Pengantar
Beberapa hari lalu saya dihubungi Respect Magz untuk bekerjasama membuat event di Taman Suropati. Majalah kecil ini giat mempromosikan makanan organik sehat dan peduli pada kesejahteraan petani lokal. Ajakan itu saya sambut dengan semangat ’45 karena toh TKP, tempat kejadian perkara-nya di ruang terbuka biasa saya membuat Yoga Gembira.
Secara coincidence, ajakan itu seperti keinginan yang sudah saya rencanakan jauh hari sebelumnya, bahwa saya akan merayakan ulang tahun saya dengan mengajar yoga ke teman-teman komunitas Social Yoga Club di taman itu dengan mendedikasikan uang hasil donasi Susu Tante (Sumbangan Sukarela Tanpa Tekanan) itu untuk disumbangkan ke Klinik Bumi Sehat di Ubud, Bali. Dan untuk acara itu saya akan membawa tumpeng, nasi+lauk berbentuk genung yang biasa dipakai masyarakat Jawa untuk acara slametan, tolak bala, syukuran, atau keriaan lainnya.
Ada tiga kata yang menarik perhatian saya yang nanti segera akan jadi tulisan parodi ini, yaitu organik, lokal dan tumpeng. Tiga kata itu kalau dipaksa-paksa dihubung-hubungkan bisa saja ada benang merahnya, tapi koq kayaknya njlimet mencari alasan filosofisnya. Dari pada njilmet dan bikin pusing saya sendiri, saya tulis Parodi Yoga ini saja. Dan, begini jadinya…
L o k a l
Kita sering mendengar pidoto bapak-bapak pejabat, baik yang ada di kementerian sekitar istana atau yang ada di gedung DPR, sering kali kita mendengar kalimat seperti ini: “Mari kita terus giat membangun agar kita bisa sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju….”. Kalimat seperti itu akan terasa inflatif kalau kita hidup di jaman Orde Baru. Mari kita telaah kalimat pidato masif dan seragam itu.
Kalau kita perhatikan kata-kata dalam pidato seperti itu, sepertinya mengandung ajakan “mulia” untuk giat bekerja dan memprovokasi untuk tetap semangat. Tapi kalau diulik lebih dalam, koq aku merasa orang-orang yang berpidato itu, walaupun mempunyai jabatan prestisius dan uangnya buaaanyak benerrrr, sepertinya tidak berseri, dia masih dihinggapi perasaan minderwaldeg, kata orang Belanda, rasa rendah diri, gak pede, alias minder. Minder apa? Mungkin Anda bertanya begitu. Ya, minder karena dia kan bilang “agar kita bisa sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju….” artinya dia menilai dirinya sendiri rendah. Ini bukan masalah kerendah-hatian, humble, wong dia-dia itu udah jadi pejabat publik dan duitnya bejibun, bukan juga karena berpendidikan rendah, karena coba ajainga-inga waktu kampanye jadi calon anggota legislatif, DPR, mereka berlomba mencantumkan gelar akademiknya bederet-deret. Aku koq lebih melihat, orang-orang itu sepertinya berpikir bahwa segala sesuatu yang datangnya dari luar, yang asing, khusunya dari Barat, dianggapnya pasti hebat dan lebih unggul, sambil, nah ini dia, parahnya, memandang rendah segala sesuatu yang sifatnya lokal, karena takut dianggap kampungan.
Kejadian hampir sama terjadi juga di dunia peryogaan di Indonesia tercinta ini. Kita semua tahu lah, kepopuleran yoga di NKRI ini datang belakangan, dari India lewat dunia Barat, karena marak diberitakan di media bahwa para selebriti Hollywood ramai-ramai berlatih yoga. Orang-orang yoga di negeriku, tanah tumpah darahku ini, baik guru aka pemilik studio, apalagi yang cuma murid aka anggota, seperti aku ini yang anggota komunitas Yoga Gembira, silau memandang guru yoga dari luar negeri, apalagi dari India, apalagi Bule! Padahal, sekarang ini guru-guru yoga lokal gak kalah kualitasnya. Ada Olop Arpipi, guruku yang juga sudah ngajar di luar negeri. Ada kawan baikku, Koko Yoga yang waktu di acara Yoga In The Park di Central Park bikin kawan Akhlis Purnomo bilang, jaw dropping, terbengong-bengong kagum lihat koreografi yoganya. Dengan kata lain, guru-guru yoga lokal gak kalahlah. Guru yoga lokal seperti juga buah-buahan lokal, pepaya, pisang, mangga, jambu yang dibawa dari Pasar Minggu dan di Kota banyak pembelinya, yaa, seperti lagu itu, gak kalah kandungan gizinya, bahkan karena sumbernya dekat, gak perlu shipping yang makan waktu, kadang buah lokal lebih fresh, dan yang pasti gak pake wax, lilin biar gak dimakan rayap dan lebih mengkilap.
