Berdayalah untuk Diri

“Perasaan tak berdaya yang sudah menjadi kebiasaan itu merusak dan menghancurkan orang”- Haruki Murakami (1Q84, 220)
Tidak berdaya sama saja dengan tidak ada harapan. Kalau pun harapan itu ada, ia disandarkan pada pundak orang lain, bukan pundak diri sendiri. Dan memang itulah cara terbaik membunuh diri tanpa harus menghilangkan nyawa. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada manusia yang masih bernafas tetapi sudah kehilangan harapan. Secara mental psikologis mungkin ia sudah dalam kondisi “defungsional”, tidak bisa bekerja dan berfungsi dalam masyarakat dengan normal sebagaimana yang diharapkan.

Be True to Yourselves, Writers!

Like Paulo Coelho said, writers work like a stripper doing the performance in crowded town square. But instead of removing the clothes in public for visual pleasure of the viewers, writers are stripping layers of their own personalities, private lives details that even their parents and siblings never found out, heard or knew of.
To tell you the truth, I have misunderstood this profession. I once thought that to be an author, one doesn’t have to meet people a lot, talk in public, go out often. But once I studied ways to write better, I learned the hard way that to become a good writer, one needs to speak up, conduct interviews, meet many people, talk to promote and discuss about his works. All these were absolutely beyond my imagination. The image of an introverted writer vanished just like that. Suddenly I have to learn how to speak, to debate, argue, rebutt, recount, etc.
And then on telling the truth about himself and other things,that is also not on my plan of being a writer. Who wants to tell people about how I live my life or even some little part of it or some clues about my belief, mindset, preference, anxiety, anger, hatred which I otherwise wish to conceal? But once I want to write, I realize this is just not a fad. I know I want to write since forever and would convince myself no matter what to risk anything to achieve this: being a dedicated writer for the rest of my life.

On Fireflies and the So-Called Advancement

As a young child who was raised at a semi suburb area, I had hardly ever seen fireflies. I have no recollection whatsoever about the amazing insect. Have you seen fireflies? If you have, congratulations. I envy your being able to enjoy the wonder of nature.

So why do fireflies avoid flying around me? My hunch is because they are intimidated by my blinding light.

Video: Jokowi and Ahok at Jakarta Nite Festival 2013

Photos: Jakarta Nite Festival 2013

image

image
image

image
image

image
image
image

The police patrol for sweeping the street vendors who still stay and sell around Thamrin Street which would be opened for traffic.

