
Begitu kita masuk dalam sebuah kelas dengan guru baru yang mungkin membawa pandangan, sikap, cara berpikir yang juga berbeda, rasanya akan lebih mudah untuk menyerap saat kita ‘mengosongkan’ benak kita. Kita tinggalkan sejenak semua pengetahuan dan pengalaman pribadi yang kita yakini kesahihannya untuk menerima curahan pengetahuan baru, yang bisa membawa pengayaan terhadap wawasan kita. Dan barulah setelah fase absorbsi tuntas, proses penyaringan gagasan bisa dilakukan dengan leluasa. Resistensi akan sangat melelahkan jika dipegang teguh dalam proses belajar yang memuat hal-hal baru dan berbeda.
Proses learn-unlearn-relearn (belajar-menghapus hasil belajar-belajar kembali) mungkin menjadi siklus yang terus menerus berulang dalam kehidupan manusia. Demikian pula dalam setiap kesempatan. Selalu ada hal yang harus saya sempurnakan, perbaiki, atau buang, kikis, singkirkan. Melelahkan, jika kita memandang kehidupan sebagai sebuah pengelanaan dengan satu tujuan di benak. Tetapi lebih menyenangkan bila menganggap kehidupan sebagai proses perjalanan yang harus lebih dinikmati dan dihayati setiap langkahnya, helaan nafasnya.
Siklus di atas tampaknya juga terjadi dalam diri saya saat memasuki kelas Leslie Kaminoff. Di antara begitu banyak orang, cuma segelintir yang saya kenal dan yang akrab cuma 1-2 orang saja. Bukannya saya asosial tetapi inilah reaksi normal seorang manusia jika tiba-tiba harus diterjunkan masuk dalam suatu kondisi atau lingkungan yang tergolong antah berantah baginya. Selalu ada dorongan untuk mencari, mengais-ngais di sekitarnya segala kemiripan dengan lingkungan yang ia sudah kenali sebelumnya. Itulah mengapa si B selalu menggelar matrasnya di dekat si C, si P lebih suka di depan guru, sementara si O memilih di barisan belakang, dan mengapa si F selalu menjauhi matras si K, atau si W yang suka berada di belakang si J (semua bukan inisial nama orang yang saya kenal baik atau setidaknya dalam lingkaran pergaulan yoga saya yang cukup sempit di sini).
Leslie pria usia 50-an yang jenaka. Ia mengajar kami seperti mengajar anak-anaknya. Sayangnya ia hanya bisa berbahasa Inggris dan hampir sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia. Sebuah arogansi linguistik tipikal warga asing. Tak semuanya memang. Tetapi dalam pengalaman saya, ada juga yang bersikukuh cuma mau menggunakan bahasa Inggris atau Mandarin. Sempat saya terpikir, untuk masuk dan bekerja di, katakanlah, Korea saja TKI harus bisa berkomunikasi dasar dalam bahasa setempat. Lalu mengapa pemerintah negeri ini tidak mau menerapkan kebijakan yang sama? Ada begitu banyak ekspatriat yang buta, atau tepatnya bisu, dalam berbahasa Indonesia. Tetapi mereka diperbolehkan mengais rejeki di sini. Karena menurut saya, saat orang asing mau menyisihkan waktu dan pikirannya untuk belajar sedikit saja bahasa lokal, itu menandakan kemauannya menghormati dan menjunjung budaya lokal. Jika tidak mau, bisa dianggap ia sangat ‘egois’ dan memandang rendah budaya dan masyarakat lokal. Logisnya bagaimana orang asing mau bertahan di sini jika ia tidak bisa berkomunikasi sederhana sekali pun? Tak heran, meski bangsa ini jumlah penduduknya masuk peringkat 10 besar dunia, tetap ia tak memiliki banyak pengaruh dalam percaturan bahasa-bahasa dunia. Padahal sudah dijelaskan di Sumpah Pemuda, bahasa juga menjadi identitas nasional kita.
