seem, what made more concerned was whether they realized I was struggling to find my class flow. It didn’t take a genius to come to complete realization that I am an amateurish instructor or a poser trying to give one or two bites of instruction, order, explanation, and sometimes, jokes. Jokes that were intended more to make myself comfortable in front of these people, instead of making this class a little bit more lively.
As if the nervousness and lack of preparation and teaching skills were not enough, the battery of the microphone I was using gradually ran out. To say I was frustrated even more was an overstatement. I was too powerless to get furious and furthermore I didn’t know who to reprimand. I let the frustration and anger go. “And maybe this is the right time to conclude the class”, I mumbled. Class is over. Namaste…

Jakarta, July 7, 2013

Cikal Bakal Yoga *

Suatu sinar menyinari semua benda di muka bumi ini, menyinari kita semua, menyinari langit, puncak tertinggi, lapisan langit tertinggi. inilah sinar yang menyinari hati kita semua.

Chandogya Upanishad

 

 

Yoga berasal dari keluasan dan kedalaman tradisi kuno. Banyak aliran yoga yang berakar dari sejarah eksplorasi spiritual yang kompleks, refleksi filosofis, eksperimen ilmiah dan ekspresi kreatif nan spontan. Muncul dari budaya India yang terus berkembang dan majemuk, yoga sering disamakan dan dibentuk oleh Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, dan sejumlah kepercayaan lainnya. Filosofi, ajaran, dan praktik yoga sama bervariasinya dengan cabang-cabang dari luasnya yoga yang tak terhitung banyaknya dalam segala manifestasinya. Apa yang kita ketahui mengenai asal muasal dan perkembangan yoga berasal dari berbagai sumber, termasuk teks kuno, pewarisan pengetahuan secara verbal melalui garis keturunan spiritual atau image

yoga tertentu, ikonografi, tari-tarian dan lagu-lagu. Meskipun bagi sebagian orang yang belajar dan mengajar yoga sejarah ini bermakna sepele, bagi sebagian yang lain apresiasi penuh terhadap yoga akan menjadi lebih kaya dan lebih nyata saat diajarkan dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai asal muasalnya.

Dalam pembahasan ini, kita akan menggunakan sapuan kuas yang besar untuk melukis di atas sebuah kanvas yang menggambarkan kebijaksanaan tradisi yang berterima yang masih mengajarkan praktik-praktik yang kita eksplorasi dan bagikan saat ini. Kita akan membahas literatur dasar yoga untuk mengidentifikasi praktik-praktik yoga tradisional, berhenti sejenak saat membaca untuk merenungkan relevansi dan penerapan praktis dari semua praktik ini dalam melakukan dan mengajarkan yoga di abad ke-21.

Weda

Walaupun sejarah yoga mungkin berusia beberapa ribu tahun, tulisan mengenai yoga yang pertama kali diketahui ditemukan di dalam teks spiritual Hindu kuno yang dikenal sebagai Weda (yang berarti “pengetahuan”), dan yang tertua adalah Rig Weda. Meskipun para cendekiawan memperdebatkan tanggal dan asal Weda (1700-1100 SM) yang pasti, mayoritas sepakat bahwa 1.028 himne yang menjadi bagian penyusun Rig Weda, yang dianggap oleh banyak orang berasal dari dewa, merupakan sumber tertulis pertama mengenai yoga (Witzel 1997). Semua himne ini tersusun sebagai puisi oleh para pemimpin spiritual (paranormal) dalam suatu budaya yang di dalamnya sebagian besar praktik-praktik yang paling bersifat spiritual terhubung langsung dan cepat dengan alam dalam rangka pencarian makna dan keseimbangan. Himne-himne tersebut mencerminkan eksplorasi mistik mengenai kesadaran, hidup dan hubungan dengan dewa. Di sinilah, yoga yang berarti “bersatu” atau “menyatukan” pertama kali disebut. Penyatuan yang disengaja itu ialah penyatuan pikiran seseorang dan dewa, sebuah kualitas transenden mandiri yang menciptakan keadaan sadar sepenuhnya yang di dalamnya kesadaran akan adanya “Saya” sirna menjadi suatu rasa munculnya kehadiran inti ketuhanan.

Meditasi ialah alat utama yang dikisahkan para paranormal Weda dalam Rig Weda untuk mencapai keadaan sadar dan kesatuan ini. Bentuk utama meditasi ialah melalui mantra, nyanyian bunyi tertentu yang dilakukan berulang yang dibuat untuk menciptakan getaran dalam batin agar selaras dengan inti ketuhanan. Bunyi-bunyian itu sendiri disajikan oleh para paranormal dalam sesuatu yang dianggap sebagai bentuk murni ekspresi ketuhanan yang tidak luntur oleh pikiran. Keadaan meditatif diperdalam dengan membayangkan dewa dan secara total menyerap rasa hadirnya dewa itu dalam hati seseorang. Semua praktik yang saling berhubungan ini mendahului sifat-sifat meditasi yang ditemui kemudian dalam Sutra Yoga”: penarikan indra-indra dari gangguan eksternal, konsentrasi pada satu titik, pelepasan pikiran menjadi kesadaran hidup yang berpusat pada hati nurani, dan awal menuju kesatuan dengan tuhan. Banyak himne Weda disebarkan saat ini dalam kirtan – atau nyanyian panggilan dan sahutan – yang dipimpin oleh para praktisi yoga bhakti (kebaktian). Meskipun kelompok Hare Khrisna mungkin yang pertama kali mempopulerkan senandung mantra di Barat, para penyanyi pop seperti Jai Uttal, Deva Premal, dan Khrisna Das telah meleburkan praktik ini dalam studio yoga yang banyak kita temui di Barat. Kini makin mudah ditemui senandung himne Hindu dalam kelas-kelas yoga di Barat, entah itu sebagai bagian dari musik pengiring atau diiringi dengan partisipasi siswa secara penuh.

