
Seperti gading, tiada bos yang tak retak…
Begitu peribahasa modifikasinya. Pokok bahasan yang satu itu tidak pernah kering sampai akhir zaman nanti, saya yakin. Selalu saja ada yang bisa diperbincangkan, dikritisi, dicela, dicaci, dan jika ada, dipuji, dari seorang bos.
“Halo, gimana kabarnya?”sapanya ramah di suatu pagi yang bersuasana biasa saja di sebuah ruang bawah tanah yang sedikit pengap tetapi hangat.
Saya terkejut seorang wanita menyapa saya dengan ceria. Beberapa nano detik dibutuhkan otak ini untuk menemukan informasi identitas si nona dalam otak saya. Ah, namanya X, panggil saja Xena. Kibasan rambutnya yang panjang tergerai itu mengingatkan saya pada Xena sang wanita perkasa.
Tetapi lain dari Xena, tubuhnya tidak kekar. Bahkan jika dibandingkan dengan tubuhnya beberapa bulan lalu sebelum pindah kerja ke perusahaan lain, ia tampak jauh lebih menggembung. Entah pilihan kata ini benar atau terlalu kasar, tetapi memang tidak ada yang benar kalau sudah menyoal bentuk dan berat badan. Kata-kata sifat apapun bisa diartikan sebagai pelecehan karya Tuhan. Mulut saya katupkan agar tidak keluar kata-kata semacam:”Hai, makin gemuk saja kamu?! Tambah makmur ya?” Meskipun lebih berisi, ia tampak lelah. Senyumnya agak sedikit dipaksakan.
Kami bercerita panjang lebar dari pengalaman menghadapi bos-bos terdahulu hingga yang sekarang. Tawa sesekali pecah saat kisah-kisah lucu dan absurd mengalir dari mulut. Bos-bos eksentrik dengan kebiasaan dan cara kerja dan perilaku yang tidak lazim.
Hingga di suatu titik, ia menceritakan bos lelakinya yang masih berusia 32 tahun di depan saya. Sambil sesekali menyedot jus jeruk segar dari wadahnya, ia berceloteh,”Bosku ini orang Korea…” Jeda, karena ia tengah merangkai kata.
Pria Korea. Kupikir ia akan bercerita dengan mengharu biru, bangga dengan si bos baru. Raut mukanya biasa saja. Malah cenderung datar. Tetapi saya ingat ia sedang membicarakan seorang manajer, bukan selebriti K-pop atau K-drama. Mimik muka dan bahasa tubuhnya, saya lalu menduga, menunjukkan bahwa si manajer bukan orang yang menyenangkan, apalagi rupawan. Kalau pun tampan, minusnya kelakuan menjadi sandungan memberi sanjungan.
Benar saja. Lanjutnya,”Bosku itu udah punya istri ama anak tapi orangnya ambisius gitu, jadi suka menjilat. Ngintilin presidennya ke mana-mana.” Oh, saya memberi simpati singkat sembari membatin,”Lanjutkan…” Otak saya mencatat dengan huruf besar:”KOREA PENJILAT…”
Teman saya resah, menengok jam tangan. Sementara saya masih tenang dan tekun mendengar. Selesaikan dulu ceritamu, batin saya memohon. Padahal percuma saja. Memangnya dia bisa membaca pikiran saya?
Saya pancing,”Memang pria Korea brengsek ya?” Saya sedikit bergeser menjadi seorang devil’s advocate agar pembicaraan lebih seru. Devil’s advocate adalah orang yang mendukung sisi buruk argumentasi agar perbincangan lebih membara. Begitulah kira-kira.
Pancingan itu sukses. Tak dinyana ia mengeluarkan ekspresi persetujuan spontan. “Iyaaa!! PK banget!!” PK, kependekan dari istilah prokem masa kini Penjahat Kelamin, mengacu pada pria yang suka berselingkuh. Otak saya seolah mengambil pensil dan kertas kemudian menulis dengan huruf tebal font kapital:”KOREA PK”.
Bagaimana ia tahu? Ia pernah menangani reimbursement bertanda terima dari klub malam ternama ibukota, Alexis. Sebetulnya kalau orang berkata Alexis yang teringat dalam benak saya adalah gadis baik- baik, manis dan cerdas seperti Alexis Bledel, pemeran utama Gilmore Girl. Tetapi klub malam ini membuat reputasi nama Alexis tercemar parah. Andai Bledel pernah ke sini dan mengetahuinya, bisa jadi ia akan minta rehabilitasi nama, atau menuntut klub itu di muka hukum. Saya berkomentar,”Wah, kenapa tidak ditegur? Kan kalau ketahuan bisa mencemarkan nama baik perusahaan itu.” Sebelum menjawab ia tersenyum simpul,”Itu dia sama-sama Presidennya, buat entertain tamu rekanan sih… Susah kalau urusan moral di sini.”
Manajer yang menurutnya kurang kompeten itu bekerja tidak becus. Ia bertekad dipromosikan menjadi general manager tetapi prestasinya dapat dikatakan tidak istimewa. B, begitu kalau ia dapat nilai di kuliah. Tidak bodoh tetapi juga tidak mencengangkan.
Tidak jarang ia dan teman-teman kerjanya mengaku dilimpahi pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab si manajer Korea tadi. Supervisor disuruh mengisi lembar penilaian kinerja rekan supervisornya, padahal hidup matinya karir yang bersangkutan akan ditentukan dari penilaian tersebut. Mana tega kalau memberi penilaian buruk pada teman sendiri? Kalau memberi penilaian terlalu bagus nanti bisa menjadi bumerang buat diri sendiri. Dilematis.
Orang Korea yang bekerja di Indonesia, tutur dia, banyak yang bertingkah seperti OKB, Orang Kaya Baru. Di negerinya sana mereka cuma orang dengan gaya hidup biasa saja tetapi begitu bekerja di Indonesia, dengan kurs kita yang lebih rendah, mereka menjadi lebih leluasa meningkatkan level gaya hidup.
Tetapi tidak semua pria Korea juga seperti itu. Sebagai penyeimbang informasi saja, mr. Ahn yang tinggal di sebelah kamar saya terlihat lebih sederhana dalam hal gaya hidup. Kemejanya beberapa. Laptopnya Acer yang biasa dipakai mahasiswa. Ia juga tidak punya mobil. Ke mana-mana berjalan kaki. Saya menduga karena tingkat pendidikannya. Ia tak seberuntung pria Korea lainnya, termasuk si manajer muda teman saya. Mungkin mr. Ahn bukan manajer. Tetapi yang aneh, ia tidak ingin diketahui bermukim di tempat kami oleh teman-teman kerjanya apalagi atasannya di kantor. Ia tidak sebutkan alasannya secara jelas. Mungkin saja ia mau berhemat hingga titik darah penghabisan tetapi malu. Mengencangkan ikat pinggang sampai maksimal dan menjadikan gengsi sebagai tumbalnya.
Leave a Reply