Blogger Idealis VS Blogger Komersil: Pilih Mana?

img 20150122 123724
(Dok pribadi)

“My blogging life is basically goalless. I like the zen nature of that, and paradoxically, it improves results.”- Seth Godin

SEBAGAI blogger, saya bukan termasuk blogger yang gemar mengunjungi acara-acara kolosal yang dihadiri blogger-blogger atau citizen journalists. Mungkin karena saya memulai menulis blog bukan hanya sekadar keinginan mengikuti tren. Saya pantang menyerah dan masih juga memperbarui konten tanpa ada insentif apapun meski saat itu [tahun 2009] saya hanya bisa mengakses internet berbekal koneksi nirkabel yang kecepatannya membuat saya harus berkali-kali mengelus dada dan begadang sampai pukul dua pagi [entah kenapa koneksi internet makin lancar saat langit makin gelap. Saya ingin bertanya pada Smart sebagai penyedia layanan saat itu tapi belum sampai pada mereka].

Saya tidak bermaksud arogan saat mengatakan saya tak lagi memiliki hasrat untuk menghadiri acara-acara blogging tetapi karena saya merasa saya sudah menemukan tujuan saya dalam menulis blog.

Tidak munafik, dulu sebetulnya saya sering berusaha menyempatkan diri untuk menghadiri acara-acara seperti itu tetapi seiring berjalannya waktu, saya merasa makin lelah dan merasakan adanya desakan untuk meningkatkan ilmu dan pengalaman dengan tidak melulu mempelajari hal yang sama berulang kali.

Setelah sembilan (9) tahun menggeluti dunia blogging ini, saya sangat bersyukur karena saya sudah bisa menggapai banyak hal dengan berbekal blog-blog amatir yang sudah saya tulis. Maksud saya ‘amatir’, blog-blog saya hanya bercokol di domain-domain platform blogging gratis semacam wordpress.com seperti ini atau blogger.com.

Saya menggunakan blog-blog itu sebagai batu loncatan dan latihan untuk meyakinkan diri saya bahwa saya memang bisa dan piawai menulis. Dan saat saya sudah meyakinkan diri saya bahwa saya bisa, giliran saya meyakinkan orang lain mengenai hal yang sama. Dan saat itulah, saya tunjukkan karya saya dalam bentuk blog-blog ini. Sebelum mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis, saya memakai blog-blog ini sebagai portofolio yang saya bisa sodorkan pada pemberi kerja dan syukurlah, pemberi kerja yakin dengan apa yang saya sudah lakukan itu.

Jadi, sekali lagi saya tidak berkata saya menulis blog hanya untuk idealisme. Saya juga tentunya ingin mendulang keuntungan dari sini. Tetapi masalahnya keuntungan itu, apapun bentuknya, tidaklah bisa didapatkan secara instan dan bentuknya tidaklah mesti keuntungan finansial yang jumlahnya menggiurkan dan konstan datangnya.

Lalu muncullah keluhan-keluhan mengenai munculnya blogger-blogger yang passion utamanya ialah memfasilitasi brand-brand tertentu [entah mau mereka benar-benar pakai atau tidak, mereka sukai atau tidak] dalam upaya marketing dan sales.

Saya akui saya juga tidak kebal dari iming-iming semacam itu. Di blog ini, beberapa unggahan artikel saya adalah tulisan yang saya buat dalam rangka mempromosikan produk dan layanan brand tertentu [Anda bisa cari sendiri].

Namun, dari semangat yang menggebu-gebu untuk meraup hadiah, lama-kelamaan saya berpikir ada yang salah rasanya jika saya mengobral ruang di blog saya ini dengan memuat konten apa saja yang bersifat komersial, tanpa mempedulikan pandangan dan opini saya sendiri.

Ini bisa jadi karena saya sudah mulai menemukan ceruk saya sendiri untuk menulis secara profesional. Saya tidak menganggap blogging sebagai suatu sumur minyak satu-satunya yang saya harus eksploitasi secara maksimal. Saya menggantungkan sumber nafkah pada pekerjaan saya yang utama sehingga saya bisa lebih berdaulat di blog saya sendiri. Kedaulatan itu berupa kebebasan saya untuk menentukan konten atau tulisan seperti apa yang bisa saya masukkan atau tidak di blog saya. Mau ada yang membaca atau tidak, saya tetap memperbarui blog saya karena saya masih yakin bahwa konten yang bagus dan bermanfaat akan didatangi pengunjung bagaimanapun caranya. Organik, begitu satu istilah untuk menggambarkannya.