Banyak siswa merasa bahwa praktik ini memperdalam pemahaman hubungan spiritual mereka dan sekaligus mempererat hubungan sebagai satu komunitas. Apakah efek itu berasal dari getaran khusus yang diciptakan oleh cengkok nada kata-kata Sansekerta tertentu sebagaimana diklaim dalam Rig Weda, atau begitu saja muncul dari kebahagiaan dari bernyanyi dan bernapas, menjadi topik perbincangan yang hangat. Meskipun banyak siswa mengaku memiliki pengalaman yang menguatkan dan menyenangkan, sejumlah studio yoga melarang senandung (termasuk “aum”) karena banyak siswa lain, terutama yang masih baru, berpendapat bahwa bersenandung merupakan ritual agama esoterik dan aneh. Mereka ini mungkin masih belum berdamai dengan sistem kepercayaannya atau pemahaman spiritualitasnya. Dengan memperkuat dan membuka kepekaan spiritual Anda yang sebenarnya dan secara bersamaan menjadi terbiasa dengan keterbukaan siswa-siswa Anda, Anda akan terbantu dalam menentukan kapan atau apakah akan memasukkan senandung dalam kelas yoga Anda.

Mantra Gayatri yang diambil dari Rig Weda merupakan salah satu mantra yang paling sering dilantunkan dalam Hinduisme. Terjemahan dan catatan paling populer di Barat berasal dari Deva Premal:

Om bhur bhuvah svah

Tat savitur varenyam

Bhargo devasya dhimahi

Dhiyo yonah prachodayat

Terjemahan:

Melalui datangnya, perginya, dan seimbangnya kehidupan

Sifat pokok yang menerangi keberadaan ialah yang mengagumkan

Semoga semua merasakan melalui akal yang halus

Kecemerlangan pencerahan

 

(*Terjemahan dari “Teaching Yoga” oleh Mark Stephens, halaman 1-3)

Mengenali Diri dengan Olah Badan dan Jiwa

Jika ada yang tak saya sukai di masa kanak-kanak tetapi begitu saya sukai sekarang dan saya lakukan tanpa paksaan sama sekali dari orang lain dan bahkan diri sendiri   mungkin  yang paling utama adalah berolahraga fisik.

Saya sangat amat tidak suka yang satu ini. Saya tak suka sepakbola apalagi setelah seorang pemain sepakbola kampung menedang bolanya ke muka saya sampai kepala pening dan berkunang-kungan hingga keesokan harinya. Saya tidak pernah bisa memaafkan kebodohan  menjadi penonton sepakbola di barisan paling depan. Sejak itu, mendengar kata sepakbola saja saya sudah mulas. Padahal sepanjang SD, SMP, dan SMA, olahraga yang biasa dilakukan anak laki-laki adalah yang satu ini. Dan saya pun harus pasrah dengan kesewenang-wenangan otoritas sekolah alias guru olahraga yang cuma menyediakan lapangan olahraga bola di lingkungan sekolah. Entah itu, sepakbola, voli, basket. I hate balls!

Tak ada banyak pilihan olahraga saat itu. Dan tak banyak waktu untuk berolahraga karena saya menganggap olahraga hanya buang-buang waktu. Toh hanya membakar cadangan lemak yang harus saya simpan dan gunakan dengan sehemat mungkin. Belum saya sadari bahwa badan manusia memang diciptakan untuk bergerak.

Saya juga, seperti banyak orang lain, pernah mengalami sebuah gaya hidup mengerikan selama 8 bulan yang minim olahraga. Tak banyak keluar ruangan dan sepanjang hari berkutat dengan komputer hingga mata saya lelah luar biasa. Semua bagian badan serasa menjerit. Kesehatan fisik, dan mental serta psikologis rasanya merosot. Saya tak mau terjebak dalam gaya hidup seperti itu lagi.

Dan sore ini adalah tepat dua hari sebelum medical check up tahunan kantor. Seperti biasa, saya dan teman-teman kantor mengobrol santai di musolla. Ya, obrolan sore di musolla kantor ini sering didominasi obrolan keluhan kesehatan dan topik ini makin intens saja menjelang hari H pelaksanaan pemeriksaan kesehatan.