Kembali ke matras, Leslie yang dibantu Vivi sebagai penerjemah saat memaparkan materi workshop dan berinteraksi ini menjelaskan pada kami dengan panjang lebar mengenai anatomi, sejarah serta perkembangannya, dan berbagai pengalamannya saat mengajar selama puluhan tahun. Anekdot-anekdot lucu ia lontarkan. Dan seringkali anekdot ‘sepele’ macam ini membawa banyak pelajaran berharga sebagai stimulan intelektual dan spiritual bagi kami yang hadir sekaligus menyegarkan suasana.
Yang menarik ialah bagaimana perkembangan studi anatomi dan pernafasan khas Barat dan praktik olah raga dan jiwa yang bersemayam di peradaban-peradaban Timur seperti India dan China menyatu bagaikan dua aliran sungai menuju satu muara besar. Leslie menampilkan dalam salindianya (salindia: padanan kata untuk “slide” dalam bahasa baku kita) bagaimana sekelompok ilmuwan anatomi membedah tubuh manusia (yang biasanya adalah mayat para tahanan di negeri-negeri Eropa abad pertengahan) di meja seperti serombongan panitia hewan qurban Idul Adha di pelataran masjid dekat rumah kita. Mereka mencacah tubuh manusia malang itu, menguliti, menusuk kulit, memotong ototnya, membedah hingga jantung dengan beragam perkakas logam. Inilah praktik mutilasi yang legal karena berdasarkan dorongan mempelajari susunan dan cara kerja tubuh secara ilmiah.
Tibalah saat praktik. Suasana hening. Terdengar sedikit suara dan bunyi orang menata matras dan merapikan sekeliling sebelum kami mengikuti instruksi bergerak dari Leslie. Kami ikuti instruksi rinci sekuen Warrior Seriesnya (sempat bertanya dalam hati mengapa semua orang ingin menjadi warrior dalam kelas-kelas yang saya ikuti). Leslie memperingatkan kami,”Please forget, leave behind anything you know about the perfect warrior pose (virabhadrasana) you learned before and have regularly applied so far.” Kami pun berusaha untuk menuruti permintaannya, yang terdengar cukup musykil.
Leslie mengarahkan agar mengambil langkah yang sekadarnya dalam asana satu ini. Kaki kami, tak seperti kata guru lain, tak seharusnya dipaksa terbentang begitu jauh satu sama lain. Ambil saja satu langkah ke depan sedemikian rupa hingga dalam satu gerakan ke belakang Anda bisa berdiri kembali dalam posisi tadasana atau pose gunung yang nyaman, begitu katanya dalam bahasa Inggris. Saya menyimpulkan Leslie menitikberatkan pada kelancaran pernafasan bukan pada indah dan kuatnya tampilan asana yang seorang peragakan. Ia tidak mau mengorbankan pernafasan, yang akan terganggu jika tubuh terlalu ‘dipaksa’ di luar kemampuan alaminya. Sebagai pendiri “The Breathing Project” patutlah dimaklumi mengapa ia sangat memperhatikan teknik bernafas dalam beryoga. Nafas Leslie juga amat panjang. Di awal kami terpana saat ia menggumamkan AUM selama 1 menit lebih mungkin. Jadi bisa dibayangkan panjang dan dalamnya nafas Leslie yang harus menghembuskan keluar sembari bergumam AUM tanpa terputus atau kehabisan nafas. Saat kami semua sudah ‘menyerah’, Leslie masih bisa memanjangkan dengungannya itu.
Hingga sekonyong-konyong perempuan di samping saya berkomentar:”Tapi tetap saja kita harus tahu mana yang paling bagus karena kita harus tahu standarnya, acuannya. Kalau dikatakan ini benar, itu benar ya membingungkan. Karena ada tujuan yang harus kita capai, yaitu beryoga dengan baik dan benar agar hasil yang dicapai maksimal.” Wanita ini melontarkan pemikirannya itu saat kami masih mendengarkan Leslie, jadi saya sendiri agak mengabaikannya. Lagipula berbicara di tengah penjelasan seorang guru adalah sebuah tindakan yang kurang sopan. Saya juga merasakan bagaimana saat kita menyaksikan murid kita berbicara sendiri saat kita menjelaskan. Sangat menyakitkan.