Seorang blogger yang sudah menulis lebih lama dari saya menyinggung soal suasana blogger saat ini terutama di Jakarta yang dipenuhi persaingan dan komersialisme. Interaksi sesama blogger, katanya, bukan lagi soal-soal substansial mengenai isu yang berkaitan dengan ketertarikan/ passion mereka tetapi melenceng ke monetisasi. Pokoknya bagaimana menambang uang dari blog. Atau jika bukan soal monetisasi, malah mereka membahas soal prestise semu semacam pagerank, Alexa rank, dan sebagainya. Lupakan soal influence, dampak yang diharapkan agar perubahan menuju ke arah yang lebih baik itu ada di masyarakat.

Menulis di blog pribadi memang tidak bisa 100% dianggap sebagai sumber penghasilan dan memang jangan sampai dianggap seperti itu.

“Blogging ONLY for money is a total bullshit.”

Itu menurut saya. Kecuali bagi orang-orang yang sudah memiliki komoditas yang jelas dan dibutuhkan untuk dijual ke masyarakat, seperti kepakaran, reputasi, ketenaran, ketrampilan, produk fisik, atau jasa.

Blogger-blogger yang ‘gagal’ memiliki atau membangun komoditas berharga untuk dijual via blog mereka biasanya berpikir pendek dengan ‘membangun kerjasama’ bersama brand-brand dan perusahaan-perusahaan untuk tetap bisa menghasilkan sesuatu dari aktivitas blogging mereka supaya tidak dikatakan pekerjaan yang sia-sia atau mubazir oleh orang-orang di sekitar mereka. Tak heran sekarang banyak blogger yang merasa sudah dikenal dan mulai berani untuk mengajukan diri sebagai pengulas produk dan jasa dengan imbalan yang biasanya berupa produk, voucher, tiket, kesempatan berwisata atau menginap yang semuanya gratis. Kalau tidak ada freebies sejenis itu, setidaknya ada goodie bags [yang biasanya berisi flash disk, notes, kaos, pulpen, wadah kartu nama, dan sebagainya] yang bisa dibawa pulang. Fenomena semacam ini nyata adanya di  antara para blogger gaya hidup (lifestyle) dan pelesir (traveling) yang memang sedang jaya-jayanya sekarang.

Sekarang ini saya telah menemukan dan akan terus berupaya memelihara keseimbangan dengan sesekali ikut lomba blogging yang temanya sesuai dengan minat, passion serta opini pribadi saya juga. Jadi kecil sekali kemungkinan saya mau menulis soal produk yang saya bahkan tidak pernah pakai, atau bahkan saya kurang sukai.

Ada tanggung jawab moral untuk mencoba dan membuktikannya dahulu agar orang lain tidak mengalami kerugian yang sama [bila memang ada kerugiannya] dan bisa mendapatkan faedah yang serupa [jika kita temukan manfaat positifnya].

Dan tentu saya masih akan terus menulis opini, pengalaman dan pemikiran saya yang tidak akan didapatkan dari blog-blog orang lain betapapun mereka lebih segala-galanya dari saya. (*/)

If You’re Interested in Watching Disney’s Beauty and The Beast

12-Inch MacBook Air, Another Incremental Innovation The World Badly Needs

It was rumored yesteryear already. To be frank , it’s quite stale as news. But why is this still news? Because it’s Apple that produces it. The world doesn’t care about what innovation Axio, Advan or Raspberry Pi would bring out to the market.

They say the new tech fascination would be released in the summer of 2015.

And as always, the selling point is the thinness. But if you wish to have the generosity of ports in the new product, you’ll be disappointed. Only one 3.5mm audio jack and a single USB-C connector are left. So the 13-inch model still wins.

There’s no mention about the battery durability. But if it can last 12 hours just like the 13-inch version, that’ll be great also.

The price could be between the 11 and 13 inch model.

Let’s hope the prediction is worse than the fact later on. Yet, I suppose I’ll stay with my old 13-inch one.

Truly I cannot understand why Apple has to produce the 12-inch in the first place? Tim Cook seems to want to confuse Apple fanboys and girls after applying the same strategy in the iPads.