Seperti biasa saya memulai sedikit peregangan dengan asana-asana yang mudah dan beranjak ke jenis yang lebih menantang. Saya sudah biasa melakukan yoga di sini, di musolla kantor setelah solat. Bukan sebuah sesi yoga versi penuh ala studio yoga mewah di Kemang atau fitness center nan mahal tetapi cukup untuk membuat tubuh kembali segar dan bersemangat, di saat jam-jam kritis waktu rasa lesu menyerang badan yang sudah lelah karena bekerja dari pagi.

Seorang teman, sebut saja D, yang plafon asuransi kesehatannya baru saja ‘jebol’ karena digunakan membayar perawatan rumah sakitnya pasca Lebaran kemarin, mengajak berkompetisi begtu melihat saya memperagakan chaturanga yang mirip dengan push-up. Kami pun adu push-up. Perlu diketahui, tubuh saya cuma seberat separuh (lebih sedikit) dari tubuhnya yang (konon menurut pengakuannya sendiri) menembus angka 80 kg. Ok lah kalo begitu, kami pun mulai beradu kuat dalam push-up. Saya menang dengan skor 12 plus ditambah satu lagi repetisi dengan menahan posisi di tengah dengan lengan menekuk (bukan dengan tangan lurus alias plank, atau tengkurap di lantai). Begitu juga saat sit-up saya menang meski saya akui saya memerlukan alas lebih tebal agar punggung dan pinggul yang sudah minim lapisan lemak ini tidak beradu fisik dengan lapisan lantai yang bertikar bambu.

Akhirnya ia menemukan satu kompetisi yang membuat saya bertekuk lutut: panco. Dengan lengannya yang sebenarnya tak terlalu berotot (hanya menang lemak) itu ia menggunakan berat tubuh bagian atasnya untuk mengalahkan saya yang berlengan ramping ini.

Teman yang lain, sebut saja G, yang juga di sana menyaksikan kami berlomba turut tergoda mempraktikkan olahraga favoritnya aikido. Tubuh G lebih jumbo lagi dari D. Ia memperagakan cara mengunci yang biasa dilakukan dalam aikido dan cara memilin pergelangan tangan lawan agar lawan terbanting dengan tenaga minimal. Katanya dengan kelenturan persendian yang saya miliki berkat yoga, kuncian pergelangan tangan itu tak terlalu membuat saya kesakitan meski akhirnya bisa membuat patah tanpa sadar.

G juga perkenalkan sebuah gerakan khas akikido  untuk pemanasan yang tampaknya bertujuan juga untuk membuat tubuh terlatih untuk lebih gesit dan responsif saat menghadapi lawan. Gerakannya sederhana saja, kedua kaki ditekuk dan berguling ke belakang dengan punggung menyentuh lantai lalu berguling ke depan kembali langsung ke posisi berdiri. Bisa ditebak meski oleh orang ber-IQ pas-pasan sekalipun, saya menjadi pemenangnya. Itulah keuntungan memiliki tubuh ringan dan perut yang ramping. Saat harus berguling ke depan untuk bangkit, saya tak harus menggunakan tangan untuk menyangga badan agar bisa berdiri tegak. Gerakan saya lebih mulus dan tak terasa ada beban. Lain dengan kedua teman yang lebih berbobot ini. Perut yang sudah membuncit membuat bangkit dari posisi jongkok ke berdiri menjadi lebih menantang.

Olahraga seperti inilah yang bisa membuat pekerja kantoran seperti kami masih bisa waras dalam berbagai aspek. Berolahraga seperti ini juga membuat kami sempat mengenali tubuh dan jiwa kami sendiri. Tak jarang kami merasakan nyeri dan pegal di sana-sini setelah kami menggerakkan badan dan bernapas serta rehat sejenak. Pekerjaan yang terus memburu membuat kami tak sempat merasakan setiap keluhan tubuh dan jiwa. Bahkan walaupun kami sudah tahu dan mendengar keluhan itu, kami pun sering memilih untuk mengabaikannya agar tetap bisa selesaikan pekerjaan yang terus mengalir tiada henti dan menunda menemukan dan mengatasi akar masalah yang belum juga ditemukan dan dicabut. Ini memang menjadi bom waktu tapi begitulah sifat manusia pada umumnya. Menunda hingga detik terakhir.

Namaste Festival,

 
Anita Buntarman selaku pendiri Namaste Festival sedang menjelaskan semua kegiatan dalam festival ini.

Namaste Festival mungkin masih asing di telinga kita, tetapi bagi para pegiat yoga di ibukota mungkin sudah akrab dengan festival satu ini.

Kemarin pagi Anita Buntarman dan Ine Noor berkenan hadir untuk latihan bersama dan menjelaskan apa saja kegiatan dalam Namaste Festival yang akan diselenggarakan tanggal 2-4 Desember 2011.

Banyak guru yoga berkaliber internasional hadir dan akan memberikan kelas-kelas yoga bagi para peserta di Indonesia.

Untuk keterangan lebih lanjut bisa dibaca di namastefestival.com.

The good news is member beberapa klub kebugaran dan anggota Yoga Gembira akan dapat diskon 30% jika membeli tiketnya loh!