Kelas terus berjalan dan beberapa saat kemudian ia kembali dengan sebuah pertanyaan tentang mengapa saya terus menerus menulis di buku catatan sementara dirinya tidak mencatat sesering yang saya lakukan. Saya pun tanpa basa-basi menunjukkan buku catatan saya. Saya sadar dan tahu bahwa ingatan saya begitu ‘parah’ jadi mencatat ialah satu cara yang bisa saya lakukan untuk sekadar mempertahankan pengetahuan dan pengalaman yang saya pernah kecap. Itulah tujuan utama dan pertama saya dalam menulis apa pun: untuk mengingatkan diri sendiri.
Saya makin paham bahwa teman perfeksionis saya ini memang terlahir demikian. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang guru, yang tampak jelas dari cara dan gaya berbicaranya dengan seorang temannya yang hadir di kelas saat itu, yang tampaknya lebih ‘hijau’ dalam yoga. Ia lebih nyaman saat memiliki sebuah standar yang dapat ia pegang teguh, karena itulah yang membuatnya lebih berwibawa, mantap dan sangat ‘guru’.
Namun, saya berpikir lain. Saya ingin menempatkan diri sebagai teman, sejajar dengan mereka yang berlatih bersama saya. Itulah karakter saya dalam mengajar. Saya tahu saya kadang terlalu demokratis sampai saya bingung sendiri saat menuruti kemauan dan saat itulah saya terpaksa menjadi ‘guru’ yang tegas, otoriter, dan tidak bersedia diganggu gugat. “Saya penguasa di sini, dan Anda dalam kekuasaan saya. Jadi Anda bisa memilih keluar atau tetap berada di sini dengan mematuhi perintah saya,” mungkin begitu pesan yang saya ingin sampaikan jika memang diperlukan untuk menjadi lebih jelas dan tegas. Tetapi karena itu bukan kepribadian saya sehari-hari, menjadi ‘guru’ yang tipikal otoriter sangatlah melelahkan secara psikologis.
Anatomi yang artinya adalah “to cut into” (memotong, memisahkan) awalnya berkembang di dunia Barat. Di sana seperti yang sudah saya kemukakan di atas, anatomi lebih mengutamakan aspek fisik. Mereka membedah tubuh, memotong, memisahkan masing-masing organ di dalamnya.
Di dalam materi yang ia kembangkan, Lesli tampaknya menggabungkan sistem dan konsep energi yang tak kasat mata di Timur dengan struktur tubuh fisik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu anatomi Barat. Leslie belajar dari sang guru yang pernah belajar dari T. Krisnamacharya anatomi dari perspektif Barat karena sang guru adalah insinyur.
Kata Leslie, anatomi adalah “all the structures that make breathing happen” (semua komponen struktur yang memungkinkan pernafasan terjadi) sehingga ia benar-benar ingin menjelaskan pentingnya kedua aspek ini dalam pembahasan yang terkait dengan latihan yoga terutama pranayama dan asana. Keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan.
Leslie menjelaskan betapa yoga berbeda jauh dengan praktik yang kita ketahui di abad ke-21 ini. Jika dulu yoga mayoritas dilakukan oleh para pria (yogi), kini justru citra yoga adalah olah tubuh dan nafas yang dianggap feminin. Apa pasal? Dugaan saya adalah karena yoga dikemas oleh kalangan marketing Barat sebagai olahraga untuk para perempuan yang ingin lebih bugar dan lentur serta sehat dan awet muda. Akibatnya, citra feminin yoga muncul. Padahal justru di dunia yoga jika dirunut ke asalnya, sangat jarang dipraktikkan wanita. Dan yang mengejutkan, yoga dianggap dahulu kala sebagai bagian dari gaya hidup ‘gembel’ alias gelandangan. Karena itulah mungkin kita banyak melihat yogi-yogi di India yang hidup secara eksentrik, eksklusif karena ia terpisah dari gaya hidup masyarakat kebanyakan. Penahanan diri, disiplin diri dan hal-hal lain yang khas yoga diamalkan secara ketat sehingga membuat mereka seperti orang aneh, yang ibaratnya hidup dengan dunia yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya.
Sebenarnya untuk urusan asana, Leslie bukanlah yogi yang luar biasa dan membuat Anda ingin bertepuk tangan saat melihatnya berasana. Dalam pemahamannya tentang yoga, Leslie lebih mengarah kepada aspek terapi.