Backbend atau Forwardbend? Lihat Dulu Tulang Belakang Anda

image

Memasuki sebuah sesi latihan yoga dengan beragam orang yang sebelumnya saya belum kenal mirip dengan masuk ke kelas baru di sekolah baru. Biasanya setiap teman-teman baru ini benar-benar menyimpan kejutan. Ada yang ‘nakal’ mengisengi teman di sebelahnya, ada yang suka bereksperimen dengan dirinya sendiri tanpa memperdulikan sekitar, ada yang lebih suka bercakap-cakap dan tertawa hingga tergelak-gelak, ada yang lebih suka mendekati guru untuk berkeluh kesah dan berkonsultasi, atau berjualan pernak-pernik dan aksesori yoga seperti mat, japamala, dan sebagainya. Semua memiliki gaya dan kepribadian sendiri. Begitu juga saya.
Saya lebih suka diam dan mengamati tingkah polah mereka. Mengamati bagaimana seorang ibu paruh baya bertata rias tipis di depan saya menggelar matras mahalnya dan duduk sedikit membungkuk dengan bahu turun, seorang perempuan muda di sebelah saya yang kurus luar biasa tetapi otot tubuhnya kaku setengah mati akibat kebiasaan dan gaya hidup yang sudah kacau, seorang pria uzur dengan tubuh berat tetapi rapuh yang sepertinya hanya bisa untuk ber-savasana dan vajrasana saja, seorang lelaki muda bertato dengan bangun tubuh khas ‘gym rat’ yang lebih luwes daripada si wanita muda tadi, beberapa anak yang cemberut karena terpaksa hadir dalam kelas yang diikuti orang tuanya yang antusias, dan mahasiswa di usia 20-an yang tiap kali mencoba pose baru akan menampakkan ekspresi muka meringis tetapi tetap kukuh melakukannya demi harga diri di depan teman wanitanya yang mengamati gerak-geriknya.
Tetapi itu semua hanya tampilan luar. Saya menemukan beberapa orang yang usia kronologisnya lebih senior tetapi memiliki badan dan jiwa yang lebih muda daripada anak-anak mereka. Tulang punggung ibu-ibu yang memperhatikan kesehatan diri mereka itu tampak lebih sehat dan postur mereka lebih tegap, yang pada gilirannya membuat mereka terlihat lebih menarik dan muda.
Jadi bukan sebuah pernyataan yang berlebihan, sebagaimana guru-guru saya tidak bosan-bosannya katakan, bahwa tulang punggung itu indikator usia seseorang. Nenek saya menderita skoliosis berat dan tampaknya sudah permanen karena beliau sudah relatif uzur. Sukar, jika tidak bisa dikatakan mustahil, untuk membetulkan posisi tulang punggung beliau yang terlalu banyak membungkuk membawa barang belanjaan yang demikian berat di punggungnya yang tidak begitu lebar. Di masa mudanya ia memang sering berjalan kaki menempuh jarak antara rumah dan pasar di pusat kota, sekitar 5 kilometer lebih, dengan memanggul barang-barang jualan. Bukan jenis kehidupan yang menyenangkan, apalagi jika ditinjau dari aspek kenyamanan hidup abad ke-21, tetapi ia berhasil membesarkan dan menghidupi semua anaknya meski berstatus janda saat itu, bahkan hingga kini.
Dalam yoga, backbend dan forwardbend (serta sidebend) adalah jenis gerakan yang banyak melibatkan tulang punggung, dan saya terus terang sangat suka dengan keduanya karena membuat saya terasa lebih segar setelah duduk membungkuk berjam-jam. Rasanya keseimbangan dalam tulang belakang tercapai begitu selesai melakukan backbend dan forwardbend secara bergiliran. Bayangan saya tentang nenek yang banyak membungkuk menjadi penyemangat saat melakukan backbend dan forwardbend. Saya tidak akan menua dalam keadaan seperti itu. 
Masalahnya tulang belakang saya terlalu ‘lemas’. Lekukan di tulang punggung bawah saya terlalu aktif meski saya belum terasa mengaktifkannya. Ini membuat apa yang seharusnya adalah gerakan forwardbend menjadi backbend, meski posisi badan saya melipat ke depan.  Inilah yang dipermasalahkan oleh Leslie Kaminoff saat workshop beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, “Anda sebenarnya tidak melakukan forwardbend jika tulang belakang Anda condong ke belakang seperti itu. Begitu juga saat backbend, Anda belum dapat dikatakan melakukan backbend yang sebenarnya jika dada belum mengarah ke depan dan bahu ditarik ke belakang.” Lalu Lesli menceritakan bagaimana murid-murid tipikal yang menjadi contoh kesalahan seperti ini. Seorang peserta yoga yang berlatar belakang balet. Biasanya berjenis kelamin wanita, masih muda, dengan dada membusung dan pinggul menonjol ke belakang seperti ronggeng dukuh Paruk, dada terbuka ke depan. Sangat balet. ‘Aroma’ itu sudah tercium saat ia melangkah ke dalam kelas, kata Leslie. Dengan penuh kebanggaan atas kerja kerasnya untuk mencapai tingkat kelenturan yang luar biasa tersebut, sang penari melakukan paschimottanasana dengan perut langsung menyentuh paha, sementara tulang belakang bagian atas hingga leher dan kepala masih mendongak ke atas, yang membuatnya lebih mirip backbend.
Di ujung spektrum yang sebaliknya, seorang pria penggemar angkat beban masuk dengan postur bawaan membungkuk, mungkin karena otot perutnya begitu kencang tetapi otot punggungnya  lebih lemah dan lebih jarang dilatih. Saat ia harus melakukan urdhva hasthasana dengan sedikit backbend, ia masih terlihat menjatuhkan bahunya ke depan meski punggungnya mengarah ke belakang. Padahal ia perlu lebih membuka bahu dan dada agar bagian tubuh depan teregang maksimal.
Singkatnya, bukan hanya tampilannya yang mirip backbend atau forwardbend tetapi apakah secara holistik, secara lengkap, semua dan setiap komponen dalam tulang belakang juga mengikuti dan selaras untuk bekerjasama mencapai posisi backbend atau forwardbend yang diinginkan. Bila belum, saatnya memperbaiki sekarang. Sebelum terlambat. 