Now, your decision making prior to buying a MacBook Air has never been as easy and simple as before.

Wait, that doesn’t include the processor and memory variations. 128, 256, 512 GB…??! I couldn’t care less.

Interviu, Saat Tepat untuk Membual bagi Pria

Rendah hati itu perlu bahkan menjadi daya tarik saat bergaul. Akan tetapi jangan lupa, ia juga bisa menjadi bumerang bagi pemiliknya di saat-saat penting. Salah satunya adalah wawancara kerja.

Saat wawancara kerja, mereka yang menjadi pelamar kerja haruslah pintar membual atau siap-siap gigit jari! Demikian kurang lebih pesan yang bisa dipetik dari hasil penelitian ilmiah yang dilakukan pada sekelompok pelamar kerja pria. Bersikap apa adanya dan rendah hati malah membuat peluang mendapatkan pekerjaan makin tipis.

Menurut ilmuwan Corinne Moss-Racusin yang tengah menempuh program doktoral psikologi di Rutgers, para pelamar kerja di tahap wawancara dinilai sama kompetennya namun mereka yang bersikap apa adanya dan rendah hati malah kurang disukai. Inilah yang saya sebut sebagai bumerang.

Rendah hati dianggap sebagai kelemahan dalam wawancara kerja, sebuah sifat yang menunjukkan status yang rendah bagi para pria yang bisa mempengaruhi secara negatif potensi pendapatan dan penerimaan lamaran kerja mereka. Kerendahhatian pada perempuan sebaliknya tidak dianggap sebagai indikator negatif dan tak dikaitkan dengan status. Seksis? Betul sekali.

Temuan dalam studi ini dilaporkan dalam jurnal Psychology of Men and Masculinity.

Moss-Rascusin menjelaskan lebih lanjut, bagi para pria dan perempuan, aturannya sama sekali lain. “Perempuan haruslah lebih komunal dan berorientasi lain tetapi mereka tidak boleh dominan. Secara historis dan lintas budaya, pria dikaitkan dengan pihak yang berbuat, yaitu, lebih independen dan memiliki fokus daripada perempuan,” terangnya.

Dalam studi ini, 132 mahasiswi dan 100 mahasiswa menjadi relawan dengan mengikuti wawancara kerja selama 15 menit. Peneliti ingin mengetahui perbedaan stereotip gender dan bagaimana ia menjadi bumerang bagi individu.

“Perempuan diperbolehkan untuk menjadi lemah sementara sifat ini sangat dihindari pada pria,” ujar Moss-Racusin. “Sebaliknya, dominasi diharapkan ada dalam diri pria dan dilarang ada dalam perempuan. Maka dari itu, stereotip gender mencakup 4 pasang aturan dan ekspektasi perilaku.

Sekat-sekat Muslihat

Dalam berita yang saya pernah dengar menjelang malam Natal, yang biasanya saya dengar adalah aparat kepolisian disibukkan dengan penjagaan di Gereja Katedral Jakarta. Saya tidak banyak bertanya mengapa katedral yang kerap kali disebut. Jika saya cermati memang lebih jarang saya mendengar ada pemberitaan penjagaan aparat di gereja-gereja Kristen Protestan di media massa.

Saya tak ambil pusing dengan itu karena saya tidak terpikir ada perbedaan di antara gereja Kristen Katholik dan Protestan.

Hingga suatu hari saya bertemu dengan seorang teman yang berkeyakinan Katholik. Pagi itu kami bersantap bersama di sebuah kedai makanan di alam terbuka. Kami menyinggung tentang Ahok yang berhalangan datang ke taman meskipun sudah diundang jauh-jauh hari.

“Saya juga sudah ragu kalau Ahok benar-benar akan datang ke sini,” terang teman saya itu. Pasalnya, Ahok memeluk Kristen Protestan. Dan katanya lagi, pemeluk Kristen Protestan memiliki keterikatan dengan gereja tempat ia menjadi jemaat. Seperti ada keanggotaan tetap dan mereka diwajibkan untuk datang dan menyumbang ke gereja itu sepanjang waktu.

“Lain dengan orang Katholik seperti saya,” imbuhnya. Gereja-gereja Katholik kata dia lebih terbuka dalam hal menyambut orang yang ingin beribadah. Tidak ada keanggotaan yang mengikat dan mereka diperkenankan untuk beribadah di gereja Katholik manapun di dunia ini, tidak cuma di satu gereja yang sudah menjadi tempat mereka memberikan komitmen penuh untuk beribadah.