Banyak dari kita mencari-cari, bahkan rela menghabiskan uang puluhan juta untuk berguru jauh-jauh ke luar negeri hanya untuk merasakan belajar langsung dari guru besar, guru ngetop. India adalah negar yg jadi DTW, daerah tujuan wisata utama bagi praktisi yoga ini. Sementara kalau duitnya sedikit kurang banyak, menunggu-nunggu workshop yang diajar oleh orang asing, guru import. Ada kebanggan sendiri kalau pernah belajar sama orang asing. Gengsi pun akan naik. Lumayan buat dicantumin di CV buat nglamar ngajar di studio-studio yoga. Asyik juga bisa foto bareng guru-guruimport untuk kemudian diupload di facebook atau twitter. Dan, studio-studio yoga pun menajwab keinginan dan animo pratisi yoga yang sedang bergairah dengan rajin membuat workshop atau teacher traning guru bule.
Sedang asyik aku mengomentari kelakuan praktisi yoga lokal ini, eh suara dari dalam hati ini yang emang suka nyinyir, menimpali: “Bukannya eloe pernah begitu juga mas. Kan eloe pernah ke India juga. Pernah juga loe takjub, pake nyembah-nyembah ke guruloe di India itu? Mikir dulu lah loe, mas, jangan asal njeplak ngomongloe…”. Segera aku tersadar, dan kubilang dengan tersipu: “Ah eloe, masih inget aja…hehe….” , kemudian kutambahkan : “Yaaa… itu periode gue masih di alam mimpi yang berjalan-jalan…, masih perlu guru-guru idola. Ah eloe mbuka aib gue aja…”. Kujawab begitu, yang di dalam hati ini nyolot, “Ah, gak ngerti apa omonganloe mas, tapi, selain ke India, kan eloe mas pernah juga belajar ke negara-negara barat, ke guru-guru bule, muna’ loe mas!”.
Sebenarnya kalau dipikir, dalam hal spiritual, dimana yoga ada di dalamnya, Indonesia ini dahsyat juga, bahkan sejak jaman dulu. Ketika jaman Sriwijaya, guru-guru Tibetan Buddhist, kaya guru-gurunya Dalai Lama pernah ngangsu kawruh, belajar ke wilayah NKRI ini. Aliran kejawen, salah satu “agama asli” suku-suku Indonesia banyak ajarannya yang dengan filosofi yoga, demikian juga, mungkin, locals wisdom dari suku-suku tradisi di Indonesia lainnya, suku-suku di pedalaman yang sangat erat dan selaras hidupnya dengan alam, itu kan udah yogi….
Walaupun mungkin namanya bukan yoga, tapi dari cerita orang tuaku, tujuh generasi di atasku sudah mempraktekkan yoga, Mereka, selain olah fisik, semacam silat jawa, beberapa gerakkannya banyak yang mirip asana, juga latihan-latihan olah nafasnya, mirip bener sama pranayama dalam yoga. Belum lagi laku batin dengan aneka macam dan jenis puasanya, bertapa yang mirip retret, semedhi, itu seperti meditasi. Keluargaku nglakoni semua itu. Yaaa itu kupikir seperti jalan yoga, dari Raja Yoga, Bhakti Yoga, atau Karma Yoga juga. “….tapi mas, koq yogaloe gak oke ah mas, kalah lentur sama mas Lentur Akhlis, mas?”, timpal suara dari dalam. “Yaaa loe lagi, gue kan keturunan kedelapan”, jawabku menirukan iklan XL menjelang Lebaran kemarin…
yudhi widdyantoro
Pengecer Jasa Yoga
Like this:
Like Loading...