Mengapa Sebagian Warga Jakarta Tidak Pantas Menikmati RTH

image

Inilah pemandangan khas setiap jam istirahat makan siang di bawah jalan layang kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan dalam beberapa minggu terakhir. Lahan di bawah jalan layang yang sudah ditanami rerumputan empuk, dan diperindah dengan tetumbuhan hias itu dipenuhi orang yang asyik duduk menikmati nasi bungkus lauk ala kadarnya seharga 5-6 ribuan dari warung nasi dalam gang kecil berlumpur di dekat dan mengobrol. Lalu jam rehat dimulai lagi dan dalam sekejap orang-orang itu lenyap masuk dalam pencakar langit baru itu, dengan meninggalkan jejak berupa puluhan kantong plastik dan kertas pembungkus makanan tanpa tanggung jawab.

Ruang terbuka hijau sudah susah payah dibuat pemerintah tetapi lihat saja, rakyatnya sendiri juga yang kurang berpikir bijak. Kadang pemerintah sudah baik-baik berupaya maksimal, rakyatnya malah semaunya sendiri. Kadang rakyatnya sudah mau ditata, pemerintahnya yang korup. Karena itu kalau Indonesia seperti ini ya bukan salah salah satu saja. Semuanya! Termasuk saya yang cuma bisa mengkritik di sini.

Nurturing The Decaff Culture in Writing Realm

“Let’s talk about anything over that dark thick beverage called coffee”. No, thanks.

How I loathe drinking coffee habit, the caffeine it contains, talks that happen in the morning accompanied by cigarettes and laughters of smokers, who happen to be my coworkers, showing their rotten yellow-stained teeth at a small nook in fear of getting caught in the act by the human resource manager issuing the non-smoking policy at work. Tar, nicotine and caffeine combined, these folks seem to me like they gather for gradual self mutilating feasts over time. So let them get what they want as long as they let me sit down at my desk munching slowly my breakfast – 3 bananas and a medium bowl of salad plus its thousand island sauce – which seems to be the rarest kind to find here at the office. One coworker said the salty white condiment served with the salad is unhealthy but as I look what he eats and does every morning, I abandon his accusation. He doesn’t walk his talk. Such a let-down.

As a 4-year-old boy, I recall having been often awake still past midnight. The Sharp television was sitting there in front of us, as cumbersome as a pre-historic stone henge rock. Only this rock emits light in abundance. Motion pictures are always amazing. Five meters away from the TV airing the Juventus vs Sampdoria match on TVRI, sat my grand father, sipping his tall cup of black sugarless coffee. His image sitting there in my mind was somewhat clouded by the smoke produced in every breath. A heavy smoker he was. And then he coughed. Once, twice. On and on, until it ruined the whole family members’ sleep quality. I wish I hadn’t but I hated him for being selfish. The rest of the family needed proper complete night rest and he didn’t prevent himself from smoking at chilly nights when the cooler air may have exacerbated his increasingly weakened pair of lungs and aging respiratory canals. Now you know how evil it can be when soccer matches meet caffeine and tobacco.

As a male creature who writes for a living, I have been proud of myself who can live and function without caffeine, smoking, booze (which is not permitted to partake by the laws of Quran the Holy Book). I don’t remember when the last time I drank a cup of coffee, even tea. Maybe dozens of months, or years. But what matters most to me is that I am absolutely fine and healthy without daily caffeine intake. My mood is stable under any circumstances. So is my cognitive performance at work. And I could tell you renowned author Dan Brown and I have something in common: inversions are our ‘caffeine’. Hanging your body upside down, your head below the heart, proves to be a useful type of exercise to revitalize the slopy head in the afternoon. Forget others’ sneer and mockery as they see you doing the pose. It is only a matter of time before their derogatory remarks turn into pleas of help.

That said, it brings me to asking why bloggers, copywriters, journalists, novelists, essayists, translators need this addictive substance that poison human body’s entire system. Can anyone answer that for me? Because I cannot seem to understand this prevalent self-destructive habits.