Itulah mengapa kita tidak perlu heran saat ada tetangga yang memeluk Kristen Protestan yang tidak memilih untuk beribadah di gereja protestan di dekatnya dan lebih memilih beribadah di gereja yang lebih jauh. Ternyata itu karena ia sudah menjadi semacam anggota di gereja yang bersangkutan.

Karena itulah gereja Katholik lebih rawan terhadap penyusupan dan pemboman teroris yang mencoba mengacaukan kondisi yang kurang kondusif di antara umat beragama saat ini. Apalagi kita telah tahu munculnya bibit-bibit radikalisme di masyarakat Indonesia.

Dalam umat Islam sendiri – yang di dalamnya saya menjadi bagian – bisa dijumpai pula fenomena semacam ini. Ayah saya yang bergabung dalam Muhammadiyah hanya beribadah di satu masjid yang sudah ia bangun bersama kawan-kawannya. Lalu meninggalkan masjid Muhammadiyah di kampung lainnya yang sebelumnya biasa ia kunjungi yang juga sama dekatnya untuk beribadah hanya untuk beribadah di masjid baru tadi. Dan sangat tipis kemungkinan ayah saya mau sholat di masjid dekat rumah yang dibangun orang Nahdlatul Ulama (NU), kecuali semua masjid Muhammadiyah di desa, kecamatan atau kabupaten kami runtuh, rata dengan tanah.

Memang ayah saya tidak sampai seekstrim menghindari sholat di masjid lain saat berada di luar kota tetapi tetap saja ini membuat saya jengah. Mengapa harus fanatik seperti itu? Mengapa tidak sesekali ke masjid-masjid lain di sekitar kita, menjumpai orang baru yang sama sekali bukan warga kampung, orang yang bukan anggota organisasi yang sudah kita masuki, yang bukan bagian dari keluarga besar kita?

Happy Birthday to This Blog!

IMG_3325.PNG

 

If I didn’t have this blog, I might have gone mad, psychologically troubled. It helps a lot when I need to shout but my mouth cannot say a word. It aids me to handle the influx of ideas, which would be otherwise a waste of intellect. These ideas would be wild, unorganized but the blog helps me organize them all when someday I need them again.

 

Pulang

20140721-192303-69783466.jpg

Polisi juga Manusia

David Sedaris: Write First then Collect Rubbish

david sedaris

David Sedaris’s face  was sweating a bit. In his left hand, you can see a white canvas shopping bag in which he threw some rubbish he found along the way. He complained,”It drives me crazy…” He took a stroll again and found more rubbish. This time, the rubbish was more than the bag could hold. He gave up collecting these cans, and walked again.

I know why Sedaris does such a thing on a daily basis because he CANNOT take it anymore. “Why people keep spoling the superb nature??!”I might scream on behalf of the American author.

“It’s so beautiful here (around his neighborhood in England) but look….! Look over there. People throw rubbish everywhere,”he approached it and took some with his bare right hand.

He doesn’t understand why people throw rubbish and hence the rubbish collection.

He admitted he can collect more if he walks from where he stands and the hill top before him. This peculiar activity has been part of his daily routine since he moved to the neighborhood.

Upon watching the interview, I just realized that Indonesia is not the only place where rubbish is a major problem. In a developed world, it’s been one since forever and as an anglophilic person, I can’t believe it. Simply can’t. How on earth do these first world nations fail to address the issue we in the third world ones are facing? Now, I know they’re not even any better in terms of rubbish management attitude. Yes, in cities and towns, there’s remote chance to find rubbish at public places but in the nature, humans are still humans regardless of their races, citizenship, welfare, and so on. They tend to think that rubbish can get rid of itself over time, so it’s ok to throw it away anytime anywhere they wish.

Sedaris added,”I write in the morning and I go out and pick up rubbish.” He keeps doing that despite the fact that some people think the author is obviously nuts. Well, that’s what I always thought when I started to move and live in Jakarta. I always wanted to pick the rubbish I see and find along my path but I think I’m simply too afraid of being called “eccentric”. I know it doesn’t violate the rule or norm but that’s unusually kind to environment and the super ignorant majority and that’s considered strange by laymen.