Hal ini mengingatkan saya kepada beberapa teman yang sudah banyak mengajar yoga yang juga suka aspek terapi yoga. Mereka (tak biasa dan) memandang tidak terlalu perlu untuk melakukan berbagai pose menantang yang membuat orang berdecak kagum atau ingin mengabadikannya dalam foto dan video. Teman saya ini suka menyebut pose-pose sukar sebagai pose yang ‘mewah’. Mewah, karena tidak semua orang terutama yang sudah berusia lanjut yang menjadi kebanyakan muridnya bisa melakukannya semudah murid-murid yang berusia lebih muda dan berstruktur badan lebih kuat dan masih belum banyak terkena terpaan waktu yang menggerus tubuh kasar yang lekas aus. Tak heran untuk mereka yang sudah berusia senja, meditasi dan pranayama dijadikan fokus latihan, sementara asana hanya ala kadarnya. Yang penting sudah dilakukan untuk menyegarkan tubuh dan tidak perlu sampai maksimal atau pose yang penuh, yang jika dipaksakan hanya akan mencederai diri sendiri.
Dalam kelas yoga terapi yang menjadi fokus Leslie, pernafasan sangat vital perannya. Dan praktik yoga menjadi sangat personal dan individual karena kondisi masing-masing orang berbeda.
Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana tubuh saya menjadi bahan eksperimen dengan diperbandingkan dengan dimensi tubuh teman yang tingginya sama. Kami berdua sama-sama kurus, dan tidak terlalu tinggi. Tetapi saat diamati secara seksama, tangan saya lebih panjang darinya. Sementara teman saya yang berusia lebih tua, sudah banyak mengalami kekakuan di sana sini. Kakinya juga sudah lebih lemah, lututnya pernah terkena cedera. Dan itu semua mengubah posturnya dalam melakukan asana-asana. Alhasil, dua tubuh yang tampak sama, dengan berat badan sama tidak mustahil memiliki perbedaan yang drastis, seperti langit dan bumi. Karena itulah, anatomi begitu penting di sini.
Krisnamacharya pernah mengatakan:”Yoga is surgery without instruments.” Susah untuk membayangkannya jadi jangan dibayangkan. Hayati saja, bagaimana latihan yoga yang terpandu dengan baik akan memperbaiki performa tubuh fisik, pikiran serta jiwa. Leslie mendukung pernyataan sang guru dengan menimpalinya,” Cutting the body with the mind is safer. You can cut anywhere, anyhow you want. With scalpel, medical science is needed.” Sementara, dengan berbekal yoga, kita tidak butuh lagi ilmu kedokteran. Yoga seolah menjadi pisau bedah yang tingkat risikonya lebih kecil tersebut. Tak ada darah, tak ada pembedahan, tak ada pemotongan, pengirisan, anastesi dan sebagainya.
Setiap kita bernafas juga terjadi perubahan dalam bentuk tubuh fisik kita. Kebugaran dan tubuh yang bernafas menjadi semacam kesatuan yang harmonis dan saling melengkapi.
Berlainan dari jenis olahraga lain yang menekankan aspek tubuh kasar, yoga dalam pemahaman Lesli menekankan pada pemahaman dan pendekatan yang lebih holistik dan seimbang. Contoh yang ia berikan yaitu bagaimana sebagian orang tergila-gila untuk membuat perut mereka berotot sempurna, 6 packs, tetapi sering melupakan pendekatan holistik untuk menyeimbangkan kekuatan di bagian perut dengan daerah punggung yang pada gilirannya membuat postur dan pernafasan juga tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya.
Banyak orang melupakan bahwa otot-otot dalam tubuh fisik membutuhkan 3 jenis kontraksi yang berbeda agar tetap bekerja dengan baik. Jenis kontraksi pertama adalah konsentrik (consentric), yang terjadi saat otot kita mengerut/ berkontraksi. Yang kedua ialah eksentrik (excentric) yang berkontraksi namun dengan menjadikan bentuk otot tertentu lebih panjang daripada bentuk semula. Dan yang terakhir yaitu isometric, yang terjadi saat otot mengencang namun panjangnya relatif tidak berubah.
Like this:
Like Loading...