Mengasah Kepekaan Internal dalam Kelas Yoga

Mengikuti kelas yoga membutuhkan banyak hal. Di antara begitu banyak hal tersebut, salah staunya adalah kemampuan untuk menangkap dan mencerna serta mengejawantahkan metafor dan perumpamaan yang mirip bahasa sastrawi. Anda hanya perlu merasakan, membayangkan sejumlah perintah. Perintah-perintah itu tidak bisa Anda laksanakan secara ragawi. Mereka hanya bisa dilaksanakan dalam tataran imajinasi. Visualisasi itulah yang akan membawa pikiran mengembara untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan sekujur tubuh fisik.
Saat mengikuti kelas yoga dengan instruksi abstrak seperti itu tentu saja semua orang pertama-tama merasa frustrasi. Bahkan di kelas-kelas pertama yang saya ikuti dulu, saya sempat kebingungan saat diminta “memasukkan tulang ekor” saya. Saya bahkan tidak tahu menahu letak tulang ekor itu persisnya. Dan yang paling penting: bagaimana memastikan saya sudah “memasukkan tulang ekor” saya (yang tidak boleh dipegang atau diraba di dalam kelas yoga normal)  dengan benar seperti yang instruktur perintahkan pada saya yang masih benar-benar ‘hijau’ dengan dunia yoga?
Frustrasi tidak hanya berhenti di tulang ekor. Ia juga merembet ke pusar (yang katanya harus ditarik masuk saat nafas keluar, yang ternyata susah saya ikuti), ke bokong (saya harus mengencangkannya, padahal bokong saya tidak pernah menggelambir sedikit pun – setidaknya hingga saat ini).
Dari jempol kaki hingga puncak kepala, saya merasa kesal dan, anehnya, malah merasa bersalah saat tidak bisa merasakan sensasi itu dalam tubuh saya. Saya tidak bisa berbohong, makin saya paksa untuk merasakan, semakin saya tertekan dan frustrasi dengan ketidakpekaan saya itu. Lalu muncul prasangka, pemikiran-pemikiran seperti “Payah sekali kamu tidak bisa merasakannya.” Padahal saya juga tahu tidak semua orang di kelas yoga itu memahami instruksi yang abstrak itu. Tetap saja pemikiran itu muncul. Saya menghakimi diri saya sendiri, dan itu lebih melelahkan daripada dihakimi oleh orang lain.
Lalu saya berhenti. Saya lelah untuk terus menghakimi diri sendiri. Saya hanya ingin menikmati apa yang bisa saya nikmati saat itu, di kelas yoga saya. Seakan saya sudah muak dengan sebuah meja yang penuh dengan buku berserakan, lalu saya tinggal membereskannya dengan sekuat tenaga menarik taplak di bawahnya. Seketika itu juga meja itu bersih dari benda apa pun. Dan perasaan lapang pun masuk.
Saya memutuskan untuk tidak memberikan beban dan ekspektasi apa pun pada diri saya saat mengikuti kelas. Bagaimanapun juga itu hanyalah instruksi, panduan. Memandu ke mana? Ke dalam tubuh dan jiwa saya sendiri. Tetapi siapa sebenarnya yang paling mengenal tubuh dan jiwa ini, selain saya? Ya saya sendiri! Jadi bila semua instruksi itu tidak mengena dalam diri saya, jangan terlalu memaksakan. Karena mungkin nanti suatu saat saya bisa mencapai sendiri, tanpa harus ngotot, bersikeras, berambisi untuk menjangkau makna di balik instruksi abstrak yang saya dengar.
Kepekaan itu akan terasah seiring dengan makin intensnya latihan saya. Jadi bersabarlah, kata saya pada diri sendiri. Dan satu lagi, saya perlu melatih diri berhenti menganggap saya satu-satunya di ruangan itu yang tidak memahami, karena semuanya mungkin tidak, bahkan si instruktur sendiri.
Namaste..

Jangan bernafas dengan ‘baik dan benar’. Bernafaslah dengan Bebas!

Seorang rekan menanyakan pada Leslie,”Teach me proper breathing please!” Tetapi sayangnya tidak ada cara paling sempurna untuk semua kondisi. Setiap kondisi dan setiap manusia adalah unik dan perlu dicermati dan dilakukan penyesuaian jika perlu, menurut saya.