Sedaris is greatly eccentric and geez, that is sexy! I meant, intellectually sexy.

 

Someone Needs a Wig

An Unintended Yoga Class

It was not a yoga class you attend biweekly at a nearby gym or fitness center. They, my so-called students shun such places. So do I.
And here we were, sitting without mats on a cemented badminton and basketball field. We didn’t complain and just enjoyed what we could enjoy: ourselves.

Dari Workshop Leslie Kaminoff: Menemukan Ekuilibrium antara Nafas dan Asana

image

Begitu kita masuk dalam sebuah kelas dengan guru baru yang mungkin membawa pandangan, sikap, cara berpikir yang juga berbeda, rasanya akan lebih mudah untuk menyerap saat kita ‘mengosongkan’ benak kita. Kita tinggalkan sejenak semua pengetahuan dan pengalaman pribadi yang kita yakini kesahihannya untuk menerima curahan pengetahuan baru, yang bisa membawa pengayaan terhadap wawasan kita. Dan barulah setelah fase absorbsi tuntas, proses penyaringan gagasan bisa dilakukan dengan leluasa. Resistensi akan sangat melelahkan jika dipegang teguh dalam proses belajar yang memuat hal-hal baru dan berbeda.

Proses learn-unlearn-relearn (belajar-menghapus hasil belajar-belajar kembali) mungkin menjadi siklus yang terus menerus berulang dalam kehidupan manusia. Demikian pula dalam setiap kesempatan. Selalu ada hal yang harus saya sempurnakan, perbaiki, atau buang, kikis, singkirkan. Melelahkan, jika kita memandang kehidupan sebagai sebuah pengelanaan dengan satu tujuan di benak. Tetapi lebih menyenangkan bila menganggap kehidupan sebagai proses perjalanan yang harus lebih dinikmati dan dihayati setiap langkahnya, helaan nafasnya.

Siklus di atas tampaknya juga terjadi dalam diri saya saat memasuki kelas Leslie Kaminoff. Di antara begitu banyak orang, cuma segelintir yang saya kenal dan yang akrab cuma 1-2 orang saja. Bukannya saya asosial tetapi inilah reaksi normal seorang manusia jika tiba-tiba harus diterjunkan masuk dalam suatu kondisi atau lingkungan yang tergolong antah berantah baginya. Selalu ada dorongan untuk mencari, mengais-ngais di sekitarnya segala kemiripan dengan lingkungan yang ia sudah kenali sebelumnya. Itulah mengapa si B selalu menggelar matrasnya di dekat si C, si P lebih suka di depan guru, sementara si O memilih di barisan belakang, dan mengapa si F selalu menjauhi matras si K, atau si W yang suka berada di belakang si J (semua bukan inisial nama orang yang saya kenal baik atau setidaknya dalam lingkaran pergaulan yoga saya yang cukup sempit di sini).

Leslie pria usia 50-an yang jenaka. Ia mengajar kami seperti mengajar anak-anaknya. Sayangnya ia hanya bisa berbahasa Inggris dan hampir sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia. Sebuah arogansi linguistik tipikal warga asing. Tak semuanya memang. Tetapi dalam pengalaman saya, ada juga yang bersikukuh cuma mau menggunakan bahasa Inggris atau Mandarin. Sempat saya terpikir, untuk masuk dan bekerja di, katakanlah, Korea saja TKI harus bisa berkomunikasi dasar dalam bahasa setempat. Lalu mengapa pemerintah negeri ini tidak mau menerapkan kebijakan yang sama? Ada begitu banyak ekspatriat yang buta, atau tepatnya bisu, dalam berbahasa Indonesia. Tetapi mereka diperbolehkan mengais rejeki di sini. Karena menurut saya, saat orang asing mau menyisihkan waktu dan pikirannya untuk belajar sedikit saja bahasa lokal, itu menandakan kemauannya menghormati dan menjunjung budaya lokal. Jika tidak mau, bisa dianggap ia sangat ‘egois’ dan memandang rendah budaya dan masyarakat lokal. Logisnya bagaimana orang asing mau bertahan di sini jika ia tidak bisa berkomunikasi sederhana sekali pun? Tak heran, meski bangsa ini jumlah penduduknya masuk peringkat 10 besar dunia, tetap ia tak memiliki banyak pengaruh dalam percaturan bahasa-bahasa dunia. Padahal sudah dijelaskan di Sumpah Pemuda, bahasa juga menjadi identitas nasional kita.