Bagi Leslie, melakukan pernafasan bukan hanya demi benar tidaknya teknik tetapi lebih pada apakah seseorang merasakan kebebasan dan kelegaan dalam melakukannya. Bernafas harus membuat kita lebih hidup, berenergi, bebas, bukannya terkungkung, tegang, kurang nyaman dan sebagainya. Dan untuk bisa bernafas dengan lebih bebas, masih kata Leslie, seorang yogi/ yogini perlu unlearn atau melupakan dulu teknik bernafas yang sudah biasa ia lakukan, yang menurutnya sudah baku. Ia harus bersedia untuk bereksperimen, melepaskan diri dari pakem dan lebih membebaskan dirinya untuk mencapai kebebasan, kenyamanan dan kelegaan dalam bernafas. Bukan melulu memaksakan diri mengikuti pola yang sudah ia pelajari dari orang lain. Ia perlu bereksplorasi dengan tubuh dan jiwanya sendiri. Seperti misalnya saat menurunkan tubuh dari posisi plank (palakasana) menuju four-limb staff (chaturanga dandasana) yang mirip push-up, sebagian merasa menghembus nafas keluar lebih tepat bagi tubuhnya sementara yang lain justru lebih merasa nyaman untuk menarik nafas masuk saat turun. Semuanya sangat subjektif, bergantung pada si pelaku. Bahkan bagi saya, keduanya sama saja nyamannya. Tak ada perbedaan signifikan. Untuk mengetahui ini kita perlu merasakannya dengan penuh kecermatan mengenai sensasi yang terasa dalam tubuh kita.

Menyoal Back Pain

Punggung bawah sakit? Mungkin cara nafas kita perlu diperbaiki. Saat punggung bawah mengalami sensasi nyeri atau kurang nyaman, menurut Leslie ada kemungkinan itu karena imbas cara nafas yang kurang sesuai dengan kerja tubuh. Mengapa bisa? Karena semua itu saling terhubung.

Satu hal lagi yang menurut Leslie membedakan yoga dari anatomi ialah bahwa yoga bekerja dalam tataran emosi, pernafasan, bukannya struktur yang bersifat lebih fisik. Banyak studi yang mengatakan cakram dislokasi bukan satu-satunya penyebab rasa sakit di punggung bawah kita. Menekan kondisi emosional juga berakibat pada kesehatan tulang punggung bagian bawah.

Dan yang patut diketahui tidak semua back pain dipicu oleh kelainan tulang belakang, kata Leslie. “Correlation is not causation,” tegasnya di hadapan kami. Korelasi memang bukan berarti ada hubungan sebab akibat. Sayangnya, banyak yang belum memahami tentang hal ini karena kesimpangsiuran informasi yang beredar dan sebagian lagi karena memang bervariasinya kondisi yang melingkupi setiap orang yang menderita keluhan back pain.

Dalam kesempatan itu, saya menanyakan pada Leslie juga: Apakah dengan mengubah cara kita bernafas akan memberikan efek terapetik yang berbeda? Tentu saja, ujarnya.

Yoga creates coordination between diaphragm and abdomen,” katanya. Salah koordinasi bisa membuat belajar yoga menjadi lebih sukar.

Different opening, different effects you’ve got. Tentu saja demikian. No brainer.

Sopir Taksi Punya Cerita

Lalu lintas ramai seperti biasa di kawasan pusat bisnis itu. Rasanya semua orang tumpah ruah di sana pada pukul 6 petang, selepas jam kerja. Penuh sesak terutama di jalan yang meskipun sudah diperlebar tetap terasa sempit saja. Bekas perlebaran itu masih terlihat. Rumah-rumah milik warga keturunan yang berada di sekitar ruas jalan menjadi saksinya. Bagian depan rumah mereka makin mundur saja. Luas rumah yang tak seberapa ditambah lagi terkena proyek pelebaran jalan dengan ganti rugi yang ‘apa adanya’ seperti bauh simalakama. Dalam waktu kurang dari 1 dekade luas lahan rumah warga, suka tidak suka, harus direlakan terpangkas oleh pelebaran jalan. Salahkan kemajuan ekonomi saja, jangan kami yang tak punya banyak harta dan cuma mau bertahan di sini, pikir mereka. Selama itu juga warga sepanjang ruas jalan harus menanggung derita. Lalu lintas yang makin ramai sungguh menyiksa. Tetapi itu awalnya. Akhirnya sekarang mereka lebih terbiasa. Bukan menikmati, hanya terbiasa. Keduanya sering disalahartikan. Penduduk kota kejam ini sudah banyak mematikan sensor kenikmatan sejati dalam kehidupan mereka. Tak mengapa, asal mereka bisa gadaikan dengan gemerlap jenis nikmat lain yang lebih fana. Mereka sudah mematikan sensor rasa itu, entah itu disadari atau tidak, karena jika dihidupkan kembali akan sangat merepotkan diri mereka sendiri setiap saat. Seperti seekor anjing pengendus narkotika yang biasa digunakan di bandara, yang terkurung di sebuah gudang persediaan ganja raksasa. Sangat melelahkan untuk terus menerus menyalak dan menggonggong panik karena di sekelilingnya, semuanya, berserakan ganja. Suatu saat ia akan kelelahan dan diam. Bisa berarti memilih untuk memafhumi kondisi atau mencari taktik jitu memberitahukan pada sang majikan letak penyimpanan ganja yang gila-gilaan itu. Atau memilih mengunyah daun ganja kering di sekitarnya dan tidur-tiduran sembari ‘fly’ untuk merayakan kebabasan dari beban kerja sebagai anjing di pintu pemeriksaan bagasi bandara yang sangat memakan tenaga dan penciuman.