Kembali ke matras, Leslie yang dibantu Vivi sebagai penerjemah saat memaparkan materi workshop dan berinteraksi ini menjelaskan pada kami dengan panjang lebar mengenai anatomi, sejarah serta perkembangannya, dan berbagai pengalamannya saat mengajar selama puluhan tahun. Anekdot-anekdot lucu ia lontarkan. Dan seringkali anekdot ‘sepele’ macam ini membawa banyak pelajaran berharga sebagai stimulan intelektual dan spiritual bagi kami yang hadir sekaligus menyegarkan suasana.

Yang menarik ialah bagaimana perkembangan studi anatomi dan pernafasan khas Barat dan praktik olah raga dan jiwa yang bersemayam di peradaban-peradaban Timur seperti India dan China menyatu bagaikan dua aliran sungai menuju satu muara besar. Leslie menampilkan dalam salindianya (salindia: padanan kata untuk “slide” dalam bahasa baku kita) bagaimana sekelompok ilmuwan anatomi membedah tubuh manusia (yang biasanya adalah mayat para tahanan di negeri-negeri Eropa abad pertengahan) di meja seperti serombongan panitia hewan qurban Idul Adha di pelataran masjid dekat rumah kita. Mereka mencacah tubuh manusia malang itu, menguliti, menusuk kulit, memotong ototnya, membedah hingga jantung dengan beragam perkakas logam. Inilah praktik mutilasi yang legal karena berdasarkan dorongan mempelajari susunan dan cara kerja tubuh secara ilmiah.

Tibalah saat praktik. Suasana hening. Terdengar sedikit suara dan bunyi orang menata matras dan merapikan sekeliling sebelum kami mengikuti instruksi bergerak dari Leslie. Kami ikuti instruksi rinci sekuen Warrior Seriesnya (sempat bertanya dalam hati mengapa semua orang ingin menjadi warrior dalam kelas-kelas yang saya ikuti). Leslie memperingatkan kami,”Please forget, leave behind anything you know about the perfect warrior pose (virabhadrasana) you learned before and have regularly applied so far.” Kami pun berusaha untuk menuruti permintaannya, yang terdengar cukup musykil.

Leslie mengarahkan agar mengambil langkah yang sekadarnya dalam asana satu ini. Kaki kami, tak seperti kata guru lain, tak seharusnya dipaksa terbentang begitu jauh satu sama lain. Ambil saja satu langkah ke depan sedemikian rupa hingga dalam satu gerakan ke belakang Anda bisa berdiri kembali dalam posisi tadasana atau pose gunung yang nyaman, begitu katanya dalam bahasa Inggris. Saya menyimpulkan Leslie menitikberatkan pada kelancaran pernafasan bukan pada indah dan kuatnya tampilan asana yang seorang peragakan. Ia tidak mau mengorbankan pernafasan, yang akan terganggu jika tubuh terlalu ‘dipaksa’ di luar kemampuan alaminya. Sebagai pendiri “The Breathing Project” patutlah dimaklumi mengapa ia sangat memperhatikan teknik bernafas dalam beryoga. Nafas Leslie juga amat panjang. Di awal kami terpana saat ia menggumamkan AUM selama 1 menit lebih mungkin. Jadi bisa dibayangkan panjang dan dalamnya nafas Leslie yang harus menghembuskan keluar sembari bergumam AUM tanpa terputus atau kehabisan nafas. Saat kami semua sudah ‘menyerah’, Leslie masih bisa memanjangkan dengungannya itu.

Hingga sekonyong-konyong perempuan di samping saya berkomentar:”Tapi tetap saja kita harus tahu mana yang paling bagus karena kita harus tahu standarnya, acuannya. Kalau dikatakan ini benar, itu benar ya membingungkan. Karena ada tujuan yang harus kita capai, yaitu beryoga dengan baik dan benar agar hasil yang dicapai maksimal.” Wanita ini melontarkan pemikirannya itu saat kami masih mendengarkan Leslie, jadi saya sendiri agak mengabaikannya. Lagipula berbicara di tengah penjelasan seorang guru adalah sebuah tindakan yang kurang sopan. Saya juga merasakan bagaimana saat kita menyaksikan murid kita berbicara sendiri saat kita menjelaskan. Sangat menyakitkan.

Kelas terus berjalan dan beberapa saat kemudian ia kembali dengan sebuah pertanyaan tentang mengapa saya terus menerus menulis di buku catatan sementara dirinya tidak mencatat sesering yang saya lakukan. Saya pun tanpa basa-basi menunjukkan buku catatan saya. Saya sadar dan tahu bahwa ingatan saya begitu ‘parah’ jadi mencatat ialah satu cara yang bisa saya lakukan untuk sekadar mempertahankan pengetahuan dan pengalaman yang saya pernah kecap. Itulah tujuan utama dan pertama saya dalam menulis apa pun: untuk mengingatkan diri sendiri.

Saya makin paham bahwa teman perfeksionis saya ini memang terlahir demikian. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang guru, yang tampak jelas dari cara dan gaya berbicaranya dengan seorang temannya yang hadir di kelas saat itu, yang tampaknya lebih ‘hijau’ dalam yoga. Ia lebih nyaman saat memiliki sebuah standar yang dapat ia pegang teguh, karena itulah yang membuatnya lebih berwibawa, mantap dan sangat ‘guru’.

Namun, saya berpikir lain. Saya ingin menempatkan diri sebagai teman, sejajar dengan mereka yang berlatih bersama saya. Itulah karakter saya dalam mengajar. Saya tahu saya kadang terlalu demokratis sampai saya bingung sendiri saat menuruti kemauan dan saat itulah saya terpaksa menjadi ‘guru’ yang tegas, otoriter, dan tidak bersedia diganggu gugat. “Saya penguasa di sini, dan Anda dalam kekuasaan saya. Jadi Anda bisa memilih keluar atau tetap berada di sini dengan mematuhi perintah saya,” mungkin begitu pesan yang saya ingin sampaikan jika memang diperlukan untuk menjadi lebih jelas dan tegas. Tetapi karena itu bukan kepribadian saya sehari-hari, menjadi ‘guru’ yang tipikal otoriter sangatlah melelahkan secara psikologis.

Anatomi yang artinya adalah “to cut into” (memotong, memisahkan) awalnya berkembang di dunia Barat. Di sana seperti yang sudah saya kemukakan di atas, anatomi lebih mengutamakan aspek fisik. Mereka membedah tubuh, memotong, memisahkan masing-masing organ di dalamnya.

Di dalam materi yang ia kembangkan, Lesli tampaknya menggabungkan sistem dan konsep energi yang tak kasat mata di Timur dengan struktur tubuh fisik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu anatomi Barat. Leslie belajar dari sang guru yang pernah belajar dari T. Krisnamacharya anatomi dari perspektif Barat karena sang guru adalah insinyur.

Kata Leslie, anatomi adalah “all the structures that make breathing happen” (semua komponen struktur yang memungkinkan pernafasan terjadi) sehingga ia benar-benar ingin menjelaskan pentingnya kedua aspek ini dalam pembahasan yang terkait dengan latihan yoga terutama pranayama dan asana. Keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan.

Leslie menjelaskan betapa yoga berbeda jauh dengan praktik yang kita ketahui di abad ke-21 ini. Jika dulu yoga mayoritas dilakukan oleh para pria (yogi), kini justru citra yoga adalah olah tubuh dan nafas yang dianggap feminin. Apa pasal? Dugaan saya adalah karena yoga dikemas oleh kalangan marketing Barat sebagai olahraga untuk para perempuan yang ingin lebih bugar dan lentur serta sehat dan awet muda. Akibatnya, citra feminin yoga muncul. Padahal justru di dunia yoga jika dirunut ke asalnya, sangat jarang dipraktikkan wanita.  Dan yang mengejutkan, yoga dianggap dahulu kala sebagai bagian dari gaya hidup ‘gembel’ alias gelandangan. Karena itulah mungkin  kita banyak melihat yogi-yogi di India yang hidup secara eksentrik, eksklusif karena ia terpisah dari gaya hidup masyarakat kebanyakan. Penahanan diri, disiplin diri dan hal-hal lain yang khas yoga diamalkan secara ketat sehingga membuat mereka seperti orang aneh, yang ibaratnya hidup dengan dunia yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya.