Tapi Suryanto tak punya waktu untuk berpolemik tentang apakah ia harus memelihara atau mematikan saja sensor kenikmatan hakiki itu. Ia harus meluncur segera ke suatu tempat sekarang. Taksi GS41925 yang ia kendarai bergerak maju perlahan dengan lamban. Kecepatan 5 km per jam. “Sial”, umpatnya dalam hati walaupun tak ada penumpang,”Bagaimana bisa sampai di sana tepat waktu?!” Beberapa saat sebelumnya ia diinstruksikan untuk mengangkut penumpang pada pukul 18.30.” Tinggal 7 menit lagi,” gumamnya gugup. Ia gugup bukan karena masih baru dalam bekerja sebagai sopir taksi di kota acak adut ini. Suryanto sudah menjalani kehidupan ini bertahun-tahun, tak ingat lagi ia tepatnya kapan. Namun satu yang ia masih ingat saat itu adalah rengekan anaknya yang baru lahir, masih merah terbungkus kain di ranjang mungil bersama istrinya yang lunglai, baik karena proses melahirkan dan kuitansi tagihan rumah bersalin. Keduanya sehat, hanya sedikit kurang makan. Pekerjaan sebagai karyawan toko alat listrik terlampau sedikit untuk dijadikan sandaran hidup keluarga kecilnya. Kesempatan menjadi supir taksi datang begitu seorang tetangga dekat mengajak. Tergiur uang untuk menghidupi anak dan istrinya, ia mengucapkan selamat tinggal pada profesi lamanya. Nano, anaknya sekarang sudah berusia 10 tahun, dan masih suka menangis. Bukan karena lapar tetapi merajuk ingin dibelikan PlayStation seperti milik Roni temannya. Suryanto tak bisa menolak keinginan si anak semata wayang. Istrinya bersungut-sungut melihat secuil perhiasannya di almari lenyap, berpindah tangan ke juru taksir pegadaian di dekat pasar. Semua demi Nano, anak yang ia namai menurut merek permen dengan berbagai rasa. Karena begitulah menurut Suryanto sensasi menjadi orang tua, campur aduk tak karuan. Kadang manis, asin, asam, dan pahit, sekali-kali ingin membelai sayang, lain kali menjambak gemas. Tergantung perilaku Nano saat itu.

Jalan Hayam Wuruk nomor 95B, gumam Suryanto. Ia terlambat 6 menit berdasarkan jam digital di dasbor taksinya. Dan belum ada tanda-tanda sang pemesan taksi. Pintu gerbang bercat putih masih senyap. Buru-buru ia turun dari taksi. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, Suryanto segera melesat ke sebuah sudut rimbun tetumbuhan pucuk merah di pinggir jalan. Dalam temaram lampu rumah di sekitarnya, pria itu tak menunda membuka resleting celana panjangnya. Suara gemericik air seni terdengar sedang beradu dengan dinding batubata. Tak peduli air itu memercik ke mana-mana, yang penting lega. Tangannya meraih botol air minum, menyiramkan sedikit air untuk sekadar membersihkan apa yang kotor. Ia berbalik arah, dengan kedua tangan masih sibuk bekerja menutup resleting yang terbuka. Sekonyong-konyong ia melihat perempuan muda berdiri tenang, memandanginya dalam jarak 5 meter tepat di pintu kanan mobilnya. Suryanto terkejut bukan kepalang bukan karena malu terlihat dalam keadaan sehabis buang air kecil secara darurat di selokan gelap depan rumahnya, tetapi karena si calon penumpang itu rambutnya terlampau panjang untuk ukuran manusia.