Sebenarnya untuk urusan asana, Leslie bukanlah yogi yang luar biasa dan membuat Anda ingin bertepuk tangan saat melihatnya berasana. Dalam pemahamannya tentang yoga, Leslie lebih mengarah kepada aspek terapi.

Hal ini mengingatkan saya kepada beberapa teman yang sudah banyak mengajar yoga yang juga suka aspek terapi yoga. Mereka (tak biasa dan) memandang tidak terlalu perlu untuk melakukan berbagai pose menantang yang membuat orang berdecak kagum atau ingin mengabadikannya dalam foto dan video. Teman saya ini suka menyebut pose-pose sukar sebagai pose yang ‘mewah’. Mewah, karena tidak semua orang terutama yang sudah berusia lanjut yang menjadi kebanyakan muridnya bisa melakukannya semudah murid-murid yang berusia lebih muda dan berstruktur badan lebih kuat dan masih belum banyak terkena terpaan waktu yang menggerus tubuh kasar yang lekas aus. Tak heran untuk mereka yang sudah berusia senja, meditasi dan pranayama dijadikan fokus latihan, sementara asana hanya ala kadarnya. Yang penting sudah dilakukan untuk menyegarkan tubuh dan tidak perlu sampai maksimal atau pose yang penuh, yang jika dipaksakan hanya akan mencederai diri sendiri.

Dalam kelas yoga terapi yang menjadi fokus Leslie, pernafasan sangat vital perannya. Dan praktik yoga menjadi sangat personal dan individual karena kondisi masing-masing orang berbeda.

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana tubuh saya menjadi bahan eksperimen dengan diperbandingkan dengan dimensi tubuh teman yang tingginya sama. Kami berdua sama-sama kurus, dan tidak terlalu tinggi. Tetapi saat diamati secara seksama, tangan saya lebih panjang darinya. Sementara teman saya yang berusia lebih tua, sudah banyak mengalami kekakuan di sana sini. Kakinya juga sudah lebih lemah, lututnya pernah terkena cedera. Dan itu semua mengubah posturnya dalam melakukan asana-asana. Alhasil, dua tubuh yang tampak sama, dengan berat badan sama tidak mustahil memiliki perbedaan yang drastis, seperti langit dan bumi. Karena itulah, anatomi begitu penting di sini.

Krisnamacharya pernah mengatakan:”Yoga is surgery without instruments.” Susah untuk membayangkannya jadi jangan dibayangkan. Hayati saja, bagaimana latihan yoga yang terpandu dengan baik akan memperbaiki performa tubuh fisik, pikiran serta jiwa. Leslie mendukung pernyataan sang guru dengan menimpalinya,” Cutting the body with the mind is safer. You can cut anywhere, anyhow you want. With scalpel, medical science is needed.” Sementara, dengan berbekal yoga, kita tidak butuh lagi ilmu kedokteran. Yoga seolah menjadi pisau bedah yang tingkat risikonya lebih kecil tersebut. Tak ada darah, tak ada pembedahan, tak ada pemotongan, pengirisan, anastesi dan sebagainya.

Setiap kita bernafas juga terjadi perubahan dalam bentuk tubuh fisik kita. Kebugaran dan tubuh yang bernafas menjadi semacam kesatuan yang harmonis dan saling melengkapi.

Berlainan dari jenis olahraga lain yang menekankan aspek tubuh kasar, yoga dalam pemahaman Lesli menekankan pada pemahaman dan pendekatan yang lebih holistik dan seimbang. Contoh yang ia berikan yaitu bagaimana sebagian orang tergila-gila untuk membuat perut mereka berotot sempurna, 6 packs, tetapi sering melupakan pendekatan holistik untuk menyeimbangkan kekuatan di bagian perut dengan daerah punggung yang pada gilirannya membuat postur dan pernafasan juga tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya.

Banyak orang melupakan bahwa otot-otot dalam tubuh fisik membutuhkan 3 jenis kontraksi yang berbeda agar tetap bekerja dengan baik. Jenis kontraksi pertama adalah konsentrik (consentric), yang terjadi saat otot kita mengerut/ berkontraksi. Yang kedua ialah eksentrik (excentric) yang berkontraksi namun dengan menjadikan bentuk otot tertentu lebih panjang daripada bentuk semula. Dan yang terakhir yaitu isometric, yang terjadi saat otot mengencang namun panjangnya relatif tidak berubah.